"Tuan Putri!" teriakan yang tak asing membangunkan kesadaran Reinhart yang semula masih sangat tipis. Ia baru saja terbangun dari tidur yang terasa begitu panjang. Bahkan kepala perempuan itu masih sangat pusing dan berdenyut ketika dirinya membuka mata. Ia bahkan tak mengenali di mana dirinya sekarang sampai mendengar suara Iselt yang menyentak gendang telinganya. Namun, begitu mendengar suara jeritan gadis pelayan itu, ia yakin pasti bahwa dirinya belum kembali ke masa depan. Meski begitu dekorasi di ruangan yang ia tempati kini sama sekali asing. Sependek ingatan Reinhart, ini bukan di kamar yang ia tempati selama ini ataupun di kamar sang kaisar. Ia belum pernah melihat ruangan ini sebelumnya. Aromanya pun terasa asing dan seperti berasal dari pedalaman hutan yang sangat jauh. Aroma amber bercampur musk mengingatkan perempuan itu pada pedalaman hutan hujan di negara empat musim. Basah, segar, dan menyejukkan. Tapi, juga terasa sedikit hangat hingga membuatnya tak harus menggig
Suara Reinhart tersekat di kerongkongan. Ia tak sanggup menjawab pertanyaan Caspian meski suaranya sudah berada di pangkal tenggorokan. Ia bahkan baru menyadari, bagaimana dirinya bisa menggunakan bahasa Elf yang ternyata tidak dipahami oleh semua manusia biasa. Reinhart pun baru memahami hal itu ketika Caspian mengajukan pertanyaan padanya. Beberapa saat lalu. Didorong rasa penasaran, Reinhart justru mengajukan pertanyaan tanpa memberikan jawaban. "Memang ... Yang Mulia, tidak bisa memahami bahasa mereka?""Tidak, para Elf sudah lama meninggalkan wilayah Demir dan beralih ke perbatasan wilayah Blanchett. Apa karena itu kau bisa menggunakan bahasa mereka?"Reinhart tak bisa menjawab. Saat itulah ia benar-benar kehilangan kemampuannya berbicara. Sebab perempuan itu sendiri tak tahu pasti, kapan, di mana, atau bagaimana hingga sosok yang ia tempati raganya saat ini, bisa menggunakan bahasa para Elf. Hingga Caspian memanggilnya berulang kali hanya untuk memastikan bahwa keadaan perem
Dua hari lagi, pasukan yang dipimpin langsung oleh Kaisar Caspian akan berangkat ke perbatasan. Mereka harus merebut kembali wilayah yang telah diserang oleh kaum bar-bar. Ksatria yang sebelumnya dikirim ke wilayah tersebut telah banyak tumbang dan mengharuskan kaisar turun tangan. "Anda sungguh tak perlu ikut berperang, Yang Mulia. Biar saya yang menangani pemberontakan kali ini," ucap Marquess Michael sebagai kepala pasukan ksatria Demir ketika rapat darurat diselenggarakan hari ini. Caspian sengaja menggelarnya untuk mengumumkan pada para menteri dan juga bangsawan agar mereka bersiap dengan kondisi terburuk yang akan dihadapi Demir. Bukan tidak mungkin, perang akan berlarut dan membuat pasokan senjata serta bahan makanan dengan cepat berkurang. Untuk itu, ia membutuhkan para bangsawan berperan dalam hal ini. Caspian ingin orang-orang yang kini duduk mengelilingi meja rapat mendukung penuh keputusannya untuk terjun ke medan perang. "Ini kondisi darurat yang kita tidak tahu, s
Untuk kesekian kalinya, Reinhart melirik ke arah Julius Randle yang tengah menyiapkan ramuan untuknya. Ini hari terakhir perempuan itu berada di Menara Sihir sebelum kembali ke kamar yang biasanya ia gunakan. Ada pertanyaan yang mengganggu perempuan itu, tapi tak juga disampaikan kepada sang penyihir. Ia gelisah, jika pertanyaan justru memancing kecurigaan penyihir menara itu. "Ada yang ingin kau tanyakan, Rein?" tanya pria itu membuat Reinhart tersentak akibat kaget. Ia menggeleng dengan cepat. Berusaha menutupi gusar yang diam-diam mencengkram kuat hatinya. "Tidak ada, Tuan," jawabnya berbohong. Meski ia tahu, Julius pasti akan semakin curiga dengan jawaban yang diberikan. "Aku tahu ada yang kau pikirkan dalam otak kecilmu itu.""Maaf, Tuan, ucapan Anda terdengar tidak sopan!" Reinhart jelas tersulut amarah mendengar ucapan Julius Randle. Enak saja pria itu menyebutnya berotak kecil? Apa di zaman ini tidak ada istilah bahwa berotak kecil sama halnya menganggap orang itu bodoh?
Reinhart tak menanggapi ucapan Julius Randle dengan serius meski perempuan itu tak sanggup menyembunyikan gugup. Ia hanya sanggup tersenyum canggung atas pernyataan sang penyihir. "Kau menganggap aku bercanda?" tanya Julius saat memperhatikan raut muka Reinhart. "Eh? Tidak, Tuan. Tidak. Saya sama sekali tak punya pikiran seperti itu. Hanya saja, rasanya begitu mustahil bagi saya jika Anda mengatakan bahwa saya penyihir. "Seperti yang Anda tahu, Tuan Penyihir. Saya ... sama sekali tak bisa mengendalikan apa pun. Bukankah, seharusnya saya bisa mengendalikan sesuatu seandainya memiliki kekuatan sihir seperti yang Anda katakan?""Jawabannya cukup sederhana, Lady. Bisa saja kau menyembunyikan atau menyangkal bahwa dirimu benar seorang penyihir. Itu saja."Reinhart tersentak atas jawaban sang penyihir. Sejujurnya, ia semakin bingung atas jati dirinya sendiri. Yang jelas, ia sama sekali berbeda dengan pemilik tubuh yang sebenarnya. Tapi, kenapa ia juga bisa memiliki kekuatan sihir sepert
Reinhart tersentak begitu mendengar ungkapan yang disampaikan Iselt. Bahasa gadis itu terdengar sederhana, tapi begitu menyentuh hingga membuatnya berpikir bahwa itu merupakan hal yang romantis bagi perempuan yang kini bersandar di sandaran tempat tidur. "Kenapa aku tak terpikirkan sebelumnya," gumam perempuan itu hampir tanpa suara. Meski begitu, Iselt masih bisa mendengarnya dan membuat si gadis pelayan tersenyum pada tuannya. "Anda ... sudah mulai memikirkan, Yang Mulia Kaisar, Tuan Putri?" Pertanyaan yang terucap dari mulut Iselt membuat Reinhart kembali tersentak. Tanpa sadar ia kembali tenggelam dalam lamunan tanpa menyadari keberadaan Iselt yang masih berdiri di samping tempat tidur. "Eh? Tidak? Memang kapan aku memikirkan, Yang Mulia Kaisar?" sanggah Reinhart sambil mengalihkan pandangan. Ia tak boleh terbawa suasana dan membenarkan ucapan Iselt begitu saja. Reinhart harus tetap menjaga harga dirinya bahwa ia tak boleh tertarik dengan Caspian. Jika di antara mereka ada
"Aku tak tahu apa yang membuatmu tiba-tiba menyinggung soal, Ariadne. Tapi, selama kamu berada di sini, bukankah harusnya sudah ada yang mengatakan padamu, bahwa gelar permaisuri ataupun gelar kebangsawanan Ariadne sudah dilepas?"Reinhart menelan salivanya dengan susah payah. Ia menundukkan kepala. Tak berani menatap Caspian yang terdengar marah.Bahkan hanya dengan mendengar suaranya saja, siapa pun sudah pasti tahu bahwa pria itu tengah menahan murka. Perempuan itu menggigit bibirnya. Ada sesal yang membayang di wajahnya, bagaimana bisa ia mengungkapkan hal yang paling dibenci oleh sang kaisar. "Maafkan saya, Yang Mulia," ucap Reinhart dengan nada gemetar. Ia sendiri tak mengerti, apa yang membuatnya tiba-tiba menyinggung soal permaisuri sebelumnya ketika berbincang dengan Caspian. Padahal harusnya, ini menjadi momen yang pas bagi keduanya untuk membicarakan tentang mereka. Namun, Reinhart justru menyiram minyak ke dalam api hanya demi menimbulkan ketegangan di antara mereka.
"Apa yang kau pikirkan, Rein?" tanya Caspian membuyarkan lamunan perempuan itu. Reinhart masih tidak menyangka, jika akan ada hari di mana sang kaisar memintanya untuk pindah ke istana permaisuri yang telah sejak lama tak berpenghuni. Ia mengira, hal itu masih sangat jauh dari anggapannya. Siapa yang mengira bahwa moment itu justru datang lebih cepat, dibandingkan bayangannya selama ini. Meski ia tak tahu apa yang mendasari sang kaisar memindahkannya ke istana permaisuri, tapi hal itu tentu menjadi awal yang baik. Dengan begitu, ada kemungkinan jika status Reinhart yang semula sebagai istri kaisar, akan meningkatkan menjadi permaisuri. Seperti halnya yang selama ini diharapkan oleh Duke Maxwell. Sebab, hanya dengan cara seperti itulah, kemungkinan Reinhart selamat setelah 99 hari lebih besar ketimbang tetap menjadi istri sang kaisar. "Tidak, Yang Mulia. Hanya saja, kenapa saya tiba-tiba harus pindah ke istana permaisuri?" tanya Reinhart berusaha menyembunyikan keterkejutan yang
Sepasang mata perempuan itu terasa berat. Perlu tenaga ekstra untuk membuatnya terbuka. Butuh waktu pula untuk membuatnya terbiasa dengan cahaya yang tiba-tiba masuk ke dalam retina matanya. Suara alat-alat yang berdengung serta menempel di tubuhnya, menjadi pemandangan pertama yang tertangkap indra pendengarannya. Gerak tangannya yang lemah tapi intens, cukup menyita perhatian seorang perempuan muda serta pemuda yang terlihat dua atau tiga tahun lebih tua, yang duduk di samping kanan serta kiri tempat tidur pasien. "Nuna!" seru pemuda itu pertama kali saat menyadari gerakan si perempuan. "Eonni! Kamu sudah sadar?" Si perempuan muda ikut berseru. Lantas berlari keluar kamar untuk memanggil dokter. Perempuan itu tak lagi peduli ketika kakak laki-lakinya berusaha menghentikannya. Tak lama kemudian, seorang dokter bersama dua orang perawat kembali masuk ke dalam ruangan dan memeriksa kondisi sang pasien. "Selamat siang, Nona. Apa Anda bisa mendengar suara saya?" tanya dokter itu s
Tujuh tahun kemudian... "Hidup Yang Mulia Kaisar William! Hidup Matahari Agung Kekaisaran Demir!""Hidup, Yang Mulia!""Hidup, Yang Mulia Kaisar!"Sorakan orang-orang terdengar menggema di seluruh Alun-alun Ibukota Demir setelah Pendeta Agung mengucapkan sumpah janji kekaisaran diikuti oleh sang putra mahkota yang kini telah resmi dilantik menjadi kaisar menggantikan ayahnya. Seluruh rakyat Kekaisaran Demir bersuka cita. Mereka memenuhi alun-alun ibukota tanpa peduli golongan dan kasta. Semua membaur tanpa ada sekat untuk merayakan pelantikan sang kaisar. Sementara, pemuda yang baru berusia lima belas tahun itu, tampak tersenyum lepas ketika menyambut sorakan meriah seluruh rakyatnya. Ia sama sekali berbeda dengan sang ayah yang sejak muda sudah menunjukkan sifat arogansinya. Pemuda yang kini mengenakan pakaian kebesaran Kekaisaran Demir itu, terlihat lebih hangat dan disukai oleh semua orang. "Hidup Yang Mulia Kaisar William!" seruan rakyat Demir masih terus berkumandang hingga
Dari semua peristiwa yang terjadi sampai saat ini, tak ada hal yang lebih mengecewakan kecuali pengkhianatan yang dilakukan oleh Putra Duke Aidin. Tuan Muda Alfonso. Sejak kedatangannya ke dunia ini, Reinhart mendengar kabar bahwa putra sang duke berada jauh di luar negeri untuk mengenyam pendidikan. Keluarga itu pun, dikabarkan tak pernah mau terlibat dalam urusan politik keluarga kaisar.Tak ada niat bagi garis keturunan Duke Aidin untuk merebut takhta dari kaisar terdahulu ataupun sekarang. Namun, kemunculan para ksatria dengan lambang harimau putih yang berkeliaran di depan kamar Reinhart pada malam itu, membuatnya terus berpikir sepanjang waktu. Terlebih ketika mengetahui fakta bahwa simbol tersebut adalah milik keluarga Duke Aidin. Sikap Madame Marianna yang begitu baik padanya, juga sikap hangat sang tuan duke, membuat Reinhart hampir terlena. Namun, ia tak bisa menutup mata saat mengetahui kebenaran tersebut. Ia mencari bukti dan dapat menemukannya berkat bantuan Iselt. B
"Marquis Michael, Anda ditangkap karena dianggap telah membelot, mengkhianati kekaisaran, dan merencanakan kudeta pada, Kaisar Caspian!"Dengan ini pula, status kebangsawanan Anda dicopot dan semua harta benda Anda menjadi rampasan!" seru ksatria Kekaisaran Demir saat hendak membekuk Marquis Michael yang mencoba melarikan diri. Pria itu ditangkap saat bersiap kabur ketika ksatria istana Kekaisaran Demir mencapai gerbang kastilnya. Ia sempat berontak dan mencoba melawan. Termasuk berteriak jika penangkapan terhadap dirinya hanyalah salah sasaran. "Kalian tidak bisa menangkapku!" teriak Marquis Michael tidak terima ketika dilumpuhkan. "Apa buktinya jika aku telah melakukan kesalahan?!" seru pria itu tak juga menyadari kesalahannya. "Menghasut Kaisar, bersekongkol dengan Lady Rosemary, merencanakan kudeta, menjebak Permaisuri Ariadne hingga berusaha mencelakai Tuan Putri Reinhart! Itu semua daftar kesalahan yang sudah Anda lakukan, Marquis!""Itu bukan bukti bahwa aku sudah melakukan
Reinhart tampak puas dengan hasil akhir dari peristiwa yang menimpa dirinya akhir-akhir ini. Ia lolos dari hukuman gantung yang sebelumnya diserukan oleh sang kaisar di depan seluruh rakyat Demir. Ia benar-benar merasa lega, saat melihat reaksi sang kaisar ketika Iselt selesai membacakan permintaan terakhir yang sebenarnya wasiat dari permaisuri sebelumnya. Bagaimanapun ia tak memiliki kepercayaan diri penuh ketika mengatakan pada sang kaisar, terkait pesan terakhir yang ingin disampaikan. Perbuatannya terbilang nekat, meski berakhir sesuai harapan. "Terima kasih, Rein," ucap sang kaisar malam itu. Wajah pria itu tak juga membaik meski telah bertemu dengan buah hatinya. Garis penyesalan masih tergurat jelas di wajahnya. "Sebaiknya Anda tak perlu melakukan itu, Yang Mulia. Justru saya yang harusnya mengatakan terima kasih, karena sudah memercayai saya.""Seharusnya aku memang percaya padamu sejak awal," ucap Caspian terdengar sangat menyesal. Ia bahkan tak sanggup mendekati Reinha
"Ya, Yang Mulia. Pelayan Permaisuri Ariadne yang berhasil lolos pada hari penghukuman itu, berhasil melarikan diri bersama putra Anda dan buku catatan di tangan Iselt. "Perlu Anda ketahui Yang Mulia, ibu Iselt lah pelayan Permaisuri Ariadne yang setia itu."Wajah Caspian tampak semakin hancur begitu mendengar ucapan Reinhart. Ia menatap sang perempuan dengan sorot penuh luka. "Berapa lama kamu mengetahui hal ini, Rein?" tanya pria itu dengan getar suara semakin hebat. Ia tak peduli lagi dengan harga dirinya sebagai kaisar sebuah kekaisaran yang besar nan agung. Caspian bahkan mendorong Rosemary menjauh ketika perempuan itu hendak membangunkannya dari posisinya saat ini. "Dua hari lalu. Selama ini, catatan Permaisuri Ariadne dilindungi sihir yang cukup kuat. Saya tidak bisa membacanya sampai bagian terakhir. "Lalu, Tuan Julius Randle menunjukkan salah satu sihir hitam yang bisa digunakan untuk menghancurkan sihir yang paling kuno sekalipun. "Sihir hitam yang sesungguhnya bukan be
Keduanya sama-sama bertahan. Reinhart sama sekali tak menundukkan atau mengalihkan pandangannya dari sang kaisar. Perempuan itu masih berusaha mencari perasaan yang tersisa sebagai manusia dalam diri Kaisar Caspian. Meski hampir mustahil. "Aku tak akan berlama-lama menahan eksekusi matimu, Lady Blanchett. Kau akan segera dieksekusi mati setelah mendengarkan pesan terakhirmu."Dada Reinhart bergemuruh. Bahkan pria itu memanggilnya dengan nama Lady Blanchett. Padahal sebelumnya, dia masih berusaha mengambil hati Reinhart yang sudah terlanjur beku akibat sikap keji sang kaisar. Namun, ia tak akan menunjukkan kelemahannya begitu saja. Justru kesempatan yang diberikan digunakan sebaik mungkin oleh Reinhart. 'Ini waktu yang tepat!' bisik Reinhart dalam hati. "Kalimat terakhirku akan dibacakan oleh sahabatku yang setia. Nona Iselt, dialah yang akan membacakan permintaan terakhirku."Senyum sinis membingkai wajah sang kaisar begitu mendengar ucapan Reinhart. Perempuan itu masih tetap sam
Reinhart tak memercayai pendengarannya sendiri ketika Caspian berseru agar menyeret dirinya ke tiang gantungan.Perempuan itu menatap sang kaisar dengan wajah tercengang. Ia hendak berteriak, tapi suaranya tenggelam dalam lautan manusia yang berada di sekitarnya. "Yang Mulia, Anda harus dengarkan saya dulu!" seru Reinhart di antara ribuan manusia yang memenuhi Area Terlarang. Percuma saja, suaranya tenggelam begitu saja. Justru dengan mendengar seruan perempuan itu, orang-orang semakin beringas. Mereka menyerbu Reinhart dan menjadikan sasaran amukan massa. "Bertahan, Rein. Aku akan melindungimu," ucap Julius Randle yang masih berusaha melindungi Reinhart dari amukan rakyat Kekaisaran Demir. Perempuan itu tampak nelangsa. Padahal ia baru saja menghancurkan perjanjian yang selama ini merugikan rakyat Demir. Tapi, ia justru diperlakukan tak sebagaimana mestinya dan dituduh sebagai penyihir hitam. Apa semudah itu orang-orang terprovokasi dan melupakan kebaikannya?! "Singkirkan! Pisa
Caspian tak juga beranjak dari kamarnya. Seorang pengawal sudah menghadap sejak beberapa jam lalu dan mengatakan bahwa ritual penghancuran akan segera dimulai. Namun, pria itu tak juga beranjak dari kamarnya setelah para pelayan menyiapkan air mandi dan pakaian ganti. Tatapan pria itu menerawang jauh ke depan. Melewati hamparan padang ilalang yang tampak dari jendela kamarnya yang dibiarkan terbuka. Angin sudah terasa dingin. Menjelang akhir bulan November di mana musim dingin sepertinya bakal datang lebih cepat kali ini. Perasaan sang kaisar, sama dinginnya dengan angin yang baru saja berembus menerpa wajahnya. Ucapan Rosemary kembali terngiang. Ucapan yang kemudian membuat Caspian kembali delima dengan perasaannya sendiri. Hingga ketukan di pintu kamarnya kembali terdengar. Kali ini disusul seruan sang penjaga yang mengatakan bahwa kereta kuda menuju Area Terlarang telah siap. Dengan enggan, Caspian beranjak dari tempatnya. Tak mungkin ia tetap berada di tempat itu, sementara