Alice menekuk lututnya, memeluknya dengan erat dan menyembunyikan wajahnya dalam lipatan tangan. Suara napas yang tersendat-sendat tidak beraturan sangat menyakitkan dada, Alice ingin menangis, namun air mata kembali terus tertahan menyiksa Alice untuk kembali memendam rasa sakitnya di dalam hati.Alice bahagia dengan kelembutan Hayes dan kebaikan yang dia tawarkan, tetapi Alice harus terus sadar tentang dirinya siapa.Hayes bukanlah seseorang yang bisa Alice harapkan bahkan meski jika pria itu berubah sikap padanya. Semua tentang Alice dan Hayes seperti rumput liar yang mengharapkan sinar dari bintang di atas langit malam. Tempat mereka dilahirkan, status mereka, bahkan masa lalu mereka berdua, semuanya bertentangan.Sejak pertama mereka bertemu, Alice sudah berjanji kepada dirinya sendiri dan Tuhan, bahwa selama dua bulan pernikahannya dengan Hayes, Alice hanya ingin menikmati artinya hidup layaknya manusia.Alice tidak mengharapkan apapun lagi karena dia tahu, keberkahan yang dia
“Bagaimana dengan keadaan ibu saya?” tanya Hayes.Jesen tersenyum samar, guratan di bibirnya mengisyaratkan sesuatu yang tidak baik. Jesen sudah berbicara sebelumnya dengan Damian dan Damian memilih untuk menunggu keputusan dari Hayes.“Apa ada masalah?” tanya Hayes lagi menyadari sesuatu.Jesen menarik napasnya dalam-dalam dan berkata, “Dengan berat hati saya harus mengatakan jika keadaan nyonya Ivana semakin buruk. Melakukan pemulihan pada mental seseorang itu membutuhkan waktu yang sangat lama, sementara nyonya Ivana tidak menunjukan perkembangan apapun.”Hayes diam terpaku, tidak begitu terkejut dengan semua yang Jesen ucapkan. Sepanjang hidupnya, bahkan Hayes tidak bisa membedakan apakah apa yang terjadi pada Ivana karena gangguan mental, atau memang itu adalah sifat alamiahnya.Saat Ivana masih sehat, dia juga memiliki tempramen yang buruk, mudah marah dan selalu merasa yang paling benar. “Apakah ada solusi untuk ibu saya?” tanya Hayes terdengar putus asa. Berbagai cara sudah p
Sebuah topi merah menutupi meneduhi kepala kecil Alice, gadis itu tidak berhenti melihat ke segala arah, melihat keramaian orang-orang berlalu lalang di sekitarnya.Mereka berkostum unik dan banyak mengumbar senyuman bahagia hingga Alice bisa meraskan kebahagiaan yang mereka rasakan.Suara jerit tawa samar-samar terdengar, ada banyak kelompok keluarga, ada banyak anak kecil yang berlarian penuh antusias.Mata Alice berbinar sampai napasnya beberapa kali tertahan karena terpukau, jantungnya berdebar tidak dapat menutupi seberapa bahagianya dia saat ini melihat sesuatu yang menakjubkan di sekitarnya. Bangunan-bangunan yang cantik berdiri kokoh di setiap penjuru tempat, ada yang menyerupai istana yang sama persis dengan gambar di sampul buku dongeng yang pernah Alice lihat. Ada taman yang indah terawat, ada banyak bangunan raksasa yang dibuat dari besi berdiri terhalang beberapa bangunan lainnya. “Ayah, ini tempat apa?” tanya Alice dengan senyuman yang terus mengukir bibir mungilnya.
“Anda bertanya seperti ini dalam posisi apa? Seorang ayah yang ingin menegur teman menantunya, atau sebagai sebagai pria tua yang peduli pada Alice?”Damian mendengus geli, kewaspadaan di mata Theodor menghangatkan hatinya. Saat Alice mengatakan bahwa dia berteman dengan Theodor. Damian memutuskan memanggil Theodor karena dia ingin meminta tolong, agar Thedoro bisa membujuk Alice pergi ke rumah sakit, tapi ternyata ada sesuatu yang lebih menarik yang bisa Damian ketahui dari Theodor.Damian mengenal baik Theodor sejak lama, dia bukanlah seseorang yang peduli dengan urusan orang lain. Dari reaksi Theodor yang seperti peduli pada Alice, jelas menunjukan bahwa hubungannya dengan Alice lebih dari sekadar kata dekat. “Aku bertanya sebagai seorang ayah yang mengkhawatirkan putrinya.”Theodor berdeham tidak nyaman, pria itu terdiam cukup lama, memikirkan kata yang tepat untuk diucapkan. Theodor harus berhati-hati dengan ucapannya agar tidak merugikan Alice.“Aku akan sangat menghargai keju
Damian pergi memberi waktu untuk Theodor dan Alice berbicara, tampaknya kepribadian Theodor yang blak-blakan dalam berbicara sudah cukup berhasil mengambil banyak kepercayaan dari Damian.“Bisa kau angkat topimu Alice?” tanya Theodor seraya melangkah mendekat.“I-ni, ini bukan masalah besar,” jawab Alice terbata, kesulitan untuk menolak permintaan Theodor yang kini sudah berdiri begitu dekat di hadapannya.“Apa kau tidak memberiku izin untuk melihatnya?” tanya Theodor kian mendekat, mendesak Alice untuk mengangkat topi yang dia kenakan.Dengan ragu Alice melepas topi yang dia kenakan, memperlihat apa yang terjadi di keningnya.Napas Theodor tertahan di dada, sontak pria itu memaki dalam hati, amarahnya memuncak melihat seberapa parah luka yang menghiasi wajah Alice.Alice sangat rapuh, sudah terlalu banyak luka yang tertinggal di tubuhnya, kini luka itu bertambah di wajahnya.Tangan Theodor terulur, dengan penuh kehati-haian pria itu menarik helaian rambut Alice dan menyampirkannya di
Hari telah berlalu, sore sudah terlewati, Alice dan Damian akhirnya kembali pulang usai mendapatkan pengobatan yang memakan banyak waktu.Berkat bantuan Calla dan Theodor, kini Alice tidak lagi merasa pusing lagi di kepalanya, begitupun dengan pergelangan kakinya yang tidak lagi perih karena bergesekan dengan kaus kaki.Calla sempat mengatakan jika Alice membutuhkan waktu sekitar satu tahun lebih untuk menyembuhkan luka di tubuhnya, itupun harus terus berobat secara berkala.Sesungguhnya Alice sangat sedih saat mendengarnya, disisi lain Alice tidak kehilangan harapan, karena dia akan berusaha bekerja lebih keras lagi bekerja agar bisa melanjutkan perawatannya jika nanti selesai bercerai dengan Hayes. “Apa kau senang dengan hari ini?” tanya Damian menyusul keluar dari mobil. “Saya sangat tenang, hari ini sangat luar biasa, terima kasih banyak Ayah,” ucap Alice menyunggingkan senyuman manisnya.Damian ikut tersenyum, betapa melegakannya hari ini dia bisa melakukan sesuatu yang berhar
Alice bergerak mengubah untuk posisi tidurnya, matanya terus terjaga tidak dapat tidur. Pikiran Alice terus menerus dibayangi kenangan indah yang dia lewatkan bersama Damian, begitu mendebarkan dan menyenangkan.Alice menutup mulutnya menahan suara tawa senang yang tidak dapat dihentikan.Hari ini terlalu berharga sampai membuat Alice tidak rela jika malam akan segera berlalu dalam beberapa jam lagi dan berganti menjadi hari juga pagi yang baru.Sekali lagi Alice mengubah posisi tidurnya, terbaring terlentang melihat ke luar jendela yang diterangi rembulan.Sebuah senyuman terus terukir. Alice mengusap keninnya yang kini sudah tertutup. Pengobatan yang diberikan Calla menciptakan mimpi baru untuk Alice, dia ingin sembuh, dia ingin tahu bagaimana rasanya sehat karena sejak kecil Alice sudah menerima beberapa luka di tubuhnya.“Apa besok hal seperti itu bisa terulang?” bisik Alice bertanya.Alice tidak sabar menantikan esok pagi yang akan segera datang, dia ingin duduk di ayunan sambil
Hayes menopang dagunya di kepalan tangan, sepasang mata zambrudnnya tidak berhenti memandangi layar di komputer, menunggu dokter ahli gizi membalas pesannya.Masih teringat di pikirannya tentang lidah Alice yang tidak baik-baik saja.Ada banyak kesalah pahaman yang selama ini terjadi. Hayes sempat berpikir jika Alice memakan bubur hanya untuk mencari sebuah simpati, dan begitu dia tahu kebenarannya, perasaan malu menampar dirinya.Rasa bersalah mendorong Hayes untuk membantu kesembuhan Alice.Hayes mengambil kotak makanan yang dibawanya, pria itu membukanya, melihat isi kotak makanan yang memiliki menu sama seperti sebelum-sebelumnya.Biasanya Hayes akan melemparkannya ke tempat sampah tanpa keraguan karena rasanya yang mengerikan.Entah mengapa, kini dia tidak mampu lagi melakukannya, hatinya justru sakit bila memikirkan Alice berusaha membuatkan bekal untuknya dengan segala keterbatasannya.Layar di kompuer berubah, pesan yang Hayes kirimkan akhirnya mendapatkan jawaban. Dengan teli