Setelah pamit dan melambaikan tangan kepada Mommy, Elena dan Mahendra berjalan bersisian menuju halaman tempat mobil diparkirkan. Lupa sejenak tentang Hana dan Kai, Mahendra akan mengantarnya pulang, hanya menganggap hubungan teman atau adik, tidak lebih.
Di dalam mobil, keceriaan Elena tak berkurang. Dia terus berceloteh sedangkan pria berkaos polo hitam itu hanya menjadi pendengar baik dan sesekali menimpali. Tampak sesekali Elena mengecek ponsel lalu diletakkan kembali dalam pangkuannya.Jika dokter cantik itu tidak membahas apapun tentang kelanjutan hubungan mereka, Mahendra akan siap menjawab semua obrolannya. Akan tetapi, saat Elena menyingunggung perasaannya, Mahendra pun mulai menunjukkan sikap dingin tanpa ia sadari."Aku masih menunggu keajaiban. Keajaiban saat Mas mau menganggap aku lebih dari seorang adik. Aku ....""Elen, tolong jangan bahas itu lagi. Hubungan kita tidak bisa lanjut sampai ke tahap itu. Aku tidak bisa memaksa hatikKacau, pikiran Hana kalut setelah mendapat telepon dari ibu. "Hana, kamu di mana? Cepat pulang, rumah sebelah kebakaran."Hana yang sudah dalam perjalanan, pun terpaksa ikut bergabung dengan kendaraan lain di tengah jalan. Lampu merah lalu lintas terasa lama berganti kala pikiran sedang diterjang kegelisahan, kekhawatiran, kepanikan bercampur menjadi satu paket. Perjalanan yang seharusnya hanya bisa ditempuh tiga puluh menit, kini diarungi lebih dari satu jam hingga ia berhasil memisahkan diri dari kendaraan lain.Tidak sampai di situ, ia harus melewati persimpangan tiga yang selalu menjadi horor dalam hidupnya. Sudah semaksimal berusaha agar tidak melintas di tempat itu lewat jam delapan. Nyatanya, malam ini sudah menunjukkan angka sembilan. Dalam hati, ia merapalkan doa agar Tuhan membutakan preman bertato itu sehingga ia tidak terlihat saat akan menerobos tempat tersebut. Namun, tidak semua doa yang kita harapkan akan menjadi kenyataan. Entah karma apa yang telah dilakukan, Hana t
Dengan aba-aba yang ada, kedua pria lain maju dan salah satunya berniat mendaratkan kepalan ke wajah tetapi Mahendra menepis. Lalu, tangan Mahendra meninju perutnya hingga terhuyung dan jatuh ke tanah.Satu pria lainnya tak tinggal diam, ia berlari dan ingin membalas, lagi-lagi Mahendra menendang dengan sekuat tenaga. Geram menguasai diri ketika ia mengamati baju Hana sudah sobek. Ia ingin segera menyudahi pertarungan, agar bisa membawa Hana pergi. Ia tak mau melihat wanitanya terluka, terlebih ia harus segera sampai ke kontrakan untuk melihat keadaan Kai dan ibu. Meski ada Aldo yang sudah berada di TKP, tetap saja ia ingin melihatnya sendiri situasi di sana."Mau main-main dengan kita? Silakan jika ingin melihat wanita ini mati tersayat dan darahnya menguncur deras di depanmu."Pria yang dari tadi mengunci tubuh Hana di belakang melotot dan menodongkan pisau di leher lalu mengancam Mahendra yang berdiri tak jauh dari mereka.Heran sekali, di jalan tempat lalu lalang orang melintas, t
"Han, gimana keadaanmu?" Setelah polisi menangkap satu per satu preman tersebut, Mahendra menghampiri Hana yang duduk, terkulai lemas. Wajah pucat pasi dan tubuhnya baal dan terasa amat lelah. Pandangan kosong dengan bibir bergetar. Pipinya pun basah dan memar di sudut bibir dan pipi kanan. Jantungnya tak berirama dan dadanya sesak penuh ketakutanHana hanya mengangguk pelan dan sejenak bisa bernapas lega ketika polisi sudah menangani kasus tersebut. "Maaf, aku telat menolongmu. Sekarang kamu aman, jangan takut, ada aku. Aku akan menjagamu."Mahendra mendekap memberi ketenangan dan kenyamanan. Ia terlalu khawatir kejadian ini mengganggu psikis karena trauma. Dalam dekapannya, Hana merasa nyaman sekaligus lemah dan mengharap perlindungan. Dia telah lelah harus berpura-pura tegar, berpura-pura kuat seolah mampu menghadapi kerasnya kehidupan. "Ada aku yang akan menemanimu. Kamu jangan takut."Tepukan dan belaian di kepala sampai
"Kai!" panggil Hana.Hana turun dari mobil dengan langkah pelan setelah Mahendra menepikan mobil di jalan yang dipenuhi dengan manusia. Mereka berkumpul untuk melihat langsung kebakaran yang baru terjadi. Sebagian merupakan kerabat, saudara atau teman. Namun, kebanyakan dari mereka adalah penduduk setempat yang kebetulan melintas. Mengganggu sebenarnya. Kehadiran mereka tidak begitu diharapkan lantaran menghalangi mobil pemadam masuk agar segera dapat memadamkan lidah api yang terus membesar menghanguskan rumah kontrakan sempit tersebut. Mata Hana terus menyapu di seluruh penjuru, hatinya semakin khawatir ketika belum menemukan putra dan ibu di tengah keramaian tersebut. "Ada tujuh rumah yang sudah hangus dan tidak ada satu orang pun yang berani menyelamatkan harta bendanya.""Tadi aku dengar ada anak kecil yang terjebak di kamar. Tak sempat keluar dan sekarang tak tahu gimana-gimana. Kita dilarang mendekat di lokasi.""Konslet katanya di salah satu rumah.""Pemadamnya terlalu lam
Sesekali Hana menengok ke belakang dan mendapatkan ibu memejamkan mata. Beliau hanya menutup mata, bukan tidur. Hana tahu kegundahan yang melanda hati ibu tetapi ia tak ingin mengganggu dengan bertanya. Ia tahu beliau wanita tangguh, tegar dan kuat menghadapi kejamnya kehidupan. Wanita yang paling dibanggakan Hana."Bersihkan tubuh dan temani Kai tidur di kamar."Mahendra menunjukkan kamar pribadinya setelah sampai ke unit. Tak lama kemudian, Arsen datang membawa obat oles untuk memar, luka berdarah dan obat oral yang harus diminum agar tubuh Mahendra dan Hana tidak meradang akibat pukulan tadi. Tidak lupa obat penurun panas yang suatu saat dibutuhkan untuk Kai. "Harus diminum dan jangan membantah." Itu pesan Arsen untuk Hana sambil mengusap kepalanya. Dokter itu tahu kalau Hana tidak suka dan kepayahan menelan obat."Aku serahkan Hana kepadamu." Pesan terakhir Arsen untuk Mahendra sebelum ia pamit di depan pintu dan diangguki Mahendra."Kamu juga jangan lupa obati memar dan luka say
"Kamu kenapa belum tidur?"Aku ....""AC-nya nggak dingin? Kasurnya nggak nyaman? Atau ....""Bukan, Dra. Tadi aku ...."Hana menggantung kalimat bukan tidak tahu kelanjutannya. Namun, tatapan Mahendra seperti virus yang merusak sistem kerja otak untuk melanjutkan kalimatnya. "Sini, duduk!" Perintahnya dipatuhi Hana, duduk dengan tatapan tak terlepas dari wajah tampan menenangkan hati, yang sedari tadi gundah memikirkan peristiwa malam itu. Trauma dengan wajah seringai bengis para preman cukup menyita pikirannya. Rasa ketakutan akan muncul tiba-tiba ketika ingatan saat lelaki jahanam merobek pakaian dan hampir melecehkannya.Tiba-tiba napas Hana memendek kembali dengan bibir gemetar tatkala benar wajah satu per satu preman yang berlumur tato di lengan datang tanpa permisi di benaknya."Hei, Hana. Kamu kenapa? Tenang, ada aku di sini. Mereka tidak akan menyentuhmu lagi."Mahendra bisa membaca eksp
"Kamu mau ajak aku ke mana?"Tangan Hana sibuk menyentuh buket Lily kuning yang baru dihadiahkan Mahendra untuknya. Tadi, baru saja dia duduk di jok depan, pria itu langsung mengambil buket dari jok belakang dan diserahkan kepadanya."Kamu akan tahu sendiri setelah sampai."Sejak Hana tak keberatan menumpang di apartemen, di situlah Mahendra menganggap wanita cantik itu tidak lagi menolak keberadaannya. Ia merasa cinta Hana perlahan kembali bersemi untuknya. Bahkan tadi dari apartemen menuju ke parkiran basement, Hana tidak memprotes saat Mahendra menggenggam jemarinya."Dua gelas cokelat panas."Mahendra memesan minuman favorit mereka ketika Hana sudah menduduki diri di salah satu sofa empuk. Mereka duduk bersisian di sudut kafe cinta rasa. Dari tempat mereka berada sangat mudah melihat siapa saja yang masuk dan keluar kafe tersebut.Tadi, saat Mahendra memarkirkan mobil di depan kafe, Hana menatap pria tersebut penuh tanya. Nam
"Sah! Kamu sekarang tunanganku."Kesannya sedikit memaksa, tetapi Hana tidak mengelak bahkan dia tersipu malu saat pria itu menjawil hidungnya.Mahendra menarik Hana dalam dekapannya dan mempersembahkan kecupan lagi di pelipis. Dia tak ada bosan-bosannya mencium wanitanya. Sementara Hana pasrah sambil melirik cincin yang sudah disematkan di jarinya. Mungkin dia harus membesarkan hati untuk memaafkan ayah Kaindra. Apalagi alasan pria itu meninggalkannya cukup menguras perhatian Mahendra. Rasanya setimpal. Selama tujuh tahun itu, Mahendra dihukum siksaan menahan rasa bersalah dan rindu seorang kekasih."Oh, ya, ada satu hal lagi yang ingin aku tunjukkan kepadamu."Pria itu mengurai pelukan dan mengeluarkan ponsel seorang wanita. Terlihat dari warna silikonnya berwarna ungu."Ini ponsel Elena. Ketinggalan di mobilku kemarin ketika aku antar dia pulang."Ponsel itu diambil Hana dengan ragu."Tapi hanya sekadar antar pulang,