"Di dalam ada kedua orangtuaku dan orangtua Mas Hendra. Mereka sedang mengobrol. Jadi, serahkan saja kepadaku berkas yang mau ditandatangani Mas Hendra. Nanti jika pertemuan keluarga itu selesai, akan aku berikan kepadanya."
Itu kata Elena setelah Hana menyatakan alasannya datang ke rumah sakit. Mereka masih berada di depan pintu ruang 508. Rongga telinga mereka mendengar samar-samar suara orang sedang mengobrol dan gelak tawa renyah dari dalam. Entah siapa, Hana tidak bisa memastikannya. Suara bapak-bapak."Aku tidak mau kamu merusak pertemuan itu. Mereka sedang melanjutkan obrolan tentang pernikahan kita," lanjut Elena ketika melihat Hana masih membeku dan tidak menyerahkan berkas yang dimintanya."Pernikahan? Jadi mereka akan menikah? Ingin rasanya aku lebih percaya dengan apa yang dikatakan Mahendra empat hari yang lalu, tetapi ini apa? Ternyata, dia akan menikah dengan Elena? Ah, kenapa hati ini perih mendapatkan kabar baik pernikahan itu? Kenapa dadaHati Hana tercubit menyadari kedekatan mereka sedangkan dia siapa? Orangtuanya hanya pedagang kue. Sementara wanita di depannya pasti mempunyai orangtua yang kaya raya dan jabatan bagus yang pekerjaannya apa, Hana tak tahu pasti. Dia tak pernah ingin bertanya apalagi bertemu dengan mereka."Sejak itulah, kedua orangtua menjodohkan kami dan ingin segera menggelarkan pernikahan. Kami hanya tunggu waktu, kapan Mas Hendra tidak sibuk dengan kerjaannya saja. Jadi, aku mohon. Lepaskan Mas Hendra. Biarkan kami hidup bahagia tanpa bayangan masa lalu kalian. Kamu mau, kan, Han?"***Pulang membawa hati yang patah untuk kesekian kalinya, semua pernyataan Elena seolah telah menampar harga diri Hana. Wanita itu tak tahu pasti apa yang membuat Elena terlalu percaya diri dengan hubungan yang sudah dia bangun bersama Mahendra. Atau jangan-jangan memang ini merupakan sebagian rencana pria itu juga? Apa Mahendra tidak sungguh-sungguh dengan janji manisnya? Atau d
"Memangnya dengan aku mengikuti semua perintah Mommy, Daddy akan sembuh? Cukup! Cukup memperlakukan aku seperti anak kecil yang harus terus menuruti semua titah kalian.""Bukan gitu, Hendra. Mommy hanya ...."Di ruang VVIP yang mewah dan nyaman, Mahendra mengajukan protes. Sudah lama memendam rasa itu dan kini ia tak tahan lagi dengan aturan yang harus dipatuhi. Kondisi Daddy yang sudah stabil memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. Iya, malam itu dia mendapat kabar dari Mommy kalau Daddy merasa sesak sebelum beliau akan tidur. Itu yang menyebabkan pria dua puluh sembilan tahun tersebut segera ke rumah dan membawanya ke rumah sakit. Penyakit stroke yang diderita hampir delapan tahun membuat hati Mahendra selalu was-was. Kapan penyakit itu akan kambuh, tak bisa diprediksi.Meski di rumah ada perawat laki-laki yang selalu menjaga, tetap gundah seorang anak akan muncul ketika mendapat kabar dari Mommy."Apa Mommy pernah memikirka
Bab 46BLima belas menit kemudian, kesabaran Mahendra pun mulai diuji, pesan yang dikirim belum mendapatkan balasan. Dia sempat menduga bisa jadi jalanan macet sehingga wanita itu belum juga sampai. Akhirnya ia menghubungi Pak Dadang untuk memastikan keberadaannya."Sudah sampai dua puluh menit yang lalu?"Mata Mahendra menyapu ke sekeliling mencari sosok Hana dengan ponsel masih menempel ke telinga."Ok, makasih, Pak Dadang."Panggilan itu terputus dan Mahendra menyeret langkah ke bagian lobby, berharap menemui Hana yang sudah menunggunya. Kecemasan dan prasangka pun mulai merajai hati. Lalu, ia berinisiatif untuk mencarinya ke lantai lima."Barang kali dia belum baca pesanku dan langsung ke atas setelah sampai ke rumah sakit." Dia membatin. Kembali dia menjejaki kaki menuju lift dan barharap memang wanita itu sedang berada di sana. Jarinya terus mengusap dan menekan tombol panggilan untuk Hana."Angkat dong, Han. Kamu lagi apa dan di mana? Aku tidak mau kamu bertemu mereka."Lagi, s
"Ini tadi dititipin Hana buat Mas Hendra."Suaranya merdu dan sungguh enak didengar, tetapi tidak bisa menenangkan hati Mahendra yang sedang gelisah. Setelah mendapat pesan gambar dari nomor yang tidak mempunyai foto di profile-nya, pria tersebut terlihat gelisah. Sebuah tas berisi map diserahkan kepadanya."Oh, iya, tadi dia ada pesan apa? Maksud aku, dia ngomong sesuatu atau? Dia langsung pergi atau sempat masuk ke sini?"Begitu banyak pertanyaan yang membuat Elena bingung, pertanyaan mana yang harus ia jawab terlebih dahulu."Hana tidak ngomong apa-apa. Dia langsung pulang dan sedikit buru-buru."Mengigit bibir setelah Elena berdusta untuk menutupi kegugupannya. Ia dokter muda berhati lembut tetapi cinta buta yang telah membuatnya berani berbohong.Usai berucap terima kasih dan mengambil berkas, Mahendra berlalu pergi tanpa pamit. Elena yang mendapatkan perlakuan itu pun hanya bisa menelan ludah. Tenggorokannya seperti dililit
"Han, kenapa pesan chat dariku tak dibalas dan panggilan telepon juga tak diterima? Hm."Tidak menanggapi pertanyaan Hana, Mahendra malah bertanya balik dengan nada tenang. Dia bahkan tidak peduli dengan sikap dingin Hana seperti pertemuan pertama mereka setelah tujuh tahun berlalu.Hana tak mau menjawab, hm, lebih tepatnya tidak memiliki alasan atas pertanyaannya. Tidak mungkin menyatakan hal sebenarnya bahwa Elena-lah, tersangka yang telah mencuci otak hingga ia tidak mempedulikannya. Elena-lah, penyebab yang membuat ia harus pergi dan menjauhinya. Salah satu caranya adalah menghindar dan tidak berhubungan dengannya termasuk sekadar membalas pesan atau menerima panggilan telepon darinya.Hana tidak mau menoleh ke arahnya, dari ekor mata ia tahu Mahendra tengah menatapnya dengan lekat."Kenapa tadi siang tidak langsung menemuiku? Padahal, aku sudah menunggu dan ingin bertemu langsung denganmu. Karena aku sangat rindu."Tangan kekar terul
Hana berhenti menggerakkan tangan yang mendorong pintu lalu mengangkat wajah meliriknya sekilas. Mahendra segera mengambil ponsel setelah melihat sikap hana yang terlihat lebih melunak."Kamu bisa menjelaskan apa maksudnya ini? Kamu tak mungkin akan melakukan ini di depan umum, kan? Ini sangat memalukan."Sebuah foto yang ada di layar ponsel mahal tersebut kini melebarkan mata dan memukul dada Hana keras hingga merasa sesak seketika. Jantungnya berdebar kencang sehingga merasa organ penting itu akan melompat dari tempatnya."Siapa yang mengambil gambar itu? Dari mana dia mendapatkannya?" Dia membatin.***Malam itu, Mahendra pergi dari rumah Hana dan kembali ke rumah sakit untuk menemani Daddy yang sudah terlelap. Mommy harus pulang karena Mahendra yang meminta.Ia merebahkan tubuh di sofa empuk yang semestinya terasa nyaman tetapi tidak dengan Mahendra. Lantaran tersengat hati yang gundah, ia merasa malam ini adalah malam yang p
Sejak pengakuan tentang hubungan Hana dan Jonathan, sang direktur memang belum pernah sekalipun menginjakkan kaki ke perusahaan. Baru kemarin Daddy keluar dari rumah sakit dan rencananya hari ini ia akan kembali bekerja lantaran ada rapat internal antara pimpinan dan para marketing untuk melanjutkan rapat yang sudah tertunda beberapa hari yang lalu.Baru saja Hana hendak mengetik proposal yang diperintahkan Irma, getaran ponsel mengusik perhatiannya. Tentu saja itu bukan dari Mahendra karena sejak malam itu, Hana sudah memblokir nomornya. Ia benar-benar ingin menghilangkan apapun yang berkaitan dengannya."Jam berapa kita bisa ketemu? Kita akan membahas kelanjutan kontrak kerjasama hotel dengan perusahan kalian."Hana mengamati jam di tangan, pun tak bisa memastikan kapan dirinya bisa keluar dari kantor selain jam pulang kerja. Namun, ia tak ingin terus menerus bertemu dengan pria di malam hari. Lelah seharian beraktifitas dan ia lebih memilih berkumpul de
Tampaknya pria itu tidak mempedulikan wajah yang diselimuti kepanikan itu terus mundur dan melontarkan kata-kata ancaman. Kakinya terus bergerak sampai tubuh Hana terjebak hingga terbentur dinding. Tidak ada lagi tempatnya untuk menghindar sementara jarak mereka hanya tinggal beberapa jengkal. "Apakah kamu sudah tidak mencintaiku lagi?" Suara itu terdengar berbisik tetapi sangat jelas menjalar ke rongga pendengaran wanita yang sigap meletakkan tangannya di depan dada. "Tidak, Dra. Kamu jangan baper. Dari dulu aku menganggap hubungan kita sudah mati, jadi ...."Tangan Mahendra pun menarik pinggangnya dan menempelkan kedua perut lalu mendekati wajah, nyaris kedua bibir itu menempel."Kalau begini, apa jantungmu akan berkata bohong jika ia dalam keadaan baik-baik saja?"Spontan Hana menutup mata kuat-kuat dan menggigit bibir tatkala mendapati wajah tampan tersebut mendekat. Pasrah, kekuatannya sudah habis mendorong tubuh Mahendra. Tinggal dua atau tiga centimeter, kedua benda kenyal ha
"Han! Hana!"Teriakan itu mengalihkan perhatian Hana dan Mahendra ke arah pintu. Kaki mereka maju sampai di depan pintu dan mendapatkan Clarisa yang baru pulang, entah dari mana. Namun, tak lama Mommy menarik tangannya seakan memaksa untuk mengikuti langkahnya. Ada satu pria yang berkacamata hitam, tak asing bagi mereka, pun ikut serta mereka keluar dari pagar."Kayak kenal laki-laki itu, siapa, ya?"Jari Hana menunjuk ke arah mereka sambil berusaha memeras otaknya untuk mengingat."Jonathan.""Jonathan?" Hana masih menerka alasan pria itu datang ke rumah. Siapa yang mau ditemuinya?"Jonathan itu sepupu aku, tapi jauh banget. Anaknya sepupu Mommy. Mommy dan mamanya sepupu tiri. Jadi hubungannya agak jauh, beda kakek.""Terus, dia ke sini, mau ngapain? Cari kamu? Lalu, ngapain dia ikut mereka keluar juga?"Sambil bersandar di dinding, Mahendra tersenyum geli dan mengerti arti dari sikap yang Mommy lakukan barusan. Beliau sengaja mengajak Clarisa ikut dengannya agar memberi ruang dan w
"Aku bisa siapin sendiri, Mas. Kamu tidur lagi, deh. Besok kamu, kan, mau ke kantor. Aku nggak mau dengar dari Aldo kalau kamu tidur di sofa saat jam kerja."Pria itu berdecak dan langsung duduk di samping istri yang sedang bersandar di sofa kamar. Dia tersenyum kala memandang bayi mungil yang sedang menutup mata sambil mengisap susu. "Lahap banget." Dia menoel pipi mulus dan gembul itu dan enggan menanggapi omelan istrinya."Mas, tidur sana, aku bisa, kok.""Nggak apa-apa, Sayang."Sekilas dia mencium pelipis Hana lalu melanjutkan ucapannya. "Aku ingin merasakan menjadi ayah yang siap begadang. Hal yang tidak pernah aku alami saat Kai masih bayi.""Tapi kalau besok kamu ....""Tidak masalah kalau aku curi waktu untuk istirahat bentar di kantor. Tidak ada yang bisa mengatur termasuk Aldo. Aku bos di perusahaanku. Siapa yang berani pecat aku? Irma? Atau Aldo?""Tapi dengan kamu tidur di saat jam kantor
"Kenapa? Nyeri lagi?""Aneh, nih. Sakitnya sudah mulai rutin dan jaraknya berdekatan. Prediksiku ini sudah mulai pembukaan.""Kita ke rumah sakit, ya?""Apa nggak tunggu sampe ...."Belum selesai berucap, Hana mengelus perutnya sambil menahan sakit."Tunggu? Sudah semakin intens gini, masih mau nunggu? Nggak, ayo sekarang aku antar ke rumah sakit. Kelahiran anak kedua biasanya lebih cepat dari anak pertama."Tak menunggu lama, Mahendra mengganti pakaian dan membawa tas keperluan Hana dan calon bayi yang sudah disiapkan jika sewaktu-waktu harus bergegas ke rumah sakit. Sementara Hana tidak mengganti baju karena sudah mengenakan daster."Aku mau proses kelahirannya normal, ya, Mas."Hana masih sempat me-request saat sudah duduk di jok depan, samping Mahendra. Sebelum menginjak pegal gas, sang suami menoleh dan mengelus pucuk kepalanya."Iya, mudah-mudahan bisa. Kita dengar apa kata Dokter Rissa saja. Beli
"Ini kamu minum dulu, dong, Sayang. Pembukuan beginian semestinya Luna aja yang mengerjakan. Kamu harusnya istirahat yang cukup. Apalagi tadi malam, katanya nggak bisa tidur pulas karena punggungnya sakit."Segelas cangkir berisi susu hangat khusus untuk ibu hamil diletakkan di atas meja kamar. Hana tak menyadari kedatangan suaminya ke kamar karena terlalu fokus dengan laptop. Sejak pulang liburan dari Hongkong, mereka beraktifitas seperti biasa. Mahendra ke kantor dan Hana ke toko bakery. Tidak ada drama pulang telat, Mahendra selalu menjemput istrinya sesudah jam magrib. Lalu, mereka akan pulang bersama dan ibu tetap tinggal di ruko. Percuma terus mengajaknya untuk tinggal bersama, beliau akan tetap menolak dengan alasan yang sama."Ibu lebih nyaman tinggal di sini bersama Luna dan Sinta."Kalau sudah begitu, anak dan menantunya hanya bisa menghela napas pasrah. Namun, keadaan ibu tetap dipantau dari kamera pemindai yang dihubungkan dengan pons
Bab 25Pesawat Airbus Garuda Indonesia mendarat dengan selamat di aspal Bandara Udara Internasional Hong Kong jam tujuh lewat dua puluh pagi hari. Waktu Jakarta dengan negara tersebut hanya berbeda satu jam lebih lambat.Mereka keluar dari pesawat menuju ke ruang pengambilan bagasi dan butuh waktu kurang lebih satu jam. Di sana mereka melakukan registrasi ulang dengan mengisi formulir. Setelahnya, mereka menggunakan transportasi MRT menuju Disneyland Resort Line dengan jarak kurang lebih 12.7KM. Tujuan pertama mereka adalah check in Hong Kong Disneyland Hotel yang sudah di-booking seminggu yang lalu di Jakarta. Lantaran belum jam 12, mereka tak bisa masuk ke kamar, koper dititipkan ke hotel.Di kota Lantau, Hong Kong Disneyland Hotel berada di tepi laut. Pemandangan itu sangat menenangkan hati. Hari kedua, mereka akan mengunjungi pantai itu, rencananya. Dengan antusias yang semakin menggebu, mereka berkendara berjarak empat menit menuju Hong Kong Disn
"Aku sudah tanya dokter Rissa."Hana semakin melebarkan pupil mata ketika apa yang menjadi bahan pertanyaan di kepala sudah dijawab suaminya."Jangan kaget, aku nemu pertanyaan itu di bola matamu. Mata itu seolah berbicara denganku.""Lalu, apa lagi pertanyaan yang ada di mataku? Buktikan kalau kamu memang lihai membaca pertanyaan di mataku."Hana sengaja melotot agar suaminya bisa leluasa melihat kedalaman matanya. Tidak ada pertanyaan lain lagi, Hana hanya ingin mengetes apa jawaban suaminya.Pria itu tak langsung menyahut. Kedua matanya memicing, pura-pura fokus mencari pertanyaan di sana. Dia mengambil dagu dengan tangan kanan lalu menggeser tepat di depan wajahnya."Yang kulihat tidak apa pertanyaan apa-apa di sana, tetapi ada sebuah perintah."Hana yang tak bisa meredam gejolak yang bergemuruh di dada, pun melipat dahinya. Jarak wajah mereka tinggal satu jengkal. Itu yang membuat Hana hampir lupa cara bernapas yang
Mahendra berucap setelah cangkir putih sedikit menjauhi mulutnya. Beberapa detik kemudian, dia meneguk lagi hingga minuman itu kandas."Kamu bisa andalkan aku tanpa menyewa mereka. Aku selalu siap ada untuk mereka. Kamu tak lupa, kan, tujuh tahun aku pernah menjadi —""Ya, ya. Jangan kamu lanjutkan, aku tak suka. Tapi saranku jangan menyalahgunakan niat baikmu yang dulu-dulu. Mereka ada aku sekarang. Aku tidak akan segan bertarung kepadamu jika —""Jika kamu tak ingin aku merebut Hana, maka perjuangkanlah. Jika sedikit saja kamu lengah, siapkan diri untuk merasakan kehilangannya."Entah bagaimana mereka ini. Padahal, Arsenio sudah sepakat untuk mengundurkan diri dan berhenti berjuang mengambil hati Hana. Namun, di sesi lain, dia akan kembali merebut jika Mahendra lengah dan gagal membuat Hana bahagia.Hal itu membuat Mahendra harus tetap waspada. Meski iya, sekarang seutuhnya raga Hana telah digenggam, tetapi tidak menutup kemungkinan wan
"Time is money, Bro. Kuharap kamu bisa menghargai waktu."Seperti biasa, nada bicara ketus Mahendra terdengar, tetapi tidak membuat Arsen kaget. Dia sudah sering mendapati mata sinis, sikap dingin dan aura tak suka darinya.Percakapan mereka terjeda ketika seorang pelayan mengantar menu. Arsenio memesan cappunico panas. Lalu, orang itu pergi meninggalkan meja."Ada apa kamu memanggilku?"Tak ingin mengatakan alasan keterlambatan karena mengurusi pasiennya, Arsen langsung ke permasalahannya. Dia sedikit heran dengan isi pesan Mahendra di aplikasi hijau yang dikirim tadi pagi. "Apa ada waktu hari ini? Temui aku di kafe cinta rasa jam 1 siang nanti."Kendati belum tentu Arsen menyetujui janji temu itu, isi pesannya terkesan mengharuskan."Tentang istriku, Hana.""Ya. Ada apa?"Dalam beberapa detik keheningan itu tercipta dan mereka saling melempar pandang. Namun, sedikit berbeda sinar mata yang diberikan
Suara yang menggebu-gebu membuat Hana takut. Dia belum paham sepenuhnya, tetapi mencoba mengerti ucapan itu. Dia menarik kesimpulan sendiri jika Nadhira adalah penggemar suaminya, tetapi sejak kapan? Selama bersama Mahendra, dia belum pernah merasa mendapat saingan kecuali Elena."Andai kau mati, akulah yang akan mengganti posisimu!"Di akhir kalimat itu, Nadhira tertawa terbahak-bahak, menggelegar ruangan sempit itu. Wanita itu meronta saat tubuhnya ditahan untuk maju. Dia ingin meraih dan menjambak rambut Hana lagi seperti saat di dapur tempo lalu. Melihat situasi tak memungkinkan, petugas menarik paksa tubuh tersangka dengan sigap. "Maaf, Bapak Ibu."Petugas memberi isyarat agar mereka boleh keluar dan tersangka akan dikembalikan ke sel karena situasi mulai kacau. Mahendra mengangguk paham dan segera membawa Hana keluar dari sana."Kau memang pantas mati, aku pasti akan senang sekali."Samar-samar terdengar lagi kicauan Nadhira yang diakhiri dengan tawaan yang sangat menakutkan."