"Han, kenapa pesan chat dariku tak dibalas dan panggilan telepon juga tak diterima? Hm."
Tidak menanggapi pertanyaan Hana, Mahendra malah bertanya balik dengan nada tenang. Dia bahkan tidak peduli dengan sikap dingin Hana seperti pertemuan pertama mereka setelah tujuh tahun berlalu.Hana tak mau menjawab, hm, lebih tepatnya tidak memiliki alasan atas pertanyaannya. Tidak mungkin menyatakan hal sebenarnya bahwa Elena-lah, tersangka yang telah mencuci otak hingga ia tidak mempedulikannya. Elena-lah, penyebab yang membuat ia harus pergi dan menjauhinya. Salah satu caranya adalah menghindar dan tidak berhubungan dengannya termasuk sekadar membalas pesan atau menerima panggilan telepon darinya.Hana tidak mau menoleh ke arahnya, dari ekor mata ia tahu Mahendra tengah menatapnya dengan lekat."Kenapa tadi siang tidak langsung menemuiku? Padahal, aku sudah menunggu dan ingin bertemu langsung denganmu. Karena aku sangat rindu."Tangan kekar terulHana berhenti menggerakkan tangan yang mendorong pintu lalu mengangkat wajah meliriknya sekilas. Mahendra segera mengambil ponsel setelah melihat sikap hana yang terlihat lebih melunak."Kamu bisa menjelaskan apa maksudnya ini? Kamu tak mungkin akan melakukan ini di depan umum, kan? Ini sangat memalukan."Sebuah foto yang ada di layar ponsel mahal tersebut kini melebarkan mata dan memukul dada Hana keras hingga merasa sesak seketika. Jantungnya berdebar kencang sehingga merasa organ penting itu akan melompat dari tempatnya."Siapa yang mengambil gambar itu? Dari mana dia mendapatkannya?" Dia membatin.***Malam itu, Mahendra pergi dari rumah Hana dan kembali ke rumah sakit untuk menemani Daddy yang sudah terlelap. Mommy harus pulang karena Mahendra yang meminta.Ia merebahkan tubuh di sofa empuk yang semestinya terasa nyaman tetapi tidak dengan Mahendra. Lantaran tersengat hati yang gundah, ia merasa malam ini adalah malam yang p
Sejak pengakuan tentang hubungan Hana dan Jonathan, sang direktur memang belum pernah sekalipun menginjakkan kaki ke perusahaan. Baru kemarin Daddy keluar dari rumah sakit dan rencananya hari ini ia akan kembali bekerja lantaran ada rapat internal antara pimpinan dan para marketing untuk melanjutkan rapat yang sudah tertunda beberapa hari yang lalu.Baru saja Hana hendak mengetik proposal yang diperintahkan Irma, getaran ponsel mengusik perhatiannya. Tentu saja itu bukan dari Mahendra karena sejak malam itu, Hana sudah memblokir nomornya. Ia benar-benar ingin menghilangkan apapun yang berkaitan dengannya."Jam berapa kita bisa ketemu? Kita akan membahas kelanjutan kontrak kerjasama hotel dengan perusahan kalian."Hana mengamati jam di tangan, pun tak bisa memastikan kapan dirinya bisa keluar dari kantor selain jam pulang kerja. Namun, ia tak ingin terus menerus bertemu dengan pria di malam hari. Lelah seharian beraktifitas dan ia lebih memilih berkumpul de
Tampaknya pria itu tidak mempedulikan wajah yang diselimuti kepanikan itu terus mundur dan melontarkan kata-kata ancaman. Kakinya terus bergerak sampai tubuh Hana terjebak hingga terbentur dinding. Tidak ada lagi tempatnya untuk menghindar sementara jarak mereka hanya tinggal beberapa jengkal. "Apakah kamu sudah tidak mencintaiku lagi?" Suara itu terdengar berbisik tetapi sangat jelas menjalar ke rongga pendengaran wanita yang sigap meletakkan tangannya di depan dada. "Tidak, Dra. Kamu jangan baper. Dari dulu aku menganggap hubungan kita sudah mati, jadi ...."Tangan Mahendra pun menarik pinggangnya dan menempelkan kedua perut lalu mendekati wajah, nyaris kedua bibir itu menempel."Kalau begini, apa jantungmu akan berkata bohong jika ia dalam keadaan baik-baik saja?"Spontan Hana menutup mata kuat-kuat dan menggigit bibir tatkala mendapati wajah tampan tersebut mendekat. Pasrah, kekuatannya sudah habis mendorong tubuh Mahendra. Tinggal dua atau tiga centimeter, kedua benda kenyal ha
Hana tak terima tindakan semena-mena Mahendra yang sudah di luar batas. Bukan maksudnya untuk menyakiti hati, tetapi Hana belum siap terluka untuk kedua kalinya. Ia tahu kelak akan berat melangkah tanpa menggandeng pria yang bergelar ayah Kaindra. Namun, ketika wajah sinis dan kalimat Elena yang selalu terngiang dan berdengung di gendang telinga, mau tak mau dialah yang harus mengalah dan mundur.Mengenai Kaindra, banyak, kok, di dunia ini anak bisa memperoleh hak kebahagiaan tanpa kedua orangtua yang harus tinggal bersama. Sang papa bisa mengunjungi kapan saja meski akhirnya tak bersatu dengan mamanya.Hati Mahendra terenyuh ketika mendengar nada Hana bergetar, wanita itu berbalik badan dan mulai terisak. Bimbang bercampur emosi berbaur di sana. Pria itu pun mendekat dan memeluknya dari belakang, menenangkannya. Mencium rambut, telinga dan lehernya, dia mengucapkan kata maaf berulang kali. Rasa bersalah menguasainya karena tak bisa menahan diri.Sementara sekejap Hana merasa nyaman s
"Jonathan?"Sebuah suara tak asing terdengar ketika Hana dan Jonathan sudah berada di meja kafe yang jaraknya tak jauh dari kantor. Sengaja, Hana meminta agar pertemuannya di sekitar kantor lantaran dia hanya punya waktu istirahat satu jam saja."Kamu?"Jonathan pun berdiri dan menujuk wajah pria yang memanggilnya tadi."Arsernio?" Jonathan menebak dengan ragu.Hana yang melihat kedua pria itu saling mengenal, pun ikut berdiri lalu tersenyum kecil. "Kak Arsen kenal dengan Kak Nathan?"Arsenio menoleh ke Hana dengan tatapan tak percaya."Hei, Hana. Kalian juga saling kenal? Waduh, dunia serasa sangat sempit. Bagaimana mungkin kalian ...." Pria itu tertawa lalu diikuti Jonathan dan Hana."Kami di sini mau bicara tentang kelanjutan kerjasama hotel dan perusahaan yang tempat kami bekerja." Hana menjawab dan diangguki Jonathan.Mereka bertiga lalu duduk dan saling bertukar kabar. Arsenio gabung dan memesan makanan untuk makan siang yang kebetulan lewat kafe tersebut. Jonathan dan Hana sud
Berbeda dengan Hana, kedua pria tersebut memberi tatapan tak suka ke arahnya lalu saling melempar pandang setelah melirik Hana. "Ayo, kita kembali ke kantor sekarang." Perintah itu tidak mendapat tanggapan Hana. Wanita tersebut masih sibuk meredam emosi. Sekilas peristiwa saat Mahendra mencium paksa tadi pagi pun melintas. Tak ingin menoleh dan tak mau menjawab karena menurutnya waktu istirahat kantor masih tersisa dua puluh menit. Pria itu tak berhak untuk mengusik di luar jam kerja.Melihat tak ada respons, sang atasan menarik tangan sedikit paksa dan menyeret tubuh Hana. Wanita itu berusaha menepis tetapi lagi-lagi tenaganya tak cukup melakukan penolakan. "Anda punya hati nurani nggak, sih? Anda tahu kalau Hana belum menyelesaikan makan siangnya. Maag-nya bisa kambuh kalau dia hanya makan sedikit." Arsenio melangkah lebar dan menghalangi jalannya tatkala menangkap ekspresi kesal dan penolakan di raut wajah Hana. Dia tak suka dengan
Raja cahaya melayang tepat di atas bumi. Terik dan membara. Berbeda dengan suasana di mobil. Dingin, kaku dan canggung. Mereka diam seribu bahasa, padahal tadi banyak sekali pertanyaan yang berkeliaran di otak dan ingin dimuntahkan Mahendra. Hana memberanikan diri menoleh, memperhatikan keadaannya. Ternyata, pria itu tak menoleh sedikit pun, pandangan lurus ke depan jalan dengan wajah yang menegang. Ya, dia sedang dongkol. Sangat. Melihat situasi yang tak memungkinkan, Hana kembali membuang pandang ke luar jendela. Diam, mungkin akan jauh lebih baik daripada ia meluapkan protes atas tindakan Mahendra yang menggunakan kekuasaan sebagai atasannya."Turun!" Perintah Mahendra disertai nada ketus ketika mobil sudah terparkir di depan pintu utama gedung empat lantai. Kuping Hana panas tiba-tiba. Suara nyelekit itu seolah menusuk gendang telinga dan seolah memberi jarum ke dalamnya. Tentu saja, dia tak terima. Jika bisa, setelah pria itu turun dan ia berniat k
"Jam berapa kamu akan datang, Hendra?"Wajah Mommy yang sudah cantik dan rapi terpampang di layar. Mereka melakukan voice call."Ya, nanti, Mom."Sekilas melihat wajah sang ibu, Mahendra fokus kembali ke layar laptop yang di depannya seolah benda itu lebih menarik dibandingkan dengan wanita yang telah melahirkannya tersebut."Kamu, kok, tega. Today is daddy's birthday dan kamu tidak punya waktu untuknya?"Wajah memelas pun ditampilkan dan berharap anak sematang wayang menurut keinginannya. Walau hanya pesta kecil, kedatangan dan doa si putra yang paling penting."Tamu-tamu sudah pada datang dan kamu ....""Aku tidak suka keramaian, Mom.""Mommy tidak mengundang banyak tamu. Hanya sodara dan teman dekat saja. You see ...."Mommy menunjukkan layar ke tamu yang sudah duduk dan menikmati hidangan. Ekor mata Mahendra terpaksa melirik ke arah layar yang tak menarik sedikitpun untuknya, tadinya. Namun, ada ses