"Kamu kenapa belum tidur?"Aku ....""AC-nya nggak dingin? Kasurnya nggak nyaman? Atau ....""Bukan, Dra. Tadi aku ...."Hana menggantung kalimat bukan tidak tahu kelanjutannya. Namun, tatapan Mahendra seperti virus yang merusak sistem kerja otak untuk melanjutkan kalimatnya. "Sini, duduk!" Perintahnya dipatuhi Hana, duduk dengan tatapan tak terlepas dari wajah tampan menenangkan hati, yang sedari tadi gundah memikirkan peristiwa malam itu. Trauma dengan wajah seringai bengis para preman cukup menyita pikirannya. Rasa ketakutan akan muncul tiba-tiba ketika ingatan saat lelaki jahanam merobek pakaian dan hampir melecehkannya.Tiba-tiba napas Hana memendek kembali dengan bibir gemetar tatkala benar wajah satu per satu preman yang berlumur tato di lengan datang tanpa permisi di benaknya."Hei, Hana. Kamu kenapa? Tenang, ada aku di sini. Mereka tidak akan menyentuhmu lagi."Mahendra bisa membaca eksp
"Kamu mau ajak aku ke mana?"Tangan Hana sibuk menyentuh buket Lily kuning yang baru dihadiahkan Mahendra untuknya. Tadi, baru saja dia duduk di jok depan, pria itu langsung mengambil buket dari jok belakang dan diserahkan kepadanya."Kamu akan tahu sendiri setelah sampai."Sejak Hana tak keberatan menumpang di apartemen, di situlah Mahendra menganggap wanita cantik itu tidak lagi menolak keberadaannya. Ia merasa cinta Hana perlahan kembali bersemi untuknya. Bahkan tadi dari apartemen menuju ke parkiran basement, Hana tidak memprotes saat Mahendra menggenggam jemarinya."Dua gelas cokelat panas."Mahendra memesan minuman favorit mereka ketika Hana sudah menduduki diri di salah satu sofa empuk. Mereka duduk bersisian di sudut kafe cinta rasa. Dari tempat mereka berada sangat mudah melihat siapa saja yang masuk dan keluar kafe tersebut.Tadi, saat Mahendra memarkirkan mobil di depan kafe, Hana menatap pria tersebut penuh tanya. Nam
"Sah! Kamu sekarang tunanganku."Kesannya sedikit memaksa, tetapi Hana tidak mengelak bahkan dia tersipu malu saat pria itu menjawil hidungnya.Mahendra menarik Hana dalam dekapannya dan mempersembahkan kecupan lagi di pelipis. Dia tak ada bosan-bosannya mencium wanitanya. Sementara Hana pasrah sambil melirik cincin yang sudah disematkan di jarinya. Mungkin dia harus membesarkan hati untuk memaafkan ayah Kaindra. Apalagi alasan pria itu meninggalkannya cukup menguras perhatian Mahendra. Rasanya setimpal. Selama tujuh tahun itu, Mahendra dihukum siksaan menahan rasa bersalah dan rindu seorang kekasih."Oh, ya, ada satu hal lagi yang ingin aku tunjukkan kepadamu."Pria itu mengurai pelukan dan mengeluarkan ponsel seorang wanita. Terlihat dari warna silikonnya berwarna ungu."Ini ponsel Elena. Ketinggalan di mobilku kemarin ketika aku antar dia pulang."Ponsel itu diambil Hana dengan ragu."Tapi hanya sekadar antar pulang,
"Oh, ya, kok, bisa di Mas Hendra? Pantasan dari kemarin aku nyari di tas tidak ada.""Mungkin terjatuh di mobil pas kamu mau turun dan kamu tidak menyadarinya."Mahendra merespons dengan santai sambil menyeruput cokelat panas yang sudah dingin tetapi manisnya tetap terasa nikmat di lidah. Hatinya sedang kedatangan banyak kupu-kupu yang indah, terbang ke sana kemari. Hal itu pasti dikarenakan wanita yang duduk di sampingnya telah menerima lamaran menjadi tunangan, yang akan dinikahinya sebentar lagi."Ya, mungkin.""Ada beberapa panggilan telepon tadi malam, tapi tidak aku jawab lantaran nomor itu tidak dikenal."Namun, tadi pagi Mahendra sudah mencocokkan nomor asing yang pernah mengirimkan foto Hana-Jonathan, itu sama dengan nomor yang mengirim pesan untuk Elena."Oh, mungkin orang iseng."Elena mengecek ponsel dan kentara sekali sikap kegelisahannya. Hana hanya diam dan mendengar percakapan basa-basi mereka sambil memi
Jantung Mahendra seolah berhenti berdetak saat menonton langsung adegan tabrak lari tersebut. Dia berlari sekencang mungkin demi mengetahui keadaan korban yang tak lain adalah calon istrinya, Hana. Wanita yang paling ia cintai selain Mommy.Melihat Hana masih membuka mata dan nadinya berdenyut, Mahendra membopong tubuhnya ke mobil. Dia segera meluncur menuju rumah sakit dan membiarkan Elena menghilang. Yang ada di benaknya hanya keselamatan Hana.Kasur pasien yang dihuni Hana didorong memasuki ruangan UGD dan segera ditangani dokter dan tim medis yang bertugas. Kepanikan, kekhawatiran dan perasaan lainnya yang tak bisa disebutkan mulai menggerogoti hati. Satu yang paling ditakutkan benar-benar ada di depan mata sekarang, yaitu takut kehilangan Hana.Tiga puluh bahkan sampai lima puluh menit terasa seperti satu abad lamanya ia menunggu di depan UGD, dengan mondar-mondir sembari jari terus menari di atas layar ponsel. Sesekali ia menempelkannya ke telinga da
"Jeng Yuli, kenapa ini bisa terjadi? Tadi malam kebakaran dan sekarang putrimu harus mengalami kecelakaan."Wanita berkalung mutiara terlihat iba dengan apa yang menimpa pada keluarga mereka. Dia mendapat kabar dari Delia dan kini mereka datang bersama untuk menjenguk. Mereka diantar Jonathan yang kini duduk di sofa setelah menyapa Hana."Namanya juga musibah, kita tidak tahu kapan dan di mana akan terjadi. Kita sebagai manusia hanya bisa berhati-hati dan berdoa agar terhindar dari masalah yang kapan saja akan menghampiri."Jawaban ibu mendapat tepukan halus di punggung oleh tangan Merry. Awalnya mereka tak sedekat ini, Delia-lah yang menjadi penyambung hubungan mereka. Mereka jadi sering dipertemukan di beberapa acara yang tadinya ibu malas mengikutinya."Kamu tidak apa-apa, Hana? Ini pipi dan bibirmu memar, apa karena terjatuh? Bagaimana ceritanya hingga kamu bisa mengalami kecelakaan itu? Kamu naik motor atau bagaimana? Orang yang menabrak kamu
"Mommy dan Daddy tidak pernah mengajarimu menjadi lelaki pengecut. Kamu benar-benar membuat keluarga kami kehilangan wajah."Mommy menjewer kuping Mahendra setelah ia menjelaskan apa yang terjadi tujuh tahun yang silam. Mommy seakan tidak peduli meski pria dewasa itu sudah meringis kesakitan.Delia, Merry dan Jonathan baru saja mendapatkan berita yang mencengangkan. Pintar sekali Mahendra dan Hana menyembunyikan aib yang mereka lakukan. Perbuatan zin@ yang dilarang Tuhan.Menunduk sambil memilin selimut, Hana terlalu takut menatap mata Mommy yang berkilat. Dia syok dan masih belum percaya kalau putranya bisa menodai anak gadis orang, terlebih itu adalah mama dari Kai, anak yang ia sayangi."Pantas saat pertama kali Mommy lihat Kai, Mommy seperti melihat wajah kamu waktu kecil. Mata dan hidungnya mirip sekali. Cara dia menatap dan kepintaran dalam berbicara hampir sama denganmu. Ternyata darah yang mengalir dalam tubuhnya adalah darahmu."
Esok harinya, Hana diperbolehkan pulang setelah hasil rontgen dan laboratorium menunjukkan paru, jantung, kepala dan organ lainnya normal. Sebetulnya pemeriksaan itu tidak perlu dilakukan tetapi Mahendra memaksa, ingin memastikan kondisi calon istrinya dalam keadaan sehat.Ketukan pintu dan suara bel terdengar ketika mereka baru saja sampai ke apartemen Mahendra. Pria itu membukakan pintu tatkala Hana masuk ke kamar. Sementara Kai bermain piano dan ibu berkutit di dapur."Untuk apa kamu datang ke sini?" Wajah dan nada tak bersahabat terdengar saat menyadari siapa yang datang sore itu."Tolong izinkan, aku ingin bertemu Hana." Suara penuh memohon nan lirih."Untuk apa? Belum cukup dengan apa yang kamu lakukan?" Ia masih keukeh tidak mengizinkan wanita itu masuk.Menunduk, Elena tak tahu cara membela diri. Kemarin sore Mahendra sudah menceritakan semua kronologis kebakaran dan kecelakaan yang menimpa Hana kepada Mommy."Kamu yakin