Bendahara. Apa yang kalian pikirkan saat mendengar kata ini? Salah satu jabatan yang cukup terkenal di dalam kelas itu memang paling banyak dihindari oleh kalangan siswa/siswi. Mereka tidak jahat. Tidak kasar. Tidak juga menyiksa. Tapi jika sosok itu sudah berjalan mendekati bangku, maka hawa negative dalam saku seragam tiba-tiba akan berubah menjadi panas.
Masih untung kalau bendahara kelas nya nagih secara baik-baik dan mengerti keadaan. Gimana kalau nagihnya sambil teriak-teriak, maksa pula. Udah gitu sambil melotot. Mana ngancam bakal ngaduin ke Wali kelas lagi. Dijamin 100% Bendahara yang seperti itu yang paling di hindari oleh semua murid.
“Mau bayar minggu kemarin sama minggu sekarang?”
“Iya Vee, biar nggak nunggak. Males gue kalau bayar uang kas tapi udah nunggak banyak.”
Raveena menganggukan kepala nya lalu menulis sebuah catatan di buku tulisnya. “Siap! Jadi udah lunas ya, hehe.”
Gadis itu berjalan pelan dengan mata yang masih fokus menatap nama-nama yang tertera rapih di buku yang sedang ia pegang. Ujung penanya menyentuh dagunya dengan bibir tak diam bergumam. Hingga detik selanjutnya Raveena mendongak kan kepalanya. Berjalan menuju arah bangku tengah barisan ke tiga.
“Wildan? Wawan?” panggil Raveena. Kedua cowok yang sedang asik berceloteh itu menoleh secara serempak.
“Sorry ganggu nih gue, sekarang kan hari Senin. Jadwal nya bayar uang kas.”
“Lah? Perasaan baru minggu kemarin gue bayar. Masa sekarang udah bayar lagi. Heran gue,” ujar Wawan. Wildan menengok dengan sebelah alis terangkat.
“Ya kan, minggu kemarin tuh waktu hari Senin kemarin. Sekarang minggu nya udah beda lagi, Wan,” kata Raveena.
“Lho? Mana mungkin bisa kayak gitu?! Emang nya uang kas yang minggu kemarin nggak bisa apa dibagi dua sama minggu sekarang?” Wawan bertanya.
“Nggak bisa Wan, udah beda lagi hari.”
“Sama lah! Orang sama-sama hari Senin. Apa bedanya?!” Wawan makin nyolot.
“Beda.”
“Sama.”
“Beda!”
“Sama!”
“BEDA WAWAN!” kesabaran Raveena turun level.
“DIBILANG BEDA, YA BEDA! Gimana sih jadi cewek nggak bisa ngalah dikit.”
Raveena mode cengo on.
“Banyak ngomong banget sih lo. Tinggal bayar seribu apa susah nya sih,” kini Wildan yang membuka suara. Cowok itu beralih menatap Raveena yang masih berdiri. “Gue bayar berapa minggu, Vee?” tanya Wildan sambil merogoh saku seragamnya.
Senyuman Raveena mengembang. Setidaknya, Wildan tidak sebolot Wawan. “Seribu aja Wil, soalnya minggu kemarin kan bayar. Jadi nggak nunggak,” kata Raveena setelah mengecek beberapa detik ke arah bukunya.
“Nih, dua ribu. Sekalian sama yang si Wawan gue bayarin.”
“Oke siap, gue catet ya.”
Wawan langsung menembakkan laser tatapan terkejut kearah Wildan. “Ih, kan gue udah bayar Wil. Ngapain di bayar lagi?!” Wawan kekeuh tidak terima.
“Vee? Berarti minggu depan gue nggak bayar ya," ucap Wawan.
“Heh? Loh kok gitu sih?!”
“Kan udah udah dibayar tadi sama Wildan.”
Raveena berdeham sebentar, menarik napasnya kilat. “Gini ya Wan, yang dibayar sama Wildan itu buat minggu sekarang. Kalau minggu depan ya berarti bayar lagi, kan udah beda hari. mana ada bayar uang kas dibagi dua. Ngerti kan Wawan?”
Wawan diam beberapa saat, membuat Raveena berdoa agar jawaban cowok itu tidak memaksanya untuk baku hantam hari ini. “Oh, iya gue ngerti.” Wawan menjawab dengan semangat. “Asal lo mau jadi pacar gue. Hehe.”
Raveena memutar bola matanya malas. Melihat Wawan cengengesan seperti itu membuat dirinya semakin kesal. “Bayarin dulu uang kas 3 angkatan, baru gue mau jadi pacar lo,” jawab Raveena membuat Wildan tertawa sangat keras.
Gadis itu meninggalkan tempat lalu kembali menatap bukunya, disana Wawan kecewa. Poor Wawan.
Menjadi seorang Bendahara bukan lah hal yang mudah bagi Raveena Adhisty. Seorang Bendahara kelas 12 IPA 2 yang memiliki paras yang terbilang cantik di SMA Angkasa ini. Rasanya susah sekali menagih uang kas kepada teman sekelasnya sendiri.
Apalagi kaum Adam, sering sekali Raveena mendegarkan 69 alasan jitu yang menurutnya tak masuk logika. Ditambah lagi dengan godaan-godaan receh dari mereka membuat Raveena semakin malas saja rasanya. Meski begitu, Raveena termasuk jajaran cewek yang ramah dan menyenangkan. Maka tidak heran kalau Raveena banyak diincar oleh para siswa.
Tapi, hanya ada satu mahkluk paling kamvret yang berhasil membuat Raveena menjadi sosok Raveena yang lain. Sikap ramah dan lemah lembutnya akan menghilang seketika jika sampai berbicara dengan cowok yang satu ini. Raveena kadang berubah seperti orang kesetanan minta di ruqyah. Rasanya pengen jadi psikopat aja sekarang juga.
“Rasendriya Adystha…” gumam Raveena.
--o0o--
“ENTAHH APAAAAA YANG MERASUKI MUUUUUUUU….”
“HINGGA KAU TEGA MENGKHIANATI KUUU….. YANG TULUSS MENCINTAIMU…”
“Njir, judul lagu nya apaan woy! Enak bener dah,” ujar cowok yang sedari tadi menatap layar ponselnya. Daffa Pradipta namanya.
“Nggak tahu njir, apaan ya? Gue nemu lagu ini di TikTok,” sahut teman sebelahnya, Romi menggeleng-gelengkan kepalanya.
Menikmati alunan lagu yang ia nyanyikan tadi. Walau suaranya fals tingkat dewa, tapi Romi dengan pede nya nyanyi dengan suara lantang di koridor sekolah.
“Matiin dong, matiin. Gue gedek dengernya,” ucap seorang cowok yang menyumpal sebelah telinganya dengan jari telunjuk kanannya.
“ASTAGFIRULLAH MATIIN BANGKE! SEBEL WOY DENGERNYA.”
Namanya Rasendriya Adystha, pentolan SMA Angkasa dengan tingkat kepopuleran kualitas tinggi. Terlihat tampan disegala arah sudut pandang. Famous, pintar dan ramah—lebih tepatnya caper. Siapapun pasti akan terpesona dengan sosoknya yang berkharisma kuat. Rasen panggilannya, idola para siswi. Tapi…. Nyebelin, eh dikit. Nggak deng banyak.
“Ogah! Lagu enak gini malah di suruh berhentiin. Lo kalau nggak mau denger, copot aja tuh kuping.” Usulan paling sadis ini keluar dari mulut Romi.
Rasen berdecak, kemudian menegakan posisi tubuhnya setelah beberapa menit berdiri seraya menyederkan punggungnya ke arah tembok.
“Alay lo berdua! Gue tuh kayak di terror mati-matian tau sama nih lagu. Nggak di SW, IG, Line bahkan sampe di Twitter juga isinya lagu kayak gini semua! Sekarang malah—eh, hai cantik. Kok sendiri aja.”
Rasen malah gagal fokus pada adik kelas yang baru saja melewatinya.
“PEPET TEROOSSSS!!! PEPET!! NGGAK KENAL JUGA GOMBALIN SEKENANYA!!” Daffa menyindir langsung tanpa beban.
“Heran gue, liat dede emesh lewat aja langsung galfok lo, Sen.”
“Mubazir anjir, tuh adek kelas bening amat. Pusing gue liat nya,” kata Rasen malah menyahut. Kemudian kembali menatap kedua temannya setelah adik kelas tadi pergi tak terjangkau oleh pandangan.
“Oke—sampai mana tadi? Oh! Sampe lagu kan?! Pokoknya gue nggak mau lo berdua nyetel lagi lagu itu, titik.”
“Kenapa?”
“Ya karena gue—ALLAHUAKBAR! Nyebut gue.” Rasen tersentak keget mendapati Raveena berdiri tepat di sisi kirinya. Melihat sebuah pena dan buku di genggamannya membuat Rasen tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan ya, senyuman Raveena itu, senyuman devil paling seram yang pernah Rasen lihat.
“Napa? Kaget banget kek liat setan.”
“Emang setan kali.”
“Apa?!”
“Nggak.” Rasen langsung mengalihkan pembicaraan. “Lo ngapain tiba-tiba disini? Ngagetin aja lo!”
Padahal Rasen sudah tau alasan kedatangan Raveena, tapi cowok itu tetap berlagak idiot.
“Bayar uang kas!” titah Raveena mulai membuka buku catatannya.
“Ogah! Males gue.”
“Sen, gue nggak lagi mau ribut. Jangan cari masalah. Bayar cepetan!” Sebelah tangan Raveena telah terulur, menagih.
“Yang ngajak ribut siapa? Gue cuma nggak mau bayar uang kas, males. Nggak guna,” lanjutnya lagi. Romi dan Daffa saling memberi kode lewat mata, seakan akan berbicara; bentar lagi adu bacot nih bocah dua.
“Ya itu sama aja! Sen, lo nunggak bayar uang kas udah 4 bulan. Gue sering kena tegur sama Wali kelas karena tunggakan lo itu. Disangkanya gue nggak becus jadi Bendahara, tau nggak?”
“Ya itu derita lo, nggak gue pikirin.”
“YA LO PIKIRIN LAH BAMBANG! Orang itu tunggakan lo juga!”
“Lo kan tau sendiri kalau gue paling nggak suka bayar uang kas, bukan suatu kewajiban tapi seakan-akan hal yang harus BANGET dilakuin. Nggak jelas juga duitnya di kemanain,” ucap Rasen makin menantang. “Lebih baik gue kasihin ke orang yang butuh daripada bayar uang kas!”
“Ya udah, sekalian anggap aja infaq. Nggak usah ribet.” Raveena berdeham menahan kesal yang mulai mejalar di dalam dadanya. “Bayar cepetan!”
“Nggak mau.”
“Sen! Lo udah nunggak 4 bulan. Seengaknya bayar dua atau tiga minggu kemarin kek. Cuma seribu ini per minggunya.” Raveena menatap tajam cowok yang katanya tampan itu. Tapi yang ditatap malah balik natap malas.
“Kalau lo nggak mau bayar juga, gue bakal bilang sama wali kelas kalau lo itu ngerokok di—hmmpphh.”
Rasen tanpa pikir panjang langsung membekap mulut Raveena sampai terhuyung beberapa langkah kebelakang. Romi dan Daffa yang kaget lantas ikut berdiri. “Diem! Lo jangan buka aib disini anjir. Kalau ada guru yang denger gimana?!” Rasen panik.
“Hmmphh!”
“Selow bro, kalau mau bunuh orang jangan ditempat umum kek gini lah. Serem gue liatnya,” ujar Romi meringis.
“Lepasin Sen! Tuh cewek asli metong gimana?” Daffa ikut berkomentar.
“Lagian nih cewek mulut nya lemes banget kayak—ARGH!! DIGIGIT ANJIR TANGAN GUE!” pekik Rasen menjauhkan tangannya dengan cepat. Lalu memandang nanar telapak tangannya yang merah dan tapakan. “Tangan gue jadi bermotif masa.”
“Vee, kok jadi suka gigit-gigitan, sih? Kalau mau dibagian yang bawah aja, jangan di tangan.”
“Lo makan apaan sih, Sen? Asin banget, cih.” Raveena berdecih sambil memeletkan lidahnya karena merasakan rasa yang aneh pada telapak tangan Rasen.
“Makan temen,” jawabnya asal. Masih meringis sakit.
Raveena mengigit bagian dalam pipinya. Benar-benar tidak akan pernah nyambung jika terus berbicara dengan cowok kampret macam Rasen. “Jadi lo mau bayar atau nggak, nih?” tanya Raveena kembali pada topik awal.
“Gimana yah—mau tau aja atau mau tau banget?”
“Banget,”
“Banget nya B aja atau banget plus plus banget?” Rasen terus mengulur waktu. Raveena menggeram kesal.
“Banget, banget, banget!!!”
“Banget tingkat kecil atau besar?”
“BANGET!! LO BILANG KAYAK GITU SEKALI LAGI GUE ANCURIN KACA MOBIL LO!” sudah dibilangkan, Rasen ini paling hobby melihat Raveena naik pitam. Mau sampai Mimi Peri kembali ke khayangan dan menemukan pangeran berkuda sekalipun, Rasen tidak akan berhenti.
“Oh silahkan, sayangnya gue masih punya kereta pribadi,” jawab Rasen meluncur begitu saja. Romi dan Daffa terkikik kecil.
Raveena melotot. Selalu saja ada jawaban yang keluar dari mulut Rasen. cowok itu sangat pintar berkata-kata. “Jadi. Lo. Mau. Bayar. Nggak. Bangsat?!” Raveena mulai khilaf.
“Lah, lain kali aja lah Vee.”
“LAIN KALI? LAIN KALI SAMPAI KAPAN? SAMPE UPIN IPIN JADI MAHASISWA DEMOSTRASI?! HAH?” teriak Raveena lantang. Membuat Rasen mundur satu langkah, kaget.
“Lo tau kan kalau 3 sapu di kelas kita itu kecolongan?! Lap pelnya juga patah nggak tau sama siapa. Wali kelas nyuruh gue nagih uang kas buat beli perlengkapan kelas lagi yang baru. Kalau nggak ada kelas kita bakalan kot—WOY!! DENGERIN DONG GUE KALAU LAGI NGOMONG!” Pekik Raveena saat melihat Rasen memalingkan wajahnya ke samping kanan.
“Iya Jubaedah, ini didengerin. Lo kata kuping gue nggak dower apa denger teriakan lo.”
“Ya udah bayar!” Raveena menghentakan kakinya keras. “Si Beni aja yang modelannya begitu, mau bayar. Masa lo nggak. Kere!”
Mendengar itu Romi dan Daffa tergelak seketika. Penuturan Raveena berhasil membuat keduanya tertawa. “Wanjir, lo disamain sama si Beni, Sen. Gila, cocok lah kalian.”
Beni—adalah salah satu siswa SMA Angkasa. Yang menjadi sorotan adalah, Beni tidak bersikap layaknya cowok seperti yang lainnya. Beni memiliki sisi kepribadian yang condong mirip wanita elegan. Sering membawa cermin, memakai kutex, berbicara lemah lembut dan bahkan sering berkumpul dengan kumpulan cewek. Oke, disetiap sekolah pasti pernah memiliki sosok seperti Beni.
Rasen menatap sebal ke arah ketiganya. “Vee. Apa maksudnya lo nyamain gue sama cowok lekong yang suka pake bando sama mascara itu. Gila aja, gue tuh cowok sejati! Gentle man!” Rasen tak terima, terasa direndahkan.
“Lah, emang iya. Masih mending Beni daripada lo. Dasar medit! Pelit! Pensiun aja lo jadi manusia!” Raveena meluapkan emosinya.
“Apa perlu gue buka celana sekarang juga, biar lo percaya betapa jantannya gue?” Sip, Rasen sudah memasang wajah mupengnya. Sedangkan Raveena mendelik sinis.
“Buka aja kalau lo nggak punya malu!” sarkas Raveena. “cepetan bayar! Atau kalau nggak gue tendang anu lo!” ucapan Raveena langsung membuat Rasen menganga. Ntah kenapa, tiba-tiba ia merasa ngilu sendiri didaerah tertentu.
Mengingat kalau Raveena pernah melakukan apa yang ia katakan barusan saat tahun lalu. Hanya masalah kecil bagi Rasen, ia tidak sengaja memegang sekilas bokong Raveena saat berdepetan dilorong sekolah. Serius, Rasen bener-bener nggak sengaja.
“Iya-iya, bawel banget Renternir.”
Rasen dengan gaya merogoh saku seragamnya. Matanya terlempar lekat menatap kedua temannya seperti sedang memberikan naskah untuk hari ini. Romi dan Daffa yang mengertipun langsung mengangguk pelan.
“Nih,” ucap Rasen mengulurkan tangannya yang mengepal.
Raveena lekas mengambil sesuatu yang ada di gengaman tangan Rasen, lalu saat dibuka ternyata hanya secarik kertas. Bukannya berhenti, Raveena malah melanjutkan membuka kertas kecil itu. Padahal dia sudah sadar sepenuhnya kalau dirinya ditipu. Terdapat satu kalimat yang terbaca di sana; Sen, no 1 sampe 5 isinya apaan? Kasih gue kode bazing! – Daffa.
“KABURRRR!!!! RENTERNIR NYA TAKUT NGEJAR GAISS!!!” teriak Rasen lantang sambil berlari menjauh di ikuti Romi dan Daffa dari belakang.
“WOY TOLONG DONG, TEMPAT TERIMA JASA SANTET DIMANA?!?!”
Mrs. Adhisty dan Mr. Adystha. Dari dulu hingga sekarang tidak ada perubahan. Tetap saling mengibarkan bendera pertikaian setinggi langit. Adakah satu alasan kuat yang mampu membuat mereka bersama tanpa pertikaian?
Hanya Tuhan yang tahu.
***
Tbc! ❤
Bruk!Raveena menepuk keras meja kantin dengan wajah tak bersahabat. Setelah mendaratkan bokongnya di salah satu kursi, gadis itu segera menenggelamkan wajahnya di atas tangan yang terlipat. Johan–pacar Raveena hanya tertawa kecil melihat tingkah laku pacarnya. Cowok itu sudah tau apa yang terjadi."Rasen, ya?" tebak Johan tepat sasaran. Raveena hanya menganmgguk pelan. "Yaudah nggak usah dipikirin juga kali, biarin aja. Ntar juga bayar," kata Johan sambil fokus memainkan games di ponselnya."Biarin? Aku tuh udah sering ngebiarin dia. Tapi kayaknya tuh orang nggak ngerti-ngerti," ucap Raveena setelah menegakkan kembali posisinya. "Aku sering kena tegur gara-gara tunggakan si Rasen. enak di dia, nggak enak di aku," adunya."Semua jabatan punya resiko masing-masing Vee, termasuk jadi bendahara. Kalau lo nggak sanggup kenapa dari awal harus nyalonin coba? Baru jadi Bendahara aja udah ngeluh kayak orang stress. Gimana punya jabatan lebih tinggi.
Author Pov"Bi, hari ini jadi ke Singapore?" tanya Raveena di sela-sela sarapannya."Ya lah jadi. Kapan lagi coba liburan ke luar negri gratis?" jawab Maudy—Bibi dari Raveena itu sibuk mengoleskan selai di beberapa lembar roti. "Kamu serius nggak mau ikut? Nggak berubah pikiran?""Nggak Bi. Itukan acara kantor Bibi, mana mau aku gabung main sama orang-orang dewasa. Beda generasi.""Tapi ini gue dikasih tiket gratis lagi buat satu anggota keluarga. Ya, kalau lo nggak mau ikut sih nggak apa-apa. Gue bisa ajak anak Mang Sueb." "Ajak aja, nggak iri kok.""Halah, awas ntar nyesel. Mampos!" cibir Maudy terus-terusan."Buset, nggak akan lah. Ya ampun.""Bisa jadikan ntar lo nelpon gue pas gue udah di sana, terus nangis-nangis pengen di jemput," ujar Maudy melahap rotinya."Ih! Sama ponakan jangan pakek lo-gue. Udah dikasih tau juga!""Kenapa sih? Nggak akan mati juga kalau ngomong pakek lo-gue.
Author PovRaveena menghela napasnya gusar. Mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar kuat. Gadis itu berdiri kembali setelah meletakan keranjang berisi bayi mungil itu di atas kasur miliknya. Tangannya masih terus bergetar hebat. Apalagi saat ia tadi memutuskan membawa masuk sang bayi ke dalam rumah. Jujur, Raveena parno setengah mati.“Gue harus ngapain?! Ini gimana? Ya ampun anak siapa sih ini,” gumamnya sambil terus berfikir keras.“Tega bener dah, mana nyimpen nya didepan rumah gue lagi. Dikira rumah gue bandar baby sitter kali yak.” Raveena bolak balik berjalan pelan sambil mengigiti kuku jari tangannya.“Telpon siapa ya? Hm ... bibi Maudy? Eh jangan! Pasti lagi di pesawat nih,” ucap Raveena bingung setengah mati. “Merin? Oke sip, gue dapet pencerahaan dari yang Maha Kuasa.”Raveena langsung menekan panggilan ke nomor Merin. Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah--“Lailah, nggak aktif. Pasti lagi nonton
Author PovHari ini, di tanggal merah. Raveena telah menyusun semua daftar pekerjaanya. Dari mulai membawa Nayara ke Dokter anak untuk check up medis. Seraya meminta saran merawat bayi yang baik untuk seorang pemula.Hari ini, di tanggal merah. Raveena akan belanja semua kebutuhan Nayara. Membeli perlengkapan penting Nayara yang telah ia susun di secarik kertas putih.Hari ini, di tanggal merah. Raveena akan mencetak semua gambar Nayara yang sempat ia potret menjadi polaroid yang akan ia pasang di dinding kamarnya.Hari ini, Raveena akan melakukan semuanya, bersama Rasen.Raveena berdiri memandangi dirinya dipantulan cermin, kembali mengamati pakaian yang ia pakai hari ini. Setelah semuanya terasa tidak perlu ada yang dikoreksi, gadis itu tersenyum. “Mantul, cocok banget dah gue!” serunya mengedipkan sebelah matanya.“Good morning cantik,” sapa Raveena beralih pada Nayara, duduk di sisi ranjang lalu menggendong bayi k
Author Pov“Gue denger cerita dari anak-anak. Katanya kemarin Pak Didin liat itu di kamar mandi cewek.”“Ngarang kali. Jangan bikin gue parno, elah. Ntar gue ke kamar mandi takut,” ujar Merin panik mendengarkan cerita Lista yang sempat heboh kemarin. Dimana katanya Pak Didin–selaku penjaga sekolah melihat sebuah mahkluk di kamar mandi wanita di sekolahan ini. Merin pada dasarnya memang penakut, jadi lebih takut lagi.“Biasanya sih yang kayak gitu, paling suka sama orang yang penakut. Ya nggak Lis?” Raveena menambahi.“Yoi, mampos lo kalau ke kamar mandi nggak akan kita anter.”“Woy, sejahat itukah kalian sama gue? Oke lah, kalau lo pada nggak mau nganter, gue mau minta anter sama Johan aja lah,” ucap Merin nyeleneh.“Emang bisa?” Raveena menantang.“Bisa lah, jangan salahin gue kalau cowok lo malah belok haluan ke gue, ya Vee.”Selalu saja Johan yang dibuat objek candaan Merin. Tidak tahu apa maksudn
Author Pov“Cepetan buka!”“Lo ... serius, Vee?”“Iya. Ayo nunggu apalagi?”Rasen menggeleng. “Nggak mau, Vee.”“Lo mau gue paksa di sini juga?” tanya Raveena.“Nggak gitu juga. Tapi....” Rasen meneguk air ludahnya susah. “Harus sama gue, ya?”“Iyalah!” seru Raveena lantang. “Katanya mau jadi Papa dari anak kita. Tapi gitu aja nggak mau. Cepetan buka celananya Rasen!”“Nggak pa-pa Vee kalau lo agresif gini. Tipe gue banget soalnya,” ucap Rasen membuat Raveena gemas. Gadis itu menarik tangan Rasen sampai Rasen memejamkan matanya.“Cepetan buka popok Nayara. Ganti sekarang juga!” perintah Raveena.“I—iya.” Rasen menggaruk tekuknya yang tak gatal. Raveena terus memaksa Rasen mengurus popok Nayara yang sudah kotor karena pup. Rasen yang tak berpengalaman malah kebingungan.“Harus gue ajarin?” Raveena mendengus kasar. Ia ikut duduk di sebelah Rasen, menggeser posisi Rasen sehingga Raveen
Author Pov"Itu, Johan di belakang lo...."Empat kata yang di keluarkan Raveena berhasil membuat Rasen tak bergerak layaknya patung. Hanya matanya saja yang berkedip. Untuk keseluruhannya, cowok itu tak jauh seperti maneqin di pasaran.Rasen membalikan badannya secara perlahan. Tekadnya sudah kuat untuk menanggung resiko. Iyalah, kan katanya Rasen cowok sejati. Preetttt.Benar saja, Johan–cowok itu sudah berdiri tegap menghadap Rasen. bahkan jaraknya saja tidak begitu jauh. Rasen yakin kalau ucapannya pasti terdengar."Eh, bro...." Rasen kebingungan memulai. Sedangkan Johan masih berdiri dengan tatapan mematikan.YAELAH APAAN AING SOK AKRAB SEGALA? TAU LAH MALU PEN BUANG MUKA AJA!"Kalau ngomongin orang tuh sama orang langsung. Bukan so-soan ke orang lain, apalagi ke cewek yang lo omongin tadi," ucap Johan begitu cuek dan dingin.Damn! Ucapan Johan tentu tertuju pada Rasen. Rasen yang sedang berdoa a
Author Pov“RASEN IHHHHHH! KENAPA SIH LO DEMEN BANGET CARI MASALAH SAMA GUE?!?!”“LO TUH BISA GAK SIH SEKALI AJA GAK BIKIN GUE KESELLLLLL???”Rasen yang tengah meneguk segelas susu malah hampir terbatuk-batuk. “Gue ngapain dah? Cuman diem,” ujar Rasen.Terhitung sudah hampir seminggu, Raveena dan Rasen selalu menghabiskan waktu bersama. Mengurus dan mengasuh Nayara. Jangan pikir kalau dalam waktu seminggu itu mereka akur. Tolong sekali lagi, jangan pernah memikirkan hal itu. Nyatanya, meski dalam situasi yang menuntut mereka berkerja sama. Raveena dan Rasen tidak pernah dari lepas adu bacot.Raveena mendapat kabar kalau Bibinya—Maudy, akan segera pulang ke Indonesia. Antara besok dan lusa. Itu adalah kabar yang cukup gembira untuknya. Tapi khusus malam ini, Raveena sedang naik pitam.“GUE KAN UDAH BILANG JANGAN HABISIN SUSU FORMULA NAYA!!” Pekik Raveena menatap kesal. Keduanya kini sedang berada di dapur. Raveena kelewat je
Author PovPembagian raport akhir semester kelas tiga, Rasen datang ke sekolah putranya sebagai ganti karena Raveena berhalangan untuk datang. Lelaki penuh wibawa itu melangkah mendekat ke meja guru ketika nama depan putranya yang sudah dipanggil.Rasen tersenyum sopan. Ini pertama kalinya ia datang sebagai wakil, ntah kenapa baru saja beberapa detik menghadap wali kelas Arsean, perasaanya mendadak tak enak. Padahal dari rumah Rasen sangat yakin putranya pasti membanggakan dunia akhirat.Bu Seny—guru perempuan itu tersenyum manis. “Pak Rasen? Silahkan duduk, Papanya Arsean Adhisty.”Kening Rasen mengerut. “A-Adhisty?”“Iya Adhisty.”“Maaf Bu, kayaknya ucapan Ibu typo sekebun. Nama belakang Arsean itu Adystha,” ujar Rasen mencoba mengoreksi, lelaki itu menarik kursi lantas duduk dengan tenang.Bu Seny mengangguk. “Emang benar Pak, tapi Arsean protes nggak mau
“Kata Papa, masalah bisa membuat seseorang dewasa. Maka dari itu, ayo buat masalah sebanyak-banyaknya.” —Arsean Adystha***Author PovRaveena tidak tahu bagaimana cara menjelaskan keadaanya sekarang. Dari kemarin ia sama sekali tidak bisa diam. Rasa gelisah dan takut bercampur menjadi satu hingga membuatnya tak bisa tidur. Raveena stress. Ini menyangkut masalah putra tunggalnya.Perempuan itu mengusap wajahnya dengan kasar, ia menoleh pada Lista dan Merin yang duduk di sampingnya. Raveena lupa jika kejadian ini juga melibatkan putra-putra sahabatnya. Apalagi Lista kemarin sempat pingsan mendengar kabar itu.“Arsen,” gumam Raveena lemas. Kedua tangannya bergetar. “Arsen pulang sayang.”“Vee...” panggilan lembut itu berasal dari suaminya. Raveena menatap sedih ketika Rasen berjongkok tepat di depannya. Lelaki itu memegang erat tangan Raveena. “Tenang ya.”“Te
Author PovDelapan tahun kemudian......“Siang Pak Bos ganteng, hehe!”“Siang Pak ... Blasteran surga!”“Siang Pak R.A!” sapa seorang karyawati yang berada di balik kubikelnya, ia tersenyum jumawa beberapa detik. “Astagfirullah! Ngimpi apa gue punya atasan ganteng yang ngelebihin batas wajar dan kemanusiawian!”“Heh!” seru temannya yang baru saja meletakkan secangkir kopi. “Suami inget di rumah! Umur lo udah tiga puluh lebih bisa-bisanya cengar-cengir liat atasan sendiri!”Yang ditegur hanya mendelik, meskipun yang dikatakan teman kerjanya itu sertus persen benar, namun perempuan dewasa itu tak mampu mengelak pesona sang atasan. “Pak Rasen ... Bukan manusya anjir.”“Hm. Gue ampe mimisan saking gantengnya.”Langkah kaki besarnya berjalan keluar pintu utama gedung pencakar langit dengan lambang bintang bewarna silver it
Dear, Raveena Adhisty.Saya tidak pernah menyesal untuk akhir yang sehancur ini. Setidaknya kita bertiga pernah ada. Setidaknya kita bertiga pernah bahagia bersama.Satu hal yang harus kamu tau, kamu akan selalu menjadi bagian histori hidupku yang pernahku perjuangkan.Rasendriya Adystha.***Author Pov“Kakek minta Rasen ke Melbourne?” tanya Divya.“Iya. Katanya kangen, sekalian ada yang mau dibicarain. Udah lama juga, kan, Rasen nggak ke sana ngejenguk mereka. Nenek lagi sakit, makanya nggak bisa kesini,” jawab Rasen.“Jenguk kakek nenek atau ... Ngistirahatin hati?”“Both,” jawab Rasen pelan. Lelaki itu membaringkan tubuhnya di atas ranjang ketika Divya sibuk keluar masuk walk in closet untuk mengemasi semua pakaian anak tunggalnya. Ia melirik menggunakan ekor mata, lalu kembali meluruskan pandangannya.“Kakek bilang Nayara itu bintang pali
Author PovFlashback 1.5 tahun yang lalu...“Kamu jangan kemana-mana, tetep di rumah. Nanti aku jemput.”“Lo nggak waras? Meski kita baru kenal, tapi gue ayahnya. Gue...ayahnya.”“Gue bakal nikahin lo, Sha.”Ucapan dari seorang lelaki bewajah tampan itu masih terngiang jelas dalam benaknya. Bagaimana tatapan serius itu begitu menghunus. Begitu mengintimidasi, sampai dirinya tak mampu berkutik. Harsha menggeleng, ia malah kembali teringat ucapan Rasen.Sudah dua minggu berlalu, setelah hari dimana Rasen menyuruh Harsha untuk tetap diam di rumah, perempuan itu malah memilih kabur untuk menjauh. Harsha tidak mau sampai Rasen menemukannya, meski lelaki itu telah berjanji akan bertanggung jawab.“Sha?”“Ya?” sahut Harsha menoleh.“Kamu pindah kostan?” tanya Aina—temen satu pekerjaan Harsha di sebuah restaurant besar. “Kok kemarin pas pulang ke
Tragedi kecelakaan masal di taman kota. Sang pelaku putri pengusaha besar?Putri tunggal Abraham Dharka, Liora Mysha dituntut atas kasus pembunuhan.Perusahaan diambang kebangkrutan, putri tunggal Abraham Dharka dipenjara?--o0o—Dunia itu kejam. Manusia sama kejanya. Sesuatu kesalahan yang dilakukan mungkin masih bisa diberi maaf, tapi bagaimana jika kesalahan yang dibuat jauh dari kata fatal? Terlebih lagi karena didasari oleh kesengajaan dan dendam.Awalnya hidupnya baik-baik saja. Hingga perempuan dengan nama penuh kutukan itu hadir. Menggores luka yang kian menganga, meninggalkan rasa sakit yang tak akan pernah hilang. Seseorang yang bahkan telah menunjukan sisi iblisnya lebih dalam.Suara lirihan tangis dari seorang wanita seusia Ibunya terdengar begitu menyayat. Rasen yang baru saja keluar dari pintu persidangan hanya mampu terdiam kala melihat tangan Divya di pegang erat-erat oleh Irani—Ibu Liora Mysha. Matany
Author PovUjian Nasional telah usai dilaksanakan seminggu yang lalu. Kelas dua belas memasuki masa bebas. Masa-masa akhir sekolah setelah melewati puncak yang cukup menguras otak. Setelah berjuang selama tiga tahun, tidak ada lagi yang di tunggu selain hasil yang memuaskan."Lo tuh moto gue niat kagak sih? Nggak ada satupun yang bagus anjir!" gerutu Merin menatap layar ponselnya."Niat lah," ujar Lista ikutan sewot. "Lagian kalau jelek bukan salah gue kali. Mukanya lo aja yang kurang glowing.""Eh! Lo tuh, ya! Bukan masalah muka. Orang muka gue jelas udah cantik. Tapi liat nih, ada yang ngeblur, ngebayang, sama pose gue belum siap udah lo jepret aja," ucap Merin memberi lihat fotonya pada Lista."Lih, bukan salah gue," elak Lista."Gue kalau moto temen suka pakek niat. Giliran temen motoin gue, nggak satupun yang bener. Sebenernya lo punya dendam apasih sama gue?!""Hutang lo belum di bayar," jawab Lista nyeplos.
Author Pov“Dapahh eh! Dapahh!” Lista misuh-misuh sendiri pada pacarnya. Sedaritadi ia ingin meminta bantuan soal tugas remedialnya, namun lelaki bermata teduh itu hanya diam saja. “Dapahh mah, ah, sama pacar sendiri jahat!”“Jahat apa? kamu suka ngadi-ngadi kalau ngomong!” kata Daffa.Lista mengerutkan keningnya. “IHHH! NGADI-NGADI APA?! Aku cuman mau minta dicupangin!”“ASTAGFIRULLAH TAKBIR YA ALLAH!” Sentak Romi yang memasang raut wajah dramatis. “Lis, nyebut Lis! Bapak lo tau, si Daffa kena bogem ampe teler gimana?!”Lista sama sekali tak mengerti, ia menghiraukan ucapan Romi lalu kembali beralih pada Daffa. Gadis itu menarik-narik kemeja putih Daffa dengan satu buku memegang buku tugas. Sebenarnya di sini Lista salah mengartikan kata.“Dapp! Cupangin dong!”“Aku nggak bisa nyupang, bisanya nge-ruqyah. Mau anda?!” tanya Daffa nyol
Author Pov"Si Johan asyu nggak ada akhlak!" gerutu Rasen dengan wajah tertekuk kesal. "Asalamualaikum. Paijo! Gelud moal?!"Pulang sekolah Rasen misuh-misuh sendiri. Mogok ngomong sama temen-temennya. Terutama pada Johan, teman bangsat yang tidak ada adab sama sekali. Berani-beraninya membuat nyawa Rasen hampir melayang karena ulah jahil yang tidak manusiawi."Sen, kayak emak-emak banyak tunggakan lo malah ngambekan," kata Johan diikuti Romi dan Daffa dari belakang."Gak usah deket-deket, gue lagi marah sama lo." Rasen melengos menjauh, lelaki itu berbicara sambil membawa anak kucing yang ntah darimana datangnya. "Pergi lo! Pergi!"Johan menarik-narik tangan Rasen dramatis. "Aku bisa jelasin semuanya!""Bulu kaki gue sampe merinding dengernya," ujar Romi bergedik ngeri sendiri."Lo semua itu kejam! Sepakat, kan, lo pada nyimpen SEBLAK di tas gue? Lo tau gue nyaris pingsan liatnya! Kalau Mama Divya sedih tau nyawa gu