"Maafkan saya, Yang Mulia. Urusan Countess Farang, saya serahkan pada Anda."Ucapan perempuan itu masih terngiang di telinga Caspian. Padahal ini sudah menjelang tengah malam dan ia telah kembali ke kamarnya. Tengah berdiri di balkon kamarnya sambil menatap gelap malam tanpa bulan. Hanya bintang-bintang yang gemerlapan dan mengusik sisi hati Caspian yang bimbang. Pria itu, masih mengingat dengan jelas bagaimana raut muka Reinhart ketika berbincang dengannya perihal Countess Farang. Caspian tahu, ada hal yang dipikirkan perempuan itu dan tak disampaikan kepadanya. Mungkin tentang status dirinya sebagai anak haram Grand Duke Blanchett dan tak pernah diakui dalam keluarga itu. Meski begitu, Caspian tak pernah mempersoalkannya sejak awal. Sebab baginya, tak penting siapa yang akan mendampingi dirinya dan menyandang sebagai istri. Bukan permaisuri. "Kau tak bisa tidur lagi?"Suara berat seorang pria lainnya terdengar dari balik kelambu yang menutup pintu pembatas antara kamar dan balk
Reinhart tertegun dengan keputusan yang diambil oleh sang kaisar. Tangan si perempuan yang tengah memotong roti, terhenti untuk sesaat sebelum ia melanjutkan aktivitasnya seperti semula. Tak banyak kata yang diucapkan oleh Reinhart. Ia hanya memikirkan ulang ucapan Kaisar Caspian kemarin malam. Pria itu mengatakan bahwa dirinya akan mempertimbangkan ulang permintaan Reinhart, agar tak perlu berlebihan menghukum Countess Farang yang sudah menghinanya. Namun, hasilnya benar-benar di luar dugaan. Caspian tetap saja menjatuhkan hukuman penjara atas perilaku Countess Farang. "Kekaisaran memiliki hukum yang sudah ditetapkan dalam undang-undang, Lady. Jika seorang kaisar mengubah isi undang-undang seenaknya, sama halnya dengan melemahkan kekuatan kaisar itu sendiri," ucap Caspian terdengar dingin. Pria itu tak lagi menatap perempuan di depannya dan sibuk memotong roti di atas piringnya. Reinhart bisa paham. Memang tak akan mudah mengubah sifat kejam kaisar yang mendarah daging. Meski t
Percakapan antara Reinhart dan Duke Bastille berlanjut dengan dingin. Sikap penuh percaya diri sang tamu Kekaisaran Demir membuat perempuan itu muak dalam sekejap. Bukannya Reinhart tak tertarik berbincang dengan Duke Bastille yang diutus kekaisaran tetangga untuk bekerja sama dalam menjalin aliansi perdagangan bersama Demir. Hanya saja, sikap pria itu mengingatkan Reinhart kepada sang mantan yang telah menusuknya dari belakang. Bahkan tega menghilangkan nyawanya. Ya, sikap yang ditunjukkan oleh Duke Bastille, membuatnya ingat dengan Axel. Lelaki yang sudah membuatnya terjebak dalam dunia antah berantah ini. Hal yang membuat Reinhart semakin muak, kalimat yang mereka ucapkan begitu mirip saat mereka pertama kali bertemu. Hingga membuat perempuan itu merinding. 'Apa Axel juga ikut terseret ke masa lalu? Atau manusia ini adalah kakek moyangnya?' bisik Reinhart dalam hati menahan sebal. Bagaimana bisa dua orang yang berasal dari dunia yang berbeda, bisa mengucapkan satu kalimat yan
"Apa yang membuat Anda bimbang, Yang Mulia?" Suara Duke Maxwell kembali membuyarkan lamunan pria itu. Ia menoleh ke arah sang penasihat kekaisaran dan menatap pria tua itu dengan sorot penuh keragu-raguan. "Aku tidak tahu, Paman. Ini seperti bukan diriku.""Apa Anda mulai tertarik dengan, Putri Reinhart?" Pelan-pelan, Duke Maxwell mengajukan pertanyaan tersebut. Caspian tak langsung memberikan jawaban, tapi tampak dari raut wajahnya jika ia sedang berpikir. Keragu-raguan di muka pria itu semakin jelas terlihat. "Bukan hal memalukan jika Anda memang tertarik dengan Putri Reinhart, Yang Mulia," ungkap Duke Maxwell menunjukkan kepeduliannya pada sang kaisar. "Apa dia akan menerimaku, Paman? Jika tahu bahwa aku penuh dosa."Giliran Duke Maxwell yang terkejut dengan pengakuan pria muda yang sudah ia asuh sejak masih balita itu. Duke Maxwell sangat mengenal Caspian. Sejak kaisar sebelumnya, ia sudah menduduki posisi penting di kekaisaran mendampingi Kaisar Demir IV. Bahkan ia yang me
Reinhart menelan ludah dengan susah payah. Ia bahkan kesulitan untuk bernapas dengan benar. Jarak antara dirinya dengan Kaisar Caspian begitu dekat. Hingga masing-masing bisa merasakan embusan napas mereka yang hangat. Menjadikan suasana di antara keduanya terasa ambigu bagi orang yang melihat. Pria itu bahkan tak juga menarik tangannya yang terulur sejak beberapa saat lalu. Sementara, pupil mata Reinhart membesar untuk sesaat ketika Caspian menyatakan bahwa ia akan menjadi partner latihan berdansanya. Tentu saja Reinhart tak siap. Semua yang serba mendadak menjadikan perempuan itu tak tahu harus bagaimana memberikan tanggapan. Bahkan untuk sekadar menyambut uluran tangan Caspian. Terlebih perasaannya tengah nyaman terhadap pria yang kini masih berdiri di depannya. "Kamu menolak ajakanku, Lady?" tanya Caspian ketika Reinhart tak juga menyambut uluran tangannya. Perempuan itu terkejut. Cepat-cepat ia membentangkan gaunnya dan membungkuk di hadapan sang kaisar. Lantas menyambut
Julius Randle muncul di waktu yang tak tepat. Pria itu tiba-tiba saja membuyarkan suasana hangat yang tercipta antara sang kaisar dan Reinhart. Keduanya dengan cepat menjaga jarak dan tampak canggung ketika sang penyihir tiba-tiba muncul entah dari mana. Sepasang matanya menyorot tajam dengan tatapan curiga. "Apa yang kalian lakukan?" tanya pria itu dengan nada dingin saat menyadari raut muka kaisar yang memerah. Begitu juga dengan Reinhart yang terlihat salah tingkah. Perempuan itu bahkan menunjukkan raut muka gelisah. "Apa kau melakukan hal buruk padanya?" sentak Julius pada sang kaisar. "Tidak ada. Apa aku terlihat sedang melakukan hal buruk padanya?""Justru kau yang perlu dipertanyakan. Apa yang kau lakukan lakukan dengan tiba-tiba muncul di sini? Bukankah seharusnya kau muncul sebagaimana manusia pada umumnya?" Kaisar Caspian mengalihkan perhatian agar Julius tak lagi curiga padanya. Namun, pria itu tetap menyorot wajah sang kaisar dengan tatapan tajam. "Kau pikir aku bi
Reinhart masih tak juga menyambut uluran tangan Julius Randle. Perempuan itu tampak ragu-ragu. Ada kegamangan di wajahnya yang tak sanggup ia sembunyikan dengan benar. Meskipun Julius mengatakan bahwa pria itu akan membawanya ke laboratorium miliknya, tapi ia tak sepenuhnya tahu apa yang sedang direncanakan pria itu. Apakah keputusannya benar jika ia mengikuti sang penyihir yang tak tahu akan membawanya ke mana? Bagaimana jika sesuatu yang buruk menimpa perempuan itu dan membuatnya celaka? Siapa yang bisa dimintai pertolongan? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkecamuk dalam benak Reinhart hingga membuatnya kian ragu-ragu. Menjadi alasan kuat bagi Reinhart untuk mengabaikan uluran tangan sang penyihir. "Apa yang kau pikirkan, Lady? Apa kau beranggapan bahwa aku akan melukaimu atau semacamnya?" tanya Julius ketika melihat keraguan di wajah si perempuan. Pria itu kembali mengajukan pertanyaan yang sebelumnya sudah pernah diajukan kepada Reinhart. Sementara perempuan itu tersentak
Jantung Reinhart berdegup kencang ketika hendak melewati gerbang sihir bersama Julius. Wajahnya tampak pucat saat hendak melangkah mendekati gerbang sihir. Ungkapan sang penyihir yang mengatakan bahwa melintasi gerbang sihir dapat menimbulkan efek samping membuatnya ragu untuk melangkah. Namun, ia tak bisa tetap berdiri di tempat sementara Julius Randle sudah berjalan lebih dulu. Kini pria itu berada tepat di depan gerbang sihir yang memendarkan warna biru keunguan sedikit berpadu dengan oranye. Gerbang yang menjulang tinggi hampir menyentuh langit-langit ruangan itu, menimbulkan efek seperti asap yang sebelumnya tak pernah Reinhart bayangkan. Jika ada pemandangan menakjubkan yang tak pernah ia lihat sebelumnya. "Bagaimana Lady, sebelum melintasi gerbang, apa kau berniat berubah pikiran? Aku bisa mengganti gerbang sihir ini dengan ....""Tidak, tidak perlu, Tuan." Reinhart menjawab cepat. Sebenarnya, ia bersikeras menolak ta