Author Pov
"Bi, hari ini jadi ke Singapore?" tanya Raveena di sela-sela sarapannya.
"Ya lah jadi. Kapan lagi coba liburan ke luar negri gratis?" jawab Maudy—Bibi dari Raveena itu sibuk mengoleskan selai di beberapa lembar roti. "Kamu serius nggak mau ikut? Nggak berubah pikiran?"
"Nggak Bi. Itukan acara kantor Bibi, mana mau aku gabung main sama orang-orang dewasa. Beda generasi."
"Tapi ini gue dikasih tiket gratis lagi buat satu anggota keluarga. Ya, kalau lo nggak mau ikut sih nggak apa-apa. Gue bisa ajak anak Mang Sueb."
"Ajak aja, nggak iri kok."
"Halah, awas ntar nyesel. Mampos!" cibir Maudy terus-terusan.
"Buset, nggak akan lah. Ya ampun."
"Bisa jadikan ntar lo nelpon gue pas gue udah di sana, terus nangis-nangis pengen di jemput," ujar Maudy melahap rotinya.
"Ih! Sama ponakan jangan pakek lo-gue. Udah dikasih tau juga!"
"Kenapa sih? Nggak akan mati juga kalau ngomong pakek lo-gue." Maudy sewot.
"Iya-iya serah Bibi aja," ucap Raveena menyudahi. "Berapa lama disana, Bi?"
Maudy menerawang ke atas langit-langit ruangan, seperti sedang mengingat. "Semingguan lah, nggak akan lama. Kamu nggak takutkan ditinggal sendiri di rumah?" tanyanya. Pakai aku-kamu lagi. Soalnya udah ditegur Raveena tadi.
"Nggak bakalan. Udah sering kali aku ditinggal sendiri di rumah. Udah gede, bukan anak TK," jawabnya tandas.
Sesudah itu tidak ada lagi pembahasan, lalu keduanya melanjutkan sarapan. Maudy adalah adik dari mendiang Ayah Raveena. Dia seorang janda yang masih terbilang muda. Maudy diceraikan oleh suaminya 3 tahun silam karena tidak bisa memiliki seorang keturunan. Maka dari itu, Maudy sangat menyayangi Raveena.
"Bibi berangkat siang. Awas, tabung gas jangan sampe ilang."
---o0o----
"Ganteng gila sih ni cowok. Suka gue, idung nya yaampun! Pengen gigit Dedeq Bang!"
"Ototnya wagelaseh, edan! Edan! Edan!"
"Mantep inimah. Ini actor Negara mana sih? Kok mukanya seakan-akan pengen banget gue ajak nikah."
"Turunan dari surga kayaknya ni orang."
Raveena yang baru saja tiba di kelas langsung mengarahkan langkahnya ke arah dua gadis yang sedang heboh menatap layar ponselnya. Berjalan lebih dekat.
"Woy, Upin! Ipin!" panggil Raveena.
Dua gadis itu lantas menoleh. Beberapa saat kemudian mereka nyengir, memamerkan deret giginya yang rapih dan bersih. "Eh, Tante.. gimana kabarnya? Sehat? Udah lama nih nggak temu kangen," ujar salah satu dari mereka, so manis.
"Nggak usah lebay kayak gitu, Mer. Merinding disko gue dengernya," balas Raveena.
"Lo juga Lista! Bukannya bantuin gue nagihin uang kas kemarin. Malah baru masuk. Lo berdua kemarin kenapa nggak sekolah? Bisa samaan gitu lagi, janjian ya lo pada?" tuduh Raveena kepada kedua temannya spontan. Merin dan Lista hanya cengengesan.
"Lagi?" tebak Raveena saat mengerti apa yang telah terjadi.
"Salahin si Merin, Vee. Dia yang ngajak duluan nonton drakor sampe jam 4 subuh," ujar Lista tidak mau disalahkan.
"Gue mana tahu kalau ceritanya bakal seseru itu, Vee. Nanggung banget kalau nggak ditamatin. Lagian si Lista juga nggak nolak. Dia mau-mau aja diajak gadang," ucap Merin membela diri.
"Ya tapi mikir-mikir dulu dong. Lo pada gadang pas malam senin? Seriusan kalian udah kayak nggak niat sekolah gitu."
"Emang," jawab keduanya serempak.
"Vee...."
Merasa terpanggil, Raveena menoleh ke arah sumber suara-diikuti Lista dan Merin. Ternyata itu Rasen. cowok itu tiba-tiba menghampiri. Hari ini tampilan nya begitu buruk; rambutnya acak-acakan, seragam yang tidak terlihat rapih. Wajahnya juga sedikit pucat dengan kantung mata yang terlihat jelas. Seperti habis begadang.
"Materi tugas kemarin masih ada? Sini gue mau ngerjain," ujar nya sambil mengusap-ngusap wajahnya kasar.
Alih-alih menjawab, Raveena malah tertegun beberapa saat. Menghiraukan ucapan Rasen tadi. Karena penampilan Rasen hari ini membuat Raveena terdiam cukup lama.
"Vee.." panggil Rasen lagi menyadarkan lamunan Raveena. Suaranya terdengar lemas.
"Ah, iya. Lo nggak usah ngerjain deh Sen. Udah gue beresin semalem," jawab Raveena.
"Katanya nggak mau dikerjain sendiri, tapi lo juga yang beresin."
"Gue gabut semalem."
"Sen? Are you okey?" tanya Lista yang merasa aneh melihat Rasen hari ini. cowok itu tidak semenyebalkan hari-hari biasanya. Cenderung kalem dan tak mengeluarkan mahabacotan-nya.
"Its ok," jawab Rasen sedikit menguap.
"Lo pasti juga gadang kan?" tanya Merin. "Pasti tidurnya subuh ni gara-gara maen games. Biasanya sih cowok kayak gitu, atau kalau nggak pasti nonton bola. Oke lah, sebelas duabelas sama gue sama Lista."
"Tau aja lo," balas Rasen tersenyum kecil. Raveena tahu jawaban Rasen adalah kebohongan. Rasen seperti ini pasti karena pekerjannya, itu pasti.
"Vee, gue mau bayar uang kas dong." Pernyataan Rasen berhasil membuat ketiganya mematung di tempat.
Apa mereka tidak salah dengar? Seorang Rasen bayar uang kas? Beneran? Raveena membelalakan matanya tak percaya.
"Ulangi lagi coba," pintanya.
"Gue mau bayar uang kas," ucap Rasen mengulangi kalimat.
"ALHAMDULILLAH!!!" seru semuanya serempak. Lista dan Merin mengadahkan kedua telapak tangannya bahagia. Seakan-akan tindakan Rasen ini adalah hal paling mulia yang pernah ada. Suatu keajaiban yang ntah dari mana datangnya.
"Rasen tobat."
"Anjir terhura aing," ucap Rasen melihat reaksi ketiganya. "Gue mau bayar uang kas aja, muka kalian sampai sebahagia itu. Bener-bener mulia banget sikap gue hari ini."
"Gue ... gue bangga sama lo, Sen." Lista tak bisa berkata-kata.
"Hm, gue tau Lis. Gue emang membanggakan. Udah nggak usah muji lagi. Kalian nggak perlu repot-repot," ucap Rasen enteng.
"Ngh ... nyesel gue ngomong," gumam Lista.
"Gue tunggu lo di bangku sana Vee," ucap Rasen menujuk bangku dekat ambang pintu.
"Ck! Disini aja elah, Sen." Decak Raveena seraya mengernyitkan dahinya. "Cuma bayar juga."
"Nggak mau, pokoknya di bangku sana. Atau kalau lo nggak mau ya udah, Rasen si cerdas dan ganteng ini nggak jadi--"
"Eh-iya, iya. Nggak usah dilanjutin. Kita kebangku sana," kata Raveena menyela ucapan Rasen. Buru-buru gadis itu melangkah lebih maju. Atau kalau tidak Rasen akan berubah pikiran.
---o0o---
"Mau bayar semuanya? Bentaran, gue ngitung dulu." Raveena sibuk mengeluarkan buku catatan nya, moodnya tiba-tiba bagus hari ini. "Lo nggak bayar 4 bulan ya, Sen. Berarti kalau 4 bulan? Jadi—"
"Semanget banget sih lo. Mau aja dikibulin, bohongan juga," ucap Rasen enteng.
Raveena tertohok saat itu juga. Apa katanya tadi?
Bohongan?
BOHONGAN?!
B.O.H.O.N.G.A.N????
Persetan untuk muka ganteng si Rasen yang ntah kapan jeleknya. Raveena ingin sekali mencokel mata Rasen lalu dijadikan pajangan di dalam lemari kacanya. Bisa-bisanya Raveena percaya saja kalau Rasen akan bayar uang kas? Ha! Raveena merutuki kebodohannya.
"Bangsul kau mamank!" umpat Raveena mendelik sinis. "Terus lo nyuruh gue kesini mau apa? Dengerin bacotan lo yang indah itu? Eohh." Raveena berbicara tanpa melihat kearah Rasen.
"Hehe. Jangan pundung elah. Jadi gue ngajak lo ke sini karena gue cuma mau minta materi–"
"Kan gue udah bilang tugas nya udah gue kerjain! Jadi lo nggak usah minta lagi materi! UDAH BERES! UDAH KOMPLIT!" ucap Raveena nyolot begitu saja. Lalu saat Raveena hendak melangkah, tiba-tiba Rasen menarik rambut panjangnya hingga tubuh gadis itu hampir kejengkang.
"Bentar dulu, gue belom beres ngomong Munaroh!"
"Eh onta! Jan ditarik-tarik rambut gue. Huaa! Ntar botak ih, Rasen!"
"Makanya dengerin dulu. Maen kabur-kabur aja," cibir Rasen. Raveena langsung diam. "Gue minta materi buat rapat hari ini. bukan materi tugas," ungkap Rasen dengan nada sepelan mungkin.
Raveena bungkam untuk beberapa menit sebelum akhirnya membuka suara setelah mengingat sesuatu. "AH IYA RAPAT–EH!"
Raveena langsung menangkup mulutnya dengan cepat. Apalagi Rasen sudah melotot lebar. Gadis itu hanya tersenyum malu dengan mata diedarkan, memastikan tidak ada yang mendengar ucapannya.
"Schedule lo padet hari ini," bisik Raveena.
Rasen mengangguk mengerti. "Coba sebutin."
Raveena merogoh ponselnya, menggulir layar dengan hati-hati dan fokus. Rasen menunggu seraya menengok kearah kanan dan kiri. "Jam 1 siang di café Siloka sama klien dari Surabaya. Terus jam 5 nya sama klien dari Jogja di ruang utama," ucap Raveena memberi informasi.
Jeda, "Materi lo buat meeting jam 1 udah gue siapin, tinggal ambil aja dari flashdisk gue. Soalnya Sekretaris lo lagi sakit. Terus iya, proposal yang lo kasih ke gue udah gue revisi dikit, terus udah gue kasihin ke Pak Bobby."
Rasen bukan lelaki yang gila harta untuk dipamerkan. Di sekolah, hanya Raveena, Daffa dan Romi yang tau. Mereka menutup rahasia itu rapat-rapat sesuai keinginan Rasen. Ini di sekolah. Semua orang harus mengenal Rasen sebagai siswa, bukan penerus perusahaan yang mungkin akan membuat beberapa orang tertawa bodoh karena terdengar mustahil.
Bahkan Raveena sendiri saja bingung. Ntah sejak kapan dirinya sering membantu Rasen atas semua masalah perusahaanya. Kadang Raveena merasa kalau dirinya seperti asisten pribadi tuan muda ini. ini bukanlah keinginan Raveena, tapi Rasen sendiri yang membuatnya menjadi orang terpercaya secara tidak langsung. Padahal Rasen memiliki puluhan asisten yang siap membantunya. Tapi kembali lagi, Rasen selalu meminta bantuan Raveena. Dengan dusta selalu mengatakan; Vee, bantuin gue kali ini aja. Ntar uang kas gue bayar, lunas!
Dan begonya Raveena malah nurut. Alhasil, sekarang apapun jadwal Rasen. Raveena selalu tahu.
"Siap, coba mana flashdisknya. Gue mau salin," ucap Rasen.
"Lo beneran nggak pa-pa, Sen?" tanya Raveena merasa kasian melihat wajah Rasen yang kusut.
"Nggak pa-pa, selow aee. Cuma gugup aja nanti."
"Seriously? Masa meeting sama klien Jepang minggu kemarin nggak gugup," ucap Raveena menatap kecurigaan.
Rasen menghela nafasnya kasar. "Nggak tahu, mungkin belom liat cewek cantik kali. Makanya gugup. Ntar deh, gue cuci mata dulu liat dede emesh pas istirahat."
"Pingsan aja lo sono."
---o0o----
"Jo, nggak mau mampir dulu?" tawar Raveena, setelah motor Johan terhenti tepat di depan pintu gerbang rumahnya. Ya, Johan mengantar Raveena pulang hari ini.
"Nggak ah, Vee. Gue harus pulang cepet, mau mabar sama anak-anak," jawabnya.
"Katanya mau nganter ke Gramedia, kok?"
"Kapan-kapan aja deh, ntar kalau ada waktu luang gue ngabarin lo."
Raveena hanya tersenyum tipis. Sudah terbiasa mendengar penuturan dari Johan seperti ini. 4 bulan berpacaran, tapi Raveena selalu merasa tidak memiliki seorang pacar. Johan terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Mungkin sepertinya Johan lupa kalau Raveena adalah wanita ia nyatakan perasaannya di tengah lapangan dengan sebuket bunga dan juga boneka yang sangat besar. Itu pertama dan terakhir kalinya Raveena melihat sikap romantis Johan. Dan tidak lagi.
Raveena hanya dekat dengan namanya, bukan orangnya.
"Yaudah iya, hati-hati ya pulangnya. Nanti sebelum mabar makan dulu. Kamu suka bablas sampe malem," ujarnya.
Johan menanggapi dengan anggukan kecil. "Gue pulang dulu, Bi Maudy jadi ke Singapore kan? Kalau nggak ada temen, chatt aja Lista atau Merin," usulnya.
Ingin sekali Raveena berbicara; kenapa bukan lo yang nemenin? tapi gadis itu memilih diam. Mengalah.
"Iya," jawab Raveena lalu membalikan badannya. Membuka gerbang pintu rumahnya yang tertutup saat Johan telah melesat pergi.
Keadaan rumahnya sangat sepi, berarti Maudy telah berangkat ke Singapore. Raveena berjalan dengan kepala terus menunduk menatap layar ponsel. Mengecek Instragamnya yang penuh dengan DM dari adik kelas. Tersenyum geli membaca beberapa kalimat receh dan gombalan dari mereka.
"Kalau udah putus dari Johan chatt gue ya Vee." Raveena mengernyitkan dahinya membaca direct message salah satu dari mereka. "Gila! Ada-ada aja."
"OEEKKK! OEEKKK!"
Raveena refleks mendongak 'kan kepalanya. Suara tangis bayi yang terdengar nyaring dan keras itu memecah belah fokus aktivitasnya barusan. "Suara bayi siapa tuh," gumam Raveena mengedarkan padangannya. Tidak ada siapa-siapa.
Raveena berjinjit sambil celingak celinguk ke arah gerbang rumah. Tapi keadaan sepi, tidak ada siapapun.
"Anak tentangga kali," ujarnya berpostif thinking. Gadis itu kembali melanjutkan aktivitasnya sambil berjalan kecil menuju teras rumah.
"OEEKKK! OEEKKK!"
Lagi, Raveena tersentak sambil menahan napasnya saat suara tangis bayi itu kembali terdengar. "Bayi siapa sih yang nangis? Emaknya kemana?" Raveena bermonolog dengan wajah was-was.
Karena sepengetahuan Raveena, tentangganya tidak ada yang memiliki bayi. Kalaupun ada, kenapa suara tangis bayi itu terdengar dekat dengannya. Bahkan sangat dekat.
Raveena berjalan dengan terburu-buru. Pikirannya sudah melayang kemana-mana. Gadis itu lekas berlari kecil kearah teras. Setelah di depan pintu Raveena langsung membuka kunci tanpa menoleh lagi kebelakang. Hingga...
"OEEKKK! OEEKKK!"
"SETAN, JIN, ANJIR ASTAGFIRULLAH KASAR!" Raveena memekik sangat keras.
Tubuhnya membeku di tempat dengan tatapan terkuci pada satu arah. Di teras sebelah kanan—tepatnya didekat pot bunga, terdapat bayi mungil yang terbaring di atas ranjang berukuran sedang bewarna coklat. Saat itu juga, wajah Raveena sangat pucat seputih kapas. Ntah sejak kapan tangannya gemetar hebat seperti sedang mengigil. Darahnya berdesir kuat. Raveena sesak napas.
"Ba-bayi? Eh, orok? Eh, YA ALLAH INI APAAN?!?!"
***
Tbc ❤
Author PovRaveena menghela napasnya gusar. Mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar kuat. Gadis itu berdiri kembali setelah meletakan keranjang berisi bayi mungil itu di atas kasur miliknya. Tangannya masih terus bergetar hebat. Apalagi saat ia tadi memutuskan membawa masuk sang bayi ke dalam rumah. Jujur, Raveena parno setengah mati.“Gue harus ngapain?! Ini gimana? Ya ampun anak siapa sih ini,” gumamnya sambil terus berfikir keras.“Tega bener dah, mana nyimpen nya didepan rumah gue lagi. Dikira rumah gue bandar baby sitter kali yak.” Raveena bolak balik berjalan pelan sambil mengigiti kuku jari tangannya.“Telpon siapa ya? Hm ... bibi Maudy? Eh jangan! Pasti lagi di pesawat nih,” ucap Raveena bingung setengah mati. “Merin? Oke sip, gue dapet pencerahaan dari yang Maha Kuasa.”Raveena langsung menekan panggilan ke nomor Merin. Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah--“Lailah, nggak aktif. Pasti lagi nonton
Author PovHari ini, di tanggal merah. Raveena telah menyusun semua daftar pekerjaanya. Dari mulai membawa Nayara ke Dokter anak untuk check up medis. Seraya meminta saran merawat bayi yang baik untuk seorang pemula.Hari ini, di tanggal merah. Raveena akan belanja semua kebutuhan Nayara. Membeli perlengkapan penting Nayara yang telah ia susun di secarik kertas putih.Hari ini, di tanggal merah. Raveena akan mencetak semua gambar Nayara yang sempat ia potret menjadi polaroid yang akan ia pasang di dinding kamarnya.Hari ini, Raveena akan melakukan semuanya, bersama Rasen.Raveena berdiri memandangi dirinya dipantulan cermin, kembali mengamati pakaian yang ia pakai hari ini. Setelah semuanya terasa tidak perlu ada yang dikoreksi, gadis itu tersenyum. “Mantul, cocok banget dah gue!” serunya mengedipkan sebelah matanya.“Good morning cantik,” sapa Raveena beralih pada Nayara, duduk di sisi ranjang lalu menggendong bayi k
Author Pov“Gue denger cerita dari anak-anak. Katanya kemarin Pak Didin liat itu di kamar mandi cewek.”“Ngarang kali. Jangan bikin gue parno, elah. Ntar gue ke kamar mandi takut,” ujar Merin panik mendengarkan cerita Lista yang sempat heboh kemarin. Dimana katanya Pak Didin–selaku penjaga sekolah melihat sebuah mahkluk di kamar mandi wanita di sekolahan ini. Merin pada dasarnya memang penakut, jadi lebih takut lagi.“Biasanya sih yang kayak gitu, paling suka sama orang yang penakut. Ya nggak Lis?” Raveena menambahi.“Yoi, mampos lo kalau ke kamar mandi nggak akan kita anter.”“Woy, sejahat itukah kalian sama gue? Oke lah, kalau lo pada nggak mau nganter, gue mau minta anter sama Johan aja lah,” ucap Merin nyeleneh.“Emang bisa?” Raveena menantang.“Bisa lah, jangan salahin gue kalau cowok lo malah belok haluan ke gue, ya Vee.”Selalu saja Johan yang dibuat objek candaan Merin. Tidak tahu apa maksudn
Author Pov“Cepetan buka!”“Lo ... serius, Vee?”“Iya. Ayo nunggu apalagi?”Rasen menggeleng. “Nggak mau, Vee.”“Lo mau gue paksa di sini juga?” tanya Raveena.“Nggak gitu juga. Tapi....” Rasen meneguk air ludahnya susah. “Harus sama gue, ya?”“Iyalah!” seru Raveena lantang. “Katanya mau jadi Papa dari anak kita. Tapi gitu aja nggak mau. Cepetan buka celananya Rasen!”“Nggak pa-pa Vee kalau lo agresif gini. Tipe gue banget soalnya,” ucap Rasen membuat Raveena gemas. Gadis itu menarik tangan Rasen sampai Rasen memejamkan matanya.“Cepetan buka popok Nayara. Ganti sekarang juga!” perintah Raveena.“I—iya.” Rasen menggaruk tekuknya yang tak gatal. Raveena terus memaksa Rasen mengurus popok Nayara yang sudah kotor karena pup. Rasen yang tak berpengalaman malah kebingungan.“Harus gue ajarin?” Raveena mendengus kasar. Ia ikut duduk di sebelah Rasen, menggeser posisi Rasen sehingga Raveen
Author Pov"Itu, Johan di belakang lo...."Empat kata yang di keluarkan Raveena berhasil membuat Rasen tak bergerak layaknya patung. Hanya matanya saja yang berkedip. Untuk keseluruhannya, cowok itu tak jauh seperti maneqin di pasaran.Rasen membalikan badannya secara perlahan. Tekadnya sudah kuat untuk menanggung resiko. Iyalah, kan katanya Rasen cowok sejati. Preetttt.Benar saja, Johan–cowok itu sudah berdiri tegap menghadap Rasen. bahkan jaraknya saja tidak begitu jauh. Rasen yakin kalau ucapannya pasti terdengar."Eh, bro...." Rasen kebingungan memulai. Sedangkan Johan masih berdiri dengan tatapan mematikan.YAELAH APAAN AING SOK AKRAB SEGALA? TAU LAH MALU PEN BUANG MUKA AJA!"Kalau ngomongin orang tuh sama orang langsung. Bukan so-soan ke orang lain, apalagi ke cewek yang lo omongin tadi," ucap Johan begitu cuek dan dingin.Damn! Ucapan Johan tentu tertuju pada Rasen. Rasen yang sedang berdoa a
Author Pov“RASEN IHHHHHH! KENAPA SIH LO DEMEN BANGET CARI MASALAH SAMA GUE?!?!”“LO TUH BISA GAK SIH SEKALI AJA GAK BIKIN GUE KESELLLLLL???”Rasen yang tengah meneguk segelas susu malah hampir terbatuk-batuk. “Gue ngapain dah? Cuman diem,” ujar Rasen.Terhitung sudah hampir seminggu, Raveena dan Rasen selalu menghabiskan waktu bersama. Mengurus dan mengasuh Nayara. Jangan pikir kalau dalam waktu seminggu itu mereka akur. Tolong sekali lagi, jangan pernah memikirkan hal itu. Nyatanya, meski dalam situasi yang menuntut mereka berkerja sama. Raveena dan Rasen tidak pernah dari lepas adu bacot.Raveena mendapat kabar kalau Bibinya—Maudy, akan segera pulang ke Indonesia. Antara besok dan lusa. Itu adalah kabar yang cukup gembira untuknya. Tapi khusus malam ini, Raveena sedang naik pitam.“GUE KAN UDAH BILANG JANGAN HABISIN SUSU FORMULA NAYA!!” Pekik Raveena menatap kesal. Keduanya kini sedang berada di dapur. Raveena kelewat je
Author PovOlahraga. Adalah mata pelajaran yang paling ditunggu-tunggu oleh sebagian siswa/sisiwi. Tapi untuk para kaum mager yang hobinya dirumah adalah rebahan, mata pelajaran ini sangat paling dihindari dengan asalan; malas, capek, panas, dan sebagainya.Hari ini, para murid kelas 12 IPA 2 tengah berkumpul di lapang. Di bawah teriknya sinar matahari. Mereka berbaris rapi lengkap menggunakan seragam olahraga serempak. Di barisan paling depan putri, telah di pimpin oleh Raveena. Raveena mengedarkan pandangannya. Mengamati secara inci dan detail perbarisan di belakang juga di sampingnya. Ternyata benar, ada yang kurang. Rasen dan kedua sahabatnya itu hilang ntah kemana. Bagai terlelan bumi.“Bentar, Wil, jangan dimulai dulu pemanasan nya,” ucap Raveena kepada Wildan selaku pimpinan barisan putra.“Kenapa?”“Nyari Rasen sama dua kecebongnya dulu,” kata Raveena lekas pergi menjauh meninggalkan barisan. Lista dan Merin saling pandang satu
Pagi-pagi, Raveena belum sepenuhnya sadar dari bangun tidurnya mengernyit heran menatap Rasen yang sudah berdiri sambil memegang keresek yang ia bawa. Tidak ada angin dan hujan, tiba-tiba saja Rasen jinak. Cowok itu masih anteung dengan wajah watados meski Raveena menatapnya penuh pertanyaan."Terus, di sini ngapain?" tanya Raveena heran. Gadis itu masih terbaring lemas di atas kasur."Nganterin sarapan buat lo, biar lo bisa makan obatnya langsung." Rasen mengeluarkan bubur dan roti di dalam keresek yang berbeda."Lo ke sini cuma nganterin gue sarapan? Nggak perlu, gue masih ada nasi, elah," ucap Raveena menyipitkan matanya menahan pusing."Gue juga pernah ngerasain sakit, Vee. Kalau lagi sakit makan nasi tuh rasanya berubah nggak enak, makanya gue bawain ini." Rasen menyahut santai. "Eh, ntar kalau gue berangkat, anak kita jangan lupa dikasih susu ya.""Iya bawel."Rasen meletakkan bubur dan roti itu secara bersamaan diatas naka
Author PovPembagian raport akhir semester kelas tiga, Rasen datang ke sekolah putranya sebagai ganti karena Raveena berhalangan untuk datang. Lelaki penuh wibawa itu melangkah mendekat ke meja guru ketika nama depan putranya yang sudah dipanggil.Rasen tersenyum sopan. Ini pertama kalinya ia datang sebagai wakil, ntah kenapa baru saja beberapa detik menghadap wali kelas Arsean, perasaanya mendadak tak enak. Padahal dari rumah Rasen sangat yakin putranya pasti membanggakan dunia akhirat.Bu Seny—guru perempuan itu tersenyum manis. “Pak Rasen? Silahkan duduk, Papanya Arsean Adhisty.”Kening Rasen mengerut. “A-Adhisty?”“Iya Adhisty.”“Maaf Bu, kayaknya ucapan Ibu typo sekebun. Nama belakang Arsean itu Adystha,” ujar Rasen mencoba mengoreksi, lelaki itu menarik kursi lantas duduk dengan tenang.Bu Seny mengangguk. “Emang benar Pak, tapi Arsean protes nggak mau
“Kata Papa, masalah bisa membuat seseorang dewasa. Maka dari itu, ayo buat masalah sebanyak-banyaknya.” —Arsean Adystha***Author PovRaveena tidak tahu bagaimana cara menjelaskan keadaanya sekarang. Dari kemarin ia sama sekali tidak bisa diam. Rasa gelisah dan takut bercampur menjadi satu hingga membuatnya tak bisa tidur. Raveena stress. Ini menyangkut masalah putra tunggalnya.Perempuan itu mengusap wajahnya dengan kasar, ia menoleh pada Lista dan Merin yang duduk di sampingnya. Raveena lupa jika kejadian ini juga melibatkan putra-putra sahabatnya. Apalagi Lista kemarin sempat pingsan mendengar kabar itu.“Arsen,” gumam Raveena lemas. Kedua tangannya bergetar. “Arsen pulang sayang.”“Vee...” panggilan lembut itu berasal dari suaminya. Raveena menatap sedih ketika Rasen berjongkok tepat di depannya. Lelaki itu memegang erat tangan Raveena. “Tenang ya.”“Te
Author PovDelapan tahun kemudian......“Siang Pak Bos ganteng, hehe!”“Siang Pak ... Blasteran surga!”“Siang Pak R.A!” sapa seorang karyawati yang berada di balik kubikelnya, ia tersenyum jumawa beberapa detik. “Astagfirullah! Ngimpi apa gue punya atasan ganteng yang ngelebihin batas wajar dan kemanusiawian!”“Heh!” seru temannya yang baru saja meletakkan secangkir kopi. “Suami inget di rumah! Umur lo udah tiga puluh lebih bisa-bisanya cengar-cengir liat atasan sendiri!”Yang ditegur hanya mendelik, meskipun yang dikatakan teman kerjanya itu sertus persen benar, namun perempuan dewasa itu tak mampu mengelak pesona sang atasan. “Pak Rasen ... Bukan manusya anjir.”“Hm. Gue ampe mimisan saking gantengnya.”Langkah kaki besarnya berjalan keluar pintu utama gedung pencakar langit dengan lambang bintang bewarna silver it
Dear, Raveena Adhisty.Saya tidak pernah menyesal untuk akhir yang sehancur ini. Setidaknya kita bertiga pernah ada. Setidaknya kita bertiga pernah bahagia bersama.Satu hal yang harus kamu tau, kamu akan selalu menjadi bagian histori hidupku yang pernahku perjuangkan.Rasendriya Adystha.***Author Pov“Kakek minta Rasen ke Melbourne?” tanya Divya.“Iya. Katanya kangen, sekalian ada yang mau dibicarain. Udah lama juga, kan, Rasen nggak ke sana ngejenguk mereka. Nenek lagi sakit, makanya nggak bisa kesini,” jawab Rasen.“Jenguk kakek nenek atau ... Ngistirahatin hati?”“Both,” jawab Rasen pelan. Lelaki itu membaringkan tubuhnya di atas ranjang ketika Divya sibuk keluar masuk walk in closet untuk mengemasi semua pakaian anak tunggalnya. Ia melirik menggunakan ekor mata, lalu kembali meluruskan pandangannya.“Kakek bilang Nayara itu bintang pali
Author PovFlashback 1.5 tahun yang lalu...“Kamu jangan kemana-mana, tetep di rumah. Nanti aku jemput.”“Lo nggak waras? Meski kita baru kenal, tapi gue ayahnya. Gue...ayahnya.”“Gue bakal nikahin lo, Sha.”Ucapan dari seorang lelaki bewajah tampan itu masih terngiang jelas dalam benaknya. Bagaimana tatapan serius itu begitu menghunus. Begitu mengintimidasi, sampai dirinya tak mampu berkutik. Harsha menggeleng, ia malah kembali teringat ucapan Rasen.Sudah dua minggu berlalu, setelah hari dimana Rasen menyuruh Harsha untuk tetap diam di rumah, perempuan itu malah memilih kabur untuk menjauh. Harsha tidak mau sampai Rasen menemukannya, meski lelaki itu telah berjanji akan bertanggung jawab.“Sha?”“Ya?” sahut Harsha menoleh.“Kamu pindah kostan?” tanya Aina—temen satu pekerjaan Harsha di sebuah restaurant besar. “Kok kemarin pas pulang ke
Tragedi kecelakaan masal di taman kota. Sang pelaku putri pengusaha besar?Putri tunggal Abraham Dharka, Liora Mysha dituntut atas kasus pembunuhan.Perusahaan diambang kebangkrutan, putri tunggal Abraham Dharka dipenjara?--o0o—Dunia itu kejam. Manusia sama kejanya. Sesuatu kesalahan yang dilakukan mungkin masih bisa diberi maaf, tapi bagaimana jika kesalahan yang dibuat jauh dari kata fatal? Terlebih lagi karena didasari oleh kesengajaan dan dendam.Awalnya hidupnya baik-baik saja. Hingga perempuan dengan nama penuh kutukan itu hadir. Menggores luka yang kian menganga, meninggalkan rasa sakit yang tak akan pernah hilang. Seseorang yang bahkan telah menunjukan sisi iblisnya lebih dalam.Suara lirihan tangis dari seorang wanita seusia Ibunya terdengar begitu menyayat. Rasen yang baru saja keluar dari pintu persidangan hanya mampu terdiam kala melihat tangan Divya di pegang erat-erat oleh Irani—Ibu Liora Mysha. Matany
Author PovUjian Nasional telah usai dilaksanakan seminggu yang lalu. Kelas dua belas memasuki masa bebas. Masa-masa akhir sekolah setelah melewati puncak yang cukup menguras otak. Setelah berjuang selama tiga tahun, tidak ada lagi yang di tunggu selain hasil yang memuaskan."Lo tuh moto gue niat kagak sih? Nggak ada satupun yang bagus anjir!" gerutu Merin menatap layar ponselnya."Niat lah," ujar Lista ikutan sewot. "Lagian kalau jelek bukan salah gue kali. Mukanya lo aja yang kurang glowing.""Eh! Lo tuh, ya! Bukan masalah muka. Orang muka gue jelas udah cantik. Tapi liat nih, ada yang ngeblur, ngebayang, sama pose gue belum siap udah lo jepret aja," ucap Merin memberi lihat fotonya pada Lista."Lih, bukan salah gue," elak Lista."Gue kalau moto temen suka pakek niat. Giliran temen motoin gue, nggak satupun yang bener. Sebenernya lo punya dendam apasih sama gue?!""Hutang lo belum di bayar," jawab Lista nyeplos.
Author Pov“Dapahh eh! Dapahh!” Lista misuh-misuh sendiri pada pacarnya. Sedaritadi ia ingin meminta bantuan soal tugas remedialnya, namun lelaki bermata teduh itu hanya diam saja. “Dapahh mah, ah, sama pacar sendiri jahat!”“Jahat apa? kamu suka ngadi-ngadi kalau ngomong!” kata Daffa.Lista mengerutkan keningnya. “IHHH! NGADI-NGADI APA?! Aku cuman mau minta dicupangin!”“ASTAGFIRULLAH TAKBIR YA ALLAH!” Sentak Romi yang memasang raut wajah dramatis. “Lis, nyebut Lis! Bapak lo tau, si Daffa kena bogem ampe teler gimana?!”Lista sama sekali tak mengerti, ia menghiraukan ucapan Romi lalu kembali beralih pada Daffa. Gadis itu menarik-narik kemeja putih Daffa dengan satu buku memegang buku tugas. Sebenarnya di sini Lista salah mengartikan kata.“Dapp! Cupangin dong!”“Aku nggak bisa nyupang, bisanya nge-ruqyah. Mau anda?!” tanya Daffa nyol
Author Pov"Si Johan asyu nggak ada akhlak!" gerutu Rasen dengan wajah tertekuk kesal. "Asalamualaikum. Paijo! Gelud moal?!"Pulang sekolah Rasen misuh-misuh sendiri. Mogok ngomong sama temen-temennya. Terutama pada Johan, teman bangsat yang tidak ada adab sama sekali. Berani-beraninya membuat nyawa Rasen hampir melayang karena ulah jahil yang tidak manusiawi."Sen, kayak emak-emak banyak tunggakan lo malah ngambekan," kata Johan diikuti Romi dan Daffa dari belakang."Gak usah deket-deket, gue lagi marah sama lo." Rasen melengos menjauh, lelaki itu berbicara sambil membawa anak kucing yang ntah darimana datangnya. "Pergi lo! Pergi!"Johan menarik-narik tangan Rasen dramatis. "Aku bisa jelasin semuanya!""Bulu kaki gue sampe merinding dengernya," ujar Romi bergedik ngeri sendiri."Lo semua itu kejam! Sepakat, kan, lo pada nyimpen SEBLAK di tas gue? Lo tau gue nyaris pingsan liatnya! Kalau Mama Divya sedih tau nyawa gu