Author Pov
Waktu menunjukan pukul 06.55, Raveena berjalan tergesa-gesa menyusuri koridor setelah melirik sekilas jam tangan kecil yang melingkar pada tangan kirinya. Lima menit lagi bel berbunyi.
Langkah gadis itu memelan dengan sendirinya, ketika telinganya menangkap percakapan yang begitu menarik pendengarannya. Ucapan-ucapan yang dilontarkan oleh siswi maupun siswa disana berhasil membuat Raveena tercenung sejenak.
“Gila gak sih? Umur segitu prestasi udah bejibun di mana-mana?”
“Beneran mantul tuh cowok! Udah ganteng sama pinter. Sekarang malah jadi pengusaha!”
“YA ALLAH! GUE NGGAK PA-PA GAK DI JODOHIN SAMA NA JAEMIN JUGA. YANG PENTING GANTINYA HARUS RASEN!”
“Ish! Jadi beneran gebetan gue si Rasen jadi penerus Adystha Company? Saoloh kok keren banget yaaaaaa? Makin sayang....”
Raveena menoleh pada kumpulan siswi yang heboh sambil menatap layar ponsel mereka masing-masing. Kemudi
Author PovRaveena membuka gerbang rumahnya secara terburu-buru. Setelah sepulang sekolah, Raveena langsung pulang. Padahal hari ini harusnya dia bersama Wildan dan Merin untuk mengerjakan tugas kelompok.Mendapat kabar dari Mba Lala—baby sitternya—bahwa bayi kecil itu tidak berhenti menangis sejak tadi pagi membuat Raveena mengurungkan acara kerkomnya. Raveena cemas. Akhir-akhir ini Nayara sering rewel, tidak tau apa penyebabnya.“Naya belum berhenti nangis juga, ya, Mba?” tanya Raveena saat menghampiri Mba Lala. Gadis itu melempar tasnya ke sembarang arah.“Iya, Non. Tadi dikasih susu malah nggak mau,” ujar Mba Lala yang tengah menggendong Nayara di tengah rumah. Raveena menatap cemas Nayara. “Udah digendong biar tidur, tapi malah rewel terus.”“Yaudah sini, Veena aja yang gendong,” ucap Raveena seraya mengangkat kedua tangannya. Mba Lala mengangguk, lalu menyerahkan Nayara p
Author PovKadang, Rasen selalu berharap bahwa apa yang terjadi pada dirinya adalah sebuah mimpi. Mimpi tidur yang suatu saat nanti akan berakhir dengan bangunnya dia pada dunia nyata. Tapi itu mustahil. Karena pada dasarnya hidupnya sekarang adalah fakta.Semesta memang lucu. Di balik mewahnya kehidupan yang ia jalani. Di balik harta, gelar maupun jabatan yang ia terima, tidak ada yang tau jika itu semua hanya topeng. Ketika takdir membawanya jauh lebih dalam keterpurukan. Begitu dalam tak tergapai.Sudah cukup, Rasen terlalu banyak menyembunyikan hal yang ia telan sendiri, yang ia hadapi sendiri. Dunia tau dirinya bahagia dengan segala ia punya, namun realita membalikan kedaan bahwa ia sedang tidak baik-baik saja selama ini.Lelaki itu berdiri dengan kokoh dan tegap seraya menghadap ke arah taman luas dibawah sana. Kedua tangannya dimasukan kedalam saku celana kain hitamnya. Matanya menerawang menembus kaca lalu terbang ke arah langit biru y
Author PovHelaan napas kasar berulang kali ia lakukan tanpa sadar. Hanya upaya untuk meredam rasa resah yang menggerayang bebas di dalam hatinya. Waktu menunjukan pukul setengah delapan malam. Gadis berjaket jeans bewarna abu-abu itu baru saja keluar dari Minimarket.Langkah kakinya berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan pelan. Raveena tak berhenti menggerutu sendiri sedari tadi.“Sok sibuk! Sok sibuk! Sok sibuk!" Cibirnya tak kenal tempat. “Bener-bener kampret emang!”“Emangnya CEO nggak sanggup beli hape dua apa?! Pakek acara nggak aktif segala!”“Ah! Gak tau lagi gue kesel sama dia.”Menampilkan wajah setengah jengkel, tangan gadis itu beralih pada tas kecil yang ia pakai. Dua keresek yang ia pegang membuatnya kesusahan mengambil ponselnya sendiri. Mau tak mau, Raveena memberhentikan langkahnya saat di pertigaan lorong.“Aih! Hape gue kemana, sih?
Author Pov“DAFFAAAA! RASEN BERANTEM SAMA JOHAN DIKORIDOR!” Teriak Romi histeris di ambang pintu kelas.“SAMPE BERDARAH DAFF! BERDARAHHHHHH!”Satu kelas terpelonjak kaget. Daffa lekas berdiri dan berlari keluar diikuti Romi menyusul. Raveena ikut kaget, gadis itu bangkit dari duduknya saat melihat murid berhamburan di luar kelas. Keadaan tiba-tiba berisik dan gaduh.Gadis itu berdiri di ambang pintu dengan wajah cemas. Mengamati mereka yang berlalu-lalang sibuk berlarian ke arah koridor sebelah timur. Pikirannya mendadak terhenti pada Rasen. Apa perkelahian mereka ada hubungannya dengan putusnya hubungan Raveena dan Johan?“Rasen berantem sama Johan, Vee?” Lista yang juga sama kagetnya memilih menghampiri Raveena. “Ki-kita lihat yuk.”“Anjir! Seriusan Rasen berantem sama Johan? Gilaaa, bisa-bisa Rasen bonyok yaampunnnn.” Merin heboh di tempat membuat Raveena semakin taku
"Haluku untuk memilikimu ternyata berakhir haru, Vee." -Rasendriya Adystha****Author Pov"Tiup balonnya banyak-banyak, Vee.""Enggak.""Satu lagi aja, buat ditempelin di tangan kanannya.""Lo nggak waras, Sen. Sumpah!" sergah Raveena kejam. Sebuah delikan sinis berhasil ia loloskan kala matanya menangkap Nayara kasihan terbaring di atas kasurnya. "Gusti! Ya Allah Ya Rabb, anak gue lo apain Rasennnnn!""Biar ucul lah, Vee," balas Rasen. Cowok itu tengah sibuk mengikat ujung balon menggunakan tali tipis, lalu meraih tangan Nayara yang begerak-gerak. "Sini Nak, tangan kanannya mana kasihin ke Papa.""BUSET! KENA MUKA GUE BALONNYA KAMPRET!" protes Raveena sebal. "Ehhhh! Itu di apain?! Diapain dia?!""Di ajak main biar anteng," balas Rasen santai. "Tuh kan, lucu."Raveena beralih sorot pada Nayara. Bayi itu sudah di penuhi balon yang talinya di ikat pelan di kedua tangan dan kakinya. Tega sekali Rasen, bayi itu
"Bagaimana bila kamu yang membuatku jatuh cinta? Apa kamu juga akan diam saja?" —Raveena Adhisty****Author Pov"Vee, udah, Vee. Jangan nangis terus," ujar Lista menatap prihatin."Gue ... Gue ....""Gue ngerti kok rasanya. Tapi udahan nangisnya jangan makin kenceng."Sedaritadi cewek itu hanya duduk di salah satu kursi panjang dekat kolam ikan-mengamati Raveena yang menangis di sampingnya. Bel istirahat berbunyi lima menit yang lalu. Lista meringis. Tangisan Raveena begitu jelas sampai beberapa murid yang melewatinya salfok.Raveena menunduk dengan kedua tangan menutupi wajahnya. Juntaian rambutnya ikut bergerak seiring pergerakan bahunya yang terguncang. Lista hanya mengusap-ngusap punggung Raveena pelan."Lo nggak tahu rasanya jadi gue, Lis. Enggak." Raveena berbicara tersedu-sedu. "Huaaa! Gue pengen teriak kenceng aja!""Sekenceng apapun lo nangis sama teriak. Nggak akan ngubah apapun, Vee," ucap L
“Tak peduli siapa saja yang ingin menetap di hatiku. Kalau orangnya bukan kamu, aku tak akan pernah mau.” –Raveena Adhisty****Flashback on......Sejak malam itu semuanya telah berubah. Ketika kakinya melenggang masuk ke sebuah ruang utama penuh dengan sambutan hangat. Lampu-lampu indah begitu menarik iris matanya untuk semakin memperdalam pandangannya.Menjadi sebuah titik sorotan memang tidak menyenangkan. Apalagi ketika semua pasang mata memperhatikan dengan seksama. Sungguh, saat itu yang Raveena rasakan adalah rasa nervous tingkat tinggi bukan main. Dress putih menjuntai panjang begitu cantik ia kenakan. Pesonanya malam itu berhasil membuat semua orang disana terpana.Termasuk lelaki yang masih berdiri dengan ekspresi datarnya itu.Sebuah pelukan hangat ia rasakan saat wanita itu mendekapnya penuh kasih sayang. Raveena mengulas senyum tipis. Di balik rasa bingung yang bersarang, gadis itu masih bisa
“Ternyata, susah ya suka sama seseorang yang disukai banyak orang.” –Raveena Adhisty****Author PovKakinya melenggang keluar setelah pintu lift terbuka. Cowok itu menyugar rambutnya ke belakang saat satu tangannya membenarkan posisi ransel yang menggantung di sebelah pundaknya. Iris matanya langsung menangkap dua sosok wanita yang tengah sibuk menyiapkan sarapannya di sana.“Ekhem-ekhem.” Rasen berdeham membuat Divya dan Laudia menoleh. “GUTEN MORGENNN EPERIBADIIII!”“Pagi Tuan Rasen,” balas Laudia formal.“Pagi juga Laudiaaaaa!” balas Rasen semangat. “Ummi, bilang pagi juga sama Rasen,” ucap Rasen saat Divya malah terlihat biasa saja.“Ummi eh.”“Sen, hari ini kamu udah enam kali nyuruh Mama bilang kata pagi, nggak inget?” tanya Divya menggeleng heran.“Nggak tuh, ah! Ummi mah suka mengada-ngada,&rdq
Author PovPembagian raport akhir semester kelas tiga, Rasen datang ke sekolah putranya sebagai ganti karena Raveena berhalangan untuk datang. Lelaki penuh wibawa itu melangkah mendekat ke meja guru ketika nama depan putranya yang sudah dipanggil.Rasen tersenyum sopan. Ini pertama kalinya ia datang sebagai wakil, ntah kenapa baru saja beberapa detik menghadap wali kelas Arsean, perasaanya mendadak tak enak. Padahal dari rumah Rasen sangat yakin putranya pasti membanggakan dunia akhirat.Bu Seny—guru perempuan itu tersenyum manis. “Pak Rasen? Silahkan duduk, Papanya Arsean Adhisty.”Kening Rasen mengerut. “A-Adhisty?”“Iya Adhisty.”“Maaf Bu, kayaknya ucapan Ibu typo sekebun. Nama belakang Arsean itu Adystha,” ujar Rasen mencoba mengoreksi, lelaki itu menarik kursi lantas duduk dengan tenang.Bu Seny mengangguk. “Emang benar Pak, tapi Arsean protes nggak mau
“Kata Papa, masalah bisa membuat seseorang dewasa. Maka dari itu, ayo buat masalah sebanyak-banyaknya.” —Arsean Adystha***Author PovRaveena tidak tahu bagaimana cara menjelaskan keadaanya sekarang. Dari kemarin ia sama sekali tidak bisa diam. Rasa gelisah dan takut bercampur menjadi satu hingga membuatnya tak bisa tidur. Raveena stress. Ini menyangkut masalah putra tunggalnya.Perempuan itu mengusap wajahnya dengan kasar, ia menoleh pada Lista dan Merin yang duduk di sampingnya. Raveena lupa jika kejadian ini juga melibatkan putra-putra sahabatnya. Apalagi Lista kemarin sempat pingsan mendengar kabar itu.“Arsen,” gumam Raveena lemas. Kedua tangannya bergetar. “Arsen pulang sayang.”“Vee...” panggilan lembut itu berasal dari suaminya. Raveena menatap sedih ketika Rasen berjongkok tepat di depannya. Lelaki itu memegang erat tangan Raveena. “Tenang ya.”“Te
Author PovDelapan tahun kemudian......“Siang Pak Bos ganteng, hehe!”“Siang Pak ... Blasteran surga!”“Siang Pak R.A!” sapa seorang karyawati yang berada di balik kubikelnya, ia tersenyum jumawa beberapa detik. “Astagfirullah! Ngimpi apa gue punya atasan ganteng yang ngelebihin batas wajar dan kemanusiawian!”“Heh!” seru temannya yang baru saja meletakkan secangkir kopi. “Suami inget di rumah! Umur lo udah tiga puluh lebih bisa-bisanya cengar-cengir liat atasan sendiri!”Yang ditegur hanya mendelik, meskipun yang dikatakan teman kerjanya itu sertus persen benar, namun perempuan dewasa itu tak mampu mengelak pesona sang atasan. “Pak Rasen ... Bukan manusya anjir.”“Hm. Gue ampe mimisan saking gantengnya.”Langkah kaki besarnya berjalan keluar pintu utama gedung pencakar langit dengan lambang bintang bewarna silver it
Dear, Raveena Adhisty.Saya tidak pernah menyesal untuk akhir yang sehancur ini. Setidaknya kita bertiga pernah ada. Setidaknya kita bertiga pernah bahagia bersama.Satu hal yang harus kamu tau, kamu akan selalu menjadi bagian histori hidupku yang pernahku perjuangkan.Rasendriya Adystha.***Author Pov“Kakek minta Rasen ke Melbourne?” tanya Divya.“Iya. Katanya kangen, sekalian ada yang mau dibicarain. Udah lama juga, kan, Rasen nggak ke sana ngejenguk mereka. Nenek lagi sakit, makanya nggak bisa kesini,” jawab Rasen.“Jenguk kakek nenek atau ... Ngistirahatin hati?”“Both,” jawab Rasen pelan. Lelaki itu membaringkan tubuhnya di atas ranjang ketika Divya sibuk keluar masuk walk in closet untuk mengemasi semua pakaian anak tunggalnya. Ia melirik menggunakan ekor mata, lalu kembali meluruskan pandangannya.“Kakek bilang Nayara itu bintang pali
Author PovFlashback 1.5 tahun yang lalu...“Kamu jangan kemana-mana, tetep di rumah. Nanti aku jemput.”“Lo nggak waras? Meski kita baru kenal, tapi gue ayahnya. Gue...ayahnya.”“Gue bakal nikahin lo, Sha.”Ucapan dari seorang lelaki bewajah tampan itu masih terngiang jelas dalam benaknya. Bagaimana tatapan serius itu begitu menghunus. Begitu mengintimidasi, sampai dirinya tak mampu berkutik. Harsha menggeleng, ia malah kembali teringat ucapan Rasen.Sudah dua minggu berlalu, setelah hari dimana Rasen menyuruh Harsha untuk tetap diam di rumah, perempuan itu malah memilih kabur untuk menjauh. Harsha tidak mau sampai Rasen menemukannya, meski lelaki itu telah berjanji akan bertanggung jawab.“Sha?”“Ya?” sahut Harsha menoleh.“Kamu pindah kostan?” tanya Aina—temen satu pekerjaan Harsha di sebuah restaurant besar. “Kok kemarin pas pulang ke
Tragedi kecelakaan masal di taman kota. Sang pelaku putri pengusaha besar?Putri tunggal Abraham Dharka, Liora Mysha dituntut atas kasus pembunuhan.Perusahaan diambang kebangkrutan, putri tunggal Abraham Dharka dipenjara?--o0o—Dunia itu kejam. Manusia sama kejanya. Sesuatu kesalahan yang dilakukan mungkin masih bisa diberi maaf, tapi bagaimana jika kesalahan yang dibuat jauh dari kata fatal? Terlebih lagi karena didasari oleh kesengajaan dan dendam.Awalnya hidupnya baik-baik saja. Hingga perempuan dengan nama penuh kutukan itu hadir. Menggores luka yang kian menganga, meninggalkan rasa sakit yang tak akan pernah hilang. Seseorang yang bahkan telah menunjukan sisi iblisnya lebih dalam.Suara lirihan tangis dari seorang wanita seusia Ibunya terdengar begitu menyayat. Rasen yang baru saja keluar dari pintu persidangan hanya mampu terdiam kala melihat tangan Divya di pegang erat-erat oleh Irani—Ibu Liora Mysha. Matany
Author PovUjian Nasional telah usai dilaksanakan seminggu yang lalu. Kelas dua belas memasuki masa bebas. Masa-masa akhir sekolah setelah melewati puncak yang cukup menguras otak. Setelah berjuang selama tiga tahun, tidak ada lagi yang di tunggu selain hasil yang memuaskan."Lo tuh moto gue niat kagak sih? Nggak ada satupun yang bagus anjir!" gerutu Merin menatap layar ponselnya."Niat lah," ujar Lista ikutan sewot. "Lagian kalau jelek bukan salah gue kali. Mukanya lo aja yang kurang glowing.""Eh! Lo tuh, ya! Bukan masalah muka. Orang muka gue jelas udah cantik. Tapi liat nih, ada yang ngeblur, ngebayang, sama pose gue belum siap udah lo jepret aja," ucap Merin memberi lihat fotonya pada Lista."Lih, bukan salah gue," elak Lista."Gue kalau moto temen suka pakek niat. Giliran temen motoin gue, nggak satupun yang bener. Sebenernya lo punya dendam apasih sama gue?!""Hutang lo belum di bayar," jawab Lista nyeplos.
Author Pov“Dapahh eh! Dapahh!” Lista misuh-misuh sendiri pada pacarnya. Sedaritadi ia ingin meminta bantuan soal tugas remedialnya, namun lelaki bermata teduh itu hanya diam saja. “Dapahh mah, ah, sama pacar sendiri jahat!”“Jahat apa? kamu suka ngadi-ngadi kalau ngomong!” kata Daffa.Lista mengerutkan keningnya. “IHHH! NGADI-NGADI APA?! Aku cuman mau minta dicupangin!”“ASTAGFIRULLAH TAKBIR YA ALLAH!” Sentak Romi yang memasang raut wajah dramatis. “Lis, nyebut Lis! Bapak lo tau, si Daffa kena bogem ampe teler gimana?!”Lista sama sekali tak mengerti, ia menghiraukan ucapan Romi lalu kembali beralih pada Daffa. Gadis itu menarik-narik kemeja putih Daffa dengan satu buku memegang buku tugas. Sebenarnya di sini Lista salah mengartikan kata.“Dapp! Cupangin dong!”“Aku nggak bisa nyupang, bisanya nge-ruqyah. Mau anda?!” tanya Daffa nyol
Author Pov"Si Johan asyu nggak ada akhlak!" gerutu Rasen dengan wajah tertekuk kesal. "Asalamualaikum. Paijo! Gelud moal?!"Pulang sekolah Rasen misuh-misuh sendiri. Mogok ngomong sama temen-temennya. Terutama pada Johan, teman bangsat yang tidak ada adab sama sekali. Berani-beraninya membuat nyawa Rasen hampir melayang karena ulah jahil yang tidak manusiawi."Sen, kayak emak-emak banyak tunggakan lo malah ngambekan," kata Johan diikuti Romi dan Daffa dari belakang."Gak usah deket-deket, gue lagi marah sama lo." Rasen melengos menjauh, lelaki itu berbicara sambil membawa anak kucing yang ntah darimana datangnya. "Pergi lo! Pergi!"Johan menarik-narik tangan Rasen dramatis. "Aku bisa jelasin semuanya!""Bulu kaki gue sampe merinding dengernya," ujar Romi bergedik ngeri sendiri."Lo semua itu kejam! Sepakat, kan, lo pada nyimpen SEBLAK di tas gue? Lo tau gue nyaris pingsan liatnya! Kalau Mama Divya sedih tau nyawa gu