"Perusahaan kami memproduksi susu segar. Kami punya ternak sapi sendiri di puncak dan pabrik sendiri untuk mengolahnya. Susunya enak dan segar. Aku berencana ngajak kerja sama dengan hotel yang kamu kelola sekarang. Barang kali harga dan kualitasnya cocok dengan perusahaan kami, kita bisa kolaborasi yang tentunya akan saling menguntungkan."
Menyeruput jus jeruk setelah menghabiskan makanannya, Jonathan lalu melipat tangan ke atas meja. Sepertinya ia tertarik dengan pembahasan tentang kerja sama yang disodorkan perempuan berwajah sederhana tanpa polesan berlebihan."Boleh. Nanti coba kamu kirimkan company profile dan surat penawaran ke email manager aku. Atau bagaimana kalau nanti kita jadwalkan pertemuan kamu dan manager aku. Kita cari waktu untuk membicarakan hal ini. Di Jakarta ada tiga hotel yang kami bangun. Di Bandung, Medan, Surabaya dan Bali itu juga bagian yang aku pegang.""Oh," ucap Hana tanpa sadar.Dia memukau dengan jumlah hotel yangSudah tiga hari, Hana tidak melihat kehadiran sang direktur di kantor. Entah ke mana dan sedang apa, Hana belum ingin mengirim pesan kepadanya. Ego yang masih menjulang tinggi mengalahkan rasa penasarannya. Namun, Hana tak jarang memeriksa ponsel dan berharap ada pesan atau panggilan dari pria yang sudah membuatnya kangen setengah mati."Bu Irma, kalau misalnya nanti mau bertemu dengan manajer konsumsi di hotel Angkasa, apa aku boleh pergi bersama manager marketing kita?""Untuk?"Masih fokus dengan layar di depannya, Irma bertanya singkat. Pekerjaan menumpuk sejak beberapa hari ini dan ia harus menyelesaikannya sebelum sang atasan kembali bekerja."Mau ngajak kerjasama dengan mereka. Barangkali mereka tertarik dengan susu segar produksi kita. Kan, lumayan dapat customer yang memang daily pemakaiannya. Hotel gede dan ada beberapa di kota Jakarta. Hotel mereka juga ada di kota lain . Lumayan buat naikkan omset perusahaan.""Iya, iya." Kali
"Di dalam ada kedua orangtuaku dan orangtua Mas Hendra. Mereka sedang mengobrol. Jadi, serahkan saja kepadaku berkas yang mau ditandatangani Mas Hendra. Nanti jika pertemuan keluarga itu selesai, akan aku berikan kepadanya."Itu kata Elena setelah Hana menyatakan alasannya datang ke rumah sakit. Mereka masih berada di depan pintu ruang 508. Rongga telinga mereka mendengar samar-samar suara orang sedang mengobrol dan gelak tawa renyah dari dalam. Entah siapa, Hana tidak bisa memastikannya. Suara bapak-bapak."Aku tidak mau kamu merusak pertemuan itu. Mereka sedang melanjutkan obrolan tentang pernikahan kita," lanjut Elena ketika melihat Hana masih membeku dan tidak menyerahkan berkas yang dimintanya."Pernikahan? Jadi mereka akan menikah? Ingin rasanya aku lebih percaya dengan apa yang dikatakan Mahendra empat hari yang lalu, tetapi ini apa? Ternyata, dia akan menikah dengan Elena? Ah, kenapa hati ini perih mendapatkan kabar baik pernikahan itu? Kenapa dada
Hati Hana tercubit menyadari kedekatan mereka sedangkan dia siapa? Orangtuanya hanya pedagang kue. Sementara wanita di depannya pasti mempunyai orangtua yang kaya raya dan jabatan bagus yang pekerjaannya apa, Hana tak tahu pasti. Dia tak pernah ingin bertanya apalagi bertemu dengan mereka."Sejak itulah, kedua orangtua menjodohkan kami dan ingin segera menggelarkan pernikahan. Kami hanya tunggu waktu, kapan Mas Hendra tidak sibuk dengan kerjaannya saja. Jadi, aku mohon. Lepaskan Mas Hendra. Biarkan kami hidup bahagia tanpa bayangan masa lalu kalian. Kamu mau, kan, Han?"***Pulang membawa hati yang patah untuk kesekian kalinya, semua pernyataan Elena seolah telah menampar harga diri Hana. Wanita itu tak tahu pasti apa yang membuat Elena terlalu percaya diri dengan hubungan yang sudah dia bangun bersama Mahendra. Atau jangan-jangan memang ini merupakan sebagian rencana pria itu juga? Apa Mahendra tidak sungguh-sungguh dengan janji manisnya? Atau d
"Memangnya dengan aku mengikuti semua perintah Mommy, Daddy akan sembuh? Cukup! Cukup memperlakukan aku seperti anak kecil yang harus terus menuruti semua titah kalian.""Bukan gitu, Hendra. Mommy hanya ...."Di ruang VVIP yang mewah dan nyaman, Mahendra mengajukan protes. Sudah lama memendam rasa itu dan kini ia tak tahan lagi dengan aturan yang harus dipatuhi. Kondisi Daddy yang sudah stabil memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. Iya, malam itu dia mendapat kabar dari Mommy kalau Daddy merasa sesak sebelum beliau akan tidur. Itu yang menyebabkan pria dua puluh sembilan tahun tersebut segera ke rumah dan membawanya ke rumah sakit. Penyakit stroke yang diderita hampir delapan tahun membuat hati Mahendra selalu was-was. Kapan penyakit itu akan kambuh, tak bisa diprediksi.Meski di rumah ada perawat laki-laki yang selalu menjaga, tetap gundah seorang anak akan muncul ketika mendapat kabar dari Mommy."Apa Mommy pernah memikirka
Bab 46BLima belas menit kemudian, kesabaran Mahendra pun mulai diuji, pesan yang dikirim belum mendapatkan balasan. Dia sempat menduga bisa jadi jalanan macet sehingga wanita itu belum juga sampai. Akhirnya ia menghubungi Pak Dadang untuk memastikan keberadaannya."Sudah sampai dua puluh menit yang lalu?"Mata Mahendra menyapu ke sekeliling mencari sosok Hana dengan ponsel masih menempel ke telinga."Ok, makasih, Pak Dadang."Panggilan itu terputus dan Mahendra menyeret langkah ke bagian lobby, berharap menemui Hana yang sudah menunggunya. Kecemasan dan prasangka pun mulai merajai hati. Lalu, ia berinisiatif untuk mencarinya ke lantai lima."Barang kali dia belum baca pesanku dan langsung ke atas setelah sampai ke rumah sakit." Dia membatin. Kembali dia menjejaki kaki menuju lift dan barharap memang wanita itu sedang berada di sana. Jarinya terus mengusap dan menekan tombol panggilan untuk Hana."Angkat dong, Han. Kamu lagi apa dan di mana? Aku tidak mau kamu bertemu mereka."Lagi, s
"Ini tadi dititipin Hana buat Mas Hendra."Suaranya merdu dan sungguh enak didengar, tetapi tidak bisa menenangkan hati Mahendra yang sedang gelisah. Setelah mendapat pesan gambar dari nomor yang tidak mempunyai foto di profile-nya, pria tersebut terlihat gelisah. Sebuah tas berisi map diserahkan kepadanya."Oh, iya, tadi dia ada pesan apa? Maksud aku, dia ngomong sesuatu atau? Dia langsung pergi atau sempat masuk ke sini?"Begitu banyak pertanyaan yang membuat Elena bingung, pertanyaan mana yang harus ia jawab terlebih dahulu."Hana tidak ngomong apa-apa. Dia langsung pulang dan sedikit buru-buru."Mengigit bibir setelah Elena berdusta untuk menutupi kegugupannya. Ia dokter muda berhati lembut tetapi cinta buta yang telah membuatnya berani berbohong.Usai berucap terima kasih dan mengambil berkas, Mahendra berlalu pergi tanpa pamit. Elena yang mendapatkan perlakuan itu pun hanya bisa menelan ludah. Tenggorokannya seperti dililit
"Han, kenapa pesan chat dariku tak dibalas dan panggilan telepon juga tak diterima? Hm."Tidak menanggapi pertanyaan Hana, Mahendra malah bertanya balik dengan nada tenang. Dia bahkan tidak peduli dengan sikap dingin Hana seperti pertemuan pertama mereka setelah tujuh tahun berlalu.Hana tak mau menjawab, hm, lebih tepatnya tidak memiliki alasan atas pertanyaannya. Tidak mungkin menyatakan hal sebenarnya bahwa Elena-lah, tersangka yang telah mencuci otak hingga ia tidak mempedulikannya. Elena-lah, penyebab yang membuat ia harus pergi dan menjauhinya. Salah satu caranya adalah menghindar dan tidak berhubungan dengannya termasuk sekadar membalas pesan atau menerima panggilan telepon darinya.Hana tidak mau menoleh ke arahnya, dari ekor mata ia tahu Mahendra tengah menatapnya dengan lekat."Kenapa tadi siang tidak langsung menemuiku? Padahal, aku sudah menunggu dan ingin bertemu langsung denganmu. Karena aku sangat rindu."Tangan kekar terul
Hana berhenti menggerakkan tangan yang mendorong pintu lalu mengangkat wajah meliriknya sekilas. Mahendra segera mengambil ponsel setelah melihat sikap hana yang terlihat lebih melunak."Kamu bisa menjelaskan apa maksudnya ini? Kamu tak mungkin akan melakukan ini di depan umum, kan? Ini sangat memalukan."Sebuah foto yang ada di layar ponsel mahal tersebut kini melebarkan mata dan memukul dada Hana keras hingga merasa sesak seketika. Jantungnya berdebar kencang sehingga merasa organ penting itu akan melompat dari tempatnya."Siapa yang mengambil gambar itu? Dari mana dia mendapatkannya?" Dia membatin.***Malam itu, Mahendra pergi dari rumah Hana dan kembali ke rumah sakit untuk menemani Daddy yang sudah terlelap. Mommy harus pulang karena Mahendra yang meminta.Ia merebahkan tubuh di sofa empuk yang semestinya terasa nyaman tetapi tidak dengan Mahendra. Lantaran tersengat hati yang gundah, ia merasa malam ini adalah malam yang p