"Han, gimana keadaanmu?" Setelah polisi menangkap satu per satu preman tersebut, Mahendra menghampiri Hana yang duduk, terkulai lemas. Wajah pucat pasi dan tubuhnya baal dan terasa amat lelah. Pandangan kosong dengan bibir bergetar. Pipinya pun basah dan memar di sudut bibir dan pipi kanan. Jantungnya tak berirama dan dadanya sesak penuh ketakutanHana hanya mengangguk pelan dan sejenak bisa bernapas lega ketika polisi sudah menangani kasus tersebut. "Maaf, aku telat menolongmu. Sekarang kamu aman, jangan takut, ada aku. Aku akan menjagamu."Mahendra mendekap memberi ketenangan dan kenyamanan. Ia terlalu khawatir kejadian ini mengganggu psikis karena trauma. Dalam dekapannya, Hana merasa nyaman sekaligus lemah dan mengharap perlindungan. Dia telah lelah harus berpura-pura tegar, berpura-pura kuat seolah mampu menghadapi kerasnya kehidupan. "Ada aku yang akan menemanimu. Kamu jangan takut."Tepukan dan belaian di kepala sampai
"Kai!" panggil Hana.Hana turun dari mobil dengan langkah pelan setelah Mahendra menepikan mobil di jalan yang dipenuhi dengan manusia. Mereka berkumpul untuk melihat langsung kebakaran yang baru terjadi. Sebagian merupakan kerabat, saudara atau teman. Namun, kebanyakan dari mereka adalah penduduk setempat yang kebetulan melintas. Mengganggu sebenarnya. Kehadiran mereka tidak begitu diharapkan lantaran menghalangi mobil pemadam masuk agar segera dapat memadamkan lidah api yang terus membesar menghanguskan rumah kontrakan sempit tersebut. Mata Hana terus menyapu di seluruh penjuru, hatinya semakin khawatir ketika belum menemukan putra dan ibu di tengah keramaian tersebut. "Ada tujuh rumah yang sudah hangus dan tidak ada satu orang pun yang berani menyelamatkan harta bendanya.""Tadi aku dengar ada anak kecil yang terjebak di kamar. Tak sempat keluar dan sekarang tak tahu gimana-gimana. Kita dilarang mendekat di lokasi.""Konslet katanya di salah satu rumah.""Pemadamnya terlalu lam
Sesekali Hana menengok ke belakang dan mendapatkan ibu memejamkan mata. Beliau hanya menutup mata, bukan tidur. Hana tahu kegundahan yang melanda hati ibu tetapi ia tak ingin mengganggu dengan bertanya. Ia tahu beliau wanita tangguh, tegar dan kuat menghadapi kejamnya kehidupan. Wanita yang paling dibanggakan Hana."Bersihkan tubuh dan temani Kai tidur di kamar."Mahendra menunjukkan kamar pribadinya setelah sampai ke unit. Tak lama kemudian, Arsen datang membawa obat oles untuk memar, luka berdarah dan obat oral yang harus diminum agar tubuh Mahendra dan Hana tidak meradang akibat pukulan tadi. Tidak lupa obat penurun panas yang suatu saat dibutuhkan untuk Kai. "Harus diminum dan jangan membantah." Itu pesan Arsen untuk Hana sambil mengusap kepalanya. Dokter itu tahu kalau Hana tidak suka dan kepayahan menelan obat."Aku serahkan Hana kepadamu." Pesan terakhir Arsen untuk Mahendra sebelum ia pamit di depan pintu dan diangguki Mahendra."Kamu juga jangan lupa obati memar dan luka say
"Kamu kenapa belum tidur?"Aku ....""AC-nya nggak dingin? Kasurnya nggak nyaman? Atau ....""Bukan, Dra. Tadi aku ...."Hana menggantung kalimat bukan tidak tahu kelanjutannya. Namun, tatapan Mahendra seperti virus yang merusak sistem kerja otak untuk melanjutkan kalimatnya. "Sini, duduk!" Perintahnya dipatuhi Hana, duduk dengan tatapan tak terlepas dari wajah tampan menenangkan hati, yang sedari tadi gundah memikirkan peristiwa malam itu. Trauma dengan wajah seringai bengis para preman cukup menyita pikirannya. Rasa ketakutan akan muncul tiba-tiba ketika ingatan saat lelaki jahanam merobek pakaian dan hampir melecehkannya.Tiba-tiba napas Hana memendek kembali dengan bibir gemetar tatkala benar wajah satu per satu preman yang berlumur tato di lengan datang tanpa permisi di benaknya."Hei, Hana. Kamu kenapa? Tenang, ada aku di sini. Mereka tidak akan menyentuhmu lagi."Mahendra bisa membaca eksp
"Kamu mau ajak aku ke mana?"Tangan Hana sibuk menyentuh buket Lily kuning yang baru dihadiahkan Mahendra untuknya. Tadi, baru saja dia duduk di jok depan, pria itu langsung mengambil buket dari jok belakang dan diserahkan kepadanya."Kamu akan tahu sendiri setelah sampai."Sejak Hana tak keberatan menumpang di apartemen, di situlah Mahendra menganggap wanita cantik itu tidak lagi menolak keberadaannya. Ia merasa cinta Hana perlahan kembali bersemi untuknya. Bahkan tadi dari apartemen menuju ke parkiran basement, Hana tidak memprotes saat Mahendra menggenggam jemarinya."Dua gelas cokelat panas."Mahendra memesan minuman favorit mereka ketika Hana sudah menduduki diri di salah satu sofa empuk. Mereka duduk bersisian di sudut kafe cinta rasa. Dari tempat mereka berada sangat mudah melihat siapa saja yang masuk dan keluar kafe tersebut.Tadi, saat Mahendra memarkirkan mobil di depan kafe, Hana menatap pria tersebut penuh tanya. Nam
"Sah! Kamu sekarang tunanganku."Kesannya sedikit memaksa, tetapi Hana tidak mengelak bahkan dia tersipu malu saat pria itu menjawil hidungnya.Mahendra menarik Hana dalam dekapannya dan mempersembahkan kecupan lagi di pelipis. Dia tak ada bosan-bosannya mencium wanitanya. Sementara Hana pasrah sambil melirik cincin yang sudah disematkan di jarinya. Mungkin dia harus membesarkan hati untuk memaafkan ayah Kaindra. Apalagi alasan pria itu meninggalkannya cukup menguras perhatian Mahendra. Rasanya setimpal. Selama tujuh tahun itu, Mahendra dihukum siksaan menahan rasa bersalah dan rindu seorang kekasih."Oh, ya, ada satu hal lagi yang ingin aku tunjukkan kepadamu."Pria itu mengurai pelukan dan mengeluarkan ponsel seorang wanita. Terlihat dari warna silikonnya berwarna ungu."Ini ponsel Elena. Ketinggalan di mobilku kemarin ketika aku antar dia pulang."Ponsel itu diambil Hana dengan ragu."Tapi hanya sekadar antar pulang,
"Oh, ya, kok, bisa di Mas Hendra? Pantasan dari kemarin aku nyari di tas tidak ada.""Mungkin terjatuh di mobil pas kamu mau turun dan kamu tidak menyadarinya."Mahendra merespons dengan santai sambil menyeruput cokelat panas yang sudah dingin tetapi manisnya tetap terasa nikmat di lidah. Hatinya sedang kedatangan banyak kupu-kupu yang indah, terbang ke sana kemari. Hal itu pasti dikarenakan wanita yang duduk di sampingnya telah menerima lamaran menjadi tunangan, yang akan dinikahinya sebentar lagi."Ya, mungkin.""Ada beberapa panggilan telepon tadi malam, tapi tidak aku jawab lantaran nomor itu tidak dikenal."Namun, tadi pagi Mahendra sudah mencocokkan nomor asing yang pernah mengirimkan foto Hana-Jonathan, itu sama dengan nomor yang mengirim pesan untuk Elena."Oh, mungkin orang iseng."Elena mengecek ponsel dan kentara sekali sikap kegelisahannya. Hana hanya diam dan mendengar percakapan basa-basi mereka sambil memi
Jantung Mahendra seolah berhenti berdetak saat menonton langsung adegan tabrak lari tersebut. Dia berlari sekencang mungkin demi mengetahui keadaan korban yang tak lain adalah calon istrinya, Hana. Wanita yang paling ia cintai selain Mommy.Melihat Hana masih membuka mata dan nadinya berdenyut, Mahendra membopong tubuhnya ke mobil. Dia segera meluncur menuju rumah sakit dan membiarkan Elena menghilang. Yang ada di benaknya hanya keselamatan Hana.Kasur pasien yang dihuni Hana didorong memasuki ruangan UGD dan segera ditangani dokter dan tim medis yang bertugas. Kepanikan, kekhawatiran dan perasaan lainnya yang tak bisa disebutkan mulai menggerogoti hati. Satu yang paling ditakutkan benar-benar ada di depan mata sekarang, yaitu takut kehilangan Hana.Tiga puluh bahkan sampai lima puluh menit terasa seperti satu abad lamanya ia menunggu di depan UGD, dengan mondar-mondir sembari jari terus menari di atas layar ponsel. Sesekali ia menempelkannya ke telinga da