Angin sore bertiup lembut. Berulang-ulang Friska menghirup udara sejuk setelah beberapa hari ini terkungkung di dalam kamar. Ia tidak menyangka begitu senang bisa menghirup udara segar, seolah-olah suatu hal yang jarang didapatkannya.
Dengan memakai kaus casual dengan bawahan celana hitam panjang, Friska berjalan santai bersama Astrid mengelilingi kompleks perumahan. Mereka hendak menuju taman dengan berjalan kaki.
“Pak Bos pasti marah, ya? Gue gak masuk kerja enggak bilang-bilang,” ujar Friska sambil meregangkan tangan. “Tapi bodo amatlah, mau dia ngamuk kek, ngamik kek. Gue gak peduli.”
“Berterima kasihlah, gue udah bilang lo sakit,” sahut Astrid.
“Sakit apaan? Emang alasan itu bisa diterima?”
“Ya, gue bilang aja lo sakit hati, itu juga termasuk sakit tahu. Apalagi luka dalam hati itu terasa lebih menyakitkan daripada luka fisik.” Astrid kembali berceloteh sambil menepuk-nepuk dadanya.
“Bijak sekali Anda.”
“Yee! Gue di sini, kan, buat ngehibur lo biar gak manyun terus! Lo-nya malah cengengesan. Sia-sia, deh, dari tadi gue mikirin cara buat lo terhibur.” Astrid mendengkus.
Friska mengulum senyum. Ia tahu perkataan Astrid tadi juga salah satu cara agar membuatnya bisa menghilangkan pikiran tentang Franz. Ia merasa beruntung memiliki sahabat seperti Astrid. Ini bukan kali pertama Astrid sigap mendatanginya saat ia sedang berada dalam masalah.
Teman semasa kuliahnya itu selalu menjadi yang pertama dalam hal memberi perhatian padanya.
“Terus, kapan lo mau cerita sama gue tentang apa yang udah lo alamin?” Kali ini tatapan Astrid berubah menjadi serius.
Friska tidak memberi tanggapan, terus berjalan sambil menatap angkasa.
“Tapi kalo lo gak siap cerita sekarang, jangan dipaksain. Yang penting lo harus bisa tenangin pikiran dulu,” lanjut Astrid lagi.
Astrid adalah saksi dari perjalanan cinta antara Friska dan Franz. Sejak mengenal Friska saat penerimaan mahasiswa baru. Ia langsung akrab dengan perempuan itu apalagi mereka berada di jurusan yang sama. Ia selalu menjadi tempat Friska bercerita. Mulai dari permasalahannya dengan Franz yang kerap berselisih, masalah tugas, atau pun kehidupannya di rumah.
Tak jarang ia pun memberi masukan pada setiap permasalahan Friska. Mulai dari bagaimana cara menyikapi agar tidak terlalu berlarut dalam kesedihan, sampai pada sebuah solusi yang selalu membuat Friska merasa lebih baik.
Akhirnya setelah menguatkan diri, Friska menceritakan pertemuannya dengan Franz tempo hari. Dengan suara yang masih terdengar gemetar kala nama Franz terucap dari mulutnya.
“Lo gak harus cerita sekarang kalau masih belum bisa,” saran Astrid begitu mendengar penuturan Friska.
“Enggak apa-apa, Trid. Lo di sini, kan, mau ngehibur gue, salah satunya dengan dengerin cerita gue, kan?” Friska tersenyum dengan mata terpejam. “Lagi pula, anggap aja ini cara awal gue buat move on,” imbuhnya lagi.
Astrid menepuk pundak Friska tiga kali, lalu memasang telinga lebih tajam ketika sahabatnya kembali bercerita. Mereka terus berjalan sampai akhirnya tiba di taman. Suasana taman di dekat perumahan tempat tinggal Friska saat itu cukup sepi, hanya ada beberapa muda-mudi yang sedang asyik berkumpul di sana.
Kedua perempuan itu menuju bangku di dekat pohon besar paling sudut. Kebetulan di sana ada tukang jualan siomay yang mangkal di luar tembok taman, tepat di samping tempat duduk mereka. Friska memesan dua porsi siomay beserta teh manis pada Bang Icuk, nama tukang penjual siomay itu.
“Apa?” Astrid tertawa terpingkal-pingkal begitu Friska mengakhiri ceritanya. “Habis marah-marah gitu lo balik ke kafe karena lupa belum bayar?” Suara perempuan itu terdengar cukup nyaring.
Sontak Friska menempelkan tangan ke mulut Astrid sambil tatapannya menyapu sekeliling. “Lo kalau ngomong jangan keras-keras kenapa? Gue jadi tengsin, nih!”
“Sori, sori.” Astrid menerima dua piring siomay yang dijulurkan Bang Icuk. “Tapi sumpah lo konyol banget. Bisa-bisanya balik lagi. Kalau gue bodo amat, deh, biar Franz yang bayar.”
Friska mengaduk-aduk teh manisnya. “Harga diri. Gue enggak mau berutang apa pun sama cowok berengsek itu!” Wajah Friska mendadak berubah serius. “Gue juga kepikiran buat balikin semua barang pemberian dia.”
Astrid yang sedang menelan siomay seketika tersedak. Ia memukul-mukul dada, lalu mengambil gelas teh manis dan meminumnya sampai habis setengah.
“Mau lo balikin? Enggak usah, mending kasih ke orang yang membutuhkan, yaitu gue.”
Mendengar jawaban Astrid, sontak Friska melempar tatapan tajam ke arahnya. Astrid jadi kikuk.
“Bercanda, Fris,” bela Astrid sambil memeletkan lidah.
Jika memberikan semua barang pemberian Franz pada Astrid sama saja bohong. Suatu saat ia pasti bisa kembali melihatnya. Friska ingin melenyapkan semua hal yang berhubungan dengan kekasihnya itu tanpa tersisa. Walau ia masih belum bisa untuk menghapus semua rekaman yang masih tersimpan manis dalam ponsel maupun laptopnya.
“Gue juga ada rencana mau resign dari kerjaan.”
Mata Astrid memelotot begitu mendengar Friska berkata demikian. Ia masih menganggap wajar bila sahabatnya itu mengembalikan semua barang pemberian Franz. Namun, keluar dari pekerjaan apakah itu perlu?
“Sadar, Fris. Jangan sampai rasa sakit hati lo menyebar ke hal yang seharusnya enggak lo lakuin.” Astrid berusaha memberi masukan. “Lo inget tujuan lo waktu masuk dunia kerja? Lo enggak pengen terus bergantung sama orangtua. Lo pengen hidup mandiri. Dan sekarang lo udah dapatin apa yang lo mau. Jangan segampang itu ninggalin apa yang lo inginkan selama ini.”
“Ini enggak gampang, Trid. Serius. Gue tahu gue terlalu egois jika benar-benar keluar dari perusahaan. Cuman—“ Friska tak mampu meneruskan perkataannya. Ia tertunduk, tangannya mengusap wajah perlahan.
Semilir angin yang berembus kala itu menggerak-gerakan rambutnya. Mengantar udara dingin menerpa wajahnya lembut. Friska tahu betul bila ia tetap bekerja di tempat yang sama dengan Franz, rasa sakitnya tidak akan bisa hilang. Oleh karena itu, ia ingin mencari tempat baru di mana ia bisa memulai segalanya dari awal.
Tujuh tahun memang bukan waktu yang singkat. Waktu yang memberikan banyak cerita yang terkemas dalam balutan canda dan tawa, suka cita, juga beribu air mata. Namun, hanya dalam satu hari, waktu yang sangat singkat, tetapi mampu menghancurkan cerita yang sudah terjalin selama bertahun-tahun.
“Lo inget saat kita lulus kuliah? Terus kita sama-sama ngelamar di perusahaan? Dan kita juga diterima bareng-bareng.” Astrid menempelkan sedotan ke mulut. “Entah berapa banyak duit yang kita keluarin buat nge-print berkas lamaran, terus ngelamar ke sana-sini.”
Friska tertawa, ia menancapkan garpu pada siomay, lalu memasukkannya ke mulut. “Enggak mungkin gue lupa. Itu salah satu momen terindah dalam hidup gue.”
“Terus sekarang lo mau ninggalin semua itu begitu saja?”
Sorot mata Astrid yang sarat akan keseriusan membuat perasaan Friska cukup gundah. Ia paham sahabatnya itu sangat peduli padanya. Ia pun sering mengiakan saran dari Astrid yang terbukti mampu mengatasi masalahnya. Namun, kali ini ia benar-benar sulit untuk menuruti saran sahabat baiknya itu.
“Fris, gue tahu luka yang lo derita enggak bisa sembuh dalam satu atau dua hari, bahkan bisa berbulan-bulan, sampai bertahun-tahun. Tapi seenggaknya, lo harus jalani hari seperti biasa.” Astrid menautkan kedua tangan, lalu meletakkan dagu di atasnya. “Kalau ketemu Franz, ya, udah, lo bersikap sewajarnya. Jangan malah coba melarikan diri dari masalah. Itu sama aja lo buat Franz berpikir enggak ada cowok lain yang berarti buat lo selain dia.”
Perkataan Astrid benar-benar meresap ke dalam hati Friska. Benar juga. Kenapa baru sekarang ia terpikir hal itu? Jika ia terus-terusan menangisi kisah cintanya dengan Franz yang berakhir tragis, itu malah membuatnya seperti tidak bisa hidup tanpa Franz.
Padahal Friska sama sekali tidak menginginkan itu, malah memiliki anggapan bahwa Franz kini menempati peringkat pertama dalam urutan cowok berengsek yang pernah ia temui. Jika seperti itu, kenapa pula ia harus menghindar? Yang harus ia lakukan hanyalah mengabaikan setiap kali bertemu lelaki itu.
Sudut bibir Friska terangkat, menampilkan sunggingan sinis. Ia rasa saran dari Astrid cukup berguna. Oleh karena itu, ia sekarang bertekad untuk menunjukkan pada Franz bahwa ia juga bisa menjalani hidup tanpanya. Lalu, suatu saat mungkin akan bertemu lelaki yang tulus mencintainya.
“Friska berubah menjadi mode jahat,” komentar Astrid begitu melihat perubahan ekspresi sahabatnya.
Friska tertawa sambil menggeleng berulang-ulang. “Oke, Trid, gue ikuti saran lo. Bakal gue abaikan setiap kali ketemu cowok berengsek itu! Bahkan dalam urusan pekerjaan sekali pun tetep bakal gue cuekin!”
“Nah! Ini baru Friska yang gue kenal,” tanggap Astrid riang.
“Karena kita ke sini dalam rangka lo ngehibur gue. Lo yang bayar, ya.”
Setelah mengatakan itu, Friska bangkit dari duduknya, lalu berjalan meninggalkan Astrid yang termangu di tempat.
Seperti yang sudah direncanakan, Friska akan mengembalikan semua barang pemberian Franz sejak awal mereka pacaran. Hari itu, pagi-pagi sekali, terdengar suara gaduh di kamar Friska yang sedang mengemasi barang-barang ke dalam dus.Seluruh tempat penyimpanan ia geledah, mulai dari lemari, kolong ranjang, sampai ke tiap sudut kamar. Pokoknya jangan sampai ada hal yang berkaitan dengan Franz tersisa di kamarnya. Bu Laura yang melihat kegiatan putrinya lantas masuk kamar, lalu menghampiri Friska yang tengah menumpuk barang di dus agar muat.“Kamu yakin mau kembaliin semua ini ke Franz?” Bu Laura duduk di samping Friska.“Friska harus lakuin ini, Mah. Kalau benda-benda ini masih Friska simpan, Friska enggak akan bisa move on dari dia,” balas Friska dengan suara getir.Bu Laura menyayangkan apa yang terjadi pada hubungan Friska dan Franz. Ia tahu bagaimana putrinya itu sangat menyayangi Franz. Pun sebaliknya. Ia rasa Franz juga
Friska menggosok pipinya yang terasa panas berulang-ulang. Sejak ia masuk ke mobil dan duduk menyender pada jok. Perasaannya berdebar-debar karena perkataan Dito tadi masih terngiang dalam kepala. Ia menampar pipi cukup keras, berusaha menyadarkan diri agar tidak terlalu terbawa oleh ucapan Dito.Hari ini, ia mulai masuk kerja setelah membolos beberapa hari. Sudah cukup rasanya ia berlarut dalam kesedihan. Lagi pula, ia juga tidak enak pada bosnya di kantor. Biarlah perkara tentang Franz berjalan seperti sewajarnya. Ia telah bertekad untuk siap menghadapi lelaki itu saat bertemu nanti.Namun, ini merupakan awal yang cukup buruk bagi Friska di pagi harinya. Ia tidak pernah menduga akan mengalami hal yang baru saja terjadi beberapa menit lalu. Dito, teman masa kecilnya, tiba-tiba datang dan menyatakan cinta padanya.Pandangannya menatap jalanan di depan dengan tatapan kosong. Ia lalu berusaha mengikuti lirik dari lagu yang diputar. Mencoba menyibukkan otaknya agar
Alunan lagu yang diputar di kafe saat itu begitu nyaman terdengar di telinga Friska. Sesekali ia ikut melantunkan lirik dari lagu berjudul Terlalu Cinta milik Rossa. Sebuah lagu yang menjadi favoritnya sejak masa sekolah. Perempuan itu duduk di sudut kafe seorang diri, menanti kehadiran kekasihnya. Ia mengaduk-aduk strawberry milkshake miliknya sambil sesekali pandangannya mengarah pada pintu masuk, berharap Franz segera datang. “Aku mau ketemu. Kamu bisa datang ke kafe favorit kita jam empat sore?” Friska senang bukan main saat membaca pesan yang dikirim Franz tadi pagi. Hatinya mengembang penuh kemenangan, karena akhirnya sang kekasih yang pertama kali menghubungi setelah pertengkaran mereka saat terakhir bertemu. Ia sudah menjalin hubungan dengan Franz sejak lama, ketika mereka masih duduk di bangku SMA. Sempat putus nyambung berkali-kali. Namun, kisah cintanya dengan Franz cukup awet hingga sekarang mereka memasuki dunia kerja.
Friska sama sekali tidak pernah mengira Franz akan datang dengan membawa kabar menyakitkan ini. Pikirannya hanya menebak hal-hal menyenangkan yang akan mereka lalui setelah berbaikan, seperti biasanya.Namun, dengan hadirnya Franz bersama perempuan lain. Friska sadar, sore ini hanyalah awal bagi kepahitan yang akan melandanya. Sambil berusaha menahan emosi, ia berbicara pada Franz senormal mungkin.“Dan kamu kayak enggak peduli sama apa yang terjadi sama kita saat terakhir bertemu. Malah dengan entengnya datang bawa kabar ini.”“Aku benar-benar minta maaf.” Terlihat keseriusan terpancar dari mata Franz.Friska benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ia marah, kesal, dan emosi melihat Franz datang membawa kabar bahwa dirinya telah bertunangan.“Kamu udah lama kenal sama dia?” tanya Friska lagi.“Sebulan yang lalu, saat aku ada tugas kantor ke Bandung,” balas Franz.Sebulan yang lalu? Mu
Empat hari sudah berlalu sejak saat itu. Friska masih terbelenggu dengan rasa sakitnya. Ia terus mengurung diri di kamar, keluar hanya untuk buang air atau jika ia merasa lapar. Matanya sedikit bengkak lantaran terlalu banyak menangis. Hampir setiap malam terdengar tangisan dari dalam kamar Friska.Ayah dan Ibu sampai khawatir pada anak semata-wayangnya. Awalnya mereka kira kesedihan Friska sudah biasa karena mereka sering mendapati putrinya itu bertengkar dengan Franz. Menyangka semua akan baik-baik saja dalam satu hari. Namun, saat melihat Friska masih bermurung mereka mulai khawatir. Terlebih pada kesehatannya yang selalu berada di kamar tertutup rapat. Gorden jendela pun tidak dibuka. Keadaan di dalam kamarnya sangat pengap.Berulang kali mereka menyuruh Friska agar keluar kamar, kembali menjalani hari seperti biasa. Namun, selalu berakhir penolakan oleh perempuan itu yang masih terkungkung dalam kesedihan.“Gimana ini, Pah? Mamah takut Friska kenapa-k
Friska menggosok pipinya yang terasa panas berulang-ulang. Sejak ia masuk ke mobil dan duduk menyender pada jok. Perasaannya berdebar-debar karena perkataan Dito tadi masih terngiang dalam kepala. Ia menampar pipi cukup keras, berusaha menyadarkan diri agar tidak terlalu terbawa oleh ucapan Dito.Hari ini, ia mulai masuk kerja setelah membolos beberapa hari. Sudah cukup rasanya ia berlarut dalam kesedihan. Lagi pula, ia juga tidak enak pada bosnya di kantor. Biarlah perkara tentang Franz berjalan seperti sewajarnya. Ia telah bertekad untuk siap menghadapi lelaki itu saat bertemu nanti.Namun, ini merupakan awal yang cukup buruk bagi Friska di pagi harinya. Ia tidak pernah menduga akan mengalami hal yang baru saja terjadi beberapa menit lalu. Dito, teman masa kecilnya, tiba-tiba datang dan menyatakan cinta padanya.Pandangannya menatap jalanan di depan dengan tatapan kosong. Ia lalu berusaha mengikuti lirik dari lagu yang diputar. Mencoba menyibukkan otaknya agar
Seperti yang sudah direncanakan, Friska akan mengembalikan semua barang pemberian Franz sejak awal mereka pacaran. Hari itu, pagi-pagi sekali, terdengar suara gaduh di kamar Friska yang sedang mengemasi barang-barang ke dalam dus.Seluruh tempat penyimpanan ia geledah, mulai dari lemari, kolong ranjang, sampai ke tiap sudut kamar. Pokoknya jangan sampai ada hal yang berkaitan dengan Franz tersisa di kamarnya. Bu Laura yang melihat kegiatan putrinya lantas masuk kamar, lalu menghampiri Friska yang tengah menumpuk barang di dus agar muat.“Kamu yakin mau kembaliin semua ini ke Franz?” Bu Laura duduk di samping Friska.“Friska harus lakuin ini, Mah. Kalau benda-benda ini masih Friska simpan, Friska enggak akan bisa move on dari dia,” balas Friska dengan suara getir.Bu Laura menyayangkan apa yang terjadi pada hubungan Friska dan Franz. Ia tahu bagaimana putrinya itu sangat menyayangi Franz. Pun sebaliknya. Ia rasa Franz juga
Angin sore bertiup lembut. Berulang-ulang Friska menghirup udara sejuk setelah beberapa hari ini terkungkung di dalam kamar. Ia tidak menyangka begitu senang bisa menghirup udara segar, seolah-olah suatu hal yang jarang didapatkannya.Dengan memakai kaus casual dengan bawahan celana hitam panjang, Friska berjalan santai bersama Astrid mengelilingi kompleks perumahan. Mereka hendak menuju taman dengan berjalan kaki.“Pak Bos pasti marah, ya? Gue gak masuk kerja enggak bilang-bilang,” ujar Friska sambil meregangkan tangan. “Tapi bodo amatlah, mau dia ngamuk kek, ngamik kek. Gue gak peduli.”“Berterima kasihlah, gue udah bilang lo sakit,” sahut Astrid.“Sakit apaan? Emang alasan itu bisa diterima?”“Ya, gue bilang aja lo sakit hati, itu juga termasuk sakit tahu. Apalagi luka dalam hati itu terasa lebih menyakitkan daripada luka fisik.” Astrid kembali berceloteh sambil menepuk-nepuk dadanya.
Empat hari sudah berlalu sejak saat itu. Friska masih terbelenggu dengan rasa sakitnya. Ia terus mengurung diri di kamar, keluar hanya untuk buang air atau jika ia merasa lapar. Matanya sedikit bengkak lantaran terlalu banyak menangis. Hampir setiap malam terdengar tangisan dari dalam kamar Friska.Ayah dan Ibu sampai khawatir pada anak semata-wayangnya. Awalnya mereka kira kesedihan Friska sudah biasa karena mereka sering mendapati putrinya itu bertengkar dengan Franz. Menyangka semua akan baik-baik saja dalam satu hari. Namun, saat melihat Friska masih bermurung mereka mulai khawatir. Terlebih pada kesehatannya yang selalu berada di kamar tertutup rapat. Gorden jendela pun tidak dibuka. Keadaan di dalam kamarnya sangat pengap.Berulang kali mereka menyuruh Friska agar keluar kamar, kembali menjalani hari seperti biasa. Namun, selalu berakhir penolakan oleh perempuan itu yang masih terkungkung dalam kesedihan.“Gimana ini, Pah? Mamah takut Friska kenapa-k
Friska sama sekali tidak pernah mengira Franz akan datang dengan membawa kabar menyakitkan ini. Pikirannya hanya menebak hal-hal menyenangkan yang akan mereka lalui setelah berbaikan, seperti biasanya.Namun, dengan hadirnya Franz bersama perempuan lain. Friska sadar, sore ini hanyalah awal bagi kepahitan yang akan melandanya. Sambil berusaha menahan emosi, ia berbicara pada Franz senormal mungkin.“Dan kamu kayak enggak peduli sama apa yang terjadi sama kita saat terakhir bertemu. Malah dengan entengnya datang bawa kabar ini.”“Aku benar-benar minta maaf.” Terlihat keseriusan terpancar dari mata Franz.Friska benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ia marah, kesal, dan emosi melihat Franz datang membawa kabar bahwa dirinya telah bertunangan.“Kamu udah lama kenal sama dia?” tanya Friska lagi.“Sebulan yang lalu, saat aku ada tugas kantor ke Bandung,” balas Franz.Sebulan yang lalu? Mu
Alunan lagu yang diputar di kafe saat itu begitu nyaman terdengar di telinga Friska. Sesekali ia ikut melantunkan lirik dari lagu berjudul Terlalu Cinta milik Rossa. Sebuah lagu yang menjadi favoritnya sejak masa sekolah. Perempuan itu duduk di sudut kafe seorang diri, menanti kehadiran kekasihnya. Ia mengaduk-aduk strawberry milkshake miliknya sambil sesekali pandangannya mengarah pada pintu masuk, berharap Franz segera datang. “Aku mau ketemu. Kamu bisa datang ke kafe favorit kita jam empat sore?” Friska senang bukan main saat membaca pesan yang dikirim Franz tadi pagi. Hatinya mengembang penuh kemenangan, karena akhirnya sang kekasih yang pertama kali menghubungi setelah pertengkaran mereka saat terakhir bertemu. Ia sudah menjalin hubungan dengan Franz sejak lama, ketika mereka masih duduk di bangku SMA. Sempat putus nyambung berkali-kali. Namun, kisah cintanya dengan Franz cukup awet hingga sekarang mereka memasuki dunia kerja.