Sama halnya dengan Jonathan, pria itu terlihat masa bodoh dan tidak menanggapi atau menyapa teman kecilnya. Bahkan untuk membalas senyuman Hana pun, ia enggan, hanya memandang sekilas dengan tatapan yang tak punya arti apa-apa. Menurutnya, peristiwa dua puluh tahun sudah terlalu lama, siapa juga yang mampu mengingatnya?
Setelahnya, para wanita senja terlibat percakapan hal yang biasa, sedangkan Hana memilih menjauhi dan duduk di samping Kai yang masih tertidur. Efek obat yang membuat bocah kurus itu mengantuk. Mungkin memang sengaja, agar dia bisa istirahat penuh.Dari kejauhan, Hana lebih leluasa memindai mereka yang duduk di seberang sana. Pria itu duduk dengan menopang kaki kiri ke kaki kanan, kembali fokus dengan benda pipih. Sesekali menyahuti jika Bu Delia meminta pendapatnya. Wajah dan sikapnya diselimuti es kutub utara. Dingin.Sementara beberapa kali Hana kepergok wanita yang disebut Jeng Mer itu menyapu seisi ruang inap. Mungkin terbesit di pikir"Jadi ini cucumu, Jeng?"Pertanyaan yang sudah diketahui jawaban meski ibu tidak menyahut. Beliau hanya tersenyum menanggapinya."Dari hari kapan itu, Nenek tidak melihat kamu di sekolah. Kata pihak sekolah, kamu sakit, Sayang. Maaf, Nenek tidak menjengukmu karena pihak sekolah tidak tahu kamu dirawat di mana. Aneh sekali sekolah itu."Ada wajah kejengkelan terbit di wajah mulus Bu Merry, hanya sedikit keriput walau umurnya sudah memasuki kepala lima."Maaf, Bu. Saya yang belum memberitahukan pihak sekolah di mana Kai dirawat. Bukan salah sekolahnya."Hana memberi senyum canggung. Rasa tak enak hati ketika mengetahui ada orang mengecap buruk sekolah karena kesalahannya sendiri."Ma, ini nenek baik yang sering Kai ceritakan." Kai menunjuk wanita berambut pendek berkalung mutiara. Hana memberi senyuman hormat dengan sedikit menunduk untuk kesekian kali. Ia terkesima sesaat dan merasa beruntung bisa ketemu langsung dengan
Merasa diinterogasi, Hana pun akhirnya menoleh. Ia tak suka ada yang bertanya soal dengan siapa dia berteman. Apalagi orang itu Mahendra. Ada urusan apa dia ingin mengetahui semua temannya? Suami bukan, saudara bukan, pacar juga bukan, dia hanya mantan sekarang. Terlebih sekarang, pria itu adalah orang yang paling menyebalkan di matanya."Bukan urusan kamu, Dra."Dia pun melanjutkan langkah ketika pintu lift di depannya terbuka. Di sore itu, pengunjung rumah sakit termasuk sepi, jadi yang antri di depan lift hanya Hanami dan Mahendra saja. Melihat Hana masuk, Mahendra pun mengikutinya."Hei, kamu itu ibu dari putraku. Tentu saja, semua tentangmu adalah urusanku. Jadi aku berhak tahu dengan siapa kamu ....""Stop, Dra. Harus berapa kali aku bilang, jangan mengusik hidupku. Aku mau hidup tenang. Dan lagian hubungan kita sudah lama usai. Jadi kita tidak ada hubungan apa-apa lagi. Kamu jangan memaksa aku untuk bersikap atau berucap kasar kepadamu. Kesabaranku ada ba
"Sepertinya kemarin aku nggak lihat barang ini ada di sini. Baru tadi pagi dan aku belum sempat memperhatikan karena Pak Hendra sudah panggil aku masuk ke ruangannya."Jawaban Irma tidak membuat Hana bernapas lega. Sebenarnya di dalam benak, ia sudah bisa menebak siapa pengirim bunga tersebut. Lantaran hanya ada satu orang yang mengetahui bunga kesukaannya dan dulu ia sering mendapatkan kejutan ini dari orang tersebut.Sementara Mahendra dari dalam ruangan, senyum sendiri melihat semua tingkah dan mimik wajah Hana yang gemas. Dari menoleh ke kanan ke kiri, mencari pengirim hadiah sampai caranya mencium bunga tersebut. Tak lama, terdengar deringan telepon di meja Hana dari extension ruang direktur."Temui aku di ruanganku sekarang!" Sebuah perintah tanpa sapaan pun terdengar ketika Hana menempel ganggang telepon di telinga. Wanita itu menarik napas panjang setelah meletakkan kembali ganggang telepon tersebut."Pak Hendra, ya?" tanya Irma diangguki Hana.
Mata Aldo berpaling pada Mahendra yang langsung memberi kode kepadanya. Isyarat agar sang GM tidak melanjutkannya. Pria itu tidak mau Hana tahu tentang masalah yang sedang dihadapi perusahaan.Hana bisa mencerna arti kode tersebut dan akhirnya ia memilih pamit. Dalam hati, ia berterimakasih atas kehadiran Aldo di sana. Dengan begitu, ia bisa menghindari si atasan narsis dan itu sangat mengganggu hari-harinya di kantor."Kamu berhasil menggunakan kekuasaanmu untuk mendapatkan apa yang kamu mau, Bro," ucap Aldo saat Hana sudah menghilang dari pandangan. "Bukan hanya menggunakan kekuasaan, tapi aku sudah menjatuhkan harga diri dan egoku untuk bisa sampai di sini." Menggeleng, Mahendra menyadari ternyata harga dirinya sudah berhasil diobral murah wanita masa lalunya. Ia tak menyangka kerja kerasnya sudah sampai tahap di mana Hana mau bertatap wajah kembali dan berbicara walau masih ketus. Setidaknya, sekarang ia masih berusaha untuk mencuri kembali cinta Hana
"Iya, Kai belum boleh keluar dulu. Dia masih dalam tahap pemulihan. Guru privat yang aku sewa, apakah dia masih mengajar?""Masih, hanya saja Kai mengeluh bosan di rumah terus. Sudah hampir sebulan dia tidak sekolah dan bertemu temannya." Sudah tidak ada jarak penghalang, Hana menoleh dan tak sengaja mencurahkan keluh kesah. Kai sungguh merepotkan jika sudah merajuk. Helaan napas kecil terdengar samar-samar dan Mahendra bisa melihat guratan kelelahan di wajahnya. Apa Hana kurang tidur atau terlalu banyak pikiran? "Gampang bosannya dia, warisan sifat dari kamu. Dan sikap kegigihannya, warisan dari aku. Tampaknya Tuhan sangat adil memberikan warisan itu untuk anak kita," ujar Mahendra dengan kedipan mata yang membuat Hana memalingkan wajah ke kotak makanan.Tidak lagi menyahuti, dalam hati Hana membenarkan sifat yang dimiliki Kai memang menyamai sifat ayah kandungnya. Kegigihan dan ambisinya.Sementara hati pria itu tersenyum kembali kala memandang Hana maka
"Hana! Bangun, Hana. Kamu kenapa?" Mahendra yang mendengar teriakan histeris Irma pun cepat menghampiri kursi yang ditempati wanita yang sudah terkulai lemas. Fokus Mahendra terbelah sewaktu Hana masuk ke ruangan. Tidak sepenuhnya perhatian tertuju pada Aldo yang sedang melakukan persentasi penjualan, matanya mengikuti tubuh Hana masuk sampai wanita itu duduk dan berbicara dengan Irma. "Minta Pak Dadang siapkan mobil sekarang!" Perintah itu ditujukan pada Aldo dan pria berkeriting itu pun segera menelpon supir yang standby di bagian security.Tubuh Hana dibopong Mahendra karena tidak mendapat respons apapun darinya. Kepanikan yang menerjang Mahendra membuatnya lupa kalau ia sedang memimpin rapat penting untuk membahas cara meningkatkan omset perusahaannya."Rapat kita tunda dan akan saya jadwalkan ulang." Kalimat itu diucapkan Aldo untuk menutup pertemuan siang itu. Dia juga tidak bisa melanjutkan tanpa persetujuan direktur. Lanta
Buru-buru langkah Mahendra mendekat saat pintu ruangan tersebut terbuka. Pria itu sudah menunggu lebih dari 30 menit. Ia sungguh tak sabar ingin mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Apakah ada penyakit serius hingga Hana harus mengeluarkan darah dari hidungnya? Atau apa Hana sudah sadar dari tidurnya yang lelap?"Pasien sudah sadarkan diri. Terpantau saat ini, pasien hanya kecapean saja. Jantung, paru-paru, kadar oksigen normal. Hanya saja lambungnya sedikit bermasalah dan tekanan darahnya cukup rendah. Tapi sudah kami masukkan obat di dalam infus, semoga pasien akan segera membaik."Tak sengaja kedua sudut Mahendra terangkat, lepas sudah kegundahan mendengar kabar baik tersebut. Jantungnya sudah mulai berirama normal. Keringat yang membasahi pelipis pun sudah mengering. Kini ia dapat bernapas lega."Saya sarankan sementara pasien dirawat inap dulu untuk pemeriksaan lebih lanjut. Khawatir maag dan migrain yang diderita selama ini kambuh lagi."
Dia menjeda sambil meletakkan benda persegi pipih itu ke saku celana lalu matanya menatap lekat wanita yang memang terlihat sangat kurus. Dia melanjutkan kalimat setelah menelan ludah yang terasa pahit. Pria itu didera rasa haus dan cairan tubuhnya pun terkuras. Dia belum sempat minum sejak kejadian Hana pingsan tadi. Hm, lebih tepatnya Mahendra lupa minum karena terlalu mengkhawatirkannya "Kenapa daftar penyakitmu sungguh banyak? Oh, aku tahu. Apakah kamu sedang mencari perhatianku?"Sengaja Mahendra menunduk dan mendekati wajahnya ke wajah Hana. Hingga jarak tinggal satu jengkal, refleks tangan kanan pasien itu mendorong wajahnya. Hana pun memalingkan wajah menghindari serangan dadakan Mahendra yang ia kira akan menciumnya. Tak lupa Hana sudah meninggalkan tatapan runcing yang siap menyayat matanya."Awas, jangan macem-macem, ya."Pria itu terkekeh geli dengan perubahan rona wajah wanita yang sedang bersandar. Ada kepuasan tersendiri bisa melih