"Uhuk!"Batuk bercampur darah keluar dari mulut sang pemilik toko sesaat setelah Reinhart menikam pria itu. Ia sengaja tak menusuk tepat di jantungnya agar pria itu mendapatkan keadilan dari apa yang telah dilakukan."A-ampuni saya, Yang Mulia," ucapnya sebelum kepala yang sudah terkulai itu, ambruk di atas tanah. Caspian tersentak. Ia menatap Reinhart yang kini tengah menyentakkan pedangnya untuk membersihkan noda darah dari badan pedang. "Kau ... tidak membunuhnya?" tanya Caspian setelah melihat lawan yang dilumpuhkan Reinhart. "Dia pantas mati di tiang gantungan setelah mendapatkan pengadilan!" tegas Reinhart dengan nada dingin dan sorot mata tajam yang selama ini tak pernah diperlihatkan. Mungkin, akibat dorongan dendam dalam hatinya sebagai Kim Nara, hingga membuat perempuan itu tanpa ampun menghabisi musuhnya begitu saja. Sejujurnya ada perasaan lega setelah Reinhart melampiaskan amarah yang selama ini menumpuk dalam hati serta pikirannya. "Baiklah, aku akan membawamu kelu
"Tuan Putri!" teriakan yang tak asing membangunkan kesadaran Reinhart yang semula masih sangat tipis. Ia baru saja terbangun dari tidur yang terasa begitu panjang. Bahkan kepala perempuan itu masih sangat pusing dan berdenyut ketika dirinya membuka mata. Ia bahkan tak mengenali di mana dirinya sekarang sampai mendengar suara Iselt yang menyentak gendang telinganya. Namun, begitu mendengar suara jeritan gadis pelayan itu, ia yakin pasti bahwa dirinya belum kembali ke masa depan. Meski begitu dekorasi di ruangan yang ia tempati kini sama sekali asing. Sependek ingatan Reinhart, ini bukan di kamar yang ia tempati selama ini ataupun di kamar sang kaisar. Ia belum pernah melihat ruangan ini sebelumnya. Aromanya pun terasa asing dan seperti berasal dari pedalaman hutan yang sangat jauh. Aroma amber bercampur musk mengingatkan perempuan itu pada pedalaman hutan hujan di negara empat musim. Basah, segar, dan menyejukkan. Tapi, juga terasa sedikit hangat hingga membuatnya tak harus menggig
Suara Reinhart tersekat di kerongkongan. Ia tak sanggup menjawab pertanyaan Caspian meski suaranya sudah berada di pangkal tenggorokan. Ia bahkan baru menyadari, bagaimana dirinya bisa menggunakan bahasa Elf yang ternyata tidak dipahami oleh semua manusia biasa. Reinhart pun baru memahami hal itu ketika Caspian mengajukan pertanyaan padanya. Beberapa saat lalu. Didorong rasa penasaran, Reinhart justru mengajukan pertanyaan tanpa memberikan jawaban. "Memang ... Yang Mulia, tidak bisa memahami bahasa mereka?""Tidak, para Elf sudah lama meninggalkan wilayah Demir dan beralih ke perbatasan wilayah Blanchett. Apa karena itu kau bisa menggunakan bahasa mereka?"Reinhart tak bisa menjawab. Saat itulah ia benar-benar kehilangan kemampuannya berbicara. Sebab perempuan itu sendiri tak tahu pasti, kapan, di mana, atau bagaimana hingga sosok yang ia tempati raganya saat ini, bisa menggunakan bahasa para Elf. Hingga Caspian memanggilnya berulang kali hanya untuk memastikan bahwa keadaan perem
Dua hari lagi, pasukan yang dipimpin langsung oleh Kaisar Caspian akan berangkat ke perbatasan. Mereka harus merebut kembali wilayah yang telah diserang oleh kaum bar-bar. Ksatria yang sebelumnya dikirim ke wilayah tersebut telah banyak tumbang dan mengharuskan kaisar turun tangan. "Anda sungguh tak perlu ikut berperang, Yang Mulia. Biar saya yang menangani pemberontakan kali ini," ucap Marquess Michael sebagai kepala pasukan ksatria Demir ketika rapat darurat diselenggarakan hari ini. Caspian sengaja menggelarnya untuk mengumumkan pada para menteri dan juga bangsawan agar mereka bersiap dengan kondisi terburuk yang akan dihadapi Demir. Bukan tidak mungkin, perang akan berlarut dan membuat pasokan senjata serta bahan makanan dengan cepat berkurang. Untuk itu, ia membutuhkan para bangsawan berperan dalam hal ini. Caspian ingin orang-orang yang kini duduk mengelilingi meja rapat mendukung penuh keputusannya untuk terjun ke medan perang. "Ini kondisi darurat yang kita tidak tahu, s
Untuk kesekian kalinya, Reinhart melirik ke arah Julius Randle yang tengah menyiapkan ramuan untuknya. Ini hari terakhir perempuan itu berada di Menara Sihir sebelum kembali ke kamar yang biasanya ia gunakan. Ada pertanyaan yang mengganggu perempuan itu, tapi tak juga disampaikan kepada sang penyihir. Ia gelisah, jika pertanyaan justru memancing kecurigaan penyihir menara itu. "Ada yang ingin kau tanyakan, Rein?" tanya pria itu membuat Reinhart tersentak akibat kaget. Ia menggeleng dengan cepat. Berusaha menutupi gusar yang diam-diam mencengkram kuat hatinya. "Tidak ada, Tuan," jawabnya berbohong. Meski ia tahu, Julius pasti akan semakin curiga dengan jawaban yang diberikan. "Aku tahu ada yang kau pikirkan dalam otak kecilmu itu.""Maaf, Tuan, ucapan Anda terdengar tidak sopan!" Reinhart jelas tersulut amarah mendengar ucapan Julius Randle. Enak saja pria itu menyebutnya berotak kecil? Apa di zaman ini tidak ada istilah bahwa berotak kecil sama halnya menganggap orang itu bodoh?
Reinhart tak menanggapi ucapan Julius Randle dengan serius meski perempuan itu tak sanggup menyembunyikan gugup. Ia hanya sanggup tersenyum canggung atas pernyataan sang penyihir. "Kau menganggap aku bercanda?" tanya Julius saat memperhatikan raut muka Reinhart. "Eh? Tidak, Tuan. Tidak. Saya sama sekali tak punya pikiran seperti itu. Hanya saja, rasanya begitu mustahil bagi saya jika Anda mengatakan bahwa saya penyihir. "Seperti yang Anda tahu, Tuan Penyihir. Saya ... sama sekali tak bisa mengendalikan apa pun. Bukankah, seharusnya saya bisa mengendalikan sesuatu seandainya memiliki kekuatan sihir seperti yang Anda katakan?""Jawabannya cukup sederhana, Lady. Bisa saja kau menyembunyikan atau menyangkal bahwa dirimu benar seorang penyihir. Itu saja."Reinhart tersentak atas jawaban sang penyihir. Sejujurnya, ia semakin bingung atas jati dirinya sendiri. Yang jelas, ia sama sekali berbeda dengan pemilik tubuh yang sebenarnya. Tapi, kenapa ia juga bisa memiliki kekuatan sihir sepert
Reinhart tersentak begitu mendengar ungkapan yang disampaikan Iselt. Bahasa gadis itu terdengar sederhana, tapi begitu menyentuh hingga membuatnya berpikir bahwa itu merupakan hal yang romantis bagi perempuan yang kini bersandar di sandaran tempat tidur. "Kenapa aku tak terpikirkan sebelumnya," gumam perempuan itu hampir tanpa suara. Meski begitu, Iselt masih bisa mendengarnya dan membuat si gadis pelayan tersenyum pada tuannya. "Anda ... sudah mulai memikirkan, Yang Mulia Kaisar, Tuan Putri?" Pertanyaan yang terucap dari mulut Iselt membuat Reinhart kembali tersentak. Tanpa sadar ia kembali tenggelam dalam lamunan tanpa menyadari keberadaan Iselt yang masih berdiri di samping tempat tidur. "Eh? Tidak? Memang kapan aku memikirkan, Yang Mulia Kaisar?" sanggah Reinhart sambil mengalihkan pandangan. Ia tak boleh terbawa suasana dan membenarkan ucapan Iselt begitu saja. Reinhart harus tetap menjaga harga dirinya bahwa ia tak boleh tertarik dengan Caspian. Jika di antara mereka ada
"Aku tak tahu apa yang membuatmu tiba-tiba menyinggung soal, Ariadne. Tapi, selama kamu berada di sini, bukankah harusnya sudah ada yang mengatakan padamu, bahwa gelar permaisuri ataupun gelar kebangsawanan Ariadne sudah dilepas?"Reinhart menelan salivanya dengan susah payah. Ia menundukkan kepala. Tak berani menatap Caspian yang terdengar marah.Bahkan hanya dengan mendengar suaranya saja, siapa pun sudah pasti tahu bahwa pria itu tengah menahan murka. Perempuan itu menggigit bibirnya. Ada sesal yang membayang di wajahnya, bagaimana bisa ia mengungkapkan hal yang paling dibenci oleh sang kaisar. "Maafkan saya, Yang Mulia," ucap Reinhart dengan nada gemetar. Ia sendiri tak mengerti, apa yang membuatnya tiba-tiba menyinggung soal permaisuri sebelumnya ketika berbincang dengan Caspian. Padahal harusnya, ini menjadi momen yang pas bagi keduanya untuk membicarakan tentang mereka. Namun, Reinhart justru menyiram minyak ke dalam api hanya demi menimbulkan ketegangan di antara mereka.