"Iya, Kai belum boleh keluar dulu. Dia masih dalam tahap pemulihan. Guru privat yang aku sewa, apakah dia masih mengajar?""Masih, hanya saja Kai mengeluh bosan di rumah terus. Sudah hampir sebulan dia tidak sekolah dan bertemu temannya." Sudah tidak ada jarak penghalang, Hana menoleh dan tak sengaja mencurahkan keluh kesah. Kai sungguh merepotkan jika sudah merajuk. Helaan napas kecil terdengar samar-samar dan Mahendra bisa melihat guratan kelelahan di wajahnya. Apa Hana kurang tidur atau terlalu banyak pikiran? "Gampang bosannya dia, warisan sifat dari kamu. Dan sikap kegigihannya, warisan dari aku. Tampaknya Tuhan sangat adil memberikan warisan itu untuk anak kita," ujar Mahendra dengan kedipan mata yang membuat Hana memalingkan wajah ke kotak makanan.Tidak lagi menyahuti, dalam hati Hana membenarkan sifat yang dimiliki Kai memang menyamai sifat ayah kandungnya. Kegigihan dan ambisinya.Sementara hati pria itu tersenyum kembali kala memandang Hana maka
"Hana! Bangun, Hana. Kamu kenapa?" Mahendra yang mendengar teriakan histeris Irma pun cepat menghampiri kursi yang ditempati wanita yang sudah terkulai lemas. Fokus Mahendra terbelah sewaktu Hana masuk ke ruangan. Tidak sepenuhnya perhatian tertuju pada Aldo yang sedang melakukan persentasi penjualan, matanya mengikuti tubuh Hana masuk sampai wanita itu duduk dan berbicara dengan Irma. "Minta Pak Dadang siapkan mobil sekarang!" Perintah itu ditujukan pada Aldo dan pria berkeriting itu pun segera menelpon supir yang standby di bagian security.Tubuh Hana dibopong Mahendra karena tidak mendapat respons apapun darinya. Kepanikan yang menerjang Mahendra membuatnya lupa kalau ia sedang memimpin rapat penting untuk membahas cara meningkatkan omset perusahaannya."Rapat kita tunda dan akan saya jadwalkan ulang." Kalimat itu diucapkan Aldo untuk menutup pertemuan siang itu. Dia juga tidak bisa melanjutkan tanpa persetujuan direktur. Lanta
Buru-buru langkah Mahendra mendekat saat pintu ruangan tersebut terbuka. Pria itu sudah menunggu lebih dari 30 menit. Ia sungguh tak sabar ingin mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Apakah ada penyakit serius hingga Hana harus mengeluarkan darah dari hidungnya? Atau apa Hana sudah sadar dari tidurnya yang lelap?"Pasien sudah sadarkan diri. Terpantau saat ini, pasien hanya kecapean saja. Jantung, paru-paru, kadar oksigen normal. Hanya saja lambungnya sedikit bermasalah dan tekanan darahnya cukup rendah. Tapi sudah kami masukkan obat di dalam infus, semoga pasien akan segera membaik."Tak sengaja kedua sudut Mahendra terangkat, lepas sudah kegundahan mendengar kabar baik tersebut. Jantungnya sudah mulai berirama normal. Keringat yang membasahi pelipis pun sudah mengering. Kini ia dapat bernapas lega."Saya sarankan sementara pasien dirawat inap dulu untuk pemeriksaan lebih lanjut. Khawatir maag dan migrain yang diderita selama ini kambuh lagi."
Dia menjeda sambil meletakkan benda persegi pipih itu ke saku celana lalu matanya menatap lekat wanita yang memang terlihat sangat kurus. Dia melanjutkan kalimat setelah menelan ludah yang terasa pahit. Pria itu didera rasa haus dan cairan tubuhnya pun terkuras. Dia belum sempat minum sejak kejadian Hana pingsan tadi. Hm, lebih tepatnya Mahendra lupa minum karena terlalu mengkhawatirkannya "Kenapa daftar penyakitmu sungguh banyak? Oh, aku tahu. Apakah kamu sedang mencari perhatianku?"Sengaja Mahendra menunduk dan mendekati wajahnya ke wajah Hana. Hingga jarak tinggal satu jengkal, refleks tangan kanan pasien itu mendorong wajahnya. Hana pun memalingkan wajah menghindari serangan dadakan Mahendra yang ia kira akan menciumnya. Tak lupa Hana sudah meninggalkan tatapan runcing yang siap menyayat matanya."Awas, jangan macem-macem, ya."Pria itu terkekeh geli dengan perubahan rona wajah wanita yang sedang bersandar. Ada kepuasan tersendiri bisa melih
"Ini tas dan ponselmu.""Makasih, Bu Irma." Sang sekretaris memenuhi panggilan pak direktur untuk membawakan berkas yang memerlukan tanda tangannya. Selain itu, ada juga sang general manager yang datang, langsung diboyong ke kafe rumah sakit untuk melanjutkan pembicaraan rapat yang tertunda."Bagaimana keadaanmu sekarang? Kamu kenapa, Bu Hana?"Wanita berkemeja marron itu menunjukkan rasa simpati dengan apa yang baru terjadi. Di perusahaan, hanya Irmalah yang lumayan dekat dengannya. Kendatipun demikian, tetap ada jarak yang Hana bentengi agar ia tak bisa masuk ke dalam kehidupannya. Ia tak suka orang lain mengintip masa lalu yang kelam. Malu dan minder mengakui semua yang pernah terjadi."Aku hanya kelelahan saja, Bu. Kamu tahu kan, anakku juga baru sembuh. Jadi selama ini aku kurang tidur dan jadwal makan tidak teratur."Di depan Irma, ia berani jujur hal tersebut secara detail. Namun, di hadapan Mahendra, ia tak berani melaku
Kali ini Hana tak bisa menguasai diri. Kupingnya memanas ketika mendengar kata bayaran yang dapat diartinya negatif bagi siapa saja yang mendengarkannya. "Bayaran maksudnya panggilan? Wanita BO?" Hana memberi penekanan pada singkatan booking order tersebut. "Aku tak tahu pasti apa isi yang ada di kepala mereka. Karena kata mereka hanya kamu wanita satu-satunya yang punya kesempatan keluar dan makan bareng dengan Pak Hendra. Hanya kamu wanita yang baru mereka sadari telah sanggup membuat wajah Pak Hendra se-panik itu.""Tapi kenapa harus sebutan ....""Terus, mereka juga sudah mengamati. Sejak kamu ada di kantor, Pak Hendra jadi sering tersenyum. Dulu, boro-boro senyum, wajah ramah saja tidak ada. Dia tuh dingin dan jarang menyapa. Tatapannya kayak silet dan siap melukai hati jika karyawannya bikin kesalahan proposal. Jam lembur sering dikasih tanpa ampun."Refleks, Hana terkekeh membayangkan detail wajah sang mantan kekasih. Dia tak menyangka Mahendra kini menjelma menjadi monster ya
Sepotong jeruk disodorkan tepat di depan mulut Hana dan ia langsung melahapnya demi menghargai."Sini, Kak. Biar aku sendiri."Tangan Hana mengambil alih buah jeruk yang sudah dikupas kulitnya. Ia sungkan kalau Arsenio menyuapinya. Meski ia tahu lelaki itu sangat perhatian sejak awal, tetap saja, ia tak bisa bermanja dengannya. "Kenapa tak ke RS Mutiara saja, sih? Biar aku gampang tengokin kamu. Aku standby dari pagi sampai sore di sana. Jadi pas istirahat, aku bisa curi-curi waktu untuk jengukin kamu.""Waktu itu aku pingsan, aku tidak bisa milih, Kak. Lagipula kalau bisa pilih, aku memilih pulang ke rumah, bukan di RS. Di sini sungguh membosankan, tidak bisa lakukan apapun. Malah merepotkan orang lain.""Sampai separah itu? Pingsan? Laki-laki itu yang membawamu ke sini?"Arsenio sudah tahu banyak hal yang selama ini dirahasiakan Hana. Mulai dari Hana bekerja dengan Mahendra, test DNA yang dilakukan Kai untuk membuktikan siapa ayah biologisnya, sampai hak asuh yang ditawarkan pengaca
"Kenapa belum dimakan?"Sekilas Mahendra melirik nampan makanan yang masih belum tersentuh di meja pasien setelah masuk ke dalam kamar dengan wajah yang biasa. Pintar sekali ia menyimpan kekesalan setelah mendengar gunjingan Arsenio yang kini mengganggu pikirannya. Meski itu sungguh sangat mengusik, tetapi ia tak ingin menunjukkan di depan Hana.Beruntung detik itu Arsen sedang buru-buru sehingga dokter muda itu memilih terus melangkah melewati dan meninggalkan tempat itu. Jika tidak, mungkin akan terjadi perang dunia ketiga lagi.Namun, diam-diam Mahendra mulai mempertimbangkan bagaimana kalau yang dikatakan dokter itu benar. Apakah Kai sudah mengerti tentang masalah orang dewasa? Apakah dia akan membenci papa yang dulu tak ingin kehadirannya?"Aku mau pulang."Seperti biasa, Hana tak menjawab tetapi malah memberi pernyataan yang tak ada hubungannya dengan pertanyaan Mahendra.Lelaki dewasa itu menarik kursi dan duduk di samping