Alunan lagu yang diputar di kafe saat itu begitu nyaman terdengar di telinga Friska. Sesekali ia ikut melantunkan lirik dari lagu berjudul Terlalu Cinta milik Rossa. Sebuah lagu yang menjadi favoritnya sejak masa sekolah.
Perempuan itu duduk di sudut kafe seorang diri, menanti kehadiran kekasihnya. Ia mengaduk-aduk strawberry milkshake miliknya sambil sesekali pandangannya mengarah pada pintu masuk, berharap Franz segera datang.
“Aku mau ketemu. Kamu bisa datang ke kafe favorit kita jam empat sore?”
Friska senang bukan main saat membaca pesan yang dikirim Franz tadi pagi. Hatinya mengembang penuh kemenangan, karena akhirnya sang kekasih yang pertama kali menghubungi setelah pertengkaran mereka saat terakhir bertemu.
Ia sudah menjalin hubungan dengan Franz sejak lama, ketika mereka masih duduk di bangku SMA. Sempat putus nyambung berkali-kali. Namun, kisah cintanya dengan Franz cukup awet hingga sekarang mereka memasuki dunia kerja.
Meski tak bisa dipungkiri ia merasa cukup khawatir karena pertengkarannya tempo hari bisa merusak hubungan. Sebab, seminggu lebih Franz tidak juga datang padanya untuk meminta maaf. Berhari-hari kekasihnya itu tidak ada kabar. Tidak ada pesan, tidak ada telepon, bahkan sampai mengambil cuti dari perusahaan tempat mereka bekerja.
Oleh karena itu, ia merasa lega dengan datangnya hari ini setelah lelah menunggu. Namun, sial, saking bahagianya, Friska datang satu jam lebih awal, membuatnya harus rela kembali menunggu. Entah sudah berapa gelas minuman yang ia habiskan.
“Mau pesan lagi, Mbak?” tanya salah seorang pelayan begitu mengambil gelas kosong di meja Friska.
Friska hanya tersenyum garing, jika memesan lagi takut kandung kemihnya penuh. Jika tidak, ia juga malu diam di sana tanpa memesan di saat Franz belum datang. Akhirnya ia menunjuk pada sebuah minuman yang menjadi kesukaannya, .
Pelayan tadi mengangguk, lalu kembali hendak menyiapkan pesanan.
Ponsel Friska tiba-tiba bergetar, dengan cepat tangannya membuka tas mengambil benda pipih itu mengira ada panggilan dari Franz. Wajahnya seketika tertekuk begitu nama Dito terpampang di layar. Dengan malas ia mengangkat telepon dari teman masa kecilnya itu.
“Iya, Dit, ada apa? Jangan telepon dulu, deh. Aku lagi nunggu Franz, mau kencan,” cerocos Friska tanpa mengucap salam terlebih dahulu.
Ia cukup risi oleh sikap Dito akhir-akhir ini yang selalu mengajaknya pergi. Entah jalan-jalan di sekitar kompleks, nonton ke bioskop, atau lari pagi ke taman kota. Sebenarnya ia tak masalah dengan hal itu. Namun, rasanya ia menangkap gelagat lain dari teman lelakinya itu.
“Hah? Kencan? Bukannya kamu lagi marahan sama Franz?”
Dengan santai Friska menjawab. “Udah baikan, kok.”
Terdapat jeda beberapa saat, Dito tidak lantas menjawab membiarkan panggilan tetap terhubung.
“Kamu pulang jam berapa?”
“Kenapa emang?” respons Friska cepat sambil tetap memberi nada suara angkuh.
“Kamu lupa? Bukannya kemarin kamu bilang ‘iya’ waktu aku ngajak nonton?”
Friska menepuk jidat, ia benar-benar lupa dengan janji yang dibuatnya kemarin saking bahagianya mendapat kabar dari Franz. Meskipun sebenarnya ia menerima tawaran itu hanya untuk melepas penat. Kali ini, ia merasa bersalah pada Dito.
Beberapa saat kemudian, pintu masuk kafe kembali terbuka, Friska refleks memalingkan pandang. Senyuman sontak tercetak di wajah begitu ia melihat lelaki dengan badan ideal bertubuh jangkung. Berambut cepak memakai jaket levis dan celana hitam panjang memasuki kafe. Sebastian Franz telah datang.
“Maaf, Dit, aku enggak bisa. Batalin aja, ya, nontonnya.” Friska segera memutuskan panggilan, lalu merapikan rambutnya.
Di saat yang sama, alis Friska bertaut. Ia memandang heran ketika Franz ternyata tidak datang seorang diri. Lelaki itu bersama seorang perempuan berambut panjang dan bergigi gingsul. Busana off shoulder putih dengan celana pallazo yang perempuan itu kenakan membuatnya terlihat begitu menawan
Kepala Franz bergerak ke kanan dan kiri, mencari keberadaan Friska, sampai tatapannya berhenti di meja paling sudut. Lelaki itu tersenyum, lalu berjalan mendekat diikuti perempuan di belakangnya.
“Maaf, aku telat. Kamu udah lama?” tanya Franz sembari duduk berhadapan dengan Friska, sementara perempuan yang datang bersamanya berdiri di samping meja.
Friska menelan ludah sambil menggeleng pelan. Ia sedikit melirik pada perempuan itu. Perempuan yang tidak diketahuinya. Ia sudah kenal dengan kakak atau adik Franz, bahkan ia juga sudah mengenal sepupu kekasihnya itu. Namun, ia belum pernah melihat perempuan yang kini terlihat jelas di bola matanya.
“Ini, Mbak, minumannya,” ucap pelayan tadi, meletakkan gelas minuman di depan Friska. “Kalau, Mas, sama mbaknya mau pesan apa?” Ia menatap ramah pada Franz.
“Nanti saja, Mbak. Saya masih bingung mau makan apa.” Franz menyunggingkan senyum.
Pelayan itu tersenyum garing, kemudian meninggalkan mereka.
Kali ini, Friska memandang Franz sembari memberi isyarat tentang siapa perempuan yang datang bersamanya. Namun, Franz tidak menangkap maksud Friska.
“Aku ngajak kamu ketemu karena ada hal penting yang harus diomongin secara langsung.” Franz memandang Friska lembut.
Pasti kamu mau minta maaf. Pakai basa-basi segala. Friska membatin.
Franz menoleh, menatap perempuan di sebelahnya lalu menyuruh duduk di sampingnya. Ia tersenyum manis sekali menampilkan gigi putihnya yang berderet rapi. Franz juga sempat merapikan rambut panjang perempuan itu yang sedikit menutupi mata.
Pemandangan itu jelas membuat Friska kesal. Ia tak habis pikir Franz berani melakukan itu di hadapannya. Ia memang belum tahu siapa perempuan itu. Entah sepupu atau teman, tapi yang jelas, ia rasa Franz tidak seharusnya bersikap demikian.
“Siapa, sih, cewek itu? Kamu kok perhatian banget!” seru Friska tak mampu menahan rasa cemburu.
Franz tetap tenang tidak terpancing dengan omongan Friska. Lelaki itu memejamkan mata sejenak, lalu membukanya perlahan-lahan.
“Dia yang mau aku omongin sama kamu.” Tatapan Franz mengarah tajam pada Friska, membuat perempuan itu sedikit gugup. “Aku harap, kamu bisa maafin aku setelah tahu yang sebenarnya.”
Mendadak perasaan Friska jadi tidak enak. Memang ia mendengar kata maaf keluar dari mulut Franz, tapi entah kenapa rasanya lain. Perkataan itu seperti mengantarkan suatu perasaan gelisah pada hatinya. Terdengar dari nada bicara Franz yang berbeda.
Suara alunan musik yang sedari tadi memenuhi telinganya seolah hilang begitu saja. Ia begitu terpaku dengan irama jantungnya yang tiba-tiba berdebar cepat.
Franz mengangkat tangan kanannya yang sedari tadi ia simpan di atas paha, memperlihatkan cincin yang tersemat di jari manisnya.
Sambil memejamkan mata, Franz berkata lirih, “Aku sudah bertunangan.” Bola mata Franz melirik pada perempuan di sampingnya. “Dia namanya Jessi, yang jadi tunangan aku,” lanjutnya lagi sembari tersenyum dengan mata terpejam. “Aku sudah cerita semuanya tentang kita sama Jessi. Makanya aku ajak dia ke sini, biar bisa memahami perasaan aku.”
Friska masih belum bisa menyerap setiap perkataan Franz. Tatapannya kosong dengan mulut menganga, ia sama sekali tidak bergerak seolah-olah jiwanya sudah meninggalkan raga. Ia benar-benar tidak bisa memahami apa yang terjadi. Franz tunangan? Dengan perempuan yang ada di sampingnya?
“Fris?” Franz kembali berbicara setelah melihat Friska terdiam untuk beberapa menit. “Kamu enggak apa-apa?”
Akhirnya Friska tersadar, ia mulai bisa menguasai diri.
“Kamu udah tunangan? Kapan?” Friska menatap tidak percaya, matanya mulai memerah.
“Dua hari yang lalu. Rencananya, tahun depan kami menikah.”
Franz seperti tanpa dosa berkata seperti itu langsung kepada Friska. Ia seakan-akan tidak memikirkan Friska terluka karenanya.
“Kenapa?” Tak sadar air mata Friska mulai berlinang. “Kenapa harus seperti ini?”
Franz mengusap wajah perlahan, lalu mengembuskan napas.
“Aku kira kamu bakal minta maaf karena pertengkaran kita waktu itu. Tapi ternyata—“ Friska tertahan, tak mampu melanjutkan ucapannya. Matanya semakin berkaca-kaca. “Tapi ternyata kamu malah kasih aku sesuatu yang bikin aku sakit, Franz.” Ia mengusap air yang mulai mengalir dari matanya. Berusaha menaha intan-intan bening itu agar berhenti menetes
Suara Friska sedikit bergetar senada dengan hatinya yang begitu teriris melihat kenyataan yang sedang ia hadapi. Ekspektasi tinggi akan sore hari yang indah bersama Franz setelah mereka berbaikan. Kini sirna dengan kabar yang dibawa lelaki itu.
Friska sama sekali tidak pernah mengira Franz akan datang dengan membawa kabar menyakitkan ini. Pikirannya hanya menebak hal-hal menyenangkan yang akan mereka lalui setelah berbaikan, seperti biasanya.Namun, dengan hadirnya Franz bersama perempuan lain. Friska sadar, sore ini hanyalah awal bagi kepahitan yang akan melandanya. Sambil berusaha menahan emosi, ia berbicara pada Franz senormal mungkin.“Dan kamu kayak enggak peduli sama apa yang terjadi sama kita saat terakhir bertemu. Malah dengan entengnya datang bawa kabar ini.”“Aku benar-benar minta maaf.” Terlihat keseriusan terpancar dari mata Franz.Friska benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ia marah, kesal, dan emosi melihat Franz datang membawa kabar bahwa dirinya telah bertunangan.“Kamu udah lama kenal sama dia?” tanya Friska lagi.“Sebulan yang lalu, saat aku ada tugas kantor ke Bandung,” balas Franz.Sebulan yang lalu? Mu
Empat hari sudah berlalu sejak saat itu. Friska masih terbelenggu dengan rasa sakitnya. Ia terus mengurung diri di kamar, keluar hanya untuk buang air atau jika ia merasa lapar. Matanya sedikit bengkak lantaran terlalu banyak menangis. Hampir setiap malam terdengar tangisan dari dalam kamar Friska.Ayah dan Ibu sampai khawatir pada anak semata-wayangnya. Awalnya mereka kira kesedihan Friska sudah biasa karena mereka sering mendapati putrinya itu bertengkar dengan Franz. Menyangka semua akan baik-baik saja dalam satu hari. Namun, saat melihat Friska masih bermurung mereka mulai khawatir. Terlebih pada kesehatannya yang selalu berada di kamar tertutup rapat. Gorden jendela pun tidak dibuka. Keadaan di dalam kamarnya sangat pengap.Berulang kali mereka menyuruh Friska agar keluar kamar, kembali menjalani hari seperti biasa. Namun, selalu berakhir penolakan oleh perempuan itu yang masih terkungkung dalam kesedihan.“Gimana ini, Pah? Mamah takut Friska kenapa-k
Angin sore bertiup lembut. Berulang-ulang Friska menghirup udara sejuk setelah beberapa hari ini terkungkung di dalam kamar. Ia tidak menyangka begitu senang bisa menghirup udara segar, seolah-olah suatu hal yang jarang didapatkannya.Dengan memakai kaus casual dengan bawahan celana hitam panjang, Friska berjalan santai bersama Astrid mengelilingi kompleks perumahan. Mereka hendak menuju taman dengan berjalan kaki.“Pak Bos pasti marah, ya? Gue gak masuk kerja enggak bilang-bilang,” ujar Friska sambil meregangkan tangan. “Tapi bodo amatlah, mau dia ngamuk kek, ngamik kek. Gue gak peduli.”“Berterima kasihlah, gue udah bilang lo sakit,” sahut Astrid.“Sakit apaan? Emang alasan itu bisa diterima?”“Ya, gue bilang aja lo sakit hati, itu juga termasuk sakit tahu. Apalagi luka dalam hati itu terasa lebih menyakitkan daripada luka fisik.” Astrid kembali berceloteh sambil menepuk-nepuk dadanya.
Seperti yang sudah direncanakan, Friska akan mengembalikan semua barang pemberian Franz sejak awal mereka pacaran. Hari itu, pagi-pagi sekali, terdengar suara gaduh di kamar Friska yang sedang mengemasi barang-barang ke dalam dus.Seluruh tempat penyimpanan ia geledah, mulai dari lemari, kolong ranjang, sampai ke tiap sudut kamar. Pokoknya jangan sampai ada hal yang berkaitan dengan Franz tersisa di kamarnya. Bu Laura yang melihat kegiatan putrinya lantas masuk kamar, lalu menghampiri Friska yang tengah menumpuk barang di dus agar muat.“Kamu yakin mau kembaliin semua ini ke Franz?” Bu Laura duduk di samping Friska.“Friska harus lakuin ini, Mah. Kalau benda-benda ini masih Friska simpan, Friska enggak akan bisa move on dari dia,” balas Friska dengan suara getir.Bu Laura menyayangkan apa yang terjadi pada hubungan Friska dan Franz. Ia tahu bagaimana putrinya itu sangat menyayangi Franz. Pun sebaliknya. Ia rasa Franz juga
Friska menggosok pipinya yang terasa panas berulang-ulang. Sejak ia masuk ke mobil dan duduk menyender pada jok. Perasaannya berdebar-debar karena perkataan Dito tadi masih terngiang dalam kepala. Ia menampar pipi cukup keras, berusaha menyadarkan diri agar tidak terlalu terbawa oleh ucapan Dito.Hari ini, ia mulai masuk kerja setelah membolos beberapa hari. Sudah cukup rasanya ia berlarut dalam kesedihan. Lagi pula, ia juga tidak enak pada bosnya di kantor. Biarlah perkara tentang Franz berjalan seperti sewajarnya. Ia telah bertekad untuk siap menghadapi lelaki itu saat bertemu nanti.Namun, ini merupakan awal yang cukup buruk bagi Friska di pagi harinya. Ia tidak pernah menduga akan mengalami hal yang baru saja terjadi beberapa menit lalu. Dito, teman masa kecilnya, tiba-tiba datang dan menyatakan cinta padanya.Pandangannya menatap jalanan di depan dengan tatapan kosong. Ia lalu berusaha mengikuti lirik dari lagu yang diputar. Mencoba menyibukkan otaknya agar
Friska menggosok pipinya yang terasa panas berulang-ulang. Sejak ia masuk ke mobil dan duduk menyender pada jok. Perasaannya berdebar-debar karena perkataan Dito tadi masih terngiang dalam kepala. Ia menampar pipi cukup keras, berusaha menyadarkan diri agar tidak terlalu terbawa oleh ucapan Dito.Hari ini, ia mulai masuk kerja setelah membolos beberapa hari. Sudah cukup rasanya ia berlarut dalam kesedihan. Lagi pula, ia juga tidak enak pada bosnya di kantor. Biarlah perkara tentang Franz berjalan seperti sewajarnya. Ia telah bertekad untuk siap menghadapi lelaki itu saat bertemu nanti.Namun, ini merupakan awal yang cukup buruk bagi Friska di pagi harinya. Ia tidak pernah menduga akan mengalami hal yang baru saja terjadi beberapa menit lalu. Dito, teman masa kecilnya, tiba-tiba datang dan menyatakan cinta padanya.Pandangannya menatap jalanan di depan dengan tatapan kosong. Ia lalu berusaha mengikuti lirik dari lagu yang diputar. Mencoba menyibukkan otaknya agar
Seperti yang sudah direncanakan, Friska akan mengembalikan semua barang pemberian Franz sejak awal mereka pacaran. Hari itu, pagi-pagi sekali, terdengar suara gaduh di kamar Friska yang sedang mengemasi barang-barang ke dalam dus.Seluruh tempat penyimpanan ia geledah, mulai dari lemari, kolong ranjang, sampai ke tiap sudut kamar. Pokoknya jangan sampai ada hal yang berkaitan dengan Franz tersisa di kamarnya. Bu Laura yang melihat kegiatan putrinya lantas masuk kamar, lalu menghampiri Friska yang tengah menumpuk barang di dus agar muat.“Kamu yakin mau kembaliin semua ini ke Franz?” Bu Laura duduk di samping Friska.“Friska harus lakuin ini, Mah. Kalau benda-benda ini masih Friska simpan, Friska enggak akan bisa move on dari dia,” balas Friska dengan suara getir.Bu Laura menyayangkan apa yang terjadi pada hubungan Friska dan Franz. Ia tahu bagaimana putrinya itu sangat menyayangi Franz. Pun sebaliknya. Ia rasa Franz juga
Angin sore bertiup lembut. Berulang-ulang Friska menghirup udara sejuk setelah beberapa hari ini terkungkung di dalam kamar. Ia tidak menyangka begitu senang bisa menghirup udara segar, seolah-olah suatu hal yang jarang didapatkannya.Dengan memakai kaus casual dengan bawahan celana hitam panjang, Friska berjalan santai bersama Astrid mengelilingi kompleks perumahan. Mereka hendak menuju taman dengan berjalan kaki.“Pak Bos pasti marah, ya? Gue gak masuk kerja enggak bilang-bilang,” ujar Friska sambil meregangkan tangan. “Tapi bodo amatlah, mau dia ngamuk kek, ngamik kek. Gue gak peduli.”“Berterima kasihlah, gue udah bilang lo sakit,” sahut Astrid.“Sakit apaan? Emang alasan itu bisa diterima?”“Ya, gue bilang aja lo sakit hati, itu juga termasuk sakit tahu. Apalagi luka dalam hati itu terasa lebih menyakitkan daripada luka fisik.” Astrid kembali berceloteh sambil menepuk-nepuk dadanya.
Empat hari sudah berlalu sejak saat itu. Friska masih terbelenggu dengan rasa sakitnya. Ia terus mengurung diri di kamar, keluar hanya untuk buang air atau jika ia merasa lapar. Matanya sedikit bengkak lantaran terlalu banyak menangis. Hampir setiap malam terdengar tangisan dari dalam kamar Friska.Ayah dan Ibu sampai khawatir pada anak semata-wayangnya. Awalnya mereka kira kesedihan Friska sudah biasa karena mereka sering mendapati putrinya itu bertengkar dengan Franz. Menyangka semua akan baik-baik saja dalam satu hari. Namun, saat melihat Friska masih bermurung mereka mulai khawatir. Terlebih pada kesehatannya yang selalu berada di kamar tertutup rapat. Gorden jendela pun tidak dibuka. Keadaan di dalam kamarnya sangat pengap.Berulang kali mereka menyuruh Friska agar keluar kamar, kembali menjalani hari seperti biasa. Namun, selalu berakhir penolakan oleh perempuan itu yang masih terkungkung dalam kesedihan.“Gimana ini, Pah? Mamah takut Friska kenapa-k
Friska sama sekali tidak pernah mengira Franz akan datang dengan membawa kabar menyakitkan ini. Pikirannya hanya menebak hal-hal menyenangkan yang akan mereka lalui setelah berbaikan, seperti biasanya.Namun, dengan hadirnya Franz bersama perempuan lain. Friska sadar, sore ini hanyalah awal bagi kepahitan yang akan melandanya. Sambil berusaha menahan emosi, ia berbicara pada Franz senormal mungkin.“Dan kamu kayak enggak peduli sama apa yang terjadi sama kita saat terakhir bertemu. Malah dengan entengnya datang bawa kabar ini.”“Aku benar-benar minta maaf.” Terlihat keseriusan terpancar dari mata Franz.Friska benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ia marah, kesal, dan emosi melihat Franz datang membawa kabar bahwa dirinya telah bertunangan.“Kamu udah lama kenal sama dia?” tanya Friska lagi.“Sebulan yang lalu, saat aku ada tugas kantor ke Bandung,” balas Franz.Sebulan yang lalu? Mu
Alunan lagu yang diputar di kafe saat itu begitu nyaman terdengar di telinga Friska. Sesekali ia ikut melantunkan lirik dari lagu berjudul Terlalu Cinta milik Rossa. Sebuah lagu yang menjadi favoritnya sejak masa sekolah. Perempuan itu duduk di sudut kafe seorang diri, menanti kehadiran kekasihnya. Ia mengaduk-aduk strawberry milkshake miliknya sambil sesekali pandangannya mengarah pada pintu masuk, berharap Franz segera datang. “Aku mau ketemu. Kamu bisa datang ke kafe favorit kita jam empat sore?” Friska senang bukan main saat membaca pesan yang dikirim Franz tadi pagi. Hatinya mengembang penuh kemenangan, karena akhirnya sang kekasih yang pertama kali menghubungi setelah pertengkaran mereka saat terakhir bertemu. Ia sudah menjalin hubungan dengan Franz sejak lama, ketika mereka masih duduk di bangku SMA. Sempat putus nyambung berkali-kali. Namun, kisah cintanya dengan Franz cukup awet hingga sekarang mereka memasuki dunia kerja.