Author Pov
Hari ini, di tanggal merah. Raveena telah menyusun semua daftar pekerjaanya. Dari mulai membawa Nayara ke Dokter anak untuk check up medis. Seraya meminta saran merawat bayi yang baik untuk seorang pemula.
Hari ini, di tanggal merah. Raveena akan belanja semua kebutuhan Nayara. Membeli perlengkapan penting Nayara yang telah ia susun di secarik kertas putih.
Hari ini, di tanggal merah. Raveena akan mencetak semua gambar Nayara yang sempat ia potret menjadi polaroid yang akan ia pasang di dinding kamarnya.
Hari ini, Raveena akan melakukan semuanya, bersama Rasen.
Raveena berdiri memandangi dirinya dipantulan cermin, kembali mengamati pakaian yang ia pakai hari ini. Setelah semuanya terasa tidak perlu ada yang dikoreksi, gadis itu tersenyum. “Mantul, cocok banget dah gue!” serunya mengedipkan sebelah matanya.
“Good morning cantik,” sapa Raveena beralih pada Nayara, duduk di sisi ranjang lalu menggendong bayi kecil itu hati-hati. “Siapa yang siap yang jalan-jalan hari ini?” tanya mnya sambil tersenyum. Nayara hanya menatap dengan bola matanya yang terbuka lebar.
“Eh, aku mau cerita dong sedikit. Jadi gini, aku udah ngasih tau Bi Maudy tentang kamu. Terus kamu tau nggak gimana respons-nya? Bi Maudy bahagia banget tau! Sampe-sampe telinga aku perih ngedengerin teriakan dia.” Raveena mengajak bercerita Nayara sambil terkekeh pelan. Bayi itu ikut tertawa kecil. Begitu menggemaskan.
“Tapi masalahnya belum bisa pulang. Soalnya katanya liburannya nanggung. Mubazir juga,” jelas Raveena. Ntah ada apa yang lucu dengan perkataanya, Nayara kembali tertawa kecil. Sepertinya ia menyukai suara Raveena yang terdengar lembut.
Raveena meraih jari jemari Nayara, begitu lembut dan hangat. Tangan kecil itu menggengam jari telunjuk Raveena. Seperti tidak ingin dilepaskan. Raveena menatap sendu, sampai tak terasa matanya berkaca-kaca. “Kamu lucu, aku jadi inget Mama,” lirih Raveena pelan. Detik selanjutnya air mata itu berhasil menetes.
Raveena kembali menangis setelah bertahun-tahun ia tahan. Rasa rindu Mama-Papanya tidak dapat terbendung.
“Gimana mau belanja kalau lo malah nangis.” Suara itu berhasil mengagetkan Raveena.
“Rasen?” buru-buru Raveena mengelap air mata yang luruh diatas pipinya. Tapi percuma, Rasen juga sempat melihat Raveena hampir rapuh tadi.
“Yah, malah mellow.” Cowok itu sudah berdiri dengan menggunakan jeans hitam, kaos polos dan jaket kulit berwarna senada. Begitu terlihat sederhana.
“Salam dulu kek, main masuk-masuk aja,”cibir Raveena.
“Udah salam tadi dalem hati,” lanjutnya lagi dengan wajah tanpa dosa menghampiri lalu berjongkok menghadap Nayara yang sedang Raveena gendong.
“Enggak boleh nangis,” ujar Rasen.
“Enggak nangis!” elak Raveena sambil menggeleng.
Rasen tersenyum tipis, sangat tipis. “Iya percaya.”
Matanya beralih pada Nayara. “Pagi! Cantik banget putrinya Papa hari ini. Pasti gedenya mirip Raisa nih, ntar Papa cari jodoh cowok yang mirip Hamish.”
Raveena yang semula dalam keadaan sedih, malah berusaha untuk tidak tertawa mendengar ucapan Rasen tadi. “Astaga, tolol nya mulai,” lirih Raveena yang masih bisa didengar Rasen.
“Gue denger,”
“Baguslah,”
Rasen berdecak kemudian bangkit berdiri. “Yuk, berangkat. Gue udah beli stroller bayi.”
“HAH?”
“Kenapa? Tuh udah gue bawa, gue simpen di mobil. Tinggal dipake nanti di Mall.”
“HAAHH?!” Raveena terpekik kaget langsung berdiri. “Lo—lo kapan belinya?”
“Semalem, hehehe. Lagian masa lo ngegendong terus pas jalan, ya gue beli lah. Biar enak nanti,” jawab Rasen berjalan pergi begitu saja. Raveena tertohok sambil berusaha menelan air liurnya.
“Kaya yang beli lotre anjir."
--o0o—
“IHH RASEN KAN UDAH DIBILANG NGGAK USAH BELI YANG ITU!!”
“Tanggung, udah gue pesenin juga.”
“BALIKIN LAGI AJA KE TOKO NYA!!”
“Nggak bisa, udah dibayar, Vee.”
“SIAPA SURUH?!”
Raveena berbicara setengah beteriak pada Rasen. Saking kesalnya Raveena tidak sadar banyak pasang mata yang memperhatikan mereka berdua. Mengingat bahwa tadi Rasen membeli box bayi dengan harga yang bukan main-main berhasil membuat Raveena meringis di sepanjang jalan. Raveena sudah menolak dengan keras, tapi Rasen kekeuh dengan niatnya.
“Kenapa sih, Vee? Santai aja kali,”
“Lo kok enak banget sih ngomong kayak gitu. Harganya mahal tau nggak?” bisik Raveena, geram.
“Cuma dua juta setengah, murah kok.”
“Cuma?” tanya Raveena tak habis pikir. “Cuma lo bilang? Oy, itu kalau dibeli perlengkapan yang lain udah dapet 2 trolley!”
“Kita pulang aja, deh, Sen.” Raveena menghentikan langkahnya. “Jangan belanja disini, mahal. Mending ke toko biasa aja.”
“Lho? Tapi gue betah di sini Vee, ada AC nya.”
“Yaudah lo di sini aja sendiri, gue sama Nayara mau pulang.”
“Nggak bisa gitu dong! Kan gue kepala keluarganya. Lo sebagai Ibu rumah tangga tinggal nurut aja,” ucap Rasen.
“Tapi gue nggak mau belanja disini. Gue mau pulang aja.”
Saat Raveena hendak berjalan seraya mendorong stroller, tiba-tiba Rasen menarik rambutnya hingga tubuhnya hampir kejengkang ke belakang. Tolil emang.
“ADUH BISA NGGAK SIH GAK JAMBAK-JAMBAK GUEEEE?!” kesal Raveena. “NTAR KALAU BOTAK GIMANA?!”
“Nggak usah toa. Gue juga denger.”
"Karena lo jambak gue!"
"Gue narik dikit elah, lebay amat lo. Langsung kejengkang gitu."
“Tau ah, gue mau pulang aja!”
“Eits! No, no, no! Enggak!” Rasen menarik lengan Raveena. “Pantang pulang sebelum kita belanja!” Rasen langsung berdiri di depan stroller.
“Lo pikir ntar Nayara bakal gimana kalau kita nggak belanja? Di sabunin sama sanlet? Makan sama nasi goreng? Terus kalau haus dikasih minum kopi gitu?” tanya Rasen.
“Ya--ya enggak lah!” tukas Raveena.
“Nah, kan, udah sekarang tinggal nurut aja.” Rasen mengambil alih stroller Nayara.
“Tapi sen--”
“Jangan banyak ngomong, malu diliatin sama satpam! Supermarket nya di sebelah mana, Vee?"
“Sebelah sana.” Raveena menujuk sekilas. Wajahnya masih tak bersahabat. Bukan karena apa-apa, tapi Raveena merasa terlalu membebankan Rasen dari segi biaya. Dia jadi malu sendiri.
--o0o—
“Popoknya udah dimasukin?” tanya Raveena.
“Udah,” jawab Rasen.
“handuk kecilnya?”
“Kanebo garing?" Rasen balik nanya.
“KANEBO PALELU!” balas Raveena ngegas. Matanya kemudian mengamati barang belanjaan di dalam trolley.
“Komestika bayi nya..., Baby bath, baby shampoo, baby oil, baby lotion....,” gumaman Raveena terhenti lalu meraih satu bungkus detergen. Gadis itu menatap Rasen. "Risho buat apaan, Sen?"
“Mandiin Nayara."
Raveena berdecak saat melihat raut wajah Rasen sangat santai. Tanpa rasa beban dan dosa cowok itu malah nyengir. Raveena tidak menyangka kalau tingkat ketololan Rasen sudah kronis.
Raveena kembali mendorong stroller bayinya, meninggalkan area Non Food dan berjalan menuju divisi Food. Rasen mengikuti dari belakang sambil mendorong barang belanjaan yang sudah terkumpul satu trolley penuh.
“Yang? Liat deh pasutri yang lagi dorong bayi itu, lucu banget ya!” ucap seorang perempuan yang sedang menghadap rak shelving berisi snack. Rasen dan Raveena menoleh secara bersamaan.
“Kamu kapan lamar aku? Nikahin aku?” rengek perempuan itu. Rasen dan Raveena pura-pura melanjutkan aktivitasnya.
“Liat ih mereka. Mereka pasti nikah muda, makanya udah punya baby. Awhh so cute. Serasi, cocok!” ujarnya terus-terusan.
“Ntar kita nikah, kalau kerjaan kamu udah nggak rebahan, rebahan, rebahan mulu,” jawab lelaki di sisinya. “Pantang aku nikahin kalau hobby kamu masih suka baca wattpad sampe subuh.”
Raveena tersenyum menahan tawa, segera Rasen menggiring Raveena menjauh. Agar tawa gadis itu tidak pecah didepan orang yang membicarakan mereka tadi. Saat Rasen membawa Raveena ke area permen, tiba-tiba langkah mereka berdua berhenti mendapati seseorang yang ada di depan mereka. Keduanya sontak kaget bersamaan.
“Anjir, Bu Hilda!” umpat Rasen membeku ditempat. Bu Hilda adalah walis kelas 12 IPA 2—tepatnya wali kelas mereka berdua. Wanita separuh baya itu menatap heran, lalu berjalan menghampiri membuat Raveena menggeser dua langkah dari Rasen.
Raveena membalikan badannya. Pura-pura sibuk memilih camilan, padahal hatinya ketar-ketir, yang dilakukan Raveena cukup masuk akal. Tapi, apa yang dilakukan Rasen membuat Raveena ingin menyentil ginjalnya saat itu juga. Cowok itu malah sibuk mengelap Rak shelving menggunakan tangannya.
“Raveena? Rasen?” panggil Bu Hilda tersenyum manis.
“Eh, Bu. Ketemu disini ternyata,” Rasen lebih dulu menyalami tangan Bu Hilda, dilanjutkan oleh Raveena.
“Kalian lagi jalan-jalan, ya?”
Tak ada yang menjawab. Raveena dan Rasen saling diam sambil tersenyum kikuk.
“Hey, bayi siapa ini?” tanya Bu Hilda beralih pada Nayara yang sedari tadi tidak tidur. “Hmm—kalian belanja perlengkapan bayi?” Bu Hilda gagal fokus pada isi trolley di depan Rasen.
Masih sama, keduanya diam. Hanya saling pandang. Raveena melotot pada Rasen memberi kode untuk menjawab. Tapi Rasen malah melakukan hal yang sama pada Raveena. Jadilah mereka saling melotot satu sama lain.
“Ehehe. Ini nih Bu, bantuin Bibi beli perlengkapan.” Akhinya Raveena yang membuka suara. “Iyakan, Sen?”
“Ah, iya Bu. Biasa ponakan baru.”
“Lucu sekali. Keponakan siapa memangnya?”
Raveena dengan cepat menujuk Rasen, begitu pula Rasen dengan cepat menujuk Raveena. Bu Hilda bingung di tempat. Keduanya sempat saling menoleh, merasa ada yang salah Raveena dan Rasen langsung sama-sama menujuk dirinya sendiri. Bu Hilda lebih bingung.
“Jadi, ponakan siapa yang sebenarnya?”
“Nemu.”
“Nemu gimana Rasen?” tanya Bu Hilda aneh. Raveena menahan geram.
Rasen keceplosan! Rasen bego! Rasen somplak! Rasen bangsul! Rasen..... Gak tau lagi dah.
“Itu—hmm, jadi—itu—” Rasen kesulitan berbicara. “Hmm—EH BU! SUAMI IBU NYARIIN!” pekik Rasen tiba-tiba.
“Oh, ya?” Hilda menengok kearah belakang. Dan benar, seorang lelaki melambaikan tangannya seperti sebuah isyarat mengajak nya pergi. Raveena kira itu hanya pembodohan semata, tapi ternyata apa yang Rasen katakan benar.
“Kalau gitu Ibu pergi dulu ya, suami ini udah nyariin. Inget, besok sekolah.”
“Ashiap Bu!”
“Yaudah, duluan yah Vee, Sen. Salam buat Bibi nya,” pamitnya lalu pergi meninggalkan sejuta kelegaan yang menyerang Raveena dan Rasen secara bersamaan.
Kali ini mereka selamat. Raveena menghela napasnya bebas dan Rasen mengusap wajahnya kasar. Benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengan wali kelasnya seperti ini.
“Gila, gue kaget banget Sen,” gumam Raveena.
“Lo kira gue santuy gitu? Sama lah, gue juga,” ucap Rasen. “Tapi masih mending kita kepergok sama Bu Hilda sih.”
“Kenapa?”
“Gimana kalau tadi tuh Johan, bukan Bu Hilda? Auto ditonjokin sampe bonyok,” ucap Rasen berhasil membuat Raveena tertegun.
Benar juga apa yang dikatakan oleh Rasen. apa yang akan terjadi kalau sampai Johan tahu jika dirinya bersama Rasen sekarang? Raveena terdiam cukup lama.
“Kita ke kasir sekarang, Vee.” Rasen lebih dulu pergi, dan Raveena masih tenggelam dalam pikirannya.
“Salah nggak sih, gue belanja sama Rasen seharian?” lirih Raveena merasa bersalah. “Johan, Maaf.”
--o0o—
“Itung dulu coba, udah pas belum.” Raveena memberikan dompetnya yang—berisi uang kas itu pada Lista. Lista ini juga sebenarnya Bendahara, Tapi sama sekali tidak ada kerjaan. Paling ngerepotin Raveena baru paling jago.
“Kok kurang, Vee?” tanya Lista setelah selesai mengitung. Raveena menautkan kedua alisnya, melihat sebentar kecatatan lalu kembali mengarah pada Lista.
“Oh, ya? Kok bisa? Itung lagi coba,” pintanya. Raveena lekas kembali mengecek buku catatannya. “Kurang berapa emang nya?”
“Dua ribu, Vee.”
“Yaiya lah kurang, lo sendiri belum bayar,” ucap Raveena mendengkus.
Lista mengigit lidahnya sendiri, malu. Satu hal kebiasaan Lista, meski menjabat sebagai Bendahara, dia sendiri suka lupa membayar bahkan pernah sampe nunggak. Raveenanya saja yang selalu tabah dan sabar.
“Eh, iya-ya. Lupa, duh.”
“Kebiasaan sih lo,”
“WISHHH!! PAGI SAHABAT-SAHABAT BANGSATKUUUU” teriak Merin yang baru datang masuk kelas. Cewek itu lekas menghampiri dengan larian kecil, di akhir dengan memutar tubuhnya di depan Raveena dan Lista.
“Harus bangsat banget, ya?” tanya Lista.
“Lah, emang bener kalian bangsat 'kan. Pena gue sering ilang nggak tahu kemana perginya. Eh malah sembunyi ditas-tas lo pada,” ujar Merin.
“Perbangsatan!” Lanjutnya lagi terkekeh. Raveena hanya menggeleng kecil seraya memasukan kembali uang kedalam dompetnya itu.
Brak!
“OH IYA! Gue punya cerita baru nih sama kalean-kalean,” ujar Merin menggebrak meja membuat keduanya terpelonjak kaget. “Dengerin dong, dengerin!”
“Kalau cerita, ya cerita aja. Kagak usah sambil ngancurin fasilitas sekolah,” kata Raveena mencibir sebal.
“Tapi ini ceritanya sangat, sangat, SANGAT LUARR BIAZAAAA!! Gue yakin lo bakal kaget dengernya!”
“Yaudah-iya, apaan coba?” tanya Lista penasaran.
Merin berjalan mendekat, sedikit membungkuk dengan kedua siku tangan di letakan diatas meja. Lista dan Raveena mengarahkan kepalanya agar lebih dekat. “Kemarin gue ke Mall. Terus gue liat ada pasutri mirip Rasen sama Raveena! GILA BANGET NGGAK TUH? IYAKAN EDAN BANGET?!”
What the...?
Lista yang mendengar itu hanya menanggapi dengan eskpresi biasa saja, tapi berbeda dengan Raveena. Gadis itu membulatkan matanya kaget. Saking kagetnya, ia tidak bisa mengontrol ekspresi wajahnya yang mulai kentara cemas dan resah. Buru-buru Raveena membuka ponselnya, pura-pura membuka sosial media.
“Masa sih, Mer?”
“Yaelah, kapan seorang Merin menjadi dusta? Seriusan gue liat. Bener-bener mirip cuy! Bahkan pas pertama gue ngiranya beneran Raveena sama Rasen masa.”
“Nga-ngaco lo, Mer! Mana mungkin gue jalan sama Rasen.” Raveena meyanggah. Padahal jauh dalam hatinya deg-degan setengah mati.
“Nah, iya itu! Gue nggak langsung percaya gitu lah, kan Raveena sebel banget sama si mahluk Pluto itu. Masa nggak ada angin, nggak ada hujan bisa jalan bareng lagi.”
Puji syukur kalau ternyata pemikiran Merin se-simple ini. Raveena mengatur napasnya sesaat.
“Eits! Tapi bisa ajakan kalau itu beneran Raveena sama Rasen,” ucap Lista menatap penuh kecurigaan pada Raveena sampai gelagapan sendiri.
“Hah? Lo—lo jangan asal jiplak kalau ngomong, palingan mirip sekilas lailah.” Raveena tertawa getir. “Gue juga sering liat orang mirip Emak-emak lo pada. Mirip mantan lo pada juga pernah, udah lah nggak usah dibahas. Nggak penting ini.”
“Ya sih, gue yakin itu bukan lo. Soalnya tuh pasutri bawa kereta bayi gitu, nggak mungkin kan lo sama Rasen bawa-bawa bayi ke Mall. Kalau iya, bayi siapa juga,” ucap Merin lekas menyimpan tasnya.
“Hehe, iyalah Mer punya bayi darimana gue,” jawab Raveena dengan arah pandangan tak bertujuan.
Gila! Raveena pikir hanya Bu Hilda yang melihatnya bersama Rasen. Ternyata Merin juga, apa benar Merin orang terakhir yang melihatnya? Raveena langsung panas dingin.
Aduh mati gue kalau Johan tau.
***
Tbc ❤
Author Pov“Gue denger cerita dari anak-anak. Katanya kemarin Pak Didin liat itu di kamar mandi cewek.”“Ngarang kali. Jangan bikin gue parno, elah. Ntar gue ke kamar mandi takut,” ujar Merin panik mendengarkan cerita Lista yang sempat heboh kemarin. Dimana katanya Pak Didin–selaku penjaga sekolah melihat sebuah mahkluk di kamar mandi wanita di sekolahan ini. Merin pada dasarnya memang penakut, jadi lebih takut lagi.“Biasanya sih yang kayak gitu, paling suka sama orang yang penakut. Ya nggak Lis?” Raveena menambahi.“Yoi, mampos lo kalau ke kamar mandi nggak akan kita anter.”“Woy, sejahat itukah kalian sama gue? Oke lah, kalau lo pada nggak mau nganter, gue mau minta anter sama Johan aja lah,” ucap Merin nyeleneh.“Emang bisa?” Raveena menantang.“Bisa lah, jangan salahin gue kalau cowok lo malah belok haluan ke gue, ya Vee.”Selalu saja Johan yang dibuat objek candaan Merin. Tidak tahu apa maksudn
Author Pov“Cepetan buka!”“Lo ... serius, Vee?”“Iya. Ayo nunggu apalagi?”Rasen menggeleng. “Nggak mau, Vee.”“Lo mau gue paksa di sini juga?” tanya Raveena.“Nggak gitu juga. Tapi....” Rasen meneguk air ludahnya susah. “Harus sama gue, ya?”“Iyalah!” seru Raveena lantang. “Katanya mau jadi Papa dari anak kita. Tapi gitu aja nggak mau. Cepetan buka celananya Rasen!”“Nggak pa-pa Vee kalau lo agresif gini. Tipe gue banget soalnya,” ucap Rasen membuat Raveena gemas. Gadis itu menarik tangan Rasen sampai Rasen memejamkan matanya.“Cepetan buka popok Nayara. Ganti sekarang juga!” perintah Raveena.“I—iya.” Rasen menggaruk tekuknya yang tak gatal. Raveena terus memaksa Rasen mengurus popok Nayara yang sudah kotor karena pup. Rasen yang tak berpengalaman malah kebingungan.“Harus gue ajarin?” Raveena mendengus kasar. Ia ikut duduk di sebelah Rasen, menggeser posisi Rasen sehingga Raveen
Author Pov"Itu, Johan di belakang lo...."Empat kata yang di keluarkan Raveena berhasil membuat Rasen tak bergerak layaknya patung. Hanya matanya saja yang berkedip. Untuk keseluruhannya, cowok itu tak jauh seperti maneqin di pasaran.Rasen membalikan badannya secara perlahan. Tekadnya sudah kuat untuk menanggung resiko. Iyalah, kan katanya Rasen cowok sejati. Preetttt.Benar saja, Johan–cowok itu sudah berdiri tegap menghadap Rasen. bahkan jaraknya saja tidak begitu jauh. Rasen yakin kalau ucapannya pasti terdengar."Eh, bro...." Rasen kebingungan memulai. Sedangkan Johan masih berdiri dengan tatapan mematikan.YAELAH APAAN AING SOK AKRAB SEGALA? TAU LAH MALU PEN BUANG MUKA AJA!"Kalau ngomongin orang tuh sama orang langsung. Bukan so-soan ke orang lain, apalagi ke cewek yang lo omongin tadi," ucap Johan begitu cuek dan dingin.Damn! Ucapan Johan tentu tertuju pada Rasen. Rasen yang sedang berdoa a
Author Pov“RASEN IHHHHHH! KENAPA SIH LO DEMEN BANGET CARI MASALAH SAMA GUE?!?!”“LO TUH BISA GAK SIH SEKALI AJA GAK BIKIN GUE KESELLLLLL???”Rasen yang tengah meneguk segelas susu malah hampir terbatuk-batuk. “Gue ngapain dah? Cuman diem,” ujar Rasen.Terhitung sudah hampir seminggu, Raveena dan Rasen selalu menghabiskan waktu bersama. Mengurus dan mengasuh Nayara. Jangan pikir kalau dalam waktu seminggu itu mereka akur. Tolong sekali lagi, jangan pernah memikirkan hal itu. Nyatanya, meski dalam situasi yang menuntut mereka berkerja sama. Raveena dan Rasen tidak pernah dari lepas adu bacot.Raveena mendapat kabar kalau Bibinya—Maudy, akan segera pulang ke Indonesia. Antara besok dan lusa. Itu adalah kabar yang cukup gembira untuknya. Tapi khusus malam ini, Raveena sedang naik pitam.“GUE KAN UDAH BILANG JANGAN HABISIN SUSU FORMULA NAYA!!” Pekik Raveena menatap kesal. Keduanya kini sedang berada di dapur. Raveena kelewat je
Author PovOlahraga. Adalah mata pelajaran yang paling ditunggu-tunggu oleh sebagian siswa/sisiwi. Tapi untuk para kaum mager yang hobinya dirumah adalah rebahan, mata pelajaran ini sangat paling dihindari dengan asalan; malas, capek, panas, dan sebagainya.Hari ini, para murid kelas 12 IPA 2 tengah berkumpul di lapang. Di bawah teriknya sinar matahari. Mereka berbaris rapi lengkap menggunakan seragam olahraga serempak. Di barisan paling depan putri, telah di pimpin oleh Raveena. Raveena mengedarkan pandangannya. Mengamati secara inci dan detail perbarisan di belakang juga di sampingnya. Ternyata benar, ada yang kurang. Rasen dan kedua sahabatnya itu hilang ntah kemana. Bagai terlelan bumi.“Bentar, Wil, jangan dimulai dulu pemanasan nya,” ucap Raveena kepada Wildan selaku pimpinan barisan putra.“Kenapa?”“Nyari Rasen sama dua kecebongnya dulu,” kata Raveena lekas pergi menjauh meninggalkan barisan. Lista dan Merin saling pandang satu
Pagi-pagi, Raveena belum sepenuhnya sadar dari bangun tidurnya mengernyit heran menatap Rasen yang sudah berdiri sambil memegang keresek yang ia bawa. Tidak ada angin dan hujan, tiba-tiba saja Rasen jinak. Cowok itu masih anteung dengan wajah watados meski Raveena menatapnya penuh pertanyaan."Terus, di sini ngapain?" tanya Raveena heran. Gadis itu masih terbaring lemas di atas kasur."Nganterin sarapan buat lo, biar lo bisa makan obatnya langsung." Rasen mengeluarkan bubur dan roti di dalam keresek yang berbeda."Lo ke sini cuma nganterin gue sarapan? Nggak perlu, gue masih ada nasi, elah," ucap Raveena menyipitkan matanya menahan pusing."Gue juga pernah ngerasain sakit, Vee. Kalau lagi sakit makan nasi tuh rasanya berubah nggak enak, makanya gue bawain ini." Rasen menyahut santai. "Eh, ntar kalau gue berangkat, anak kita jangan lupa dikasih susu ya.""Iya bawel."Rasen meletakkan bubur dan roti itu secara bersamaan diatas naka
Author Pov“Nggak gue nggak selingkuh, Tha, kenapa dia nuduh gue kayak gitu?”“Gue bukan cewek murahan..Tha. Bukan.”“Kenapa harus ngebentak Veena, kalau Veena salah omongin baik-baik....”“Veena kangen Papa....”Suara parau diiringi isakan kecil itu masih terdengar samar dalam keheningannya. Juga bagaimana pandangan sendu gadis itu ketika menatapnya penuh cerita. Berbagi luka yang tak seharusnya dilakukan. Bahu yang terguncang hebat dengan tangan gemetar, ia masih ingat itu dengan jelas.Rasen mengerang, men-dribble bola basket itu semakin tak karuan. Di bawah langit yang tak menunjukkan wajah cerahnya, Rasen berusaha meredam amarah sedalam-dalamnya. Peluh yang mengucur di pelipis kirinya begitu deras. Rasa dilema tak henti menggerayang di hatinya.Rasen melakukan 1001 cara agar Raveena jauh dari kata rapuh. Dan si brengsek itu dengan sekali ucapan sampahnya malah mengacaukan semuanya.Prok ... prok... prok....
Author PovHari ini Bi Maudy pulang gengs,Dari Singapore,Bawa oleh-oleh, sih, tapi...Raveena menghela napas. Manik matanya tak henti memandang lurus ke depan pada seseorang yang lima belas menit yang lalu menginjakan kakinya di rumah bewarna putih ini. Seminggu tak bertemu, membuatnya berada dalam situasi konyol seperti ini.Ekspektasi Raveena ketika Maudy pulang adalah memeluk Bibinya itu penuh rindu. Menanyakan kabar satu sama lain seraya saling menukar cerita penuh canda. Tapi yang dilakukan Maudy malah melempar Raveena pada realita yang jauh dari yang dibayangkan.Baiklah, Raveena sedang disidang."Bibi pernah bilang kan kalau nggak ada rahasia diantara kita?" tanya Maudy yang masih berdiam diri di tempat. "Sekarang jujur, Vee. Jujur sejujur-jujurnya.""Veena harus ngomong apalagi? Ini tuh udah jujur.""Nggak, pasti kamu bohong sama Bibi." Maudy menggerak-gerakan jari telunjuknya. Wajahnya terlihat resah. "N
Author PovPembagian raport akhir semester kelas tiga, Rasen datang ke sekolah putranya sebagai ganti karena Raveena berhalangan untuk datang. Lelaki penuh wibawa itu melangkah mendekat ke meja guru ketika nama depan putranya yang sudah dipanggil.Rasen tersenyum sopan. Ini pertama kalinya ia datang sebagai wakil, ntah kenapa baru saja beberapa detik menghadap wali kelas Arsean, perasaanya mendadak tak enak. Padahal dari rumah Rasen sangat yakin putranya pasti membanggakan dunia akhirat.Bu Seny—guru perempuan itu tersenyum manis. “Pak Rasen? Silahkan duduk, Papanya Arsean Adhisty.”Kening Rasen mengerut. “A-Adhisty?”“Iya Adhisty.”“Maaf Bu, kayaknya ucapan Ibu typo sekebun. Nama belakang Arsean itu Adystha,” ujar Rasen mencoba mengoreksi, lelaki itu menarik kursi lantas duduk dengan tenang.Bu Seny mengangguk. “Emang benar Pak, tapi Arsean protes nggak mau
“Kata Papa, masalah bisa membuat seseorang dewasa. Maka dari itu, ayo buat masalah sebanyak-banyaknya.” —Arsean Adystha***Author PovRaveena tidak tahu bagaimana cara menjelaskan keadaanya sekarang. Dari kemarin ia sama sekali tidak bisa diam. Rasa gelisah dan takut bercampur menjadi satu hingga membuatnya tak bisa tidur. Raveena stress. Ini menyangkut masalah putra tunggalnya.Perempuan itu mengusap wajahnya dengan kasar, ia menoleh pada Lista dan Merin yang duduk di sampingnya. Raveena lupa jika kejadian ini juga melibatkan putra-putra sahabatnya. Apalagi Lista kemarin sempat pingsan mendengar kabar itu.“Arsen,” gumam Raveena lemas. Kedua tangannya bergetar. “Arsen pulang sayang.”“Vee...” panggilan lembut itu berasal dari suaminya. Raveena menatap sedih ketika Rasen berjongkok tepat di depannya. Lelaki itu memegang erat tangan Raveena. “Tenang ya.”“Te
Author PovDelapan tahun kemudian......“Siang Pak Bos ganteng, hehe!”“Siang Pak ... Blasteran surga!”“Siang Pak R.A!” sapa seorang karyawati yang berada di balik kubikelnya, ia tersenyum jumawa beberapa detik. “Astagfirullah! Ngimpi apa gue punya atasan ganteng yang ngelebihin batas wajar dan kemanusiawian!”“Heh!” seru temannya yang baru saja meletakkan secangkir kopi. “Suami inget di rumah! Umur lo udah tiga puluh lebih bisa-bisanya cengar-cengir liat atasan sendiri!”Yang ditegur hanya mendelik, meskipun yang dikatakan teman kerjanya itu sertus persen benar, namun perempuan dewasa itu tak mampu mengelak pesona sang atasan. “Pak Rasen ... Bukan manusya anjir.”“Hm. Gue ampe mimisan saking gantengnya.”Langkah kaki besarnya berjalan keluar pintu utama gedung pencakar langit dengan lambang bintang bewarna silver it
Dear, Raveena Adhisty.Saya tidak pernah menyesal untuk akhir yang sehancur ini. Setidaknya kita bertiga pernah ada. Setidaknya kita bertiga pernah bahagia bersama.Satu hal yang harus kamu tau, kamu akan selalu menjadi bagian histori hidupku yang pernahku perjuangkan.Rasendriya Adystha.***Author Pov“Kakek minta Rasen ke Melbourne?” tanya Divya.“Iya. Katanya kangen, sekalian ada yang mau dibicarain. Udah lama juga, kan, Rasen nggak ke sana ngejenguk mereka. Nenek lagi sakit, makanya nggak bisa kesini,” jawab Rasen.“Jenguk kakek nenek atau ... Ngistirahatin hati?”“Both,” jawab Rasen pelan. Lelaki itu membaringkan tubuhnya di atas ranjang ketika Divya sibuk keluar masuk walk in closet untuk mengemasi semua pakaian anak tunggalnya. Ia melirik menggunakan ekor mata, lalu kembali meluruskan pandangannya.“Kakek bilang Nayara itu bintang pali
Author PovFlashback 1.5 tahun yang lalu...“Kamu jangan kemana-mana, tetep di rumah. Nanti aku jemput.”“Lo nggak waras? Meski kita baru kenal, tapi gue ayahnya. Gue...ayahnya.”“Gue bakal nikahin lo, Sha.”Ucapan dari seorang lelaki bewajah tampan itu masih terngiang jelas dalam benaknya. Bagaimana tatapan serius itu begitu menghunus. Begitu mengintimidasi, sampai dirinya tak mampu berkutik. Harsha menggeleng, ia malah kembali teringat ucapan Rasen.Sudah dua minggu berlalu, setelah hari dimana Rasen menyuruh Harsha untuk tetap diam di rumah, perempuan itu malah memilih kabur untuk menjauh. Harsha tidak mau sampai Rasen menemukannya, meski lelaki itu telah berjanji akan bertanggung jawab.“Sha?”“Ya?” sahut Harsha menoleh.“Kamu pindah kostan?” tanya Aina—temen satu pekerjaan Harsha di sebuah restaurant besar. “Kok kemarin pas pulang ke
Tragedi kecelakaan masal di taman kota. Sang pelaku putri pengusaha besar?Putri tunggal Abraham Dharka, Liora Mysha dituntut atas kasus pembunuhan.Perusahaan diambang kebangkrutan, putri tunggal Abraham Dharka dipenjara?--o0o—Dunia itu kejam. Manusia sama kejanya. Sesuatu kesalahan yang dilakukan mungkin masih bisa diberi maaf, tapi bagaimana jika kesalahan yang dibuat jauh dari kata fatal? Terlebih lagi karena didasari oleh kesengajaan dan dendam.Awalnya hidupnya baik-baik saja. Hingga perempuan dengan nama penuh kutukan itu hadir. Menggores luka yang kian menganga, meninggalkan rasa sakit yang tak akan pernah hilang. Seseorang yang bahkan telah menunjukan sisi iblisnya lebih dalam.Suara lirihan tangis dari seorang wanita seusia Ibunya terdengar begitu menyayat. Rasen yang baru saja keluar dari pintu persidangan hanya mampu terdiam kala melihat tangan Divya di pegang erat-erat oleh Irani—Ibu Liora Mysha. Matany
Author PovUjian Nasional telah usai dilaksanakan seminggu yang lalu. Kelas dua belas memasuki masa bebas. Masa-masa akhir sekolah setelah melewati puncak yang cukup menguras otak. Setelah berjuang selama tiga tahun, tidak ada lagi yang di tunggu selain hasil yang memuaskan."Lo tuh moto gue niat kagak sih? Nggak ada satupun yang bagus anjir!" gerutu Merin menatap layar ponselnya."Niat lah," ujar Lista ikutan sewot. "Lagian kalau jelek bukan salah gue kali. Mukanya lo aja yang kurang glowing.""Eh! Lo tuh, ya! Bukan masalah muka. Orang muka gue jelas udah cantik. Tapi liat nih, ada yang ngeblur, ngebayang, sama pose gue belum siap udah lo jepret aja," ucap Merin memberi lihat fotonya pada Lista."Lih, bukan salah gue," elak Lista."Gue kalau moto temen suka pakek niat. Giliran temen motoin gue, nggak satupun yang bener. Sebenernya lo punya dendam apasih sama gue?!""Hutang lo belum di bayar," jawab Lista nyeplos.
Author Pov“Dapahh eh! Dapahh!” Lista misuh-misuh sendiri pada pacarnya. Sedaritadi ia ingin meminta bantuan soal tugas remedialnya, namun lelaki bermata teduh itu hanya diam saja. “Dapahh mah, ah, sama pacar sendiri jahat!”“Jahat apa? kamu suka ngadi-ngadi kalau ngomong!” kata Daffa.Lista mengerutkan keningnya. “IHHH! NGADI-NGADI APA?! Aku cuman mau minta dicupangin!”“ASTAGFIRULLAH TAKBIR YA ALLAH!” Sentak Romi yang memasang raut wajah dramatis. “Lis, nyebut Lis! Bapak lo tau, si Daffa kena bogem ampe teler gimana?!”Lista sama sekali tak mengerti, ia menghiraukan ucapan Romi lalu kembali beralih pada Daffa. Gadis itu menarik-narik kemeja putih Daffa dengan satu buku memegang buku tugas. Sebenarnya di sini Lista salah mengartikan kata.“Dapp! Cupangin dong!”“Aku nggak bisa nyupang, bisanya nge-ruqyah. Mau anda?!” tanya Daffa nyol
Author Pov"Si Johan asyu nggak ada akhlak!" gerutu Rasen dengan wajah tertekuk kesal. "Asalamualaikum. Paijo! Gelud moal?!"Pulang sekolah Rasen misuh-misuh sendiri. Mogok ngomong sama temen-temennya. Terutama pada Johan, teman bangsat yang tidak ada adab sama sekali. Berani-beraninya membuat nyawa Rasen hampir melayang karena ulah jahil yang tidak manusiawi."Sen, kayak emak-emak banyak tunggakan lo malah ngambekan," kata Johan diikuti Romi dan Daffa dari belakang."Gak usah deket-deket, gue lagi marah sama lo." Rasen melengos menjauh, lelaki itu berbicara sambil membawa anak kucing yang ntah darimana datangnya. "Pergi lo! Pergi!"Johan menarik-narik tangan Rasen dramatis. "Aku bisa jelasin semuanya!""Bulu kaki gue sampe merinding dengernya," ujar Romi bergedik ngeri sendiri."Lo semua itu kejam! Sepakat, kan, lo pada nyimpen SEBLAK di tas gue? Lo tau gue nyaris pingsan liatnya! Kalau Mama Divya sedih tau nyawa gu