Ucapan Hana terjeda, hatinya terasa ngilu ketika akhirnya menyadari kalau dia akan menelan ludah sendiri yang telah dibuang ke lantai. Dia pernah berkata pada Mahendra kalau tak akan pernah memberitahukan Kai soal keberadaan papanya. Lantaran baginya, papa Kai sudah lama mati dan berjanji tidak akan mengungkit namanya lagi.
Namun, siapa sangka setelah terbujuk, dia pun mulai membuka hati dan legowo membiarkan Kai tahu siapa penabur benih di rahim dan melahirkannya.Helaan napas Mahendra pun terdengar samar-samar. Tak ingin mengambil alih berbicara, dia yakin Hana tahu bagaimana cara menghadapi putranya. Memilih diam, itu langkah yang paling tepat, menurutnya.Membuang napas pelan, Hana memejamkan mata. Lalu, butuh beberapa detik akhirnya dia membesarkan hati untuk melanjutkan kalimat yang terjeda."Mama tidak akan mencuri kebahagiaanmu demi mempertahankan ego Mama."Kai mangut meski tak mengerti kalimat itu lalu melempar pandangan ke Mahe"Kamu tahu hari yang paling membahagiakan aku adalah di mana aku dipanggil papa sama Kai tadi."Tanpa ditanya, Mahendra mencurahkan isi hatinya. Ia tak bisa menyembunyikan bunga-bunga yang sedang bermekaran di hatinya. Jujur, ia ingin membagikan rasa itu, hanya bersama ibu dari putranya.Tak menggubrisnya, Hana membuang pandangan ke luar restoran berlogo manggok besar di mana mereka berada sekarang. "Hei, Cantik." Pria itu mencolek hidung sehingga tubuh Hana tersentak kaget terkena serangan dadakan."Apaan, sih?" Berpura-pura kesal, padahal dalam hati Hana serasa dihinggapi beribu-ribu kupu-kupu. Malu-malu tapi suka dengan sikap Mahendra saat menggodanya."Aku lagi ngomong, kamu dengar nggak?"Menaikkan kedua bahu, Wanita berambut gelombang itu mendengar tetapi kesannya masa bod-0h dengan apa yang dirasakan pria bergelar papa."Pa, aku mau ayam itu." Kai yang mendadak lengket kayak perangko dengan Mahendra, menunjuk aya
Tanpa sungkan, dia meraih lagi tangan yang ada di atas pangkuan. Menggenggam erat dan mentransfer energi cinta, berharap Hana bisa mencicipi kesungguhan dan ketulusannya. Ia juga berharap kobaran api masa lalu segera dipadamkan dari relung hati. Berbicara dari hati ke hati dan mengendalikan emosi, mungkin itu cara yang dewasa untuk disikapi. Mengambil tangan Hanami seperti itu menghadirkan perasaan aneh di dada. Ini pertama kalinya Mahendra berani menggenggam tangan sejak tujuh tahun berlalu. Begitu pula Hana, merasakan ada yang berbeda, entah mengapa dia juga menikmati kekar tangan membungkus tangan kurus, menimbulkan sensasi hangat baik di sebongkah hati maupun seluruh tubuh."Aku siap jadi penopangmu. Kesulitan, kesusahan dan kesedihan yang kamu rasa tumpahkan saja kepadaku. Aku datang untukmu dan aku berjanji tidak akan pergi lagi." Harapan demi harapan pun dibeberkan, Mahendra menyesal dan ingin memperbaiki semuanya."Jangan lebay, Dra."
"Ada kalanya kisah lampau tak perlu diungkit-ungkit apalagi disesali. Namun, ada saatnya kita menganggap masa lalu adalah pelajaran berharga yang tak akan mungkin bisa diulangi. Walau ada setetes masa lalu yang pahit dalam perjalanan kita dulu, kamu jangan pernah lupakan ada banyak kisah masa lalu kita yang sudah membuat kita tertawa, tersenyum dan bahagia. Jangan kamu abaikan kenangan indah itu."Mahendra berkali-kali rela menurunkan level ego saat sedang menghadapi wanita tersebut. Lelaki dewasa itu terus berusaha mendapatkan maaf dan merebut hati Hana yang masih sangat dicintainya. bahkan kadar cintanya semakin bertambah ketika melihat buah cinta mereka menjelma menjadi Kaindra."Pa, apa nanti Papa tinggal bersama kita? Papa tidak pergi lagi, kan?"Mendengar pertanyaan itu, Hana menegakkan tubuh tetapi membiarkan tautan tangan mereka semakin erat. Lalu, kedua orang dewasa itu saling memandang. Entah jawaban apa yang akan diberikan kepadanya. Permasalaha
Menatap langit-langit kamar yang penuh bercak bekas bocor kala musim hujan tiba, Hana merebahkan diri. Di atas sana tiba-tiba ia melihat ada bayangan Mahendra yang sedang menampilkan senyuman menawan. Tak sadar wanita berkaos oblong merah pun membalas senyuman dengan perasaan yang ia sendiri tak tahu apa namanya. Otaknya mulai memutar kejadian tadi saat di parkiran mall yang beberapa kali membuat Hana harus menahan napas dan meredamkan jantung yang terus bertalu."Sejak kapan kamu jadi perokok? Setahuku kamu ...."Setelah sampai di parkiran, Mahendra mengambil sebatang rokok dari kotak putih. Menyalakan api lalu dia mulai meletakkannya ke mulut. Menghisapnya dalam-dalam lalu mencapit batang itu menjauhi bibir. Bersamaan itu pula, dia mengembuskan napas perlahan sehingga terbentuk kepulan asap melayang di udara."Sejak ditinggal menghilangnya kamu," jawabnya bersandar di belakang mobil seraya menoleh ke arah Hana yang tiba-tiba keluar dari mobil s
Mata itu membaca isi pesan yang singkat dan si pengirim tahu namanya. Berarti si pengirim mengenalinya. Lantaran tidak mengenal nomor itu, Hana menekan foto profile yang ada di samping. Seorang lelaki berkemeja putih dan berjas dan celana hitam. Pose pria itu sedang berdiri menghadap ke samping dengan menyembunyikan satu tangannya di balik saku celana.Siapa? Hana belum bisa mengenalnya. Mencoba memperbesar gambar dengan menggerakkan ibu jari dan telunjuk ke bagian wajah foto tersebut. Barangkali ada petunjuk sehingga ia bisa menangkap wajahnya. Lama memandang, sepertinya Hana mulai membuka ingatan wajah yang terasa tak asing. Menggigit bibir dan memeras otaknya dan bingo! Jonathan? Iya, itu Jonathan. Walau baru sekali bertemu, tetapi matanya tak mungkin salah mengenali orang.Hana berjalan menuju ke meja dan mengambil kartu nama yang diberikan pria itu tempo lalu dari tas merah muda. Lalu, ia menyamakan nomor ponsel yang ada di kartu dengan nomor pemilik
Sapaan Irma setelah menyadari kedatangannya. Hana pun langsung duduk di samping Irma, yang langsung beralih di depan laptop. Wanita itu memang sangat disiplin, waktu belum jam delapan pas, ia sudah menyelami pekerjaannya."Sudah, Bu. Makasih." Hana meletakkan tas tangan hitam yang juga merupakan pemberian Mahendra di samping meja setelah memasukkan tas bekal makan siang di dalam laci bagian bawah. Subuh tadi, Hana sudah membongkar paket yang memang ditujukan untuknya. Pintu maaf perlahan sudah dibuka dan ini saatnya ia akan menerima semua pemberian pria itu. Satu per satu barang mewah yang ada di dalam paket dikeluarkan dan beberapa barang sudah disematkan di tubuhnya. Setelan baju kerja, tas tangan dan bahkan sepatu tanpa heel pun sudah dia kenakan pagi itu. Bedak dan alat rias wajah lainnya juga sudah dipakai untuk menutupi wajah kusamnya. Hanya perhiasan dan aksesoris lainnya serta skincare yang belum ia sentuh."Bu Hana, tolong hub
"Mari aku antar pulang." Pria bertato di lengan menawarkan tetapi mendapatkan penolakan Hana dengan cara menggeleng."Hei, ini sudah jam sembilan, kamu pulang naik apa? Atau kamu dijemput?" Sepertinya pria itu masih belum menyerah, niatnya baik hanya ingin menjamin keselamatannya dengan mengantarkan pulang. Gadis remaja sangat rawan berada di luar sendirian di jam yang sudah semakin larut.Entah bagaimana Mahendra meyakinkan malam itu sehingga gadis tersebut akhirnya menerima niat baiknya. Sampai di mobil, Mahendra meminjamkan jaket yang diletakkan di mobil untuknya."Nih, kamu pake jaketnya. Bajumu sedikit sobek."Dalam perjalanan, mereka saling diam dan menikmati dingin mesin pendingin yang tidak begitu mengigit. Mereka akan saling membuka mulut ketika Hana memberitahu jalan menuju pulang lantaran rumah kontrakan Hana tidak terhubung peta Gugel."Aku minta nomor kamu." Pria itu menyodorkan ponselnya ketika mobil sudah terpark
"Hana!"Panggilan itu menghentikan langkahnya yang terkesan buru-buru. Sebenarnya ia sedang menghindari seseorang yang menawarkan diri untuk menjemputnya pulang. Sayangnya, hari itu dia tidak membawa motor karena kendaraan tersebut tidak mau diajak gelut. Lalu, ia tak punya alasan untuk menolak, jadi satu-satunya yang bisa dilakukan adalah pulang sesegera mungkin sebelum orang itu datang ke kantor.Tubuh Hana berbalik dan mendapatkan seseorang sedang berlari kecil, menghampirinya. Aduh, ketahuan."Apa kamu buru-buru?" tanya si pria setelah berdiri di depannya sambil mengatur napas yang sedikit tergopoh-gopoh."Ya, aku harus pulang."Spontan kalimat itu keluar dari bibir tanpa dipikir panjang, Hana sedikit risih dengan tatapan mata dari orang yang tak sengaja melintas. Dia tak mau menjadi buah bibir lagi setelah peristiwa dengan sang atasan. Belum satu bulan dia bekerja di sana, tetapi sudah menjadi bahan omongan yang viral sekantor.