Hai, Akak kesayangan. Terima kasih banyak sudah menunggu dan setia baca sampai bab ini. Semoga dapat menghibur di waktu luang kalian ya. Hari ini, saya akan membuat chal up 2 bab. Akan tetapi, bantu kasih review atau ulasan atau bintang 5 di buku cerita ini dong. Jika sudah mencapai 20 orang per hari ini, aku up lagi bab berikutnya. Cuz, yang sudah baca, langsung kasih rate 5, ya. Saya tunggu, lho. Thank you. Salam Sayang dari Hendra, Hana& Kai.
Hana tak terima tindakan semena-mena Mahendra yang sudah di luar batas. Bukan maksudnya untuk menyakiti hati, tetapi Hana belum siap terluka untuk kedua kalinya. Ia tahu kelak akan berat melangkah tanpa menggandeng pria yang bergelar ayah Kaindra. Namun, ketika wajah sinis dan kalimat Elena yang selalu terngiang dan berdengung di gendang telinga, mau tak mau dialah yang harus mengalah dan mundur.Mengenai Kaindra, banyak, kok, di dunia ini anak bisa memperoleh hak kebahagiaan tanpa kedua orangtua yang harus tinggal bersama. Sang papa bisa mengunjungi kapan saja meski akhirnya tak bersatu dengan mamanya.Hati Mahendra terenyuh ketika mendengar nada Hana bergetar, wanita itu berbalik badan dan mulai terisak. Bimbang bercampur emosi berbaur di sana. Pria itu pun mendekat dan memeluknya dari belakang, menenangkannya. Mencium rambut, telinga dan lehernya, dia mengucapkan kata maaf berulang kali. Rasa bersalah menguasainya karena tak bisa menahan diri.Sementara sekejap Hana merasa nyaman s
"Jonathan?"Sebuah suara tak asing terdengar ketika Hana dan Jonathan sudah berada di meja kafe yang jaraknya tak jauh dari kantor. Sengaja, Hana meminta agar pertemuannya di sekitar kantor lantaran dia hanya punya waktu istirahat satu jam saja."Kamu?"Jonathan pun berdiri dan menujuk wajah pria yang memanggilnya tadi."Arsernio?" Jonathan menebak dengan ragu.Hana yang melihat kedua pria itu saling mengenal, pun ikut berdiri lalu tersenyum kecil. "Kak Arsen kenal dengan Kak Nathan?"Arsenio menoleh ke Hana dengan tatapan tak percaya."Hei, Hana. Kalian juga saling kenal? Waduh, dunia serasa sangat sempit. Bagaimana mungkin kalian ...." Pria itu tertawa lalu diikuti Jonathan dan Hana."Kami di sini mau bicara tentang kelanjutan kerjasama hotel dan perusahaan yang tempat kami bekerja." Hana menjawab dan diangguki Jonathan.Mereka bertiga lalu duduk dan saling bertukar kabar. Arsenio gabung dan memesan makanan untuk makan siang yang kebetulan lewat kafe tersebut. Jonathan dan Hana sud
Berbeda dengan Hana, kedua pria tersebut memberi tatapan tak suka ke arahnya lalu saling melempar pandang setelah melirik Hana. "Ayo, kita kembali ke kantor sekarang." Perintah itu tidak mendapat tanggapan Hana. Wanita tersebut masih sibuk meredam emosi. Sekilas peristiwa saat Mahendra mencium paksa tadi pagi pun melintas. Tak ingin menoleh dan tak mau menjawab karena menurutnya waktu istirahat kantor masih tersisa dua puluh menit. Pria itu tak berhak untuk mengusik di luar jam kerja.Melihat tak ada respons, sang atasan menarik tangan sedikit paksa dan menyeret tubuh Hana. Wanita itu berusaha menepis tetapi lagi-lagi tenaganya tak cukup melakukan penolakan. "Anda punya hati nurani nggak, sih? Anda tahu kalau Hana belum menyelesaikan makan siangnya. Maag-nya bisa kambuh kalau dia hanya makan sedikit." Arsenio melangkah lebar dan menghalangi jalannya tatkala menangkap ekspresi kesal dan penolakan di raut wajah Hana. Dia tak suka dengan
Raja cahaya melayang tepat di atas bumi. Terik dan membara. Berbeda dengan suasana di mobil. Dingin, kaku dan canggung. Mereka diam seribu bahasa, padahal tadi banyak sekali pertanyaan yang berkeliaran di otak dan ingin dimuntahkan Mahendra. Hana memberanikan diri menoleh, memperhatikan keadaannya. Ternyata, pria itu tak menoleh sedikit pun, pandangan lurus ke depan jalan dengan wajah yang menegang. Ya, dia sedang dongkol. Sangat. Melihat situasi yang tak memungkinkan, Hana kembali membuang pandang ke luar jendela. Diam, mungkin akan jauh lebih baik daripada ia meluapkan protes atas tindakan Mahendra yang menggunakan kekuasaan sebagai atasannya."Turun!" Perintah Mahendra disertai nada ketus ketika mobil sudah terparkir di depan pintu utama gedung empat lantai. Kuping Hana panas tiba-tiba. Suara nyelekit itu seolah menusuk gendang telinga dan seolah memberi jarum ke dalamnya. Tentu saja, dia tak terima. Jika bisa, setelah pria itu turun dan ia berniat k
"Jam berapa kamu akan datang, Hendra?"Wajah Mommy yang sudah cantik dan rapi terpampang di layar. Mereka melakukan voice call."Ya, nanti, Mom."Sekilas melihat wajah sang ibu, Mahendra fokus kembali ke layar laptop yang di depannya seolah benda itu lebih menarik dibandingkan dengan wanita yang telah melahirkannya tersebut."Kamu, kok, tega. Today is daddy's birthday dan kamu tidak punya waktu untuknya?"Wajah memelas pun ditampilkan dan berharap anak sematang wayang menurut keinginannya. Walau hanya pesta kecil, kedatangan dan doa si putra yang paling penting."Tamu-tamu sudah pada datang dan kamu ....""Aku tidak suka keramaian, Mom.""Mommy tidak mengundang banyak tamu. Hanya sodara dan teman dekat saja. You see ...."Mommy menunjukkan layar ke tamu yang sudah duduk dan menikmati hidangan. Ekor mata Mahendra terpaksa melirik ke arah layar yang tak menarik sedikitpun untuknya, tadinya. Namun, ada ses
"Kamu pemilik PT. Astra Lakto Drinks?" tanya Jonathan ketika dipersilakan duduk dan menikmati teh blackcurrent di teras.Setelah saling memperkenalkan, Jonathan mengajak Mahendra berbicara empat mata. Awalnya suasana hening karena mereka saling memelihara ego untuk memulai percakapan. Meski mereka pernah bertemu dua kali tetapi dalam kondisi yang tidak bersahabat."Ya, ternyata kamu sudah mencari tahu tentang aku. Memang punya banyak waktu atau karena penasaran terhadap kehidupanku?"Selain mencari celah kesalahan, Mahendra pun sengaja bertanya seperti memojokkannya. Namun, pria tersebut malah tertawa garing lalu membuang pandang sejauh mungkin sampai ke gerbang besi yang kokoh di depan."Posesif, suka ngatur, pemaksa, kasar, kira-kira apa lagi sifat apa yang bisa dibanggakan selain itu?"Tak suka dengan kalimat yang terkesan meremehkan, Mahendra menoleh, menghadiahkan tatapan sinis dan mendapat balasan tatapan yang sama dari Jonathan.
Setelah pamit dan melambaikan tangan kepada Mommy, Elena dan Mahendra berjalan bersisian menuju halaman tempat mobil diparkirkan. Lupa sejenak tentang Hana dan Kai, Mahendra akan mengantarnya pulang, hanya menganggap hubungan teman atau adik, tidak lebih.Di dalam mobil, keceriaan Elena tak berkurang. Dia terus berceloteh sedangkan pria berkaos polo hitam itu hanya menjadi pendengar baik dan sesekali menimpali. Tampak sesekali Elena mengecek ponsel lalu diletakkan kembali dalam pangkuannya. Jika dokter cantik itu tidak membahas apapun tentang kelanjutan hubungan mereka, Mahendra akan siap menjawab semua obrolannya. Akan tetapi, saat Elena menyingunggung perasaannya, Mahendra pun mulai menunjukkan sikap dingin tanpa ia sadari."Aku masih menunggu keajaiban. Keajaiban saat Mas mau menganggap aku lebih dari seorang adik. Aku ....""Elen, tolong jangan bahas itu lagi. Hubungan kita tidak bisa lanjut sampai ke tahap itu. Aku tidak bisa memaksa hatik
Kacau, pikiran Hana kalut setelah mendapat telepon dari ibu. "Hana, kamu di mana? Cepat pulang, rumah sebelah kebakaran."Hana yang sudah dalam perjalanan, pun terpaksa ikut bergabung dengan kendaraan lain di tengah jalan. Lampu merah lalu lintas terasa lama berganti kala pikiran sedang diterjang kegelisahan, kekhawatiran, kepanikan bercampur menjadi satu paket. Perjalanan yang seharusnya hanya bisa ditempuh tiga puluh menit, kini diarungi lebih dari satu jam hingga ia berhasil memisahkan diri dari kendaraan lain.Tidak sampai di situ, ia harus melewati persimpangan tiga yang selalu menjadi horor dalam hidupnya. Sudah semaksimal berusaha agar tidak melintas di tempat itu lewat jam delapan. Nyatanya, malam ini sudah menunjukkan angka sembilan. Dalam hati, ia merapalkan doa agar Tuhan membutakan preman bertato itu sehingga ia tidak terlihat saat akan menerobos tempat tersebut. Namun, tidak semua doa yang kita harapkan akan menjadi kenyataan. Entah karma apa yang telah dilakukan, Hana t