Raja cahaya melayang tepat di atas bumi. Terik dan membara. Berbeda dengan suasana di mobil. Dingin, kaku dan canggung. Mereka diam seribu bahasa, padahal tadi banyak sekali pertanyaan yang berkeliaran di otak dan ingin dimuntahkan Mahendra.
Hana memberanikan diri menoleh, memperhatikan keadaannya. Ternyata, pria itu tak menoleh sedikit pun, pandangan lurus ke depan jalan dengan wajah yang menegang. Ya, dia sedang dongkol. Sangat. Melihat situasi yang tak memungkinkan, Hana kembali membuang pandang ke luar jendela. Diam, mungkin akan jauh lebih baik daripada ia meluapkan protes atas tindakan Mahendra yang menggunakan kekuasaan sebagai atasannya."Turun!" Perintah Mahendra disertai nada ketus ketika mobil sudah terparkir di depan pintu utama gedung empat lantai.Kuping Hana panas tiba-tiba. Suara nyelekit itu seolah menusuk gendang telinga dan seolah memberi jarum ke dalamnya. Tentu saja, dia tak terima. Jika bisa, setelah pria itu turun dan ia berniat k"Jam berapa kamu akan datang, Hendra?"Wajah Mommy yang sudah cantik dan rapi terpampang di layar. Mereka melakukan voice call."Ya, nanti, Mom."Sekilas melihat wajah sang ibu, Mahendra fokus kembali ke layar laptop yang di depannya seolah benda itu lebih menarik dibandingkan dengan wanita yang telah melahirkannya tersebut."Kamu, kok, tega. Today is daddy's birthday dan kamu tidak punya waktu untuknya?"Wajah memelas pun ditampilkan dan berharap anak sematang wayang menurut keinginannya. Walau hanya pesta kecil, kedatangan dan doa si putra yang paling penting."Tamu-tamu sudah pada datang dan kamu ....""Aku tidak suka keramaian, Mom.""Mommy tidak mengundang banyak tamu. Hanya sodara dan teman dekat saja. You see ...."Mommy menunjukkan layar ke tamu yang sudah duduk dan menikmati hidangan. Ekor mata Mahendra terpaksa melirik ke arah layar yang tak menarik sedikitpun untuknya, tadinya. Namun, ada ses
"Kamu pemilik PT. Astra Lakto Drinks?" tanya Jonathan ketika dipersilakan duduk dan menikmati teh blackcurrent di teras.Setelah saling memperkenalkan, Jonathan mengajak Mahendra berbicara empat mata. Awalnya suasana hening karena mereka saling memelihara ego untuk memulai percakapan. Meski mereka pernah bertemu dua kali tetapi dalam kondisi yang tidak bersahabat."Ya, ternyata kamu sudah mencari tahu tentang aku. Memang punya banyak waktu atau karena penasaran terhadap kehidupanku?"Selain mencari celah kesalahan, Mahendra pun sengaja bertanya seperti memojokkannya. Namun, pria tersebut malah tertawa garing lalu membuang pandang sejauh mungkin sampai ke gerbang besi yang kokoh di depan."Posesif, suka ngatur, pemaksa, kasar, kira-kira apa lagi sifat apa yang bisa dibanggakan selain itu?"Tak suka dengan kalimat yang terkesan meremehkan, Mahendra menoleh, menghadiahkan tatapan sinis dan mendapat balasan tatapan yang sama dari Jonathan.
Setelah pamit dan melambaikan tangan kepada Mommy, Elena dan Mahendra berjalan bersisian menuju halaman tempat mobil diparkirkan. Lupa sejenak tentang Hana dan Kai, Mahendra akan mengantarnya pulang, hanya menganggap hubungan teman atau adik, tidak lebih.Di dalam mobil, keceriaan Elena tak berkurang. Dia terus berceloteh sedangkan pria berkaos polo hitam itu hanya menjadi pendengar baik dan sesekali menimpali. Tampak sesekali Elena mengecek ponsel lalu diletakkan kembali dalam pangkuannya. Jika dokter cantik itu tidak membahas apapun tentang kelanjutan hubungan mereka, Mahendra akan siap menjawab semua obrolannya. Akan tetapi, saat Elena menyingunggung perasaannya, Mahendra pun mulai menunjukkan sikap dingin tanpa ia sadari."Aku masih menunggu keajaiban. Keajaiban saat Mas mau menganggap aku lebih dari seorang adik. Aku ....""Elen, tolong jangan bahas itu lagi. Hubungan kita tidak bisa lanjut sampai ke tahap itu. Aku tidak bisa memaksa hatik
Kacau, pikiran Hana kalut setelah mendapat telepon dari ibu. "Hana, kamu di mana? Cepat pulang, rumah sebelah kebakaran."Hana yang sudah dalam perjalanan, pun terpaksa ikut bergabung dengan kendaraan lain di tengah jalan. Lampu merah lalu lintas terasa lama berganti kala pikiran sedang diterjang kegelisahan, kekhawatiran, kepanikan bercampur menjadi satu paket. Perjalanan yang seharusnya hanya bisa ditempuh tiga puluh menit, kini diarungi lebih dari satu jam hingga ia berhasil memisahkan diri dari kendaraan lain.Tidak sampai di situ, ia harus melewati persimpangan tiga yang selalu menjadi horor dalam hidupnya. Sudah semaksimal berusaha agar tidak melintas di tempat itu lewat jam delapan. Nyatanya, malam ini sudah menunjukkan angka sembilan. Dalam hati, ia merapalkan doa agar Tuhan membutakan preman bertato itu sehingga ia tidak terlihat saat akan menerobos tempat tersebut. Namun, tidak semua doa yang kita harapkan akan menjadi kenyataan. Entah karma apa yang telah dilakukan, Hana t
Dengan aba-aba yang ada, kedua pria lain maju dan salah satunya berniat mendaratkan kepalan ke wajah tetapi Mahendra menepis. Lalu, tangan Mahendra meninju perutnya hingga terhuyung dan jatuh ke tanah.Satu pria lainnya tak tinggal diam, ia berlari dan ingin membalas, lagi-lagi Mahendra menendang dengan sekuat tenaga. Geram menguasai diri ketika ia mengamati baju Hana sudah sobek. Ia ingin segera menyudahi pertarungan, agar bisa membawa Hana pergi. Ia tak mau melihat wanitanya terluka, terlebih ia harus segera sampai ke kontrakan untuk melihat keadaan Kai dan ibu. Meski ada Aldo yang sudah berada di TKP, tetap saja ia ingin melihatnya sendiri situasi di sana."Mau main-main dengan kita? Silakan jika ingin melihat wanita ini mati tersayat dan darahnya menguncur deras di depanmu."Pria yang dari tadi mengunci tubuh Hana di belakang melotot dan menodongkan pisau di leher lalu mengancam Mahendra yang berdiri tak jauh dari mereka.Heran sekali, di jalan tempat lalu lalang orang melintas, t
"Han, gimana keadaanmu?" Setelah polisi menangkap satu per satu preman tersebut, Mahendra menghampiri Hana yang duduk, terkulai lemas. Wajah pucat pasi dan tubuhnya baal dan terasa amat lelah. Pandangan kosong dengan bibir bergetar. Pipinya pun basah dan memar di sudut bibir dan pipi kanan. Jantungnya tak berirama dan dadanya sesak penuh ketakutanHana hanya mengangguk pelan dan sejenak bisa bernapas lega ketika polisi sudah menangani kasus tersebut. "Maaf, aku telat menolongmu. Sekarang kamu aman, jangan takut, ada aku. Aku akan menjagamu."Mahendra mendekap memberi ketenangan dan kenyamanan. Ia terlalu khawatir kejadian ini mengganggu psikis karena trauma. Dalam dekapannya, Hana merasa nyaman sekaligus lemah dan mengharap perlindungan. Dia telah lelah harus berpura-pura tegar, berpura-pura kuat seolah mampu menghadapi kerasnya kehidupan. "Ada aku yang akan menemanimu. Kamu jangan takut."Tepukan dan belaian di kepala sampai
"Kai!" panggil Hana.Hana turun dari mobil dengan langkah pelan setelah Mahendra menepikan mobil di jalan yang dipenuhi dengan manusia. Mereka berkumpul untuk melihat langsung kebakaran yang baru terjadi. Sebagian merupakan kerabat, saudara atau teman. Namun, kebanyakan dari mereka adalah penduduk setempat yang kebetulan melintas. Mengganggu sebenarnya. Kehadiran mereka tidak begitu diharapkan lantaran menghalangi mobil pemadam masuk agar segera dapat memadamkan lidah api yang terus membesar menghanguskan rumah kontrakan sempit tersebut. Mata Hana terus menyapu di seluruh penjuru, hatinya semakin khawatir ketika belum menemukan putra dan ibu di tengah keramaian tersebut. "Ada tujuh rumah yang sudah hangus dan tidak ada satu orang pun yang berani menyelamatkan harta bendanya.""Tadi aku dengar ada anak kecil yang terjebak di kamar. Tak sempat keluar dan sekarang tak tahu gimana-gimana. Kita dilarang mendekat di lokasi.""Konslet katanya di salah satu rumah.""Pemadamnya terlalu lam
Sesekali Hana menengok ke belakang dan mendapatkan ibu memejamkan mata. Beliau hanya menutup mata, bukan tidur. Hana tahu kegundahan yang melanda hati ibu tetapi ia tak ingin mengganggu dengan bertanya. Ia tahu beliau wanita tangguh, tegar dan kuat menghadapi kejamnya kehidupan. Wanita yang paling dibanggakan Hana."Bersihkan tubuh dan temani Kai tidur di kamar."Mahendra menunjukkan kamar pribadinya setelah sampai ke unit. Tak lama kemudian, Arsen datang membawa obat oles untuk memar, luka berdarah dan obat oral yang harus diminum agar tubuh Mahendra dan Hana tidak meradang akibat pukulan tadi. Tidak lupa obat penurun panas yang suatu saat dibutuhkan untuk Kai. "Harus diminum dan jangan membantah." Itu pesan Arsen untuk Hana sambil mengusap kepalanya. Dokter itu tahu kalau Hana tidak suka dan kepayahan menelan obat."Aku serahkan Hana kepadamu." Pesan terakhir Arsen untuk Mahendra sebelum ia pamit di depan pintu dan diangguki Mahendra."Kamu juga jangan lupa obati memar dan luka say