Setelah pengakuan yang dikatakan Alice, gadis itu tiba-tiba terkulai lemas membuat Hayes panik hingga harus menelpon dokter pribadinya agar segera mengirimkan obat secepatnya. Hayes tidak bisa beranjak, naluri di dalam hatinya mendorong Hayes untuk tetap disamping Alice dan berusaha membantu menurunkan demamnya. Hayes tidak tahu apakah kebaikannya saat ini karena khawatir tidak ingin melihat Alice sakit, atau murni untuk sebuah kemanusiaan.Sepanjang berada di sisi gadis itu, Hayes sudah mendengarkan banyak racauan tidak jelas yang keluar dari mulutnya.Alice banyak merintih gelisah seperti sedang meminta tolong dan tenggelam dalam halusinasi, beberapa kali Alice memeluk dirinya sendiri dan meringkuk memohon ampunan, ketakutan saat Hayes menyentuhnya.Demam Alice kian parah saat dia tiba-tiba memukul kepalanya sendiri, mengharuskan Hayes untuk memeluknya dengan erat dan menghentikan dia agar berhenti menyakiti dirinya sendiri.Hayes tidak tahu apakah halusinasi yang menyerang Alice a
Di sebuah lorong ruangan, tidak sengaja Damian berpapasan dengan Hayes yang baru keluar dari kamarnya.“Dimana Alice?” tanya Damian menghentikan langkahnya. Damian khawatir jika apa yang sudah dilakukan Ivana akan membuat Alice bersedih dan pergi dari rumah.“Alice sakit, dia akan ada di kamar sampai besok,” jawab Hayes dengan nada menggantung, perhatiannya lebih fokus pada koper besar yang dibawa oleh Damian. “Ayah akan pergi ke mana? Bukankah kunjungan ke luar negeri minggu depan?” tanya Hayes.Damian berdeham canggung. “Ibumu butuh waku menenangkan diri di kamarnya sendirian,” jawab Damian dengan tenang.Kening Hayes mengerut tidak percaya. Hayes tahu betul Ivana tidak suka ditinggal sendirian, dan alasan utama Ivana marah hari ini karena Ivana kesal Philip meninggalkannya terlalu lama. “Ayah melakukan ini karena ibu telah menampar Alice?” tebak Hayes.“Sebaiknya kita tidak perlu membicarakan kejadian tadi siang Hayes.”“Aku perlu tahu kenapa Ayah pindah kamar begitu saja,” desak
Hembusan suara angin terdengar, gelap malam terlihat pekat. Alice meringkuk terbaring di sofa tergulung dalam selimut, suara napasnya terdengar masih kasar tidak beraturan, panasnya yang belum reda membuat dia gelisah sakit kepala dan beberapa kali dibuat terbangun karena sakit perut.Di antara keadaan setengah tertidur, samar telinga Alice mendengar sebuah suara pintu.Ada derap langkah yang bergerak. Mata Alice sedikit terbuka melihat ke sekitar.Di antara remang cahaya yang minim menyisakan dua lampu kecil yang menyala, Alice melihat siluet bayangan hitam yang bergerak arahnya.Apa Alice berhalusinasi lagi?Bayangan itu bergerak lebih dekat, sebuah tangan yang dingin menyentuh keningnya, membawa Alice pada sebuah kenyamanan yang membuatnya kembali memejamkan mata dan tenggelam dalam tidurnya tanpa kewaspadaan.***Keadaan Alice cukup membaik ketika dia bangun di pagi hari, Alice sudah memiliki tenaga untuk melakukan aktivits seperti biasa dan sakit kepalanya sudah tidak terasa la
“Bunga Julliet Rose kesukaan nyonya Ivana, kemarin beliau menanyakannya, karena bunganya langka dan mahal, kami tidak memiliki stock dan harus memesan dulu dari tempat lain, sekarang hanya tersedia satu,” ucap seorang pegawai toko bunga menunjuk sebuah pot bunga yang ditumbuhi mawar Juliet yang cantik bermekaran.Saat dalam perjalanan ke kantor, Hayes teringat dengan Ivana yang tengah bersedih. Ivana yang suka bunga mungkin suasana hatinya akan menjadi baik bila Hayes memberinya bunga.Karena hal itu, disinal Hayes sekarang. Di sebuah toko bunga langganan Ivana.“Saya akan membelinya,” jawab Hayes tanpa pertimbangan.“Baik, tolong tunggu sebentar.”***Melalui jendela yang mengarah ke taman bunga, diam-diam Alice mengintip keberedaan Ivana yang kini tengah duduk ditemani oleh kucing kesayangannya. Wajah Ivana terlihat pucat, sesekali dia menyeka air matanya yang terjatuh.Ivana terlihat kesepian..Melihat Ivana yang duduk seorang diri dengan keterbatasan terlihat cukup menyedihkan, le
“Mengapa kau sangat baik Alice, tidakkah kau ingat dengan perlakuan Hayes dan Ivana padamu?” tanya Damian menguji.Alice tersenyum sedih, hatinya memang terkadang seperti teriris bila mengingatnya, namun Alice percaya Hayes maupun Ivana memiliki alasan untuk membencinya, termasuk Giselle yang jijik kepadanya karena kehadiran Alice terus mengingatkan dirinya pada kejadian pemerkosaan yang di alaminya.Kibaran di mata Alice bergerak pelan, matanya terhalang banyak kabut kesedihan sampai membuat napasnya tersendat. “Saya tahu seberapa dalam luka yang saya dapat atas tajamnya lisan yang terucap dan kasarnya tangan yang memukul. Saya tidak pernah berniat sedikitpun untuk membalas perbuatan mereka karena satu-satunya yang saya inginkan sejak awal hingga sekarang adalah memiliki akhir hidup yang bahagia.”Samar Damian tersenyum mendengarkan keinginan sederhana Alice. “Alice, Apa kau percaya ada sebuah kebaikan dan kebenaran yang menyakitkan? Mungkin itu yang kini sedang aku lalui, jalan keben
Bella menerobos masuk ke dalam ruangan Hayes meski dia sudah mendapatkan larangan, wanita itu sama sekali tidak dapat dihentikan oleh siapapun.Bella sudah tahu jika sejak kemarin Hayes mulai bekerja, dia menahan diri untuk tidak bertemu untuk menyiapkan sesuatu.Membayar seorang wartawan untuk menyampaikan artikel yang dia tulis mengenai hubungan perselingkuhan Haye dan seorang wanita. Bella sengaja membuat scandal itu karena pernikahan Aaric dan Calla digelar sebentar lagi.Jika scandal itu muncul, kemungkinan besar bahwa ada media yang mencari tahu, begitupun orang-orang disekitar. Bella tinggal menunjukan hubungan yang intim dengan Hayes, dan semua orang akan langsung menyadari siapa sosok perempuan yang sebenarnya dicintai Hayes.Dengan langkah yang lebar Bella masuk mendorong pintu besar di depannya.“Hayes,” sapa Bella tanpa rasa bersalah.“Apa yang kau lakukan di sini? Aku sedang bekerja,” tegur Hayes tidak suka.“Aku harus menunjukan sesuatu yang penting padamu Hayes,” jawab
Alice melihat ke belakang lagi, memperhatikan Tesa yang sudah pergi cukup jauh dan kini tengah duduk di sebuah bangku, dengan cepat Alice mengambil buku itu dan pergi keluar, menghampiri Tesa yang sedang menelpon seseorang.Alice melihat ke sekitar dengan waspada, dia takut jika keberadaannya tengah di perhatikan.Langkah Alice memelan, mendekati Tesa.“Sialan ini sangat melelahkan, tidak ada bedanya dengan mengajar anak idiot,” maki Tesa meremas kuat tengkuknya.Langkah Alice terhenti, tidak ada keberanian untuk mendekat begitu mendengar makian dari seorang guru yang dia anggap lembut dan baik.“Kau punya anggur? Aku cukup setres memikirkan setengah tahun kedepan aku akan terus di berhadapan dengan anak idiot menantu Borsman. Sialan, dia seperti sampah yang beruntung. Jika saja bayarannya tidak mahal, aku pasti akan menghajarnya karena kesal.”“Apakah aku akan dapat keuntungan yang lebih besar jika menjual berita kepada wartawan, bahwa keluarga Borsman memiliki menantu yang sangat id
Suara deringan telepon masuk terdengar beberapa di atas meja, Bella yang tengah membaca majalah sempat beranjak melihat siapa orang yang sudah menghubungi Hayes.Bella mendengus kesal melihat nama Theodor yang tertera di layar.“Untuk apa dia menelpon Hayes? Mengganggu saja,” gumam Bella kesal. Dengan entengnya wanita itu mematikan handponenya dan menyimpannya di bawah tumpukan buku agar Hayes tidak menemukannya.Dengan begitu tidak ada yang menghubungi Hayes lagi dan acara makan siang berduanya akan berjalan lancar.***Alice tidak memiliki banyak kekuatan untuk menolak ketika dia dibawa ke klinik, Calla yang sudah menunggu langsung menanganinya secara privat dan memberi Alice obat penenang agar gadis itu tertidur.Theodor tidak lagi berusaha untuk menghubungi Hayes, pria itu duduk di depan ruangan tempat diaman Alice tengah ditangani.Ada ketegangan dibahu Theodor, dia terus terbayang dengan keadaan Alice sepanjang perjalanan saat ke klinik. Rintihan tersiksanya, dan tangannya yang