Bella berdiri dengan gugup, melihat kedatangan Hayes yang sudah cukup lama dia tunggu. Bella sangat ingin berbicara dengannya, semenjak kejadian di pagi itu, dia tidak lagi menemui Hayes dan menghubunginya.Bella tahu Hayes sangat marah padanya, karena itulah Bella memilih untuk tidak muncul terlebih dahulu di hadapan Hayes.Tatapan tidak bersahabat Hayes membuat Bella ragu-ragu memanggil namanya.“Hayes,” panggil Bella dengan suara bergetar.Hayes memutar bola matanya tidak menuutupi sedikitpun ketidak sukaannya, dia datang hanya untuk mencari ketenangan dan melepas penatnya atas semua masalah yang ada di rumah. Sangat memuakan bila kembali mendapatkan masalah hanya dengan mendengar celotehan Bella.“Hayes tunggu,” panggil Bella lagi menahan pergelangan tangan Hayes dan menariknya untuk mundur.“Tidak ada yang perlu kita bicarakan Bella,” jawab Hayes seraya menepiskan tangannya.“Aku mohon Hayes,” mohon Bella penuh kegigihan, wanita itu kembali meraih tangan Hayes dan menggenggamnya
Hayes membaringkan dirinya di ranjang, membiarkan rambutnya yang basah membasahi bantal. Hayes tidak dapat tidur, usai bertemu dengan teman-temannya. Hayes sudah menghabiskan banyak waktunya untuk berlari mengelilingi lapangan golf beberapa putaran, melepas banyak pikiran yang mulai mengganggunya.Tubuhnya mulai lelah, namun pikirannya yang kacau membuatnya kesulitan untuk tidur.Hayes terbaring miring, di antara cahaya dari lampu-lampu kecil kamar, dia memandangi Alice yang tertidur lelap. Begitu tenang sampai membuat Hayes melihat ke arah perutnya hanya untuk memastikan apakah dia bernapas atau tidak.“Bagaimana jika Alice putri kandung paman Damian dan Giselle?”Pertanyaan Bella berhasil menghantui pikirn Hayes sepanjang malam. Hayes tidak dapat mengabaikan kata-katanya meski beberapa kali dia berusaha menyangkal bahwa Damian bukan ayah Alice.Takut dan gelisah menjadi satu, teringat seberapa kerasnya Damian mempertahankan dan menjaga Alice hingga mengancam akan memberikan semua w
Damian sudah duduk di kursinya, menunggu kedatangan semua orang untuk sarapan pagi bersama. Beberapa pelayan datang menghidangkan makanan di meja, mereka kembali dengan cepat menyisakan Mery yang masih berdiri.“Apa semuanya berjalan dengan lancar?”Mery mengangguk, pagi-pagi sekali dia sudah mengantar empat pelayan dari kediaman Borsman menuju tempat baru mereka bekerja. Mery mendapatkan banyak protesan, namun tidak ada yang bisa menghentikan keputusan Damian atas pemindahan mereka.“Semuanya berjalan lancar, Tuan. Nanti sore pekerja baru akan datang.”“Bagaimana dengan Ivana?”“Winona akan menggantikan Marsha hari ini karena pelayan pengganti akan datang sore hari. Saya permisi.” Mery membungkuk memberi hormat, wanita itu pergi undur diri kembali ke dapur.Damian membuang napasnya penuh kelegaan, dia berharap jika keputusannya akan membuat suasana rumah kembali tenang. Kini Damian tinggal fokus memperhatikan kondisi Ivana yang semakin tidak stabil.Tubuh Damian menegak, tersenyum me
Pandangan Alice mengabur, langkahnya terantuk-antuk kehilangan arah, samar-samar dia mendengar teriakan Ivana yang memaki Damian dan semua orang.Alice yang mulai kehilangan tenaganya sampai tidak menyadari jika Hayes telah memangkunya saat dirinya di bawa ke kamar.Dengan tergesa Hayes mendudukan Alice di sofa, pria itu berlari pergi ke sudut ruangan untuk mengambil obat yang tersimpan di sana.Rasa sakit kian terasa, dengan tatapan saya Alice berusaha sekeras mungkin untuk tetap mempertahankan kesadarannya, dia tidak boleh pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Dengan tangan yang gemetar Alice menyeka kembali darah yang mengucur mengenai sudut matanya hingga pipi.“Jangan sembarangan menyentuhnya!” Hayes menyingkirkan tangan Alice.Pria itu membungkuk di hadapan Alice. Sinar matahari yang masuk menerobos jendela memperjelas pandangan Hayes akan wajah Alice yang ada di hadapannya.Hayes menarik napasnya dalam-dalam, terpukau dengan sosok yang dilihatnya seperti sebuah lukisan. Bulu mata
Alice menekuk lututnya, memeluknya dengan erat dan menyembunyikan wajahnya dalam lipatan tangan. Suara napas yang tersendat-sendat tidak beraturan sangat menyakitkan dada, Alice ingin menangis, namun air mata kembali terus tertahan menyiksa Alice untuk kembali memendam rasa sakitnya di dalam hati.Alice bahagia dengan kelembutan Hayes dan kebaikan yang dia tawarkan, tetapi Alice harus terus sadar tentang dirinya siapa.Hayes bukanlah seseorang yang bisa Alice harapkan bahkan meski jika pria itu berubah sikap padanya. Semua tentang Alice dan Hayes seperti rumput liar yang mengharapkan sinar dari bintang di atas langit malam. Tempat mereka dilahirkan, status mereka, bahkan masa lalu mereka berdua, semuanya bertentangan.Sejak pertama mereka bertemu, Alice sudah berjanji kepada dirinya sendiri dan Tuhan, bahwa selama dua bulan pernikahannya dengan Hayes, Alice hanya ingin menikmati artinya hidup layaknya manusia.Alice tidak mengharapkan apapun lagi karena dia tahu, keberkahan yang dia
“Bagaimana dengan keadaan ibu saya?” tanya Hayes.Jesen tersenyum samar, guratan di bibirnya mengisyaratkan sesuatu yang tidak baik. Jesen sudah berbicara sebelumnya dengan Damian dan Damian memilih untuk menunggu keputusan dari Hayes.“Apa ada masalah?” tanya Hayes lagi menyadari sesuatu.Jesen menarik napasnya dalam-dalam dan berkata, “Dengan berat hati saya harus mengatakan jika keadaan nyonya Ivana semakin buruk. Melakukan pemulihan pada mental seseorang itu membutuhkan waktu yang sangat lama, sementara nyonya Ivana tidak menunjukan perkembangan apapun.”Hayes diam terpaku, tidak begitu terkejut dengan semua yang Jesen ucapkan. Sepanjang hidupnya, bahkan Hayes tidak bisa membedakan apakah apa yang terjadi pada Ivana karena gangguan mental, atau memang itu adalah sifat alamiahnya.Saat Ivana masih sehat, dia juga memiliki tempramen yang buruk, mudah marah dan selalu merasa yang paling benar. “Apakah ada solusi untuk ibu saya?” tanya Hayes terdengar putus asa. Berbagai cara sudah p
Sebuah topi merah menutupi meneduhi kepala kecil Alice, gadis itu tidak berhenti melihat ke segala arah, melihat keramaian orang-orang berlalu lalang di sekitarnya.Mereka berkostum unik dan banyak mengumbar senyuman bahagia hingga Alice bisa meraskan kebahagiaan yang mereka rasakan.Suara jerit tawa samar-samar terdengar, ada banyak kelompok keluarga, ada banyak anak kecil yang berlarian penuh antusias.Mata Alice berbinar sampai napasnya beberapa kali tertahan karena terpukau, jantungnya berdebar tidak dapat menutupi seberapa bahagianya dia saat ini melihat sesuatu yang menakjubkan di sekitarnya. Bangunan-bangunan yang cantik berdiri kokoh di setiap penjuru tempat, ada yang menyerupai istana yang sama persis dengan gambar di sampul buku dongeng yang pernah Alice lihat. Ada taman yang indah terawat, ada banyak bangunan raksasa yang dibuat dari besi berdiri terhalang beberapa bangunan lainnya. “Ayah, ini tempat apa?” tanya Alice dengan senyuman yang terus mengukir bibir mungilnya.
“Anda bertanya seperti ini dalam posisi apa? Seorang ayah yang ingin menegur teman menantunya, atau sebagai sebagai pria tua yang peduli pada Alice?”Damian mendengus geli, kewaspadaan di mata Theodor menghangatkan hatinya. Saat Alice mengatakan bahwa dia berteman dengan Theodor. Damian memutuskan memanggil Theodor karena dia ingin meminta tolong, agar Thedoro bisa membujuk Alice pergi ke rumah sakit, tapi ternyata ada sesuatu yang lebih menarik yang bisa Damian ketahui dari Theodor.Damian mengenal baik Theodor sejak lama, dia bukanlah seseorang yang peduli dengan urusan orang lain. Dari reaksi Theodor yang seperti peduli pada Alice, jelas menunjukan bahwa hubungannya dengan Alice lebih dari sekadar kata dekat. “Aku bertanya sebagai seorang ayah yang mengkhawatirkan putrinya.”Theodor berdeham tidak nyaman, pria itu terdiam cukup lama, memikirkan kata yang tepat untuk diucapkan. Theodor harus berhati-hati dengan ucapannya agar tidak merugikan Alice.“Aku akan sangat menghargai keju