Author Pov
Raveena menghela napasnya gusar. Mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar kuat. Gadis itu berdiri kembali setelah meletakan keranjang berisi bayi mungil itu di atas kasur miliknya. Tangannya masih terus bergetar hebat. Apalagi saat ia tadi memutuskan membawa masuk sang bayi ke dalam rumah. Jujur, Raveena parno setengah mati.
“Gue harus ngapain?! Ini gimana? Ya ampun anak siapa sih ini,” gumamnya sambil terus berfikir keras.
“Tega bener dah, mana nyimpen nya didepan rumah gue lagi. Dikira rumah gue bandar baby sitter kali yak.” Raveena bolak balik berjalan pelan sambil mengigiti kuku jari tangannya.
“Telpon siapa ya? Hm ... bibi Maudy? Eh jangan! Pasti lagi di pesawat nih,” ucap Raveena bingung setengah mati. “Merin? Oke sip, gue dapet pencerahaan dari yang Maha Kuasa.”
Raveena langsung menekan panggilan ke nomor Merin. Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah--
“Lailah, nggak aktif. Pasti lagi nonton drakor nih sama si Lista,” ujar Raveena greget sendiri. Sudah tau kebiasaan Merin dan Lista. Jika nomor secara mendadak tidak aktif, itu tandanya mereka sedang menjalankan rutinitas.
“Kenapa harus ada drakor sih?!” Raveena malah menyalahkan.
“Oeekk! Oeeekk!” Suara tangis bayi kecil itu kembali terdengar. Memenuhi setiap sudut kamar Raveena.
“Eh, jangan nangis.” Raveena menghampiri dengan kakinya sudah kelewat lemas. Dengan hati-hati Raveena menggendong bayi kecil itu ke dalam pelukannya.
“Sshtt, udah sayang udah. Jangan nangis, kalau nangis ntar hujan!” ujarnya mengajak berkomunikasi bayi cantik itu. Walau ngelantur. Raveena sempat melihat jenis kelamin bayi itu saat di luar tadi yang ternyata adalah perempuan.
“Dingin, ya? Udah sayang jangan nangis, dipeluk dulu sini.” Suaranya melembut lalu ikut duduk di bibir ranjang miliknya. Tangisan bayi itu sedikit mereda, membuat Raveena merasa lega.
“Oke, oke. Vee, tenang, jangan panik. Jangan panik. Please dong jangan gemetaran kayak gini elah,” gerutunya. “Ini bayi cantik. Bukan bayi setan, nggak usah takut.”
Raveena kembali membuka ponselnya. Tangannya bergulir mencari kontak Johan, tapi pergerakan itu terhenti seketika. Mengingat bagaimana sikap Johan yang sangat cuek dan lebih mementingkan dunianya sendiri. Raveena mengurungkan niatnya, jika pada pacarnya saja cowok itu sangat tidak peduli apalagi pada bayi ini?
Di waktu yang bersamaan fikiran Raveena jatuh pada seseorang. Awalnya ragu, tapi akhirnya Raveena memutuskan untuk menelponnya setelah memantapkan hatinya.
“Hallo, Vee?” tanya seseorang diseberang sana setelah panggilan terhubung.
“Hallo, Sen? Lo—lo dimana? Lagi dimana sekarang? Bisa ke sini nggak? Gue butuh bantuan please,” ucap Raveena masih dalam keadaan panik. Ya, Raveena menelpon Rasen. Tidak ada pilihan lain.
“Kenapa? Kangen ya? Jangan ah, lo udah punya cowok. Nggak baik kangen sama cowok cerdas—”
“Nggak usah banyak ngomong, bisa? Gue serius! Cepetan kesini bantuin gue!”
“Bantuin apaan? Merangkai masa depan kita?”
“Gue punya bayi—”
“APA?! PUNYA BAYI?? KAPAN BUNTING NYA LO?!” pekik Rasen kaget. Raveena langsung menjauhkan ponsel dari telinganya.
“Lah, nggak kayak gitu ma—maksud gu ... itu ...”
“Apaan? Lo kapan ngelahirin sih? OHH—JANGAN-JANGAN LO DIHAMILIN SETAN YA?!
“GUE NEMU BAYI BANGSUL! BUKAN DIHAMILIN SETAN!” teriak Raveena spontan saking emosinya.
“What the?”
“Oekkk… oeekkk....” Raveena menggigit bawah bibirnya sendiri. Sadar akan kesalahannya. Bayi itu kembali menangis pasti karena kaget akan teriakan yang ia lontarkan pada Rasen tadi. Salah si Rasen sih, idiot ditanam mulu.
“Tuhkan, nangis. Gara-gara lo sih!”
“Eh, eh, eh. Iya anjir suara orok itu....”
“Pokoknya gue tunggu lo di rumah. Lo harus ke sini, ntar gue ceritain semuanya. Udah dulu ya.”
Sebelum mendengar jawaban Rasen, Raveena langsung mematikan sambungannya. Melempar ponselnya ke sembarang arah. Gadis itu bangkit berdiri, membenarkan posisi bayi yang sedang ia gendong itu. Sedikit mengayun-ngayun gendongannya agar bisa kembali tenang. Menatap tulus wajah polos bayi yang sedang memejamkan matanya itu.
“Enaknya orang yang udah ngelantarin kamu kayak gini, diapain ya? Rekomended yang sadis,” ujarnya tersenyum miring.
---o0o---
Tanpa menekan bel, tanpa mengucapkan salam dan tanpa malu. Rasen langsung memasuki rumah Raveena dan bergegas berjalan kearah kamar gadis itu. Rasen masih menggunakan kemeja kantornya, karena saat Raveena menelepon tadi Rasen baru selesai meeting. Cowok itu mendapati Raveena yang duduk di sisi ranjang sambil mengamati bayi kecil yang tertidur di atas kasur.
“VEE, ITU BAYI SIAPA? NEMU DI—”
“Sstt! Diem!” Raveena melotot membuat Rasen bungkam. “Jangan teriak-teriak, baby-nya baru aja tidur.”
“Ups, sorry. Hehehe.” Rasen cengegesan.
“Baru pulang dari kantor?”
“Hooh, gila capek banget gue. Lari-lari dari teras rumah lo sampe kesini,” ujar Rasen. Padahal rumah Raveena tidak bertingkat, tidak juga terlalu besar. Rasen lebay-nya kambuh.
“Wish, ucul banget nih bayi," ujar Rasen seraya melemparkan suit hitam-nya tepat pada wajah Raveena, lalu nyelonong masuk begitu saja menghampiri objek yang ia tatap sedari tadi.
“Vee, ganteng banget nih anak sama kek gue.” Rasen mengamati setiap inci wajah bayi itu.
“Bayi nya cewek, Sulaiman. bukan cowok.” Raveena ikut menghampiri dengan satu tangan memegang sas.
“Oh, ya? Coba liat dong!”
“Heh! Jangan dipegang-pegang anak gue!" larang Raveena pada Rasen
"Kenapa, sih? Lagian nggak akan kena virus kalau gue pegang juga," sungut Rasen.
"Lo belum cuci tangan! Kotor tau!"
"Gue udah cuci tangan, kok, di mobil."
"Cuci tangan di mobil gimana? Nggak ada air juga," ujar Raveena.
"Ada! Di mobil gue tuh ada pancuran. Malahan di bagasinya ada air terjun. Makanya main dong ke mobil gue, diem-diem bae," ungkap Rasen membuat Raveena mendengkus.
Rasen diam sejenak, kembali mengamati Bayi itu. “Lo nemu bayi ini dimana? Ceritain dong unsur kronologisnya, sehingga gue bisa mengamati dan mencerna baik-baik apa yang telah terjadi pada nasib lo hari ini. lalu—”
“Mau ngedengerin atau ngebacot?” sela Raveena.
“Dengerin dong. Silahkan berbicara Natasha Wilona!”
Raveena menarik napasnya secara perlahan. “Jadi gue nemu ni bayi di teras rumah gue. Deket pot bunga. Awalnya gue ngedenger suara nangis bayi, gue kira dari rumah tetangga. Eh pas gue mau buka pintu, ternyata bayinya malah ada di depan gue. Gue saking parno dan kaget nya. Langsung aja bawa kedalam rumah, tangan gue udah gemeter abis. Takut gue.”
“Dan lo memutuskan untuk nelpon gue? Waw! Sebegitu pentingnya musuh lo ini sampe lo minta gue yang datang ke sini?” Rasen tersenyum jahil.
“Nggak usah kepedean. Tadinya gue mau nelpon Lista sama Merin, tapi no nya nggak aktif. Gue ngehubungin lo karena lo orang terakhir dalam list pikiran gue.”
“Yah, Babang Rasen dibuat pelarian semata,” balasnya pura-pura so sedih. “Terus-terus, rencana lo selanjutnya gimana, Vee?”
Raveena terdiam cukup lama. Arah pandangannya kosong, mungkin gadis itu juga bingung apa yang harus ia lakukan kedepannya pada bayi cantik itu. “Gue—hm—gue—ck! Menurut lo gue harus gimana?” tanya balik Raveena kesusahan mengambil kosa kata.
“Kasihin aja ke pihak berwajib,”
“Ish, jangan dulu. Kalau ni bayi tinggal sementara di rumah gue, gimana Sen?” Tanya Raveena dan Rasen menanggapi dengan kedua alis terangkat. “Masih kecil soalnya. Nggak tega gue.”
“Terus kalau Bibi Maudy tau, gimana? Dia nggak akan marah?”
Raveena dengan cepat menggeleng. “Nggak akan marah. Bi Maudy itu kan suka banget sama bayi. Lo tau sendiri kan kalau Bibi gue itu nggak bisa punya keturunan. Gue sih yakin kalau Bi Maudy bakal setuju sama keinginan gue,” kata Raveena mantap. “Kedepannya gue bakal mikiran lagi bareng-bareng sama Bibi gue gimana baiknya.”
Rasen mengangguk mengerti. “Yaudah sih, terserah lo aja.”
“Sen?”
“Euy?” Rasen memegang lembut tangan bayi kecil itu.
“Selama Bi Maudy belum pulang dari Singapore, hm—lo ma-maukan bantuin gue ngurus bayi ini, Sen?” ucap Raveena lirih.
Masalahnya dia tidak enak bercampur malu meminta bantuan terhadap Rasen. Gadis itu memejamkan matanya rapat, mencoba menajamkan indra pendengaranya. Siap mendengarkan jawaban yang akan keluar. Tapi, sudah beberapa detik berlalu Raveena tidak mendengar kalimat apapun. Lalu Raveena membuka matanya dan menatap Rasen yang ikut menatapnya dengan pandangan aneh.
“Sen, lo denger nggak sih gue bilang apa tadi?”
Rasen menengok kearah belakang, lalu kembali menoleh kedepan. “Lo ngomong sama siapa? Gue?” tanyanya sambil menujuk dirinya sendiri.
“Nggak! Gue lagi ngomong sama hantu desa penari! Ya jelas sama lo lah, Rasen!” Raveena menggeram kesal, si Rasen tulul tingkat kuadrat itu cuma nyengir.
“Lo serius minta bantuan sama gue? Nggak salah orang?” tanya Rasen bingung.
“Nggak,”
“Otak lo bener-bener ada dikepala lo kan? Nggak ketinggalan di kantin sekolah kan?” tanya Rasen lagi.
“Lo inget kan kalau gue Rasendriya, yang lo sering ajak adu bacot? Yang lo buru tiap hari Senin karena nggak pernah bayar uang kas?” Rasen semakin mendesak.
“Inget, Ya Allah. Jadi gimana? Mau nggak bantuin gue?” Raveena jengah.
“Owwwhhh!! Tentu Kakanda mau menerima ajakan Adinda untuk mengurus buah hati kita ini yang masih ucul-ucul menak jinggo,” ujarnya sumringah.
--o0o—
“Vee?”
“Hm?”
“Lo nggak mau ngasih nama buat anak kita?” tanya Rasen sibuk makan.
Raveena memang sempat memesan makanan secara online tadi. Niatnya untuk berdua, tapi Rasen yang menghabiskan semuanya. Raveena terlalu sibuk memainkan ponselnya.
“Anak kita ndasmu!” Jawabnya.
“Yaudah kalau lo nggak mau ngasih nama, biar gue aja,” ujar Rasen. “Gue punya daftar sama yang bagus-bagus.”
“Apaan?” Tanya Raveena penasaran.
“Hm—Neneng, Eti, Eros, Ijeum, Ummi Kulsum dan ... banyak lagi,” jawabnya mantap. Begitu indah.
“Lo bisa pake nama itu buat anak lo nanti, gue udah punya nama yang cocok buat dia,” kata Raveena tersenyum manis. “Nayara, Gimana?” ucap Raveena sambil memperlihatkan ponselnya menghadap Rasen.
“Artinya kedamaian,” lanjut Raveena lagi. Ternyata, sedari tadi Raveena membuka situs internet untuk mencari kumpulan nama yang bagus untuk seorang bayi.
“Kenapa harus Nayara?” tanya Rasen sambil mengunyah. “Dan lo bilang apa tadi? Artinya kedamaian? Kenapa nggak sekalian aja artinya pertikaian, kan bagus tuh kalau nanti tuh anak gedenya berantem mulu.”
Raveena memutar bola matanya malas, menarik kembali ponselnya dari hadapan Rasen. “Karena gue nggak mau ni anak gedenya troublemaker kayak lo!”
“Ey galak. Iya-iya deh, terserah Mama muda aja,” goda Rasen.
“Mama muda? What did you say?”
“Kenapa? Lo jadi Mamanya, gue jadi Papanya. Gimana?” tawar Rasen membuat Raveena mengangkat satu alisnya.
“Nggak sudi! Kalau pun iya, nih anak nggak akan mau punya Bapak angkat idiot kayak lo!” cibir Raveena sambil mencoba menahan tawa. Sedangkan Rasen hanya tersenyum kecil.
"Kalau idiot nggak akan juara umum sama ikut olimpiade tingkat kabupaten kali," gumam Rasen.
“Eh, Sen. Kita belum beli susu formula. Kasian pasti Baby Nay laper,” ucap Raveena. Baby Nay? Oke sip, tandanya nama itu sudah di tetapkan dan tidak bisa diganggu gugat.
“Kenapa harus beli? Lo ... kan, punya dua.” Rasen mengangkat dagunya ke arah dada Raveena.
Saat itu juga, Rasen mendapatkan hadiah tempelengan cukup keras.
“Nggak usah ambigu!” tegur Raveena kesal.
“KAN GUE BENER, VEE! Elah!”
Raveena mengarahkan padangannya melihat Nayara yang masih teridur pulas, “Sen, patungan yuk. Beli susu formula.” Ajaknya lagi, mengingat sedari tadi Nayara belum diberikan asupan apapun. Jahat emang, malah si Rasen yang banyak makan.
“Hm.”
“Sama beli popoknya ya, Sen.”
“Sip.”
“Sama perlengkapan yang lain juga, nggak pa-pa deh gue patungan gede juga. Ya Sen?”
“Iya Mama, banyak ngomong banget,” ujar Rasen mengambil segelas air putih didekatnya, lalu meneguk nya sampai habis setengah gelas. “Pesenin online aja susu sama perlengkapan buat hari ini, nggak usah patungan juga. Gue yang bakal bayar.”
“Serius Sen?” tanya Raveena.
“Serius Mahmud, kan gue kepala keluarganya. EAAAA!” seru Rasen heboh sendiri.
Tanpa pikir panjang Raveena lekas membuka salah satu media belanja online. Dan memesan beberapa kebutuhan Nayara hari ini.
Rasen termangu beberapa detik. Tidak menyangka sejujurnya akan mendapati hal seperti ini bersama Raveena, kllalu pikirannya kembali ke masa lalu. Rasen ingat prinsip yang diterapkan keluarga nya. Juga apa yang pernah Papanya katakan dulu; Saling membantu, berbagi dan mengerti. Roda hidup itu berputar. Kekayaan bukan segalanya.
“Vee? Besok tanggal merah.”
“Tau, kenapa emangnya?”
“Kita belanja kebutuhan Nayara ke Mall.”
Raveena cengo mendengar penuturan Rasen. Mall? Uangnya pasti tidak akan cukup belanja barang-barang di tempat mewah seperti itu. Kalau ada toko biasa, kenapa harus di Mall.
“Mall? Sen tapi gue—”
“Nggak usah mikirin uang. Gue yang tanggung semuanya. Lo tinggal belanja aja. Masalahnya kalau gue sendiri yang pergi, gue nggak terlalu ngerti masalah beginian,” ujar Rasen.
Oh, harusnya Raveena ingat siapa Rasen. sekali lagi, Rasen itu seorang pengusaha dan pewaris tunggal keluarga kaya. Bukan hanya seorang pelajar. Hidupnya hanya tinggal berdua dengan sang Ibu. Raveena menjadi tidak enak, takutnya Rasen salah paham dan menganggap kalau Raveena memanfaatkan nya.
“Sen, sorry gue nggak ada niatan manfaatin lo atau apa."
“Selow aee Munaroh, gue yang niat kok. Kan udah gue bilang, gue mau bantuin ngurusin Nayara. Biaya keperluan Nayara gue tanggung.”
Baiklah, Raveena salah menilai seorang Rasen selama ini. Cowok itu mungkin selalu menyebalkan tingkat Dewa-Dewi. Tapi selain itu, Rasen juga orang yang peduli.
“Makasih Sen,”
“Apa sih yang nggak buat Mama,” goda Rasen seraya melahap camilan didalam toples.
“Najis lo!” keduanya tertawa renyah.
"Yaudah cepetan Vee, susuin Nayara gih."
"Kan belum beli,"
"Nggak beli pun lo punya."
"HEH NGOMONG LO TUH YA!"
Ntah kapan terakhir kali, Rasen tertawa bersama dengan Raveena seperti ini. Rasanya benar-benar bahagia. Menghilangkan sejenak ingatan bahwa keduanya adalah dua insan yang selalu terlibat pertikaian setiap waktu. Jauh berbeda dengan keadaan kemarin.
Johan Afandi: Vee, besok nggak jadi jalan ya. Lo beli novel sendiri aja. Gue mau main sama temen temen.
****
Author PovHari ini, di tanggal merah. Raveena telah menyusun semua daftar pekerjaanya. Dari mulai membawa Nayara ke Dokter anak untuk check up medis. Seraya meminta saran merawat bayi yang baik untuk seorang pemula.Hari ini, di tanggal merah. Raveena akan belanja semua kebutuhan Nayara. Membeli perlengkapan penting Nayara yang telah ia susun di secarik kertas putih.Hari ini, di tanggal merah. Raveena akan mencetak semua gambar Nayara yang sempat ia potret menjadi polaroid yang akan ia pasang di dinding kamarnya.Hari ini, Raveena akan melakukan semuanya, bersama Rasen.Raveena berdiri memandangi dirinya dipantulan cermin, kembali mengamati pakaian yang ia pakai hari ini. Setelah semuanya terasa tidak perlu ada yang dikoreksi, gadis itu tersenyum. “Mantul, cocok banget dah gue!” serunya mengedipkan sebelah matanya.“Good morning cantik,” sapa Raveena beralih pada Nayara, duduk di sisi ranjang lalu menggendong bayi k
Author Pov“Gue denger cerita dari anak-anak. Katanya kemarin Pak Didin liat itu di kamar mandi cewek.”“Ngarang kali. Jangan bikin gue parno, elah. Ntar gue ke kamar mandi takut,” ujar Merin panik mendengarkan cerita Lista yang sempat heboh kemarin. Dimana katanya Pak Didin–selaku penjaga sekolah melihat sebuah mahkluk di kamar mandi wanita di sekolahan ini. Merin pada dasarnya memang penakut, jadi lebih takut lagi.“Biasanya sih yang kayak gitu, paling suka sama orang yang penakut. Ya nggak Lis?” Raveena menambahi.“Yoi, mampos lo kalau ke kamar mandi nggak akan kita anter.”“Woy, sejahat itukah kalian sama gue? Oke lah, kalau lo pada nggak mau nganter, gue mau minta anter sama Johan aja lah,” ucap Merin nyeleneh.“Emang bisa?” Raveena menantang.“Bisa lah, jangan salahin gue kalau cowok lo malah belok haluan ke gue, ya Vee.”Selalu saja Johan yang dibuat objek candaan Merin. Tidak tahu apa maksudn
Author Pov“Cepetan buka!”“Lo ... serius, Vee?”“Iya. Ayo nunggu apalagi?”Rasen menggeleng. “Nggak mau, Vee.”“Lo mau gue paksa di sini juga?” tanya Raveena.“Nggak gitu juga. Tapi....” Rasen meneguk air ludahnya susah. “Harus sama gue, ya?”“Iyalah!” seru Raveena lantang. “Katanya mau jadi Papa dari anak kita. Tapi gitu aja nggak mau. Cepetan buka celananya Rasen!”“Nggak pa-pa Vee kalau lo agresif gini. Tipe gue banget soalnya,” ucap Rasen membuat Raveena gemas. Gadis itu menarik tangan Rasen sampai Rasen memejamkan matanya.“Cepetan buka popok Nayara. Ganti sekarang juga!” perintah Raveena.“I—iya.” Rasen menggaruk tekuknya yang tak gatal. Raveena terus memaksa Rasen mengurus popok Nayara yang sudah kotor karena pup. Rasen yang tak berpengalaman malah kebingungan.“Harus gue ajarin?” Raveena mendengus kasar. Ia ikut duduk di sebelah Rasen, menggeser posisi Rasen sehingga Raveen
Author Pov"Itu, Johan di belakang lo...."Empat kata yang di keluarkan Raveena berhasil membuat Rasen tak bergerak layaknya patung. Hanya matanya saja yang berkedip. Untuk keseluruhannya, cowok itu tak jauh seperti maneqin di pasaran.Rasen membalikan badannya secara perlahan. Tekadnya sudah kuat untuk menanggung resiko. Iyalah, kan katanya Rasen cowok sejati. Preetttt.Benar saja, Johan–cowok itu sudah berdiri tegap menghadap Rasen. bahkan jaraknya saja tidak begitu jauh. Rasen yakin kalau ucapannya pasti terdengar."Eh, bro...." Rasen kebingungan memulai. Sedangkan Johan masih berdiri dengan tatapan mematikan.YAELAH APAAN AING SOK AKRAB SEGALA? TAU LAH MALU PEN BUANG MUKA AJA!"Kalau ngomongin orang tuh sama orang langsung. Bukan so-soan ke orang lain, apalagi ke cewek yang lo omongin tadi," ucap Johan begitu cuek dan dingin.Damn! Ucapan Johan tentu tertuju pada Rasen. Rasen yang sedang berdoa a
Author Pov“RASEN IHHHHHH! KENAPA SIH LO DEMEN BANGET CARI MASALAH SAMA GUE?!?!”“LO TUH BISA GAK SIH SEKALI AJA GAK BIKIN GUE KESELLLLLL???”Rasen yang tengah meneguk segelas susu malah hampir terbatuk-batuk. “Gue ngapain dah? Cuman diem,” ujar Rasen.Terhitung sudah hampir seminggu, Raveena dan Rasen selalu menghabiskan waktu bersama. Mengurus dan mengasuh Nayara. Jangan pikir kalau dalam waktu seminggu itu mereka akur. Tolong sekali lagi, jangan pernah memikirkan hal itu. Nyatanya, meski dalam situasi yang menuntut mereka berkerja sama. Raveena dan Rasen tidak pernah dari lepas adu bacot.Raveena mendapat kabar kalau Bibinya—Maudy, akan segera pulang ke Indonesia. Antara besok dan lusa. Itu adalah kabar yang cukup gembira untuknya. Tapi khusus malam ini, Raveena sedang naik pitam.“GUE KAN UDAH BILANG JANGAN HABISIN SUSU FORMULA NAYA!!” Pekik Raveena menatap kesal. Keduanya kini sedang berada di dapur. Raveena kelewat je
Author PovOlahraga. Adalah mata pelajaran yang paling ditunggu-tunggu oleh sebagian siswa/sisiwi. Tapi untuk para kaum mager yang hobinya dirumah adalah rebahan, mata pelajaran ini sangat paling dihindari dengan asalan; malas, capek, panas, dan sebagainya.Hari ini, para murid kelas 12 IPA 2 tengah berkumpul di lapang. Di bawah teriknya sinar matahari. Mereka berbaris rapi lengkap menggunakan seragam olahraga serempak. Di barisan paling depan putri, telah di pimpin oleh Raveena. Raveena mengedarkan pandangannya. Mengamati secara inci dan detail perbarisan di belakang juga di sampingnya. Ternyata benar, ada yang kurang. Rasen dan kedua sahabatnya itu hilang ntah kemana. Bagai terlelan bumi.“Bentar, Wil, jangan dimulai dulu pemanasan nya,” ucap Raveena kepada Wildan selaku pimpinan barisan putra.“Kenapa?”“Nyari Rasen sama dua kecebongnya dulu,” kata Raveena lekas pergi menjauh meninggalkan barisan. Lista dan Merin saling pandang satu
Pagi-pagi, Raveena belum sepenuhnya sadar dari bangun tidurnya mengernyit heran menatap Rasen yang sudah berdiri sambil memegang keresek yang ia bawa. Tidak ada angin dan hujan, tiba-tiba saja Rasen jinak. Cowok itu masih anteung dengan wajah watados meski Raveena menatapnya penuh pertanyaan."Terus, di sini ngapain?" tanya Raveena heran. Gadis itu masih terbaring lemas di atas kasur."Nganterin sarapan buat lo, biar lo bisa makan obatnya langsung." Rasen mengeluarkan bubur dan roti di dalam keresek yang berbeda."Lo ke sini cuma nganterin gue sarapan? Nggak perlu, gue masih ada nasi, elah," ucap Raveena menyipitkan matanya menahan pusing."Gue juga pernah ngerasain sakit, Vee. Kalau lagi sakit makan nasi tuh rasanya berubah nggak enak, makanya gue bawain ini." Rasen menyahut santai. "Eh, ntar kalau gue berangkat, anak kita jangan lupa dikasih susu ya.""Iya bawel."Rasen meletakkan bubur dan roti itu secara bersamaan diatas naka
Author Pov“Nggak gue nggak selingkuh, Tha, kenapa dia nuduh gue kayak gitu?”“Gue bukan cewek murahan..Tha. Bukan.”“Kenapa harus ngebentak Veena, kalau Veena salah omongin baik-baik....”“Veena kangen Papa....”Suara parau diiringi isakan kecil itu masih terdengar samar dalam keheningannya. Juga bagaimana pandangan sendu gadis itu ketika menatapnya penuh cerita. Berbagi luka yang tak seharusnya dilakukan. Bahu yang terguncang hebat dengan tangan gemetar, ia masih ingat itu dengan jelas.Rasen mengerang, men-dribble bola basket itu semakin tak karuan. Di bawah langit yang tak menunjukkan wajah cerahnya, Rasen berusaha meredam amarah sedalam-dalamnya. Peluh yang mengucur di pelipis kirinya begitu deras. Rasa dilema tak henti menggerayang di hatinya.Rasen melakukan 1001 cara agar Raveena jauh dari kata rapuh. Dan si brengsek itu dengan sekali ucapan sampahnya malah mengacaukan semuanya.Prok ... prok... prok....
Author PovPembagian raport akhir semester kelas tiga, Rasen datang ke sekolah putranya sebagai ganti karena Raveena berhalangan untuk datang. Lelaki penuh wibawa itu melangkah mendekat ke meja guru ketika nama depan putranya yang sudah dipanggil.Rasen tersenyum sopan. Ini pertama kalinya ia datang sebagai wakil, ntah kenapa baru saja beberapa detik menghadap wali kelas Arsean, perasaanya mendadak tak enak. Padahal dari rumah Rasen sangat yakin putranya pasti membanggakan dunia akhirat.Bu Seny—guru perempuan itu tersenyum manis. “Pak Rasen? Silahkan duduk, Papanya Arsean Adhisty.”Kening Rasen mengerut. “A-Adhisty?”“Iya Adhisty.”“Maaf Bu, kayaknya ucapan Ibu typo sekebun. Nama belakang Arsean itu Adystha,” ujar Rasen mencoba mengoreksi, lelaki itu menarik kursi lantas duduk dengan tenang.Bu Seny mengangguk. “Emang benar Pak, tapi Arsean protes nggak mau
“Kata Papa, masalah bisa membuat seseorang dewasa. Maka dari itu, ayo buat masalah sebanyak-banyaknya.” —Arsean Adystha***Author PovRaveena tidak tahu bagaimana cara menjelaskan keadaanya sekarang. Dari kemarin ia sama sekali tidak bisa diam. Rasa gelisah dan takut bercampur menjadi satu hingga membuatnya tak bisa tidur. Raveena stress. Ini menyangkut masalah putra tunggalnya.Perempuan itu mengusap wajahnya dengan kasar, ia menoleh pada Lista dan Merin yang duduk di sampingnya. Raveena lupa jika kejadian ini juga melibatkan putra-putra sahabatnya. Apalagi Lista kemarin sempat pingsan mendengar kabar itu.“Arsen,” gumam Raveena lemas. Kedua tangannya bergetar. “Arsen pulang sayang.”“Vee...” panggilan lembut itu berasal dari suaminya. Raveena menatap sedih ketika Rasen berjongkok tepat di depannya. Lelaki itu memegang erat tangan Raveena. “Tenang ya.”“Te
Author PovDelapan tahun kemudian......“Siang Pak Bos ganteng, hehe!”“Siang Pak ... Blasteran surga!”“Siang Pak R.A!” sapa seorang karyawati yang berada di balik kubikelnya, ia tersenyum jumawa beberapa detik. “Astagfirullah! Ngimpi apa gue punya atasan ganteng yang ngelebihin batas wajar dan kemanusiawian!”“Heh!” seru temannya yang baru saja meletakkan secangkir kopi. “Suami inget di rumah! Umur lo udah tiga puluh lebih bisa-bisanya cengar-cengir liat atasan sendiri!”Yang ditegur hanya mendelik, meskipun yang dikatakan teman kerjanya itu sertus persen benar, namun perempuan dewasa itu tak mampu mengelak pesona sang atasan. “Pak Rasen ... Bukan manusya anjir.”“Hm. Gue ampe mimisan saking gantengnya.”Langkah kaki besarnya berjalan keluar pintu utama gedung pencakar langit dengan lambang bintang bewarna silver it
Dear, Raveena Adhisty.Saya tidak pernah menyesal untuk akhir yang sehancur ini. Setidaknya kita bertiga pernah ada. Setidaknya kita bertiga pernah bahagia bersama.Satu hal yang harus kamu tau, kamu akan selalu menjadi bagian histori hidupku yang pernahku perjuangkan.Rasendriya Adystha.***Author Pov“Kakek minta Rasen ke Melbourne?” tanya Divya.“Iya. Katanya kangen, sekalian ada yang mau dibicarain. Udah lama juga, kan, Rasen nggak ke sana ngejenguk mereka. Nenek lagi sakit, makanya nggak bisa kesini,” jawab Rasen.“Jenguk kakek nenek atau ... Ngistirahatin hati?”“Both,” jawab Rasen pelan. Lelaki itu membaringkan tubuhnya di atas ranjang ketika Divya sibuk keluar masuk walk in closet untuk mengemasi semua pakaian anak tunggalnya. Ia melirik menggunakan ekor mata, lalu kembali meluruskan pandangannya.“Kakek bilang Nayara itu bintang pali
Author PovFlashback 1.5 tahun yang lalu...“Kamu jangan kemana-mana, tetep di rumah. Nanti aku jemput.”“Lo nggak waras? Meski kita baru kenal, tapi gue ayahnya. Gue...ayahnya.”“Gue bakal nikahin lo, Sha.”Ucapan dari seorang lelaki bewajah tampan itu masih terngiang jelas dalam benaknya. Bagaimana tatapan serius itu begitu menghunus. Begitu mengintimidasi, sampai dirinya tak mampu berkutik. Harsha menggeleng, ia malah kembali teringat ucapan Rasen.Sudah dua minggu berlalu, setelah hari dimana Rasen menyuruh Harsha untuk tetap diam di rumah, perempuan itu malah memilih kabur untuk menjauh. Harsha tidak mau sampai Rasen menemukannya, meski lelaki itu telah berjanji akan bertanggung jawab.“Sha?”“Ya?” sahut Harsha menoleh.“Kamu pindah kostan?” tanya Aina—temen satu pekerjaan Harsha di sebuah restaurant besar. “Kok kemarin pas pulang ke
Tragedi kecelakaan masal di taman kota. Sang pelaku putri pengusaha besar?Putri tunggal Abraham Dharka, Liora Mysha dituntut atas kasus pembunuhan.Perusahaan diambang kebangkrutan, putri tunggal Abraham Dharka dipenjara?--o0o—Dunia itu kejam. Manusia sama kejanya. Sesuatu kesalahan yang dilakukan mungkin masih bisa diberi maaf, tapi bagaimana jika kesalahan yang dibuat jauh dari kata fatal? Terlebih lagi karena didasari oleh kesengajaan dan dendam.Awalnya hidupnya baik-baik saja. Hingga perempuan dengan nama penuh kutukan itu hadir. Menggores luka yang kian menganga, meninggalkan rasa sakit yang tak akan pernah hilang. Seseorang yang bahkan telah menunjukan sisi iblisnya lebih dalam.Suara lirihan tangis dari seorang wanita seusia Ibunya terdengar begitu menyayat. Rasen yang baru saja keluar dari pintu persidangan hanya mampu terdiam kala melihat tangan Divya di pegang erat-erat oleh Irani—Ibu Liora Mysha. Matany
Author PovUjian Nasional telah usai dilaksanakan seminggu yang lalu. Kelas dua belas memasuki masa bebas. Masa-masa akhir sekolah setelah melewati puncak yang cukup menguras otak. Setelah berjuang selama tiga tahun, tidak ada lagi yang di tunggu selain hasil yang memuaskan."Lo tuh moto gue niat kagak sih? Nggak ada satupun yang bagus anjir!" gerutu Merin menatap layar ponselnya."Niat lah," ujar Lista ikutan sewot. "Lagian kalau jelek bukan salah gue kali. Mukanya lo aja yang kurang glowing.""Eh! Lo tuh, ya! Bukan masalah muka. Orang muka gue jelas udah cantik. Tapi liat nih, ada yang ngeblur, ngebayang, sama pose gue belum siap udah lo jepret aja," ucap Merin memberi lihat fotonya pada Lista."Lih, bukan salah gue," elak Lista."Gue kalau moto temen suka pakek niat. Giliran temen motoin gue, nggak satupun yang bener. Sebenernya lo punya dendam apasih sama gue?!""Hutang lo belum di bayar," jawab Lista nyeplos.
Author Pov“Dapahh eh! Dapahh!” Lista misuh-misuh sendiri pada pacarnya. Sedaritadi ia ingin meminta bantuan soal tugas remedialnya, namun lelaki bermata teduh itu hanya diam saja. “Dapahh mah, ah, sama pacar sendiri jahat!”“Jahat apa? kamu suka ngadi-ngadi kalau ngomong!” kata Daffa.Lista mengerutkan keningnya. “IHHH! NGADI-NGADI APA?! Aku cuman mau minta dicupangin!”“ASTAGFIRULLAH TAKBIR YA ALLAH!” Sentak Romi yang memasang raut wajah dramatis. “Lis, nyebut Lis! Bapak lo tau, si Daffa kena bogem ampe teler gimana?!”Lista sama sekali tak mengerti, ia menghiraukan ucapan Romi lalu kembali beralih pada Daffa. Gadis itu menarik-narik kemeja putih Daffa dengan satu buku memegang buku tugas. Sebenarnya di sini Lista salah mengartikan kata.“Dapp! Cupangin dong!”“Aku nggak bisa nyupang, bisanya nge-ruqyah. Mau anda?!” tanya Daffa nyol
Author Pov"Si Johan asyu nggak ada akhlak!" gerutu Rasen dengan wajah tertekuk kesal. "Asalamualaikum. Paijo! Gelud moal?!"Pulang sekolah Rasen misuh-misuh sendiri. Mogok ngomong sama temen-temennya. Terutama pada Johan, teman bangsat yang tidak ada adab sama sekali. Berani-beraninya membuat nyawa Rasen hampir melayang karena ulah jahil yang tidak manusiawi."Sen, kayak emak-emak banyak tunggakan lo malah ngambekan," kata Johan diikuti Romi dan Daffa dari belakang."Gak usah deket-deket, gue lagi marah sama lo." Rasen melengos menjauh, lelaki itu berbicara sambil membawa anak kucing yang ntah darimana datangnya. "Pergi lo! Pergi!"Johan menarik-narik tangan Rasen dramatis. "Aku bisa jelasin semuanya!""Bulu kaki gue sampe merinding dengernya," ujar Romi bergedik ngeri sendiri."Lo semua itu kejam! Sepakat, kan, lo pada nyimpen SEBLAK di tas gue? Lo tau gue nyaris pingsan liatnya! Kalau Mama Divya sedih tau nyawa gu