Mata itu membaca isi pesan yang singkat dan si pengirim tahu namanya. Berarti si pengirim mengenalinya. Lantaran tidak mengenal nomor itu, Hana menekan foto profile yang ada di samping. Seorang lelaki berkemeja putih dan berjas dan celana hitam. Pose pria itu sedang berdiri menghadap ke samping dengan menyembunyikan satu tangannya di balik saku celana.
Siapa? Hana belum bisa mengenalnya. Mencoba memperbesar gambar dengan menggerakkan ibu jari dan telunjuk ke bagian wajah foto tersebut. Barangkali ada petunjuk sehingga ia bisa menangkap wajahnya.Lama memandang, sepertinya Hana mulai membuka ingatan wajah yang terasa tak asing. Menggigit bibir dan memeras otaknya dan bingo! Jonathan? Iya, itu Jonathan. Walau baru sekali bertemu, tetapi matanya tak mungkin salah mengenali orang.Hana berjalan menuju ke meja dan mengambil kartu nama yang diberikan pria itu tempo lalu dari tas merah muda. Lalu, ia menyamakan nomor ponsel yang ada di kartu dengan nomor pemilikSapaan Irma setelah menyadari kedatangannya. Hana pun langsung duduk di samping Irma, yang langsung beralih di depan laptop. Wanita itu memang sangat disiplin, waktu belum jam delapan pas, ia sudah menyelami pekerjaannya."Sudah, Bu. Makasih." Hana meletakkan tas tangan hitam yang juga merupakan pemberian Mahendra di samping meja setelah memasukkan tas bekal makan siang di dalam laci bagian bawah. Subuh tadi, Hana sudah membongkar paket yang memang ditujukan untuknya. Pintu maaf perlahan sudah dibuka dan ini saatnya ia akan menerima semua pemberian pria itu. Satu per satu barang mewah yang ada di dalam paket dikeluarkan dan beberapa barang sudah disematkan di tubuhnya. Setelan baju kerja, tas tangan dan bahkan sepatu tanpa heel pun sudah dia kenakan pagi itu. Bedak dan alat rias wajah lainnya juga sudah dipakai untuk menutupi wajah kusamnya. Hanya perhiasan dan aksesoris lainnya serta skincare yang belum ia sentuh."Bu Hana, tolong hub
"Mari aku antar pulang." Pria bertato di lengan menawarkan tetapi mendapatkan penolakan Hana dengan cara menggeleng."Hei, ini sudah jam sembilan, kamu pulang naik apa? Atau kamu dijemput?" Sepertinya pria itu masih belum menyerah, niatnya baik hanya ingin menjamin keselamatannya dengan mengantarkan pulang. Gadis remaja sangat rawan berada di luar sendirian di jam yang sudah semakin larut.Entah bagaimana Mahendra meyakinkan malam itu sehingga gadis tersebut akhirnya menerima niat baiknya. Sampai di mobil, Mahendra meminjamkan jaket yang diletakkan di mobil untuknya."Nih, kamu pake jaketnya. Bajumu sedikit sobek."Dalam perjalanan, mereka saling diam dan menikmati dingin mesin pendingin yang tidak begitu mengigit. Mereka akan saling membuka mulut ketika Hana memberitahu jalan menuju pulang lantaran rumah kontrakan Hana tidak terhubung peta Gugel."Aku minta nomor kamu." Pria itu menyodorkan ponselnya ketika mobil sudah terpark
"Hana!"Panggilan itu menghentikan langkahnya yang terkesan buru-buru. Sebenarnya ia sedang menghindari seseorang yang menawarkan diri untuk menjemputnya pulang. Sayangnya, hari itu dia tidak membawa motor karena kendaraan tersebut tidak mau diajak gelut. Lalu, ia tak punya alasan untuk menolak, jadi satu-satunya yang bisa dilakukan adalah pulang sesegera mungkin sebelum orang itu datang ke kantor.Tubuh Hana berbalik dan mendapatkan seseorang sedang berlari kecil, menghampirinya. Aduh, ketahuan."Apa kamu buru-buru?" tanya si pria setelah berdiri di depannya sambil mengatur napas yang sedikit tergopoh-gopoh."Ya, aku harus pulang."Spontan kalimat itu keluar dari bibir tanpa dipikir panjang, Hana sedikit risih dengan tatapan mata dari orang yang tak sengaja melintas. Dia tak mau menjadi buah bibir lagi setelah peristiwa dengan sang atasan. Belum satu bulan dia bekerja di sana, tetapi sudah menjadi bahan omongan yang viral sekantor.
"Perusahaan kami memproduksi susu segar. Kami punya ternak sapi sendiri di puncak dan pabrik sendiri untuk mengolahnya. Susunya enak dan segar. Aku berencana ngajak kerja sama dengan hotel yang kamu kelola sekarang. Barang kali harga dan kualitasnya cocok dengan perusahaan kami, kita bisa kolaborasi yang tentunya akan saling menguntungkan."Menyeruput jus jeruk setelah menghabiskan makanannya, Jonathan lalu melipat tangan ke atas meja. Sepertinya ia tertarik dengan pembahasan tentang kerja sama yang disodorkan perempuan berwajah sederhana tanpa polesan berlebihan."Boleh. Nanti coba kamu kirimkan company profile dan surat penawaran ke email manager aku. Atau bagaimana kalau nanti kita jadwalkan pertemuan kamu dan manager aku. Kita cari waktu untuk membicarakan hal ini. Di Jakarta ada tiga hotel yang kami bangun. Di Bandung, Medan, Surabaya dan Bali itu juga bagian yang aku pegang.""Oh," ucap Hana tanpa sadar. Dia memukau dengan jumlah hotel yang
Sudah tiga hari, Hana tidak melihat kehadiran sang direktur di kantor. Entah ke mana dan sedang apa, Hana belum ingin mengirim pesan kepadanya. Ego yang masih menjulang tinggi mengalahkan rasa penasarannya. Namun, Hana tak jarang memeriksa ponsel dan berharap ada pesan atau panggilan dari pria yang sudah membuatnya kangen setengah mati."Bu Irma, kalau misalnya nanti mau bertemu dengan manajer konsumsi di hotel Angkasa, apa aku boleh pergi bersama manager marketing kita?""Untuk?"Masih fokus dengan layar di depannya, Irma bertanya singkat. Pekerjaan menumpuk sejak beberapa hari ini dan ia harus menyelesaikannya sebelum sang atasan kembali bekerja."Mau ngajak kerjasama dengan mereka. Barangkali mereka tertarik dengan susu segar produksi kita. Kan, lumayan dapat customer yang memang daily pemakaiannya. Hotel gede dan ada beberapa di kota Jakarta. Hotel mereka juga ada di kota lain . Lumayan buat naikkan omset perusahaan.""Iya, iya." Kali
"Di dalam ada kedua orangtuaku dan orangtua Mas Hendra. Mereka sedang mengobrol. Jadi, serahkan saja kepadaku berkas yang mau ditandatangani Mas Hendra. Nanti jika pertemuan keluarga itu selesai, akan aku berikan kepadanya."Itu kata Elena setelah Hana menyatakan alasannya datang ke rumah sakit. Mereka masih berada di depan pintu ruang 508. Rongga telinga mereka mendengar samar-samar suara orang sedang mengobrol dan gelak tawa renyah dari dalam. Entah siapa, Hana tidak bisa memastikannya. Suara bapak-bapak."Aku tidak mau kamu merusak pertemuan itu. Mereka sedang melanjutkan obrolan tentang pernikahan kita," lanjut Elena ketika melihat Hana masih membeku dan tidak menyerahkan berkas yang dimintanya."Pernikahan? Jadi mereka akan menikah? Ingin rasanya aku lebih percaya dengan apa yang dikatakan Mahendra empat hari yang lalu, tetapi ini apa? Ternyata, dia akan menikah dengan Elena? Ah, kenapa hati ini perih mendapatkan kabar baik pernikahan itu? Kenapa dada
Hati Hana tercubit menyadari kedekatan mereka sedangkan dia siapa? Orangtuanya hanya pedagang kue. Sementara wanita di depannya pasti mempunyai orangtua yang kaya raya dan jabatan bagus yang pekerjaannya apa, Hana tak tahu pasti. Dia tak pernah ingin bertanya apalagi bertemu dengan mereka."Sejak itulah, kedua orangtua menjodohkan kami dan ingin segera menggelarkan pernikahan. Kami hanya tunggu waktu, kapan Mas Hendra tidak sibuk dengan kerjaannya saja. Jadi, aku mohon. Lepaskan Mas Hendra. Biarkan kami hidup bahagia tanpa bayangan masa lalu kalian. Kamu mau, kan, Han?"***Pulang membawa hati yang patah untuk kesekian kalinya, semua pernyataan Elena seolah telah menampar harga diri Hana. Wanita itu tak tahu pasti apa yang membuat Elena terlalu percaya diri dengan hubungan yang sudah dia bangun bersama Mahendra. Atau jangan-jangan memang ini merupakan sebagian rencana pria itu juga? Apa Mahendra tidak sungguh-sungguh dengan janji manisnya? Atau d
"Memangnya dengan aku mengikuti semua perintah Mommy, Daddy akan sembuh? Cukup! Cukup memperlakukan aku seperti anak kecil yang harus terus menuruti semua titah kalian.""Bukan gitu, Hendra. Mommy hanya ...."Di ruang VVIP yang mewah dan nyaman, Mahendra mengajukan protes. Sudah lama memendam rasa itu dan kini ia tak tahan lagi dengan aturan yang harus dipatuhi. Kondisi Daddy yang sudah stabil memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. Iya, malam itu dia mendapat kabar dari Mommy kalau Daddy merasa sesak sebelum beliau akan tidur. Itu yang menyebabkan pria dua puluh sembilan tahun tersebut segera ke rumah dan membawanya ke rumah sakit. Penyakit stroke yang diderita hampir delapan tahun membuat hati Mahendra selalu was-was. Kapan penyakit itu akan kambuh, tak bisa diprediksi.Meski di rumah ada perawat laki-laki yang selalu menjaga, tetap gundah seorang anak akan muncul ketika mendapat kabar dari Mommy."Apa Mommy pernah memikirka