Alice berdiri dalam keteganan, memandangi pintu paviliun yang tertutup dan tidak ada satu orangpun yang terlihat di sana. Gadis itu tidak kunjung bergerak, kakinya terpaku ditempat.Alice tidak tahu apa dia harus terus melangkah, atau kembali pulang ke rumah.Alice tidak tahu dengan apa yang harus dia lakukan kini, segalanya masih terasa seperti mimpi, Alice bingung dengan dirinya sendiri seolah tengah kehilangan arah. Dunia yang dia mimpikan hancur begitu saja dengan mudah, penantiannya lebih dari dua puluh tahun lamanya untuk bisa mendapatkan kebebasan, kini kembali hancur.Apakah pantas untuk dirinya menemui Hayes setelah memperlakukan Theodor sangat keji dan melukai hatinya. Theodor.. Hati Alice teremas sakit, air mata kembali membasahi pipi. Bisakah dirinya tidak memilih Athur maupun Theodor? Melepaskan keduanya begitu saja dan menunggu mereka dalam penantian?Alice menyeka air matanya dengan kasar begitu mendengar suara klakson kendaraan di belakangnya. Dengan lemah Alice ber
Hayes bersedekap menyandarkan bahu kokohnya pada daun pintu, pria itu memperhatikan kegoyahan Alice yang terlihat berat untuk menuruti permintaanya. Gerak geriknya yang terlihat kacau menyadarkan Hayes jika Alice kini tengah terguncang.Alice ketakutan dan malu, dan dia tidak bisa mengendalikannya perasaan itu. Alice baru berdamai dengan keadaan tubuhnya, Alice baru belajar mencintai tubuhnya apa adanya. Tidak mungkin baginya untuk merendahkan tubuhnya sendiri dan kembali terjebak dalam trauma lagi.Kerapuhan Alice membuat Hayes merasa kasihan kepada dirinya sendiri, mengapa Hayes harus berbuat sejauh ini hanya untuk membuat Alice berada di sisinya? Tapi, jika Hayes tidak melakukan ini semua, mustahil Alice akan berada di tempat ini sekarang.“Apa kau ragu Alice?” tanya Hayes dengan suara sedingin mungkin. “Apakah aku harus memberitahu Athur terlebih dahulu jika kakak kesayangannya lebih memilih kekasihnya dan membiarkannya mendekam dipenjara dalam beberapa tahun,” ucap Hayes lagi m
Suara nada piano terdengar berdenting, jemari Theodor bergerak cepat di atas tuts dan berakhir dengan memukulnya hingga menimbulkan suara nyaring memenuhi ruangan.Theodor sedang berusaha menenangkan hatinya agar bisa berpikir rasional, namun itu tidak mudah, semakin dia berusaha bersikap tenang, hatinya justru sakit.Rahang Theodor mengetat menahan amarah yang meledak ledak di dalam hatinya. Kata-kata Alice melalui telepon berhasil membuatnya kecewa dan marah.Theodor tidak menyangka bahwa dia akan disingkirkan semudah ini. Semua angannya yang indah, semua rencana masa depannya yang dia susun, rusak dengan mudah bak ombak yang melahap tepi pantai, menggerus ukiran di atas pasir.Hati Theodor cukup sakit, dadanya panas oleh letupan amarah.Mengapa Alice memilih pergi dengan cara yang seperti ini? Mengapa dia dikalahkan dengan cara kotor seperti ini?Alice adalah mawarnya, namun mengapa setelah dia mekar, Theodor harus menggenggam durinya hanya untuk mempertahan keberadaannya.“Bajinga
Bulu mata Alice bergerak pelan, dengan susah payah gadis itu berusaha membuka matanya. Hal pertama yang dia lihat adalah Hayes Borsman, pria itu tengah mendekapnya dan pandangan mereka langsung bertemu.Alice berkedip pelan, memastikan apa yang tengah dilihatnya bukan halusinasi.Bola mata Alice bergerak tidak beraturan, melihat langit yang sudah mulai gelap di jendela, bola mata Alice berputarm melihat sebuah kamar yang asing untuknya.Samar-samar Alice teringat dengan apa yang terjadi, dia kehilangan seluruh tenaganya saat berbicara dengan Hayes, lalu terjatuh sakit dan diserang demam seperti biasa.Lalu apa yang telah terjadi setelahnya?Dengan cepat Alice mendorong dada Hayes, gadis itu berusaha untuk menjauh melepaskan diri dari dekapan Hayes, lalu duduk melihat ke sekitar dalam kebingungan.Wajah Alice memucat kaget, tersadar jika kini dia mengenakan pakaian yang tidak dikenalnya. “Apa yang terjadi?” tanya Alice ketakutan, meraba seluruh tubuhnya yang tidak mengenakan apapun di
Alice terpaku dalam diam, tenggelam dalam kenangan pahitnya yang menghancurkan hati. Setelah kejadian di malam itu, kejadian dimana dia memakan pecahan kaca, Alice mengalami serangan demam, dia meringkuk sakit di ruang bawah tanah selama dua minggu tanpa ada yang berinisiatif membawanya ke rumah sakit.Selama dua minggu itu Alice menangis siang malam hingga semenjak dua minggu itu pula, Alice tidak bisa menangis lagi, dia tidak bisa mengeluarkan air matanya lagi.Tidak ada yang peduli jika Alice kesulitan berbicara dan tidak bisa menelan apapun, kondisi tubuhnya yang kurus kekurangan gizi kian mengkhawatirkan tinggal seonggok tulang.Dihari pertama Alice baru mampu berjalan keluar ruang dari bawah tanah, orang-orang menganggap dirinya sudah sembuh dan Alice disambut oleh setumpuk pekerjaan.Setiap kali Alice mengingat kejadian itu, hatinya sangat sakit tidak terkira. Terkadang Alice bertanya-tanya kepada Tuhan, mengapa dia harus melalui itu semua? Alice marah kepada Tuhan karena dia
Pukulan keras Theodor membuat telinga Hayes berdenging, wajahnya terlempar ke sisi. Belum sempat Hayes berdiri dengan benar, Theodor kembali menghajar wajah Hayes dan mendorongnya ke dinding dengan mencegkram kuat kerah pakaian Hayes.Sudah cukup selama ini Theodor bersabar dengan dengan diam karena dia tidak suka melakukan kekerasan, terlebih Hayes adalah temannya. Kali ini kesabaran Theodor sudah tidak dapat dibendung lagi.Theodor sangat marah, Hayes merebut Alice dari sisinya dengan cara yang seperti ini, dan Theodor sangat muak Hayes bertindak kotor sama seperti ibunya. Sudah cukup Ivana menjadi dalang dari segala kekcauan hidup banyak orang, Theodor tidak ingin melihat Hayes melakukan hal yang sama seperti ibunya.“Bajingan. Seperti ini caramu bermain? Kau pikir, kau akan disebut pemenang setelah menindas perempuan yang sedang berjuang melawan gangguan mentalnya!” teriak Theodor dengan mata berapi-api berkilat kemarahan.Hayes melihat samar-samar keberadaan Theodor di depanya, p
Alice bergerak gelisah dalam kesunyian, pikirannya berkelana entah kemana, ada sesuatu yang membuatnya sangat tidak nyaman, namun Alice tidak tahu alasannya apa.Sejak pulang dari paviliun Alice tidak melakukan apapun, dia menghabiskan waktunya hanya untuk duduk, memikirkan keadaan Athur, memikirkan hubungannya dengan Theodor, dan memikiran apa yang akan terjadi pada dirinya dihari esok.Alice sudah terbiasa dalam kesepian lebih dari dua puluh tahun lamanya, namun semenjak bersama Athur dan melewati siang malam bersama-sama, saling bercerita satu sama lainnya desetiap kali mereka menghabiskan waktu makan bersama.Alice mulai nyaman dengan kehadiran seseorang..Baru dua hari Athur tidak ada di rumah, rasanya sangat mencekik. Alice takut kembali terjebak dalam kesepian seperti dulu lagi.Alice menopang dagunya, memandangi jalanan di balik hutan yang gelap. Alice berharap jika malam ini Theodor tidak kembali datang, Alice masih belum siap dan membutuhkan waktu untuk mengumpulkan keberan
Napas Damian tertahan di dada, seluruh tenaganya terenggut sampai membuatnya kesulitan untuk berbicara. Tubuh Damian luruh duduk lemas di kursi.Kabar buruk yang diucapkan Stela berhasil meretakan harapan Damian akan kesembuhan Hayes.Stela tertunduk sedih mendengar suara erangan kesedihan Damian yang menahan tangisan sampai harus menekan kelopak matanya. Hati Damian sangat hancur, memikirkan putranya yang dilahirkan dalam keadaan sempurna, akan menghabiskan sisa hidupnya dalam keterbatasan. “Itu tidak mungkin Stela, Hayes pasti akan baik-baik saja kan?” “Tuan Damian, saya tidak bisa menjanjikan sesuatu yang tidak pasti. Namun, saya akan berusaha untuk memperjuangkan kesehatan Hayes, karena itulah kita harus melakukan sesuatu sebelum terlambat.”“Apa yang harus aku lakukan untuk meyakinkan Hayes?”“Hayes harus menemukan semangat untuk bisa kembali sembuh,” jawab Stela menggantung, bola matanya bergerak pelan meneliti kesedihan Damian. “ini sangat penting, saya khawatir Hayes memili