Friska menggosok pipinya yang terasa panas berulang-ulang. Sejak ia masuk ke mobil dan duduk menyender pada jok. Perasaannya berdebar-debar karena perkataan Dito tadi masih terngiang dalam kepala. Ia menampar pipi cukup keras, berusaha menyadarkan diri agar tidak terlalu terbawa oleh ucapan Dito.
Hari ini, ia mulai masuk kerja setelah membolos beberapa hari. Sudah cukup rasanya ia berlarut dalam kesedihan. Lagi pula, ia juga tidak enak pada bosnya di kantor. Biarlah perkara tentang Franz berjalan seperti sewajarnya. Ia telah bertekad untuk siap menghadapi lelaki itu saat bertemu nanti.
Namun, ini merupakan awal yang cukup buruk bagi Friska di pagi harinya. Ia tidak pernah menduga akan mengalami hal yang baru saja terjadi beberapa menit lalu. Dito, teman masa kecilnya, tiba-tiba datang dan menyatakan cinta padanya.
Pandangannya menatap jalanan di depan dengan tatapan kosong. Ia lalu berusaha mengikuti lirik dari lagu yang diputar. Mencoba menyibukkan otaknya agar tidak teringat pada perkataan Dito. Namun, percuma, lagi-lagi Dito mengambil alih pikirannya.
“Lo kenapa, Fris?” Astrid yang melihat gelagat aneh Friska mengomentari. “Jangan bilang lo terkesima sama Dito tadi.”
Friska spontan menoleh. “Sembarangan lo ngomong! Ya, enggaklah. Kenapa juga gue bisa terpukau sama dia?”
Astrid ketawa, ia terus mengemudikan mobilnya menuju tempat tujuan sambil sesekali mengangguk-angguk, mengikuti irama musik yang diputar.
“Tapi menurut gue, lo cocok, deh, sama Dito.” Astrid menyunggingkan senyum. “Kalau dilihat-lihat, Dito ganteng, sih, menurut gue. Beda tipislah sama Franz.”
“Trid, please, deh!” Friska menekuk wajah, sebal mendengar perkataan Astrid.
“Sori. Gue enggak bermaksud.” Astrid memandang lurus. “Cuman, sayang aja kalau lo jadi il-feel sama Dito gara-gara ini. Seenggaknya, coba kasih dia kesempatan.”
Setelah Astrid menampar Dito. Lelaki itu tetap berdiri di halaman rumah, tidak bergeming sedikit pun. Ia terus memandang pintu, berharap Friska segera kembali. Sesekali tangannya mengelus-elus pipi, lantaran tamparan Astrid cukup terasa.
Sebenanya, ia juga tidak ingin menyatakan perasaannya kepada Friska seperti sekarang. Ia mengerti perempuan yang dicintainya itu baru saja terluka. Namun, entah kenapa, setelah membaca diary Friska. Ada sesuatu yang menggebu-gebu muncul dalam hatinya.
Meski harus Dito sesali pada akhirnya. Sekarang mungkin saja Friska memiliki pandangan buruk terhadapnya. Ia mengusap wajah perlahan, lalu mengacak-acak rambutnya kasar.
Sementara itu dari dalam rumah, Friska bersama Astrid mencuri pandang lewat jendela. Mereka terus menyaksikan Dito yang tetap mematung di tempat selama hampir dua puluh menit. Astrid yang duduk di sofa pun sampai menggeleng demi melihat tingkah Dito pagi ini.
Ia memang sudah memiliki dugaan kalau Dito memiliki perasaan terhadap Friska. Namun, ia sama sekali tidak menyangka lelaki itu akan mengungkapkannya seperti sekarang.
“Dito kapan perginya, sih?” Wajah Friska terlihat gelisah. “Kalau terus begini bisa telat masuk kerja kita.”
Astrid mencibir, “Halah! Jangan sok ngomentarin Dito, deh. Lo sendiri masih belum mandi, ‘kan?”
Friska cengengesan. “Tahu aja lo, Trid.”
“Jelas. Baunya masih sama kayak kemarin.” Astrid menutup hidung sambil berlagak menjaga jarak dengan Friska.
“Ah, enggak asyik lo!” Friska memukul bahu Astrid dengan wajah cemberut.
Sudut bibir Friska terangkat, menyunggingkan seulas senyum begitu melihat Dito yang tampak gelisah berdiri tepat di depan pagar rumah. Sekilas lelaki itu saling bertegur sapa dengan orang-orang yang kebetulan lewat.
Ia terus mengamati Dito sampai tidak sadar Pak Mail sudah berada di belakangnya.
“Barangnya mau diantar sekarang, Non?”
Friska terlonjak kaget mendengar suara Pak Mail yang membahana.
“Aduh, Pak Mail ngagetin aja!” Friska mengusap dada. Pak Mail hanya cengengesan. “Iya, Pak, anterin sekarang. Simpan aja di depan pintu rumahnya. Enggak usah temuin orangnya.”
“Enggak sopan dong, Non, kalau gitu.” Pak Mail menggeleng heran, lalu melangkah keluar rumah sambil memutar-mutar kunci mobil di tangannya.
Begitu pintu rumah terbuka, Dito lantas bereaksi karena dipikirnya itu Friska. Namun, ketika dilihatnya yang keluar adalah seorang pria berbadan kekar, wajah Dito kembali layu.
Astrid yang melihat ekspresi Dito dari balik jendela hanya tertawa.
“Fris, lo cepat mandi sana. Kalau gini terus bisa beneran telat,” bujuk Astrid sembari mendorong-dorong badan Friska.
Friska melihat jam di dinding menunjukkan pukul 07:15 WIB. Masih ada sekitar lima puluh menit lagi untuk masuk kantor. Ia bangkit dari duduknya, lalu merentangkan tangan, meregangkan tubuhnya yang terasa kaku.
“Tapi kalau Dito masih ada di sana gimana?”
Astrid memonyongkan bibir. “Yaelah. Lo sama Dito doang sampai malu gitu. Jangan-jangan lo beneran kesemsem sama dia?”
“Jangan sembarangan lo, ya!” Friska menekuk wajah, lalu berlalu meninggalkan Astid yang masih menertawakannya.
Dua puluh menit berselang, Friska sudah selesai mandi dan telah berseragam rapi. Ia melihat pantulan diri di cermin. Mengoleskan lipstik pada bibirnya dengan lembut. Setelahnya ia kembali memandang parasnya yang ia rasa lebih cantik daripada cewek pilihan Franz.
“Gadis cantik ini gak akan bisa lo dapatin lagi, Franz.” Ia bergumam pelan sembari mengembuskan napas panjang.
Setelah dirasa siap, ia segera melangkah keluar sambil membawa tas. Ia menghampiri Astrid yang sedang duduk di sofa, tengah memainkan ponsel.
Mata Astrid bergerak, menatap sahabatnya yang sudah berdiri di hadapannya. Ia lantas berdiri, menepuk-nepuk Friska dari bahu sampai tangan.
“Wah, cantik banget lo, Fris. Kalau gini, sih, Dito bakal makin cinta sama lo.” Astrid kembali menggoda. “Malah, Franz juga bisa nyesel karena ninggalin lo.”
Mendadak senyuman di wajah Friska sirna begitu mendengar Astrid berkata demikian.
“Lo jangan bikin mood gue pagi ini yang udah rusak, jadi hancur, Trid.”
Astrid cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, lalu mengikuti Friska yang tengah membuka pintu rumah.
Bak tersengat aliran listrik, Dito yang sedang duduk menyender pada pagar rumah seketika berdiri begitu bola matanya menangkap sosok Friska di kejauhan. Dengan langkah pasti, ia menghampiri perempuan itu yang berjalan cepat tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya.
Hanya dari melihat sorot matanya pun Dito sudah bisa menebak bahwa Friska tidak ingin menanggapinya. Sejenak ia merasa segan untuk mengajaknya berbicara. Namun, ia tidak ingin Friska semakin menjauhinya bila ia tidak meminta maaf sekarang.
“Fris.” Dito berdiri di hadapan Friska sambil memasang tatapan lekat.
Friska tidak menyahut, terus berjalan melewati Dito. Baru ketika tangan mungilnya ditarik oleh tangan kekar milik Dito, ia mulai bereaksi.
“Udah, deh, Dit. Aku enggak pengen denger kamu ngomong gitu lagi sekarang.” Friska menyibakkan tangan Dito kasar, lalu melangkah. Namun, Dito kembali menahannya.
“Aku enggak bakal ngomongin hal itu lagi. Aku mau minta maaf,” ucap Dito dengan memasang tatapan sayu. “Oke, aku salah karena ngungkapin perasaan aku ke kamu sekarang. Aku pun punya alasan kenapa melakukannya. Tapi, akhirnya aku sadar kalau aku emang egois. Karena itu, maafin aku, Fris.”
Friska masih tidak berkata-kata, hanya bibirnya terlihat bergetar merasakan emosi yang meluap di dalam hati. Ia menghirup udara sejenak, lalu mengembuskannya secara perlahan-lahan berusahan menenangkan diri.
“Aku mohon sama kamu, jangan menjauh dari aku gara-gara ini,” pinta Dito, masih memandang Friska lekat.
Paham dengan situasi Friska sekarang, Astrid segera menengahi pembicaraan mereka. Ia berjalan di antara Friska dan Dito, melepas pegangan lelaki itu.
“Nanti aja, ya, Dit. Sebentar lagi kita masuk kerja,” ucap Astrid sambil tersenyum dengan mata terpejam.
Setelahnya, ia segera menarik tangan Friska dan membawa temannya itu berjalan menjauhi Dito. Sementara Dito tetap berada di sana, memandang Friska yang sedang memasuki mobil, kemudian menghilang dari bola matanya. Ia tersenyum kecut, lalu mengalihkan pandangannya menatap angkasa.
Saat ini, sambil menyender pada jok mobil, Friska masih saja terbayang oleh Dito. Sampai akhirnya ia teralihkan oleh lagu yang diputar Astrid.
Tuhan, maafkan diri ini
Yang tak pernah bisa menjauh
Dari angan tentangnya ...
Seketika Friska terhenyak, lantas mematikan lagu, menatap Astrid berang.
“Bisa enggak, sih, lagunya jangan ini?” Friska mendengkus sebal.
“Kenapa emang?” Astrid menaikkan alis, merasa tidak berdosa. “Ini, kan, lagu favorit lo. Ampir tiap hari gue denger lagu ini dari playlist lo.”
“Favorit, sih, favorit. Tapi, ya, lo mesti tahu timing-lah! Lo mirip sama Dito asli. Jangan-jangan kalian jodoh,” ejek Friska, akhirnya bisa membalas Astrid.
“Sialan lo!” Astrid memukul bahu Friska pelan sambil ikut tertawa.
Tidak terasa, mobil yang dikemudikan Astrid sudah hampir mencapai tujuan. Gedung bertingkat dengan nama Abraham Company sudah terlihat.
Begitu tiba di tempat parkir kantor, Friska membuka pintu mobil hendak turun. Ia menggerak-gerakkan lehernya sejenak, lalu keluar. Baru sedetik pandangannya menyapu area itu, bola matanya menangkap sebuah mobil sedan hitam berhenti tidak jauh darinya.
Seorang lelaki memakai kacamata hitam turun dari mobil. Ia membuka kacamata miliknya sambil menoleh pada perempuan yang juga keluar dari kendaraan itu. Sang perempuan mendekat, memberikan tas pada si lelaki seraya mendaratkan kecupan di pipi. Setelahnya, perempuan itu kembali masuk ke mobil, lalu meninggalkan tempat itu.
Jantung Friska berdegup kencang seketika. Kakinya gemetar hebat seakan-akan tidak dapat menopang berat tubuhnya. Berulang-ulang ia coba menguatkan hati. Ia sudah berlatih agar bisa bersikap normal kala melihat Franz, tetapi ternyata hal itu sulit dilakukan.
Saat itu, Franz membalikkan badan dan sontak sosok Friska terlihat jelas di bola matanya. Lelaki itu terdiam sejenak, menatap mantan kekasihnya lamat-lamat.
Rasanya Friska tidak mampu berdiri di sana lebih lama lagi jika tidak ingin pingsan. Ia segera berjalan meninggalkan tempat itu tanpa berkata terlebih dahulu kepada Astrid. Meski sudah berusaha tegar, rupanya bagian lain dalam hatinya masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa Franz kini telah menjadi milik orang lain.
Alunan lagu yang diputar di kafe saat itu begitu nyaman terdengar di telinga Friska. Sesekali ia ikut melantunkan lirik dari lagu berjudul Terlalu Cinta milik Rossa. Sebuah lagu yang menjadi favoritnya sejak masa sekolah. Perempuan itu duduk di sudut kafe seorang diri, menanti kehadiran kekasihnya. Ia mengaduk-aduk strawberry milkshake miliknya sambil sesekali pandangannya mengarah pada pintu masuk, berharap Franz segera datang. “Aku mau ketemu. Kamu bisa datang ke kafe favorit kita jam empat sore?” Friska senang bukan main saat membaca pesan yang dikirim Franz tadi pagi. Hatinya mengembang penuh kemenangan, karena akhirnya sang kekasih yang pertama kali menghubungi setelah pertengkaran mereka saat terakhir bertemu. Ia sudah menjalin hubungan dengan Franz sejak lama, ketika mereka masih duduk di bangku SMA. Sempat putus nyambung berkali-kali. Namun, kisah cintanya dengan Franz cukup awet hingga sekarang mereka memasuki dunia kerja.
Friska sama sekali tidak pernah mengira Franz akan datang dengan membawa kabar menyakitkan ini. Pikirannya hanya menebak hal-hal menyenangkan yang akan mereka lalui setelah berbaikan, seperti biasanya.Namun, dengan hadirnya Franz bersama perempuan lain. Friska sadar, sore ini hanyalah awal bagi kepahitan yang akan melandanya. Sambil berusaha menahan emosi, ia berbicara pada Franz senormal mungkin.“Dan kamu kayak enggak peduli sama apa yang terjadi sama kita saat terakhir bertemu. Malah dengan entengnya datang bawa kabar ini.”“Aku benar-benar minta maaf.” Terlihat keseriusan terpancar dari mata Franz.Friska benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ia marah, kesal, dan emosi melihat Franz datang membawa kabar bahwa dirinya telah bertunangan.“Kamu udah lama kenal sama dia?” tanya Friska lagi.“Sebulan yang lalu, saat aku ada tugas kantor ke Bandung,” balas Franz.Sebulan yang lalu? Mu
Empat hari sudah berlalu sejak saat itu. Friska masih terbelenggu dengan rasa sakitnya. Ia terus mengurung diri di kamar, keluar hanya untuk buang air atau jika ia merasa lapar. Matanya sedikit bengkak lantaran terlalu banyak menangis. Hampir setiap malam terdengar tangisan dari dalam kamar Friska.Ayah dan Ibu sampai khawatir pada anak semata-wayangnya. Awalnya mereka kira kesedihan Friska sudah biasa karena mereka sering mendapati putrinya itu bertengkar dengan Franz. Menyangka semua akan baik-baik saja dalam satu hari. Namun, saat melihat Friska masih bermurung mereka mulai khawatir. Terlebih pada kesehatannya yang selalu berada di kamar tertutup rapat. Gorden jendela pun tidak dibuka. Keadaan di dalam kamarnya sangat pengap.Berulang kali mereka menyuruh Friska agar keluar kamar, kembali menjalani hari seperti biasa. Namun, selalu berakhir penolakan oleh perempuan itu yang masih terkungkung dalam kesedihan.“Gimana ini, Pah? Mamah takut Friska kenapa-k
Angin sore bertiup lembut. Berulang-ulang Friska menghirup udara sejuk setelah beberapa hari ini terkungkung di dalam kamar. Ia tidak menyangka begitu senang bisa menghirup udara segar, seolah-olah suatu hal yang jarang didapatkannya.Dengan memakai kaus casual dengan bawahan celana hitam panjang, Friska berjalan santai bersama Astrid mengelilingi kompleks perumahan. Mereka hendak menuju taman dengan berjalan kaki.“Pak Bos pasti marah, ya? Gue gak masuk kerja enggak bilang-bilang,” ujar Friska sambil meregangkan tangan. “Tapi bodo amatlah, mau dia ngamuk kek, ngamik kek. Gue gak peduli.”“Berterima kasihlah, gue udah bilang lo sakit,” sahut Astrid.“Sakit apaan? Emang alasan itu bisa diterima?”“Ya, gue bilang aja lo sakit hati, itu juga termasuk sakit tahu. Apalagi luka dalam hati itu terasa lebih menyakitkan daripada luka fisik.” Astrid kembali berceloteh sambil menepuk-nepuk dadanya.
Seperti yang sudah direncanakan, Friska akan mengembalikan semua barang pemberian Franz sejak awal mereka pacaran. Hari itu, pagi-pagi sekali, terdengar suara gaduh di kamar Friska yang sedang mengemasi barang-barang ke dalam dus.Seluruh tempat penyimpanan ia geledah, mulai dari lemari, kolong ranjang, sampai ke tiap sudut kamar. Pokoknya jangan sampai ada hal yang berkaitan dengan Franz tersisa di kamarnya. Bu Laura yang melihat kegiatan putrinya lantas masuk kamar, lalu menghampiri Friska yang tengah menumpuk barang di dus agar muat.“Kamu yakin mau kembaliin semua ini ke Franz?” Bu Laura duduk di samping Friska.“Friska harus lakuin ini, Mah. Kalau benda-benda ini masih Friska simpan, Friska enggak akan bisa move on dari dia,” balas Friska dengan suara getir.Bu Laura menyayangkan apa yang terjadi pada hubungan Friska dan Franz. Ia tahu bagaimana putrinya itu sangat menyayangi Franz. Pun sebaliknya. Ia rasa Franz juga
Friska menggosok pipinya yang terasa panas berulang-ulang. Sejak ia masuk ke mobil dan duduk menyender pada jok. Perasaannya berdebar-debar karena perkataan Dito tadi masih terngiang dalam kepala. Ia menampar pipi cukup keras, berusaha menyadarkan diri agar tidak terlalu terbawa oleh ucapan Dito.Hari ini, ia mulai masuk kerja setelah membolos beberapa hari. Sudah cukup rasanya ia berlarut dalam kesedihan. Lagi pula, ia juga tidak enak pada bosnya di kantor. Biarlah perkara tentang Franz berjalan seperti sewajarnya. Ia telah bertekad untuk siap menghadapi lelaki itu saat bertemu nanti.Namun, ini merupakan awal yang cukup buruk bagi Friska di pagi harinya. Ia tidak pernah menduga akan mengalami hal yang baru saja terjadi beberapa menit lalu. Dito, teman masa kecilnya, tiba-tiba datang dan menyatakan cinta padanya.Pandangannya menatap jalanan di depan dengan tatapan kosong. Ia lalu berusaha mengikuti lirik dari lagu yang diputar. Mencoba menyibukkan otaknya agar
Seperti yang sudah direncanakan, Friska akan mengembalikan semua barang pemberian Franz sejak awal mereka pacaran. Hari itu, pagi-pagi sekali, terdengar suara gaduh di kamar Friska yang sedang mengemasi barang-barang ke dalam dus.Seluruh tempat penyimpanan ia geledah, mulai dari lemari, kolong ranjang, sampai ke tiap sudut kamar. Pokoknya jangan sampai ada hal yang berkaitan dengan Franz tersisa di kamarnya. Bu Laura yang melihat kegiatan putrinya lantas masuk kamar, lalu menghampiri Friska yang tengah menumpuk barang di dus agar muat.“Kamu yakin mau kembaliin semua ini ke Franz?” Bu Laura duduk di samping Friska.“Friska harus lakuin ini, Mah. Kalau benda-benda ini masih Friska simpan, Friska enggak akan bisa move on dari dia,” balas Friska dengan suara getir.Bu Laura menyayangkan apa yang terjadi pada hubungan Friska dan Franz. Ia tahu bagaimana putrinya itu sangat menyayangi Franz. Pun sebaliknya. Ia rasa Franz juga
Angin sore bertiup lembut. Berulang-ulang Friska menghirup udara sejuk setelah beberapa hari ini terkungkung di dalam kamar. Ia tidak menyangka begitu senang bisa menghirup udara segar, seolah-olah suatu hal yang jarang didapatkannya.Dengan memakai kaus casual dengan bawahan celana hitam panjang, Friska berjalan santai bersama Astrid mengelilingi kompleks perumahan. Mereka hendak menuju taman dengan berjalan kaki.“Pak Bos pasti marah, ya? Gue gak masuk kerja enggak bilang-bilang,” ujar Friska sambil meregangkan tangan. “Tapi bodo amatlah, mau dia ngamuk kek, ngamik kek. Gue gak peduli.”“Berterima kasihlah, gue udah bilang lo sakit,” sahut Astrid.“Sakit apaan? Emang alasan itu bisa diterima?”“Ya, gue bilang aja lo sakit hati, itu juga termasuk sakit tahu. Apalagi luka dalam hati itu terasa lebih menyakitkan daripada luka fisik.” Astrid kembali berceloteh sambil menepuk-nepuk dadanya.
Empat hari sudah berlalu sejak saat itu. Friska masih terbelenggu dengan rasa sakitnya. Ia terus mengurung diri di kamar, keluar hanya untuk buang air atau jika ia merasa lapar. Matanya sedikit bengkak lantaran terlalu banyak menangis. Hampir setiap malam terdengar tangisan dari dalam kamar Friska.Ayah dan Ibu sampai khawatir pada anak semata-wayangnya. Awalnya mereka kira kesedihan Friska sudah biasa karena mereka sering mendapati putrinya itu bertengkar dengan Franz. Menyangka semua akan baik-baik saja dalam satu hari. Namun, saat melihat Friska masih bermurung mereka mulai khawatir. Terlebih pada kesehatannya yang selalu berada di kamar tertutup rapat. Gorden jendela pun tidak dibuka. Keadaan di dalam kamarnya sangat pengap.Berulang kali mereka menyuruh Friska agar keluar kamar, kembali menjalani hari seperti biasa. Namun, selalu berakhir penolakan oleh perempuan itu yang masih terkungkung dalam kesedihan.“Gimana ini, Pah? Mamah takut Friska kenapa-k
Friska sama sekali tidak pernah mengira Franz akan datang dengan membawa kabar menyakitkan ini. Pikirannya hanya menebak hal-hal menyenangkan yang akan mereka lalui setelah berbaikan, seperti biasanya.Namun, dengan hadirnya Franz bersama perempuan lain. Friska sadar, sore ini hanyalah awal bagi kepahitan yang akan melandanya. Sambil berusaha menahan emosi, ia berbicara pada Franz senormal mungkin.“Dan kamu kayak enggak peduli sama apa yang terjadi sama kita saat terakhir bertemu. Malah dengan entengnya datang bawa kabar ini.”“Aku benar-benar minta maaf.” Terlihat keseriusan terpancar dari mata Franz.Friska benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ia marah, kesal, dan emosi melihat Franz datang membawa kabar bahwa dirinya telah bertunangan.“Kamu udah lama kenal sama dia?” tanya Friska lagi.“Sebulan yang lalu, saat aku ada tugas kantor ke Bandung,” balas Franz.Sebulan yang lalu? Mu
Alunan lagu yang diputar di kafe saat itu begitu nyaman terdengar di telinga Friska. Sesekali ia ikut melantunkan lirik dari lagu berjudul Terlalu Cinta milik Rossa. Sebuah lagu yang menjadi favoritnya sejak masa sekolah. Perempuan itu duduk di sudut kafe seorang diri, menanti kehadiran kekasihnya. Ia mengaduk-aduk strawberry milkshake miliknya sambil sesekali pandangannya mengarah pada pintu masuk, berharap Franz segera datang. “Aku mau ketemu. Kamu bisa datang ke kafe favorit kita jam empat sore?” Friska senang bukan main saat membaca pesan yang dikirim Franz tadi pagi. Hatinya mengembang penuh kemenangan, karena akhirnya sang kekasih yang pertama kali menghubungi setelah pertengkaran mereka saat terakhir bertemu. Ia sudah menjalin hubungan dengan Franz sejak lama, ketika mereka masih duduk di bangku SMA. Sempat putus nyambung berkali-kali. Namun, kisah cintanya dengan Franz cukup awet hingga sekarang mereka memasuki dunia kerja.