Suara letupan senjata terdengar menggema di pendengaran, keringat dingin yang membasahi wajah pucat Alice, gadis itu bergerak gelisah diserang oleh mimpi buruk yang hebat.Tangannya bergerak di udara mencari-cari sesuatu yang dipegang erat. Bibir Alice yang mengering tampak gemetar mengeluarkan suara rintihan kesakitan.Dalam satu sentakan Alice terbangun begitu bisa melepaskan diri dari mimpi buruknya. Deru napas kasar tidak beraturan terdengar di kesunyian.Dengan lemah Alice duduk, menatap sekitar dengan waspada. Sepanjang malam Alice diserang demam, suara kencang dari letupan senjata membangkitkan kembali traumanya pada suara nyaring.Alice mengusap keningnya yang basah oleh keringat dingin.Waktu sudah menunjukan pukul empat pagi..Perlahan Alice beranjak dari sofanya, dengan sempoyongan gadis itu pergi ke kamar mandi dan meminum beberapa teguk air dari keran, lalu membasuh wajahnya. Sejenak Alice berdiri di depan cermin, memeriksa keningnya yang membiru pekat dan masih sedikit
“Makanlah sarapanmu,” titah Damian yang tengah duduk di sebuah kursi.Ivana tersenyum sendu, merasakan hangat sinar matahari pagi yang menyapu sisi wajahnya.“Tidak bisakan kau menyuapiku?” tanya Ivana dengan suara yang serak dan mata sembab. “Aku tidak bisa melihat, satu tanganku juga baru selesai melakukan operasi, ini sangat sulit,” ucap Ivana lagi dengan rintihan menahan diri untuk tidak kembali menangis.Damian segera berpindah duduk ke sisi ranjang, pria itu mengambil alih sendok dan perlahana menyuapi Ivana sedikit demi sedikit. “Apa kau tidak sedikitpun kasihan padaku sekarang?” tanya Ivana pelan.“Apa rasa kasihanku padamu akan membuat keadaanmu membaik?” tanya balik Damian terdengar tenang dan terus menyuapi Ivana.Ivana tersenyum sedih, wanita itu menelan makananya dengan kesulitan. “Aku tidak mengerti, mengapa kehidupanku semakin menyulitkan akhir-akhir ini. Hatika semakin hancur karena kini Hayes sudah tahu kebenarannya,” jawab Ivana kian pelan.Damian tersenyum masam, d
Hayes melihat kursi di sisinya kosong, sudah hampir lima menit dia duduk menunggu, namun Alice belum datang padahal sudah saatnya kini makan malam.Damian yang baru duduk ikut melihat kursi Alice yang kosong. “Kemana Alice?” tanya Damian.“Aku juga tidak tahu,” jawab Hayes menggantung, tersadar jika sejak tadi dia tidak melihat keberadaan Alice.“Apa kalian bertengkar lagi?” tebak Damian.“Tidak.”Mery yang baru datang membawa semangkuk bubur untuk Alice, tampak terkejut melihat kursi Alice yang kembali kosong. Alice sama sekali tidak datang ke meja makan sejak sarapan pagi tadi, dan sepertinya kejadian tadi siang sudah mengguncangnya.Mery sudah mendisiplinkan beberapa pelayan agar mereka menjaga sikap dan berhenti ikut campur sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Tampaknya apa yang Mery lakukan tidak cukup membuat beberapa pelayan patuh.Mery tidak bisa membiarkan ini terjadi terus berlanjut.Sebagai kepala pelayan, semua urusan pekerjaan adalah tanggung jawabnya, di
Selepas kepergian Hayes, dengan hati-hati Alice membaringkan dirinya lagi, meringkuk miring sambil memeluk perutnya yang sakit. Tendangan Giselle kemarin malam sangat sakit sampai ke ulu hati, perut Alice yang rentan dan mudah sakit, membuatnya keram kesulitan untuk bergerak.Ditambah lagi dengan suara ledakan dari tembakan yang nyaring, lebih keras dan menakutkan dari pecahan gelas terus menghantui Alice.Ketakutannya pada makanan kembali mengganggu Alice karena suara nyaring itu.Alice berusaha memejamkan matanya lagi agar bisa tidur, berharap jika besok pagi sakitnya akan berkurang karena Alice harus mencari pekerjaan lagi.Waktu Alice tinggal di rumah ini semakin sedikit, jika dia tidak bekerja dan tidak memiliki uang yang cukup, Alice tidak bisa menata kehidupan barunya. Suara pintu yang terbuka kembali terdengar, derap langkah tergesar mendekat ke arah Alice. “Apa kau sudah gila? Kenapa berbohong jika sebenarnya kau belum makan apapun?” suara menggertak Hayes terdengar hampir
Ivana berjalan tertatih-tatih menyusuri dinding, tangannya menggapai udara, disetiap langkah yang dia ambil penuh kehati-hatian, pendengarannya dipasang tajam hanya untuk memastikan jika tidak ada siapapun orang yang masuk ke dalam kamarnya.Langkah Ivana terhenti di depan sebuah laci kecil yang tersimpan di sudut ruangan kamar. Ivana mengambil sebuah telepon genggam jadulnya yang tersimpan di salah satu kolong laci, dia membawanya pergi mendekati jendela menuju balkon.Lama Ivana diam disana tanpa melakukan apapun, wanita itu kembali memastikan tidak ada siapapun yang datang, matanya bergerak pasif hanya dengan mendengar suara hembusan angin di sekitar jendela yang terbuka.Jemari Ivana bergerak di keyboyrd, menekan beberapa angka yang sangat dia ingat untuk bisa menghubungi Justin yang sejak pagi ini sangat ingin dia hubungi. Ivana harus menunggu beberapa deringan sampai Justin menerima panggilan darinya.“Aku ingin tahu, apa kau sudah memiliki jawaban atas pekerjaan yang aku tawark
Bella berdiri dengan gugup, melihat kedatangan Hayes yang sudah cukup lama dia tunggu. Bella sangat ingin berbicara dengannya, semenjak kejadian di pagi itu, dia tidak lagi menemui Hayes dan menghubunginya.Bella tahu Hayes sangat marah padanya, karena itulah Bella memilih untuk tidak muncul terlebih dahulu di hadapan Hayes.Tatapan tidak bersahabat Hayes membuat Bella ragu-ragu memanggil namanya.“Hayes,” panggil Bella dengan suara bergetar.Hayes memutar bola matanya tidak menuutupi sedikitpun ketidak sukaannya, dia datang hanya untuk mencari ketenangan dan melepas penatnya atas semua masalah yang ada di rumah. Sangat memuakan bila kembali mendapatkan masalah hanya dengan mendengar celotehan Bella.“Hayes tunggu,” panggil Bella lagi menahan pergelangan tangan Hayes dan menariknya untuk mundur.“Tidak ada yang perlu kita bicarakan Bella,” jawab Hayes seraya menepiskan tangannya.“Aku mohon Hayes,” mohon Bella penuh kegigihan, wanita itu kembali meraih tangan Hayes dan menggenggamnya
Hayes membaringkan dirinya di ranjang, membiarkan rambutnya yang basah membasahi bantal. Hayes tidak dapat tidur, usai bertemu dengan teman-temannya. Hayes sudah menghabiskan banyak waktunya untuk berlari mengelilingi lapangan golf beberapa putaran, melepas banyak pikiran yang mulai mengganggunya.Tubuhnya mulai lelah, namun pikirannya yang kacau membuatnya kesulitan untuk tidur.Hayes terbaring miring, di antara cahaya dari lampu-lampu kecil kamar, dia memandangi Alice yang tertidur lelap. Begitu tenang sampai membuat Hayes melihat ke arah perutnya hanya untuk memastikan apakah dia bernapas atau tidak.“Bagaimana jika Alice putri kandung paman Damian dan Giselle?”Pertanyaan Bella berhasil menghantui pikirn Hayes sepanjang malam. Hayes tidak dapat mengabaikan kata-katanya meski beberapa kali dia berusaha menyangkal bahwa Damian bukan ayah Alice.Takut dan gelisah menjadi satu, teringat seberapa kerasnya Damian mempertahankan dan menjaga Alice hingga mengancam akan memberikan semua w
Damian sudah duduk di kursinya, menunggu kedatangan semua orang untuk sarapan pagi bersama. Beberapa pelayan datang menghidangkan makanan di meja, mereka kembali dengan cepat menyisakan Mery yang masih berdiri.“Apa semuanya berjalan dengan lancar?”Mery mengangguk, pagi-pagi sekali dia sudah mengantar empat pelayan dari kediaman Borsman menuju tempat baru mereka bekerja. Mery mendapatkan banyak protesan, namun tidak ada yang bisa menghentikan keputusan Damian atas pemindahan mereka.“Semuanya berjalan lancar, Tuan. Nanti sore pekerja baru akan datang.”“Bagaimana dengan Ivana?”“Winona akan menggantikan Marsha hari ini karena pelayan pengganti akan datang sore hari. Saya permisi.” Mery membungkuk memberi hormat, wanita itu pergi undur diri kembali ke dapur.Damian membuang napasnya penuh kelegaan, dia berharap jika keputusannya akan membuat suasana rumah kembali tenang. Kini Damian tinggal fokus memperhatikan kondisi Ivana yang semakin tidak stabil.Tubuh Damian menegak, tersenyum me