Author Pov
Olahraga. Adalah mata pelajaran yang paling ditunggu-tunggu oleh sebagian siswa/sisiwi. Tapi untuk para kaum mager yang hobinya dirumah adalah rebahan, mata pelajaran ini sangat paling dihindari dengan asalan; malas, capek, panas, dan sebagainya.
Hari ini, para murid kelas 12 IPA 2 tengah berkumpul di lapang. Di bawah teriknya sinar matahari. Mereka berbaris rapi lengkap menggunakan seragam olahraga serempak. Di barisan paling depan putri, telah di pimpin oleh Raveena. Raveena mengedarkan pandangannya. Mengamati secara inci dan detail perbarisan di belakang juga di sampingnya. Ternyata benar, ada yang kurang. Rasen dan kedua sahabatnya itu hilang ntah kemana. Bagai terlelan bumi.
“Bentar, Wil, jangan dimulai dulu pemanasan nya,” ucap Raveena kepada Wildan selaku pimpinan barisan putra.
“Kenapa?”
“Nyari Rasen sama dua kecebongnya dulu,” kata Raveena lekas pergi menjauh meninggalkan barisan. Lista dan Merin saling pandang satu
Tbc ❤
Pagi-pagi, Raveena belum sepenuhnya sadar dari bangun tidurnya mengernyit heran menatap Rasen yang sudah berdiri sambil memegang keresek yang ia bawa. Tidak ada angin dan hujan, tiba-tiba saja Rasen jinak. Cowok itu masih anteung dengan wajah watados meski Raveena menatapnya penuh pertanyaan."Terus, di sini ngapain?" tanya Raveena heran. Gadis itu masih terbaring lemas di atas kasur."Nganterin sarapan buat lo, biar lo bisa makan obatnya langsung." Rasen mengeluarkan bubur dan roti di dalam keresek yang berbeda."Lo ke sini cuma nganterin gue sarapan? Nggak perlu, gue masih ada nasi, elah," ucap Raveena menyipitkan matanya menahan pusing."Gue juga pernah ngerasain sakit, Vee. Kalau lagi sakit makan nasi tuh rasanya berubah nggak enak, makanya gue bawain ini." Rasen menyahut santai. "Eh, ntar kalau gue berangkat, anak kita jangan lupa dikasih susu ya.""Iya bawel."Rasen meletakkan bubur dan roti itu secara bersamaan diatas naka
Author Pov“Nggak gue nggak selingkuh, Tha, kenapa dia nuduh gue kayak gitu?”“Gue bukan cewek murahan..Tha. Bukan.”“Kenapa harus ngebentak Veena, kalau Veena salah omongin baik-baik....”“Veena kangen Papa....”Suara parau diiringi isakan kecil itu masih terdengar samar dalam keheningannya. Juga bagaimana pandangan sendu gadis itu ketika menatapnya penuh cerita. Berbagi luka yang tak seharusnya dilakukan. Bahu yang terguncang hebat dengan tangan gemetar, ia masih ingat itu dengan jelas.Rasen mengerang, men-dribble bola basket itu semakin tak karuan. Di bawah langit yang tak menunjukkan wajah cerahnya, Rasen berusaha meredam amarah sedalam-dalamnya. Peluh yang mengucur di pelipis kirinya begitu deras. Rasa dilema tak henti menggerayang di hatinya.Rasen melakukan 1001 cara agar Raveena jauh dari kata rapuh. Dan si brengsek itu dengan sekali ucapan sampahnya malah mengacaukan semuanya.Prok ... prok... prok....
Author PovHari ini Bi Maudy pulang gengs,Dari Singapore,Bawa oleh-oleh, sih, tapi...Raveena menghela napas. Manik matanya tak henti memandang lurus ke depan pada seseorang yang lima belas menit yang lalu menginjakan kakinya di rumah bewarna putih ini. Seminggu tak bertemu, membuatnya berada dalam situasi konyol seperti ini.Ekspektasi Raveena ketika Maudy pulang adalah memeluk Bibinya itu penuh rindu. Menanyakan kabar satu sama lain seraya saling menukar cerita penuh canda. Tapi yang dilakukan Maudy malah melempar Raveena pada realita yang jauh dari yang dibayangkan.Baiklah, Raveena sedang disidang."Bibi pernah bilang kan kalau nggak ada rahasia diantara kita?" tanya Maudy yang masih berdiam diri di tempat. "Sekarang jujur, Vee. Jujur sejujur-jujurnya.""Veena harus ngomong apalagi? Ini tuh udah jujur.""Nggak, pasti kamu bohong sama Bibi." Maudy menggerak-gerakan jari telunjuknya. Wajahnya terlihat resah. "N
“Kalau gue masih sama kayak dulu, lo mau cari Papa baru buat Yara?”Atmosfir yang terasa saat ini mendadak aneh. Kedua tangannya semakin meremas kuat sisi rok saat beberapa detik lalu ia dilontarkan pertanyaan yang mengejutkan. Tubuhnya masih berdiri tegak walau kini punggungnya malah semakin tersudut pada dinding.Raveena mengigit bagian dalam pipinya, bingung. Semakin dalam tatapan Rasen malah semakin membuat hawa tubuhnya terasa panas. Mungkin, pertanyaan Raveena terlalu menyinggung Rasen sampai cowok itu nampak menyeramkan sekarang—bagi Raveena.“Gue cuman nanya aja, Sen. Kenapa harus bawa-bawa Nayara?” tanya Raveena. Ia tak berani mendongak pada Rasen.“Gue tahu.” Rasen masih menyahut dingin. “Sekarang gue nanya balik sama lo. Tinggal jawab aja, bisa kan?”“Enggak!” Raveena menggeleng tegas. “Gu-gue nggak akan pernah ngelakuin itu. Nggak akan cari Naya Papa baru. Nggak aka
Author PovWaktu menunjukan pukul 06.55, Raveena berjalan tergesa-gesa menyusuri koridor setelah melirik sekilas jam tangan kecil yang melingkar pada tangan kirinya. Lima menit lagi bel berbunyi.Langkah gadis itu memelan dengan sendirinya, ketika telinganya menangkap percakapan yang begitu menarik pendengarannya. Ucapan-ucapan yang dilontarkan oleh siswi maupun siswa disana berhasil membuat Raveena tercenung sejenak.“Gila gak sih? Umur segitu prestasi udah bejibun di mana-mana?”“Beneran mantul tuh cowok! Udah ganteng sama pinter. Sekarang malah jadi pengusaha!”“YA ALLAH! GUE NGGAK PA-PA GAK DI JODOHIN SAMA NA JAEMIN JUGA. YANG PENTING GANTINYA HARUS RASEN!”“Ish! Jadi beneran gebetan gue si Rasen jadi penerus Adystha Company? Saoloh kok keren banget yaaaaaa? Makin sayang....”Raveena menoleh pada kumpulan siswi yang heboh sambil menatap layar ponsel mereka masing-masing. Kemudi
Author PovRaveena membuka gerbang rumahnya secara terburu-buru. Setelah sepulang sekolah, Raveena langsung pulang. Padahal hari ini harusnya dia bersama Wildan dan Merin untuk mengerjakan tugas kelompok.Mendapat kabar dari Mba Lala—baby sitternya—bahwa bayi kecil itu tidak berhenti menangis sejak tadi pagi membuat Raveena mengurungkan acara kerkomnya. Raveena cemas. Akhir-akhir ini Nayara sering rewel, tidak tau apa penyebabnya.“Naya belum berhenti nangis juga, ya, Mba?” tanya Raveena saat menghampiri Mba Lala. Gadis itu melempar tasnya ke sembarang arah.“Iya, Non. Tadi dikasih susu malah nggak mau,” ujar Mba Lala yang tengah menggendong Nayara di tengah rumah. Raveena menatap cemas Nayara. “Udah digendong biar tidur, tapi malah rewel terus.”“Yaudah sini, Veena aja yang gendong,” ucap Raveena seraya mengangkat kedua tangannya. Mba Lala mengangguk, lalu menyerahkan Nayara p
Author PovKadang, Rasen selalu berharap bahwa apa yang terjadi pada dirinya adalah sebuah mimpi. Mimpi tidur yang suatu saat nanti akan berakhir dengan bangunnya dia pada dunia nyata. Tapi itu mustahil. Karena pada dasarnya hidupnya sekarang adalah fakta.Semesta memang lucu. Di balik mewahnya kehidupan yang ia jalani. Di balik harta, gelar maupun jabatan yang ia terima, tidak ada yang tau jika itu semua hanya topeng. Ketika takdir membawanya jauh lebih dalam keterpurukan. Begitu dalam tak tergapai.Sudah cukup, Rasen terlalu banyak menyembunyikan hal yang ia telan sendiri, yang ia hadapi sendiri. Dunia tau dirinya bahagia dengan segala ia punya, namun realita membalikan kedaan bahwa ia sedang tidak baik-baik saja selama ini.Lelaki itu berdiri dengan kokoh dan tegap seraya menghadap ke arah taman luas dibawah sana. Kedua tangannya dimasukan kedalam saku celana kain hitamnya. Matanya menerawang menembus kaca lalu terbang ke arah langit biru y
Author PovHelaan napas kasar berulang kali ia lakukan tanpa sadar. Hanya upaya untuk meredam rasa resah yang menggerayang bebas di dalam hatinya. Waktu menunjukan pukul setengah delapan malam. Gadis berjaket jeans bewarna abu-abu itu baru saja keluar dari Minimarket.Langkah kakinya berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan pelan. Raveena tak berhenti menggerutu sendiri sedari tadi.“Sok sibuk! Sok sibuk! Sok sibuk!" Cibirnya tak kenal tempat. “Bener-bener kampret emang!”“Emangnya CEO nggak sanggup beli hape dua apa?! Pakek acara nggak aktif segala!”“Ah! Gak tau lagi gue kesel sama dia.”Menampilkan wajah setengah jengkel, tangan gadis itu beralih pada tas kecil yang ia pakai. Dua keresek yang ia pegang membuatnya kesusahan mengambil ponselnya sendiri. Mau tak mau, Raveena memberhentikan langkahnya saat di pertigaan lorong.“Aih! Hape gue kemana, sih?
Author PovPembagian raport akhir semester kelas tiga, Rasen datang ke sekolah putranya sebagai ganti karena Raveena berhalangan untuk datang. Lelaki penuh wibawa itu melangkah mendekat ke meja guru ketika nama depan putranya yang sudah dipanggil.Rasen tersenyum sopan. Ini pertama kalinya ia datang sebagai wakil, ntah kenapa baru saja beberapa detik menghadap wali kelas Arsean, perasaanya mendadak tak enak. Padahal dari rumah Rasen sangat yakin putranya pasti membanggakan dunia akhirat.Bu Seny—guru perempuan itu tersenyum manis. “Pak Rasen? Silahkan duduk, Papanya Arsean Adhisty.”Kening Rasen mengerut. “A-Adhisty?”“Iya Adhisty.”“Maaf Bu, kayaknya ucapan Ibu typo sekebun. Nama belakang Arsean itu Adystha,” ujar Rasen mencoba mengoreksi, lelaki itu menarik kursi lantas duduk dengan tenang.Bu Seny mengangguk. “Emang benar Pak, tapi Arsean protes nggak mau
“Kata Papa, masalah bisa membuat seseorang dewasa. Maka dari itu, ayo buat masalah sebanyak-banyaknya.” —Arsean Adystha***Author PovRaveena tidak tahu bagaimana cara menjelaskan keadaanya sekarang. Dari kemarin ia sama sekali tidak bisa diam. Rasa gelisah dan takut bercampur menjadi satu hingga membuatnya tak bisa tidur. Raveena stress. Ini menyangkut masalah putra tunggalnya.Perempuan itu mengusap wajahnya dengan kasar, ia menoleh pada Lista dan Merin yang duduk di sampingnya. Raveena lupa jika kejadian ini juga melibatkan putra-putra sahabatnya. Apalagi Lista kemarin sempat pingsan mendengar kabar itu.“Arsen,” gumam Raveena lemas. Kedua tangannya bergetar. “Arsen pulang sayang.”“Vee...” panggilan lembut itu berasal dari suaminya. Raveena menatap sedih ketika Rasen berjongkok tepat di depannya. Lelaki itu memegang erat tangan Raveena. “Tenang ya.”“Te
Author PovDelapan tahun kemudian......“Siang Pak Bos ganteng, hehe!”“Siang Pak ... Blasteran surga!”“Siang Pak R.A!” sapa seorang karyawati yang berada di balik kubikelnya, ia tersenyum jumawa beberapa detik. “Astagfirullah! Ngimpi apa gue punya atasan ganteng yang ngelebihin batas wajar dan kemanusiawian!”“Heh!” seru temannya yang baru saja meletakkan secangkir kopi. “Suami inget di rumah! Umur lo udah tiga puluh lebih bisa-bisanya cengar-cengir liat atasan sendiri!”Yang ditegur hanya mendelik, meskipun yang dikatakan teman kerjanya itu sertus persen benar, namun perempuan dewasa itu tak mampu mengelak pesona sang atasan. “Pak Rasen ... Bukan manusya anjir.”“Hm. Gue ampe mimisan saking gantengnya.”Langkah kaki besarnya berjalan keluar pintu utama gedung pencakar langit dengan lambang bintang bewarna silver it
Dear, Raveena Adhisty.Saya tidak pernah menyesal untuk akhir yang sehancur ini. Setidaknya kita bertiga pernah ada. Setidaknya kita bertiga pernah bahagia bersama.Satu hal yang harus kamu tau, kamu akan selalu menjadi bagian histori hidupku yang pernahku perjuangkan.Rasendriya Adystha.***Author Pov“Kakek minta Rasen ke Melbourne?” tanya Divya.“Iya. Katanya kangen, sekalian ada yang mau dibicarain. Udah lama juga, kan, Rasen nggak ke sana ngejenguk mereka. Nenek lagi sakit, makanya nggak bisa kesini,” jawab Rasen.“Jenguk kakek nenek atau ... Ngistirahatin hati?”“Both,” jawab Rasen pelan. Lelaki itu membaringkan tubuhnya di atas ranjang ketika Divya sibuk keluar masuk walk in closet untuk mengemasi semua pakaian anak tunggalnya. Ia melirik menggunakan ekor mata, lalu kembali meluruskan pandangannya.“Kakek bilang Nayara itu bintang pali
Author PovFlashback 1.5 tahun yang lalu...“Kamu jangan kemana-mana, tetep di rumah. Nanti aku jemput.”“Lo nggak waras? Meski kita baru kenal, tapi gue ayahnya. Gue...ayahnya.”“Gue bakal nikahin lo, Sha.”Ucapan dari seorang lelaki bewajah tampan itu masih terngiang jelas dalam benaknya. Bagaimana tatapan serius itu begitu menghunus. Begitu mengintimidasi, sampai dirinya tak mampu berkutik. Harsha menggeleng, ia malah kembali teringat ucapan Rasen.Sudah dua minggu berlalu, setelah hari dimana Rasen menyuruh Harsha untuk tetap diam di rumah, perempuan itu malah memilih kabur untuk menjauh. Harsha tidak mau sampai Rasen menemukannya, meski lelaki itu telah berjanji akan bertanggung jawab.“Sha?”“Ya?” sahut Harsha menoleh.“Kamu pindah kostan?” tanya Aina—temen satu pekerjaan Harsha di sebuah restaurant besar. “Kok kemarin pas pulang ke
Tragedi kecelakaan masal di taman kota. Sang pelaku putri pengusaha besar?Putri tunggal Abraham Dharka, Liora Mysha dituntut atas kasus pembunuhan.Perusahaan diambang kebangkrutan, putri tunggal Abraham Dharka dipenjara?--o0o—Dunia itu kejam. Manusia sama kejanya. Sesuatu kesalahan yang dilakukan mungkin masih bisa diberi maaf, tapi bagaimana jika kesalahan yang dibuat jauh dari kata fatal? Terlebih lagi karena didasari oleh kesengajaan dan dendam.Awalnya hidupnya baik-baik saja. Hingga perempuan dengan nama penuh kutukan itu hadir. Menggores luka yang kian menganga, meninggalkan rasa sakit yang tak akan pernah hilang. Seseorang yang bahkan telah menunjukan sisi iblisnya lebih dalam.Suara lirihan tangis dari seorang wanita seusia Ibunya terdengar begitu menyayat. Rasen yang baru saja keluar dari pintu persidangan hanya mampu terdiam kala melihat tangan Divya di pegang erat-erat oleh Irani—Ibu Liora Mysha. Matany
Author PovUjian Nasional telah usai dilaksanakan seminggu yang lalu. Kelas dua belas memasuki masa bebas. Masa-masa akhir sekolah setelah melewati puncak yang cukup menguras otak. Setelah berjuang selama tiga tahun, tidak ada lagi yang di tunggu selain hasil yang memuaskan."Lo tuh moto gue niat kagak sih? Nggak ada satupun yang bagus anjir!" gerutu Merin menatap layar ponselnya."Niat lah," ujar Lista ikutan sewot. "Lagian kalau jelek bukan salah gue kali. Mukanya lo aja yang kurang glowing.""Eh! Lo tuh, ya! Bukan masalah muka. Orang muka gue jelas udah cantik. Tapi liat nih, ada yang ngeblur, ngebayang, sama pose gue belum siap udah lo jepret aja," ucap Merin memberi lihat fotonya pada Lista."Lih, bukan salah gue," elak Lista."Gue kalau moto temen suka pakek niat. Giliran temen motoin gue, nggak satupun yang bener. Sebenernya lo punya dendam apasih sama gue?!""Hutang lo belum di bayar," jawab Lista nyeplos.
Author Pov“Dapahh eh! Dapahh!” Lista misuh-misuh sendiri pada pacarnya. Sedaritadi ia ingin meminta bantuan soal tugas remedialnya, namun lelaki bermata teduh itu hanya diam saja. “Dapahh mah, ah, sama pacar sendiri jahat!”“Jahat apa? kamu suka ngadi-ngadi kalau ngomong!” kata Daffa.Lista mengerutkan keningnya. “IHHH! NGADI-NGADI APA?! Aku cuman mau minta dicupangin!”“ASTAGFIRULLAH TAKBIR YA ALLAH!” Sentak Romi yang memasang raut wajah dramatis. “Lis, nyebut Lis! Bapak lo tau, si Daffa kena bogem ampe teler gimana?!”Lista sama sekali tak mengerti, ia menghiraukan ucapan Romi lalu kembali beralih pada Daffa. Gadis itu menarik-narik kemeja putih Daffa dengan satu buku memegang buku tugas. Sebenarnya di sini Lista salah mengartikan kata.“Dapp! Cupangin dong!”“Aku nggak bisa nyupang, bisanya nge-ruqyah. Mau anda?!” tanya Daffa nyol
Author Pov"Si Johan asyu nggak ada akhlak!" gerutu Rasen dengan wajah tertekuk kesal. "Asalamualaikum. Paijo! Gelud moal?!"Pulang sekolah Rasen misuh-misuh sendiri. Mogok ngomong sama temen-temennya. Terutama pada Johan, teman bangsat yang tidak ada adab sama sekali. Berani-beraninya membuat nyawa Rasen hampir melayang karena ulah jahil yang tidak manusiawi."Sen, kayak emak-emak banyak tunggakan lo malah ngambekan," kata Johan diikuti Romi dan Daffa dari belakang."Gak usah deket-deket, gue lagi marah sama lo." Rasen melengos menjauh, lelaki itu berbicara sambil membawa anak kucing yang ntah darimana datangnya. "Pergi lo! Pergi!"Johan menarik-narik tangan Rasen dramatis. "Aku bisa jelasin semuanya!""Bulu kaki gue sampe merinding dengernya," ujar Romi bergedik ngeri sendiri."Lo semua itu kejam! Sepakat, kan, lo pada nyimpen SEBLAK di tas gue? Lo tau gue nyaris pingsan liatnya! Kalau Mama Divya sedih tau nyawa gu