"Anda siapa?" Mahendra bertanya dengan nada tak bersahabat. Ia tak suka dengan senyuman palsu yang ada di wajah itu."Dia anak Bu delia." Hana yang menjawab.Pria itu meletakkan buket di atas meja lalu membalikkan badan menatap Hana dan Mahendra bergantian. Sementara Mahendra mencoba mengingat dan sel sarafnya langsung membongkar ingatan tentang pria yang berdiri bersama dengan Hana di sisi pintu tempo lalu. Otak jenius itu sudah tahu siapa orang tersebut, meski belum tahu namanya."Gimana keadaanmu sekarang, Hanami?" Pria tersebut mencoba mengulas senyuman, walau tak nyaman dengan tatapan tajam Mahendra. Tidak masalah, di sini ia mencari Hana, bukan mencari masalah."Untuk apa Anda datang?"Pertanyaan itu bersamaan terucapkan, Mahendra merasa sesuatu yang tak nyaman. Mengapa sekarang saingannya menjadi ada dua pria, yang perlu disingkirkan?"Dra, sudah. Kamu apa-apaan, sih?"Hana jengah melihat sikap Mahendra yang tidak sopan dan terlihat posesif."Aku Jonathan."Jonathan mengulurkan
Pria yang sedang mengemudikan mobil dapat membaca ekspresi kebingungan Hana. Wanita itu sedari tadi menoleh ke belakang jok penumpang, seperti sedang mencari sesuatu."Bunga Lily yang tadi aku taruh ke plastik merah, ke mana, ya?""Bunga?" Pria itu menggaruk kepala yang tiba-tiba gatal, berpura-pura tidak mengerti bunga yang dimaksud."Bunga dari Kak Jonathan. Perasaan tadi aku lihat kamu bawa sama tas hitamnya kamu, kan?" Sesekali Hana masih menoleh ke belakang, memastikan keberadaan benda tersebut. Mula dirinya yang menenteng plastik merah, tetapi Mahendra menawarkan diri untuk membantu membawakannya."Iya, tadi aku yang bawa dan aku taruh di belakang. Kok, bisa nggak ada, ya?" Pintar sekali ia berakting. Padahal, sebenarnya bunga itu sudah ia buang di tong sampah pada saat mereka menuju ke parkiran. Ia merasa beruntung melintasi tempat sampah, dengan cekatan plastik merah tersebut dimasukkan ke sana tanpa sepengetahuan Hana. Mahendra tak suka wanitanya menerima barang orang lain,
"Beruntung Nak Hendra masih punya itikad baik, datang dan mau bertanggungjawab atas Kai. Biarkan dia melakukannya dan jangan kamu menghalanginya lagi.""Ibu tak tahu kalau dia mau merebut Kai dari kita?"Menatap lekat sambil tersenyum tipis, wanita senja itu tak menjawab langsung. Naluri seorang ibu mencuat, ia dapat memahami bagaimana Hana ingin memberi perlindungan kepada anaknya."Tapi Ibu tidak melihat sifat jahat itu ada di hati Nak Hendra. Ibu bisa lihat ketulusannya mengayomi kalian. Coba kamu pikir bagaimana kalau tidak ada dia ketika Kai membutuhkan donor darah? Siapa yang akan peduli ketika kamu pingsan kemarin?"Wanita cantik itu menganjur napas dalam dan membalas kontak mata ibu. Kebencian dan kejengkelan yang selama ini dipupuk untuk pria tersebut telah membuatnya buta akan ketulusan yang pernah Mahendra lakukan. Ia tumbuh menjadi wanita pendendam. Kini, semua perkataan ibu seolah membuka mata hatinya. Jujur, menyimpan dendam tanpa ia
"Apa aku boleh jujur kepada Kai sekarang?""Tidak!" pekik Hana dengan mengepal tangan yang diletakkan di atas meja. Napas memburu, mata mulai mengembun. Dia belum mau Kai mengetahuinya sekarang. Entah mengapa, dia pun tak tahu. Si wanita masih belum rela dan ikhlas.Suasana menjadi dingin meski sayur asam di dalam panci masih mengepulkan asap. Keempat jantung mereka berdebar akibat pekikan spontan Hana. Kai pun sempat tersentak seperti tersengat listrik. Dia belum pernah melihat mamanya berteriak sebelumnya."Han, menurut ibu ...."Ibu mencoba menguasai diri untuk tidak mencampuri urusan mereka, pun akhirnya bersuara. Tangan ibu yang dihiasi beberapa goresan keriput pun menggenggam kepalan tangannya. Niat ibu menenangkan putrinya agar Hana bisa berpikir waras dan menggunakan logika.Wanita lima puluh tahun itu berharap petuahnya tadi berbuah hasil, Hana bisa meluluhkan batu dendam dan kebencian yang menumpuk di dada. Namun, sepertinya Han
Pria itu mengajak duduk di stand es krim dan mulai membuka tutup wadah. Masing-masing dari mereka memegang satu sendok. Yang paling antusias tentu saja bocah enam tahun tersebut. Wajah yang berpendar bak bulan purnama tak lepas sejak kakinya menjejaki tempat mewah tersebut.Sesekali pria itu menyuapi Kai dan Hana. Bedanya, setiap suapan untuk Hana selalu ditolak.Tadi di rumah, setelah menguasai diri di kamar, Hana terbujuk oleh anjuran ibu tentang ketersediaan hati Hana, membiarkan Kai tahu siapa dan di mana papanya berada sekarang. Ibu pun menyarankan agar mereka membawa Kai ke tempat yang dapat menyenangkan hati saat akan mengutarakan hal yang sebenarnya. Buatlah mood anak itu senang dan nyaman agar dia bisa menerima kenyataan yang ada. Ah, ibu memang penuh dengan pertimbangan dan terlihat bijaksana di mata Hana."Apa kamu senang, Kai?" Sang papa membuka pembicaraan setelah menyadari sikap dingin yang ditunjukkan Hana. Bahkan, wanita itu pun e
Ucapan Hana terjeda, hatinya terasa ngilu ketika akhirnya menyadari kalau dia akan menelan ludah sendiri yang telah dibuang ke lantai. Dia pernah berkata pada Mahendra kalau tak akan pernah memberitahukan Kai soal keberadaan papanya. Lantaran baginya, papa Kai sudah lama mati dan berjanji tidak akan mengungkit namanya lagi.Namun, siapa sangka setelah terbujuk, dia pun mulai membuka hati dan legowo membiarkan Kai tahu siapa penabur benih di rahim dan melahirkannya.Helaan napas Mahendra pun terdengar samar-samar. Tak ingin mengambil alih berbicara, dia yakin Hana tahu bagaimana cara menghadapi putranya. Memilih diam, itu langkah yang paling tepat, menurutnya.Membuang napas pelan, Hana memejamkan mata. Lalu, butuh beberapa detik akhirnya dia membesarkan hati untuk melanjutkan kalimat yang terjeda."Mama tidak akan mencuri kebahagiaanmu demi mempertahankan ego Mama."Kai mangut meski tak mengerti kalimat itu lalu melempar pandangan ke Mahe
"Kamu tahu hari yang paling membahagiakan aku adalah di mana aku dipanggil papa sama Kai tadi."Tanpa ditanya, Mahendra mencurahkan isi hatinya. Ia tak bisa menyembunyikan bunga-bunga yang sedang bermekaran di hatinya. Jujur, ia ingin membagikan rasa itu, hanya bersama ibu dari putranya.Tak menggubrisnya, Hana membuang pandangan ke luar restoran berlogo manggok besar di mana mereka berada sekarang. "Hei, Cantik." Pria itu mencolek hidung sehingga tubuh Hana tersentak kaget terkena serangan dadakan."Apaan, sih?" Berpura-pura kesal, padahal dalam hati Hana serasa dihinggapi beribu-ribu kupu-kupu. Malu-malu tapi suka dengan sikap Mahendra saat menggodanya."Aku lagi ngomong, kamu dengar nggak?"Menaikkan kedua bahu, Wanita berambut gelombang itu mendengar tetapi kesannya masa bod-0h dengan apa yang dirasakan pria bergelar papa."Pa, aku mau ayam itu." Kai yang mendadak lengket kayak perangko dengan Mahendra, menunjuk aya
Tanpa sungkan, dia meraih lagi tangan yang ada di atas pangkuan. Menggenggam erat dan mentransfer energi cinta, berharap Hana bisa mencicipi kesungguhan dan ketulusannya. Ia juga berharap kobaran api masa lalu segera dipadamkan dari relung hati. Berbicara dari hati ke hati dan mengendalikan emosi, mungkin itu cara yang dewasa untuk disikapi. Mengambil tangan Hanami seperti itu menghadirkan perasaan aneh di dada. Ini pertama kalinya Mahendra berani menggenggam tangan sejak tujuh tahun berlalu. Begitu pula Hana, merasakan ada yang berbeda, entah mengapa dia juga menikmati kekar tangan membungkus tangan kurus, menimbulkan sensasi hangat baik di sebongkah hati maupun seluruh tubuh."Aku siap jadi penopangmu. Kesulitan, kesusahan dan kesedihan yang kamu rasa tumpahkan saja kepadaku. Aku datang untukmu dan aku berjanji tidak akan pergi lagi." Harapan demi harapan pun dibeberkan, Mahendra menyesal dan ingin memperbaiki semuanya."Jangan lebay, Dra."