"Memangnya dengan aku mengikuti semua perintah Mommy, Daddy akan sembuh? Cukup! Cukup memperlakukan aku seperti anak kecil yang harus terus menuruti semua titah kalian."
"Bukan gitu, Hendra. Mommy hanya ...."Di ruang VVIP yang mewah dan nyaman, Mahendra mengajukan protes. Sudah lama memendam rasa itu dan kini ia tak tahan lagi dengan aturan yang harus dipatuhi. Kondisi Daddy yang sudah stabil memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya.Iya, malam itu dia mendapat kabar dari Mommy kalau Daddy merasa sesak sebelum beliau akan tidur. Itu yang menyebabkan pria dua puluh sembilan tahun tersebut segera ke rumah dan membawanya ke rumah sakit. Penyakit stroke yang diderita hampir delapan tahun membuat hati Mahendra selalu was-was. Kapan penyakit itu akan kambuh, tak bisa diprediksi.Meski di rumah ada perawat laki-laki yang selalu menjaga, tetap gundah seorang anak akan muncul ketika mendapat kabar dari Mommy."Apa Mommy pernah memikirkaBab 46BLima belas menit kemudian, kesabaran Mahendra pun mulai diuji, pesan yang dikirim belum mendapatkan balasan. Dia sempat menduga bisa jadi jalanan macet sehingga wanita itu belum juga sampai. Akhirnya ia menghubungi Pak Dadang untuk memastikan keberadaannya."Sudah sampai dua puluh menit yang lalu?"Mata Mahendra menyapu ke sekeliling mencari sosok Hana dengan ponsel masih menempel ke telinga."Ok, makasih, Pak Dadang."Panggilan itu terputus dan Mahendra menyeret langkah ke bagian lobby, berharap menemui Hana yang sudah menunggunya. Kecemasan dan prasangka pun mulai merajai hati. Lalu, ia berinisiatif untuk mencarinya ke lantai lima."Barang kali dia belum baca pesanku dan langsung ke atas setelah sampai ke rumah sakit." Dia membatin. Kembali dia menjejaki kaki menuju lift dan barharap memang wanita itu sedang berada di sana. Jarinya terus mengusap dan menekan tombol panggilan untuk Hana."Angkat dong, Han. Kamu lagi apa dan di mana? Aku tidak mau kamu bertemu mereka."Lagi, s
"Ini tadi dititipin Hana buat Mas Hendra."Suaranya merdu dan sungguh enak didengar, tetapi tidak bisa menenangkan hati Mahendra yang sedang gelisah. Setelah mendapat pesan gambar dari nomor yang tidak mempunyai foto di profile-nya, pria tersebut terlihat gelisah. Sebuah tas berisi map diserahkan kepadanya."Oh, iya, tadi dia ada pesan apa? Maksud aku, dia ngomong sesuatu atau? Dia langsung pergi atau sempat masuk ke sini?"Begitu banyak pertanyaan yang membuat Elena bingung, pertanyaan mana yang harus ia jawab terlebih dahulu."Hana tidak ngomong apa-apa. Dia langsung pulang dan sedikit buru-buru."Mengigit bibir setelah Elena berdusta untuk menutupi kegugupannya. Ia dokter muda berhati lembut tetapi cinta buta yang telah membuatnya berani berbohong.Usai berucap terima kasih dan mengambil berkas, Mahendra berlalu pergi tanpa pamit. Elena yang mendapatkan perlakuan itu pun hanya bisa menelan ludah. Tenggorokannya seperti dililit
"Han, kenapa pesan chat dariku tak dibalas dan panggilan telepon juga tak diterima? Hm."Tidak menanggapi pertanyaan Hana, Mahendra malah bertanya balik dengan nada tenang. Dia bahkan tidak peduli dengan sikap dingin Hana seperti pertemuan pertama mereka setelah tujuh tahun berlalu.Hana tak mau menjawab, hm, lebih tepatnya tidak memiliki alasan atas pertanyaannya. Tidak mungkin menyatakan hal sebenarnya bahwa Elena-lah, tersangka yang telah mencuci otak hingga ia tidak mempedulikannya. Elena-lah, penyebab yang membuat ia harus pergi dan menjauhinya. Salah satu caranya adalah menghindar dan tidak berhubungan dengannya termasuk sekadar membalas pesan atau menerima panggilan telepon darinya.Hana tidak mau menoleh ke arahnya, dari ekor mata ia tahu Mahendra tengah menatapnya dengan lekat."Kenapa tadi siang tidak langsung menemuiku? Padahal, aku sudah menunggu dan ingin bertemu langsung denganmu. Karena aku sangat rindu."Tangan kekar terul
Hana berhenti menggerakkan tangan yang mendorong pintu lalu mengangkat wajah meliriknya sekilas. Mahendra segera mengambil ponsel setelah melihat sikap hana yang terlihat lebih melunak."Kamu bisa menjelaskan apa maksudnya ini? Kamu tak mungkin akan melakukan ini di depan umum, kan? Ini sangat memalukan."Sebuah foto yang ada di layar ponsel mahal tersebut kini melebarkan mata dan memukul dada Hana keras hingga merasa sesak seketika. Jantungnya berdebar kencang sehingga merasa organ penting itu akan melompat dari tempatnya."Siapa yang mengambil gambar itu? Dari mana dia mendapatkannya?" Dia membatin.***Malam itu, Mahendra pergi dari rumah Hana dan kembali ke rumah sakit untuk menemani Daddy yang sudah terlelap. Mommy harus pulang karena Mahendra yang meminta.Ia merebahkan tubuh di sofa empuk yang semestinya terasa nyaman tetapi tidak dengan Mahendra. Lantaran tersengat hati yang gundah, ia merasa malam ini adalah malam yang p
Sejak pengakuan tentang hubungan Hana dan Jonathan, sang direktur memang belum pernah sekalipun menginjakkan kaki ke perusahaan. Baru kemarin Daddy keluar dari rumah sakit dan rencananya hari ini ia akan kembali bekerja lantaran ada rapat internal antara pimpinan dan para marketing untuk melanjutkan rapat yang sudah tertunda beberapa hari yang lalu.Baru saja Hana hendak mengetik proposal yang diperintahkan Irma, getaran ponsel mengusik perhatiannya. Tentu saja itu bukan dari Mahendra karena sejak malam itu, Hana sudah memblokir nomornya. Ia benar-benar ingin menghilangkan apapun yang berkaitan dengannya."Jam berapa kita bisa ketemu? Kita akan membahas kelanjutan kontrak kerjasama hotel dengan perusahan kalian."Hana mengamati jam di tangan, pun tak bisa memastikan kapan dirinya bisa keluar dari kantor selain jam pulang kerja. Namun, ia tak ingin terus menerus bertemu dengan pria di malam hari. Lelah seharian beraktifitas dan ia lebih memilih berkumpul de
Tampaknya pria itu tidak mempedulikan wajah yang diselimuti kepanikan itu terus mundur dan melontarkan kata-kata ancaman. Kakinya terus bergerak sampai tubuh Hana terjebak hingga terbentur dinding. Tidak ada lagi tempatnya untuk menghindar sementara jarak mereka hanya tinggal beberapa jengkal. "Apakah kamu sudah tidak mencintaiku lagi?" Suara itu terdengar berbisik tetapi sangat jelas menjalar ke rongga pendengaran wanita yang sigap meletakkan tangannya di depan dada. "Tidak, Dra. Kamu jangan baper. Dari dulu aku menganggap hubungan kita sudah mati, jadi ...."Tangan Mahendra pun menarik pinggangnya dan menempelkan kedua perut lalu mendekati wajah, nyaris kedua bibir itu menempel."Kalau begini, apa jantungmu akan berkata bohong jika ia dalam keadaan baik-baik saja?"Spontan Hana menutup mata kuat-kuat dan menggigit bibir tatkala mendapati wajah tampan tersebut mendekat. Pasrah, kekuatannya sudah habis mendorong tubuh Mahendra. Tinggal dua atau tiga centimeter, kedua benda kenyal ha
Hana tak terima tindakan semena-mena Mahendra yang sudah di luar batas. Bukan maksudnya untuk menyakiti hati, tetapi Hana belum siap terluka untuk kedua kalinya. Ia tahu kelak akan berat melangkah tanpa menggandeng pria yang bergelar ayah Kaindra. Namun, ketika wajah sinis dan kalimat Elena yang selalu terngiang dan berdengung di gendang telinga, mau tak mau dialah yang harus mengalah dan mundur.Mengenai Kaindra, banyak, kok, di dunia ini anak bisa memperoleh hak kebahagiaan tanpa kedua orangtua yang harus tinggal bersama. Sang papa bisa mengunjungi kapan saja meski akhirnya tak bersatu dengan mamanya.Hati Mahendra terenyuh ketika mendengar nada Hana bergetar, wanita itu berbalik badan dan mulai terisak. Bimbang bercampur emosi berbaur di sana. Pria itu pun mendekat dan memeluknya dari belakang, menenangkannya. Mencium rambut, telinga dan lehernya, dia mengucapkan kata maaf berulang kali. Rasa bersalah menguasainya karena tak bisa menahan diri.Sementara sekejap Hana merasa nyaman s
"Jonathan?"Sebuah suara tak asing terdengar ketika Hana dan Jonathan sudah berada di meja kafe yang jaraknya tak jauh dari kantor. Sengaja, Hana meminta agar pertemuannya di sekitar kantor lantaran dia hanya punya waktu istirahat satu jam saja."Kamu?"Jonathan pun berdiri dan menujuk wajah pria yang memanggilnya tadi."Arsernio?" Jonathan menebak dengan ragu.Hana yang melihat kedua pria itu saling mengenal, pun ikut berdiri lalu tersenyum kecil. "Kak Arsen kenal dengan Kak Nathan?"Arsenio menoleh ke Hana dengan tatapan tak percaya."Hei, Hana. Kalian juga saling kenal? Waduh, dunia serasa sangat sempit. Bagaimana mungkin kalian ...." Pria itu tertawa lalu diikuti Jonathan dan Hana."Kami di sini mau bicara tentang kelanjutan kerjasama hotel dan perusahaan yang tempat kami bekerja." Hana menjawab dan diangguki Jonathan.Mereka bertiga lalu duduk dan saling bertukar kabar. Arsenio gabung dan memesan makanan untuk makan siang yang kebetulan lewat kafe tersebut. Jonathan dan Hana sud