Sejak pengakuan tentang hubungan Hana dan Jonathan, sang direktur memang belum pernah sekalipun menginjakkan kaki ke perusahaan. Baru kemarin Daddy keluar dari rumah sakit dan rencananya hari ini ia akan kembali bekerja lantaran ada rapat internal antara pimpinan dan para marketing untuk melanjutkan rapat yang sudah tertunda beberapa hari yang lalu.
Baru saja Hana hendak mengetik proposal yang diperintahkan Irma, getaran ponsel mengusik perhatiannya. Tentu saja itu bukan dari Mahendra karena sejak malam itu, Hana sudah memblokir nomornya. Ia benar-benar ingin menghilangkan apapun yang berkaitan dengannya."Jam berapa kita bisa ketemu? Kita akan membahas kelanjutan kontrak kerjasama hotel dengan perusahan kalian."Hana mengamati jam di tangan, pun tak bisa memastikan kapan dirinya bisa keluar dari kantor selain jam pulang kerja. Namun, ia tak ingin terus menerus bertemu dengan pria di malam hari. Lelah seharian beraktifitas dan ia lebih memilih berkumpul deTampaknya pria itu tidak mempedulikan wajah yang diselimuti kepanikan itu terus mundur dan melontarkan kata-kata ancaman. Kakinya terus bergerak sampai tubuh Hana terjebak hingga terbentur dinding. Tidak ada lagi tempatnya untuk menghindar sementara jarak mereka hanya tinggal beberapa jengkal. "Apakah kamu sudah tidak mencintaiku lagi?" Suara itu terdengar berbisik tetapi sangat jelas menjalar ke rongga pendengaran wanita yang sigap meletakkan tangannya di depan dada. "Tidak, Dra. Kamu jangan baper. Dari dulu aku menganggap hubungan kita sudah mati, jadi ...."Tangan Mahendra pun menarik pinggangnya dan menempelkan kedua perut lalu mendekati wajah, nyaris kedua bibir itu menempel."Kalau begini, apa jantungmu akan berkata bohong jika ia dalam keadaan baik-baik saja?"Spontan Hana menutup mata kuat-kuat dan menggigit bibir tatkala mendapati wajah tampan tersebut mendekat. Pasrah, kekuatannya sudah habis mendorong tubuh Mahendra. Tinggal dua atau tiga centimeter, kedua benda kenyal ha
Hana tak terima tindakan semena-mena Mahendra yang sudah di luar batas. Bukan maksudnya untuk menyakiti hati, tetapi Hana belum siap terluka untuk kedua kalinya. Ia tahu kelak akan berat melangkah tanpa menggandeng pria yang bergelar ayah Kaindra. Namun, ketika wajah sinis dan kalimat Elena yang selalu terngiang dan berdengung di gendang telinga, mau tak mau dialah yang harus mengalah dan mundur.Mengenai Kaindra, banyak, kok, di dunia ini anak bisa memperoleh hak kebahagiaan tanpa kedua orangtua yang harus tinggal bersama. Sang papa bisa mengunjungi kapan saja meski akhirnya tak bersatu dengan mamanya.Hati Mahendra terenyuh ketika mendengar nada Hana bergetar, wanita itu berbalik badan dan mulai terisak. Bimbang bercampur emosi berbaur di sana. Pria itu pun mendekat dan memeluknya dari belakang, menenangkannya. Mencium rambut, telinga dan lehernya, dia mengucapkan kata maaf berulang kali. Rasa bersalah menguasainya karena tak bisa menahan diri.Sementara sekejap Hana merasa nyaman s
"Jonathan?"Sebuah suara tak asing terdengar ketika Hana dan Jonathan sudah berada di meja kafe yang jaraknya tak jauh dari kantor. Sengaja, Hana meminta agar pertemuannya di sekitar kantor lantaran dia hanya punya waktu istirahat satu jam saja."Kamu?"Jonathan pun berdiri dan menujuk wajah pria yang memanggilnya tadi."Arsernio?" Jonathan menebak dengan ragu.Hana yang melihat kedua pria itu saling mengenal, pun ikut berdiri lalu tersenyum kecil. "Kak Arsen kenal dengan Kak Nathan?"Arsenio menoleh ke Hana dengan tatapan tak percaya."Hei, Hana. Kalian juga saling kenal? Waduh, dunia serasa sangat sempit. Bagaimana mungkin kalian ...." Pria itu tertawa lalu diikuti Jonathan dan Hana."Kami di sini mau bicara tentang kelanjutan kerjasama hotel dan perusahaan yang tempat kami bekerja." Hana menjawab dan diangguki Jonathan.Mereka bertiga lalu duduk dan saling bertukar kabar. Arsenio gabung dan memesan makanan untuk makan siang yang kebetulan lewat kafe tersebut. Jonathan dan Hana sud
Berbeda dengan Hana, kedua pria tersebut memberi tatapan tak suka ke arahnya lalu saling melempar pandang setelah melirik Hana. "Ayo, kita kembali ke kantor sekarang." Perintah itu tidak mendapat tanggapan Hana. Wanita tersebut masih sibuk meredam emosi. Sekilas peristiwa saat Mahendra mencium paksa tadi pagi pun melintas. Tak ingin menoleh dan tak mau menjawab karena menurutnya waktu istirahat kantor masih tersisa dua puluh menit. Pria itu tak berhak untuk mengusik di luar jam kerja.Melihat tak ada respons, sang atasan menarik tangan sedikit paksa dan menyeret tubuh Hana. Wanita itu berusaha menepis tetapi lagi-lagi tenaganya tak cukup melakukan penolakan. "Anda punya hati nurani nggak, sih? Anda tahu kalau Hana belum menyelesaikan makan siangnya. Maag-nya bisa kambuh kalau dia hanya makan sedikit." Arsenio melangkah lebar dan menghalangi jalannya tatkala menangkap ekspresi kesal dan penolakan di raut wajah Hana. Dia tak suka dengan
Raja cahaya melayang tepat di atas bumi. Terik dan membara. Berbeda dengan suasana di mobil. Dingin, kaku dan canggung. Mereka diam seribu bahasa, padahal tadi banyak sekali pertanyaan yang berkeliaran di otak dan ingin dimuntahkan Mahendra. Hana memberanikan diri menoleh, memperhatikan keadaannya. Ternyata, pria itu tak menoleh sedikit pun, pandangan lurus ke depan jalan dengan wajah yang menegang. Ya, dia sedang dongkol. Sangat. Melihat situasi yang tak memungkinkan, Hana kembali membuang pandang ke luar jendela. Diam, mungkin akan jauh lebih baik daripada ia meluapkan protes atas tindakan Mahendra yang menggunakan kekuasaan sebagai atasannya."Turun!" Perintah Mahendra disertai nada ketus ketika mobil sudah terparkir di depan pintu utama gedung empat lantai. Kuping Hana panas tiba-tiba. Suara nyelekit itu seolah menusuk gendang telinga dan seolah memberi jarum ke dalamnya. Tentu saja, dia tak terima. Jika bisa, setelah pria itu turun dan ia berniat k
"Jam berapa kamu akan datang, Hendra?"Wajah Mommy yang sudah cantik dan rapi terpampang di layar. Mereka melakukan voice call."Ya, nanti, Mom."Sekilas melihat wajah sang ibu, Mahendra fokus kembali ke layar laptop yang di depannya seolah benda itu lebih menarik dibandingkan dengan wanita yang telah melahirkannya tersebut."Kamu, kok, tega. Today is daddy's birthday dan kamu tidak punya waktu untuknya?"Wajah memelas pun ditampilkan dan berharap anak sematang wayang menurut keinginannya. Walau hanya pesta kecil, kedatangan dan doa si putra yang paling penting."Tamu-tamu sudah pada datang dan kamu ....""Aku tidak suka keramaian, Mom.""Mommy tidak mengundang banyak tamu. Hanya sodara dan teman dekat saja. You see ...."Mommy menunjukkan layar ke tamu yang sudah duduk dan menikmati hidangan. Ekor mata Mahendra terpaksa melirik ke arah layar yang tak menarik sedikitpun untuknya, tadinya. Namun, ada ses
"Kamu pemilik PT. Astra Lakto Drinks?" tanya Jonathan ketika dipersilakan duduk dan menikmati teh blackcurrent di teras.Setelah saling memperkenalkan, Jonathan mengajak Mahendra berbicara empat mata. Awalnya suasana hening karena mereka saling memelihara ego untuk memulai percakapan. Meski mereka pernah bertemu dua kali tetapi dalam kondisi yang tidak bersahabat."Ya, ternyata kamu sudah mencari tahu tentang aku. Memang punya banyak waktu atau karena penasaran terhadap kehidupanku?"Selain mencari celah kesalahan, Mahendra pun sengaja bertanya seperti memojokkannya. Namun, pria tersebut malah tertawa garing lalu membuang pandang sejauh mungkin sampai ke gerbang besi yang kokoh di depan."Posesif, suka ngatur, pemaksa, kasar, kira-kira apa lagi sifat apa yang bisa dibanggakan selain itu?"Tak suka dengan kalimat yang terkesan meremehkan, Mahendra menoleh, menghadiahkan tatapan sinis dan mendapat balasan tatapan yang sama dari Jonathan.
Setelah pamit dan melambaikan tangan kepada Mommy, Elena dan Mahendra berjalan bersisian menuju halaman tempat mobil diparkirkan. Lupa sejenak tentang Hana dan Kai, Mahendra akan mengantarnya pulang, hanya menganggap hubungan teman atau adik, tidak lebih.Di dalam mobil, keceriaan Elena tak berkurang. Dia terus berceloteh sedangkan pria berkaos polo hitam itu hanya menjadi pendengar baik dan sesekali menimpali. Tampak sesekali Elena mengecek ponsel lalu diletakkan kembali dalam pangkuannya. Jika dokter cantik itu tidak membahas apapun tentang kelanjutan hubungan mereka, Mahendra akan siap menjawab semua obrolannya. Akan tetapi, saat Elena menyingunggung perasaannya, Mahendra pun mulai menunjukkan sikap dingin tanpa ia sadari."Aku masih menunggu keajaiban. Keajaiban saat Mas mau menganggap aku lebih dari seorang adik. Aku ....""Elen, tolong jangan bahas itu lagi. Hubungan kita tidak bisa lanjut sampai ke tahap itu. Aku tidak bisa memaksa hatik
"Han! Hana!"Teriakan itu mengalihkan perhatian Hana dan Mahendra ke arah pintu. Kaki mereka maju sampai di depan pintu dan mendapatkan Clarisa yang baru pulang, entah dari mana. Namun, tak lama Mommy menarik tangannya seakan memaksa untuk mengikuti langkahnya. Ada satu pria yang berkacamata hitam, tak asing bagi mereka, pun ikut serta mereka keluar dari pagar."Kayak kenal laki-laki itu, siapa, ya?"Jari Hana menunjuk ke arah mereka sambil berusaha memeras otaknya untuk mengingat."Jonathan.""Jonathan?" Hana masih menerka alasan pria itu datang ke rumah. Siapa yang mau ditemuinya?"Jonathan itu sepupu aku, tapi jauh banget. Anaknya sepupu Mommy. Mommy dan mamanya sepupu tiri. Jadi hubungannya agak jauh, beda kakek.""Terus, dia ke sini, mau ngapain? Cari kamu? Lalu, ngapain dia ikut mereka keluar juga?"Sambil bersandar di dinding, Mahendra tersenyum geli dan mengerti arti dari sikap yang Mommy lakukan barusan. Beliau sengaja mengajak Clarisa ikut dengannya agar memberi ruang dan w
"Aku bisa siapin sendiri, Mas. Kamu tidur lagi, deh. Besok kamu, kan, mau ke kantor. Aku nggak mau dengar dari Aldo kalau kamu tidur di sofa saat jam kerja."Pria itu berdecak dan langsung duduk di samping istri yang sedang bersandar di sofa kamar. Dia tersenyum kala memandang bayi mungil yang sedang menutup mata sambil mengisap susu. "Lahap banget." Dia menoel pipi mulus dan gembul itu dan enggan menanggapi omelan istrinya."Mas, tidur sana, aku bisa, kok.""Nggak apa-apa, Sayang."Sekilas dia mencium pelipis Hana lalu melanjutkan ucapannya. "Aku ingin merasakan menjadi ayah yang siap begadang. Hal yang tidak pernah aku alami saat Kai masih bayi.""Tapi kalau besok kamu ....""Tidak masalah kalau aku curi waktu untuk istirahat bentar di kantor. Tidak ada yang bisa mengatur termasuk Aldo. Aku bos di perusahaanku. Siapa yang berani pecat aku? Irma? Atau Aldo?""Tapi dengan kamu tidur di saat jam kantor
"Kenapa? Nyeri lagi?""Aneh, nih. Sakitnya sudah mulai rutin dan jaraknya berdekatan. Prediksiku ini sudah mulai pembukaan.""Kita ke rumah sakit, ya?""Apa nggak tunggu sampe ...."Belum selesai berucap, Hana mengelus perutnya sambil menahan sakit."Tunggu? Sudah semakin intens gini, masih mau nunggu? Nggak, ayo sekarang aku antar ke rumah sakit. Kelahiran anak kedua biasanya lebih cepat dari anak pertama."Tak menunggu lama, Mahendra mengganti pakaian dan membawa tas keperluan Hana dan calon bayi yang sudah disiapkan jika sewaktu-waktu harus bergegas ke rumah sakit. Sementara Hana tidak mengganti baju karena sudah mengenakan daster."Aku mau proses kelahirannya normal, ya, Mas."Hana masih sempat me-request saat sudah duduk di jok depan, samping Mahendra. Sebelum menginjak pegal gas, sang suami menoleh dan mengelus pucuk kepalanya."Iya, mudah-mudahan bisa. Kita dengar apa kata Dokter Rissa saja. Beli
"Ini kamu minum dulu, dong, Sayang. Pembukuan beginian semestinya Luna aja yang mengerjakan. Kamu harusnya istirahat yang cukup. Apalagi tadi malam, katanya nggak bisa tidur pulas karena punggungnya sakit."Segelas cangkir berisi susu hangat khusus untuk ibu hamil diletakkan di atas meja kamar. Hana tak menyadari kedatangan suaminya ke kamar karena terlalu fokus dengan laptop. Sejak pulang liburan dari Hongkong, mereka beraktifitas seperti biasa. Mahendra ke kantor dan Hana ke toko bakery. Tidak ada drama pulang telat, Mahendra selalu menjemput istrinya sesudah jam magrib. Lalu, mereka akan pulang bersama dan ibu tetap tinggal di ruko. Percuma terus mengajaknya untuk tinggal bersama, beliau akan tetap menolak dengan alasan yang sama."Ibu lebih nyaman tinggal di sini bersama Luna dan Sinta."Kalau sudah begitu, anak dan menantunya hanya bisa menghela napas pasrah. Namun, keadaan ibu tetap dipantau dari kamera pemindai yang dihubungkan dengan pons
Bab 25Pesawat Airbus Garuda Indonesia mendarat dengan selamat di aspal Bandara Udara Internasional Hong Kong jam tujuh lewat dua puluh pagi hari. Waktu Jakarta dengan negara tersebut hanya berbeda satu jam lebih lambat.Mereka keluar dari pesawat menuju ke ruang pengambilan bagasi dan butuh waktu kurang lebih satu jam. Di sana mereka melakukan registrasi ulang dengan mengisi formulir. Setelahnya, mereka menggunakan transportasi MRT menuju Disneyland Resort Line dengan jarak kurang lebih 12.7KM. Tujuan pertama mereka adalah check in Hong Kong Disneyland Hotel yang sudah di-booking seminggu yang lalu di Jakarta. Lantaran belum jam 12, mereka tak bisa masuk ke kamar, koper dititipkan ke hotel.Di kota Lantau, Hong Kong Disneyland Hotel berada di tepi laut. Pemandangan itu sangat menenangkan hati. Hari kedua, mereka akan mengunjungi pantai itu, rencananya. Dengan antusias yang semakin menggebu, mereka berkendara berjarak empat menit menuju Hong Kong Disn
"Aku sudah tanya dokter Rissa."Hana semakin melebarkan pupil mata ketika apa yang menjadi bahan pertanyaan di kepala sudah dijawab suaminya."Jangan kaget, aku nemu pertanyaan itu di bola matamu. Mata itu seolah berbicara denganku.""Lalu, apa lagi pertanyaan yang ada di mataku? Buktikan kalau kamu memang lihai membaca pertanyaan di mataku."Hana sengaja melotot agar suaminya bisa leluasa melihat kedalaman matanya. Tidak ada pertanyaan lain lagi, Hana hanya ingin mengetes apa jawaban suaminya.Pria itu tak langsung menyahut. Kedua matanya memicing, pura-pura fokus mencari pertanyaan di sana. Dia mengambil dagu dengan tangan kanan lalu menggeser tepat di depan wajahnya."Yang kulihat tidak apa pertanyaan apa-apa di sana, tetapi ada sebuah perintah."Hana yang tak bisa meredam gejolak yang bergemuruh di dada, pun melipat dahinya. Jarak wajah mereka tinggal satu jengkal. Itu yang membuat Hana hampir lupa cara bernapas yang
Mahendra berucap setelah cangkir putih sedikit menjauhi mulutnya. Beberapa detik kemudian, dia meneguk lagi hingga minuman itu kandas."Kamu bisa andalkan aku tanpa menyewa mereka. Aku selalu siap ada untuk mereka. Kamu tak lupa, kan, tujuh tahun aku pernah menjadi —""Ya, ya. Jangan kamu lanjutkan, aku tak suka. Tapi saranku jangan menyalahgunakan niat baikmu yang dulu-dulu. Mereka ada aku sekarang. Aku tidak akan segan bertarung kepadamu jika —""Jika kamu tak ingin aku merebut Hana, maka perjuangkanlah. Jika sedikit saja kamu lengah, siapkan diri untuk merasakan kehilangannya."Entah bagaimana mereka ini. Padahal, Arsenio sudah sepakat untuk mengundurkan diri dan berhenti berjuang mengambil hati Hana. Namun, di sesi lain, dia akan kembali merebut jika Mahendra lengah dan gagal membuat Hana bahagia.Hal itu membuat Mahendra harus tetap waspada. Meski iya, sekarang seutuhnya raga Hana telah digenggam, tetapi tidak menutup kemungkinan wan
"Time is money, Bro. Kuharap kamu bisa menghargai waktu."Seperti biasa, nada bicara ketus Mahendra terdengar, tetapi tidak membuat Arsen kaget. Dia sudah sering mendapati mata sinis, sikap dingin dan aura tak suka darinya.Percakapan mereka terjeda ketika seorang pelayan mengantar menu. Arsenio memesan cappunico panas. Lalu, orang itu pergi meninggalkan meja."Ada apa kamu memanggilku?"Tak ingin mengatakan alasan keterlambatan karena mengurusi pasiennya, Arsen langsung ke permasalahannya. Dia sedikit heran dengan isi pesan Mahendra di aplikasi hijau yang dikirim tadi pagi. "Apa ada waktu hari ini? Temui aku di kafe cinta rasa jam 1 siang nanti."Kendati belum tentu Arsen menyetujui janji temu itu, isi pesannya terkesan mengharuskan."Tentang istriku, Hana.""Ya. Ada apa?"Dalam beberapa detik keheningan itu tercipta dan mereka saling melempar pandang. Namun, sedikit berbeda sinar mata yang diberikan
Suara yang menggebu-gebu membuat Hana takut. Dia belum paham sepenuhnya, tetapi mencoba mengerti ucapan itu. Dia menarik kesimpulan sendiri jika Nadhira adalah penggemar suaminya, tetapi sejak kapan? Selama bersama Mahendra, dia belum pernah merasa mendapat saingan kecuali Elena."Andai kau mati, akulah yang akan mengganti posisimu!"Di akhir kalimat itu, Nadhira tertawa terbahak-bahak, menggelegar ruangan sempit itu. Wanita itu meronta saat tubuhnya ditahan untuk maju. Dia ingin meraih dan menjambak rambut Hana lagi seperti saat di dapur tempo lalu. Melihat situasi tak memungkinkan, petugas menarik paksa tubuh tersangka dengan sigap. "Maaf, Bapak Ibu."Petugas memberi isyarat agar mereka boleh keluar dan tersangka akan dikembalikan ke sel karena situasi mulai kacau. Mahendra mengangguk paham dan segera membawa Hana keluar dari sana."Kau memang pantas mati, aku pasti akan senang sekali."Samar-samar terdengar lagi kicauan Nadhira yang diakhiri dengan tawaan yang sangat menakutkan."