Sebuah topi merah menutupi meneduhi kepala kecil Alice, gadis itu tidak berhenti melihat ke segala arah, melihat keramaian orang-orang berlalu lalang di sekitarnya.Mereka berkostum unik dan banyak mengumbar senyuman bahagia hingga Alice bisa meraskan kebahagiaan yang mereka rasakan.Suara jerit tawa samar-samar terdengar, ada banyak kelompok keluarga, ada banyak anak kecil yang berlarian penuh antusias.Mata Alice berbinar sampai napasnya beberapa kali tertahan karena terpukau, jantungnya berdebar tidak dapat menutupi seberapa bahagianya dia saat ini melihat sesuatu yang menakjubkan di sekitarnya. Bangunan-bangunan yang cantik berdiri kokoh di setiap penjuru tempat, ada yang menyerupai istana yang sama persis dengan gambar di sampul buku dongeng yang pernah Alice lihat. Ada taman yang indah terawat, ada banyak bangunan raksasa yang dibuat dari besi berdiri terhalang beberapa bangunan lainnya. “Ayah, ini tempat apa?” tanya Alice dengan senyuman yang terus mengukir bibir mungilnya.
“Anda bertanya seperti ini dalam posisi apa? Seorang ayah yang ingin menegur teman menantunya, atau sebagai sebagai pria tua yang peduli pada Alice?”Damian mendengus geli, kewaspadaan di mata Theodor menghangatkan hatinya. Saat Alice mengatakan bahwa dia berteman dengan Theodor. Damian memutuskan memanggil Theodor karena dia ingin meminta tolong, agar Thedoro bisa membujuk Alice pergi ke rumah sakit, tapi ternyata ada sesuatu yang lebih menarik yang bisa Damian ketahui dari Theodor.Damian mengenal baik Theodor sejak lama, dia bukanlah seseorang yang peduli dengan urusan orang lain. Dari reaksi Theodor yang seperti peduli pada Alice, jelas menunjukan bahwa hubungannya dengan Alice lebih dari sekadar kata dekat. “Aku bertanya sebagai seorang ayah yang mengkhawatirkan putrinya.”Theodor berdeham tidak nyaman, pria itu terdiam cukup lama, memikirkan kata yang tepat untuk diucapkan. Theodor harus berhati-hati dengan ucapannya agar tidak merugikan Alice.“Aku akan sangat menghargai keju
Damian pergi memberi waktu untuk Theodor dan Alice berbicara, tampaknya kepribadian Theodor yang blak-blakan dalam berbicara sudah cukup berhasil mengambil banyak kepercayaan dari Damian.“Bisa kau angkat topimu Alice?” tanya Theodor seraya melangkah mendekat.“I-ni, ini bukan masalah besar,” jawab Alice terbata, kesulitan untuk menolak permintaan Theodor yang kini sudah berdiri begitu dekat di hadapannya.“Apa kau tidak memberiku izin untuk melihatnya?” tanya Theodor kian mendekat, mendesak Alice untuk mengangkat topi yang dia kenakan.Dengan ragu Alice melepas topi yang dia kenakan, memperlihat apa yang terjadi di keningnya.Napas Theodor tertahan di dada, sontak pria itu memaki dalam hati, amarahnya memuncak melihat seberapa parah luka yang menghiasi wajah Alice.Alice sangat rapuh, sudah terlalu banyak luka yang tertinggal di tubuhnya, kini luka itu bertambah di wajahnya.Tangan Theodor terulur, dengan penuh kehati-haian pria itu menarik helaian rambut Alice dan menyampirkannya di
Hari telah berlalu, sore sudah terlewati, Alice dan Damian akhirnya kembali pulang usai mendapatkan pengobatan yang memakan banyak waktu.Berkat bantuan Calla dan Theodor, kini Alice tidak lagi merasa pusing lagi di kepalanya, begitupun dengan pergelangan kakinya yang tidak lagi perih karena bergesekan dengan kaus kaki.Calla sempat mengatakan jika Alice membutuhkan waktu sekitar satu tahun lebih untuk menyembuhkan luka di tubuhnya, itupun harus terus berobat secara berkala.Sesungguhnya Alice sangat sedih saat mendengarnya, disisi lain Alice tidak kehilangan harapan, karena dia akan berusaha bekerja lebih keras lagi bekerja agar bisa melanjutkan perawatannya jika nanti selesai bercerai dengan Hayes. “Apa kau senang dengan hari ini?” tanya Damian menyusul keluar dari mobil. “Saya sangat tenang, hari ini sangat luar biasa, terima kasih banyak Ayah,” ucap Alice menyunggingkan senyuman manisnya.Damian ikut tersenyum, betapa melegakannya hari ini dia bisa melakukan sesuatu yang berhar
Alice bergerak mengubah untuk posisi tidurnya, matanya terus terjaga tidak dapat tidur. Pikiran Alice terus menerus dibayangi kenangan indah yang dia lewatkan bersama Damian, begitu mendebarkan dan menyenangkan.Alice menutup mulutnya menahan suara tawa senang yang tidak dapat dihentikan.Hari ini terlalu berharga sampai membuat Alice tidak rela jika malam akan segera berlalu dalam beberapa jam lagi dan berganti menjadi hari juga pagi yang baru.Sekali lagi Alice mengubah posisi tidurnya, terbaring terlentang melihat ke luar jendela yang diterangi rembulan.Sebuah senyuman terus terukir. Alice mengusap keninnya yang kini sudah tertutup. Pengobatan yang diberikan Calla menciptakan mimpi baru untuk Alice, dia ingin sembuh, dia ingin tahu bagaimana rasanya sehat karena sejak kecil Alice sudah menerima beberapa luka di tubuhnya.“Apa besok hal seperti itu bisa terulang?” bisik Alice bertanya.Alice tidak sabar menantikan esok pagi yang akan segera datang, dia ingin duduk di ayunan sambil
Hayes menopang dagunya di kepalan tangan, sepasang mata zambrudnnya tidak berhenti memandangi layar di komputer, menunggu dokter ahli gizi membalas pesannya.Masih teringat di pikirannya tentang lidah Alice yang tidak baik-baik saja.Ada banyak kesalah pahaman yang selama ini terjadi. Hayes sempat berpikir jika Alice memakan bubur hanya untuk mencari sebuah simpati, dan begitu dia tahu kebenarannya, perasaan malu menampar dirinya.Rasa bersalah mendorong Hayes untuk membantu kesembuhan Alice.Hayes mengambil kotak makanan yang dibawanya, pria itu membukanya, melihat isi kotak makanan yang memiliki menu sama seperti sebelum-sebelumnya.Biasanya Hayes akan melemparkannya ke tempat sampah tanpa keraguan karena rasanya yang mengerikan.Entah mengapa, kini dia tidak mampu lagi melakukannya, hatinya justru sakit bila memikirkan Alice berusaha membuatkan bekal untuknya dengan segala keterbatasannya.Layar di kompuer berubah, pesan yang Hayes kirimkan akhirnya mendapatkan jawaban. Dengan teli
Kaki Alice menjuntai, ujung sepatunya beberapa kali mengetuk tanah, gadis itu bergerak gelisah setelah terjebak dalam keheningan hampir tiga puluh detik lamanya.Theodor berdeham memecah keheningan. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Theodor memulai percakapan.Suara tawa senang terdengar bersama senyuman lebar yang berseri. “Aku merasa lebih baik dari sebelumnya. Itu apa?” Alice menunjukan sesuatu di pangkuan Theodor.Theodor berkedip pelan, dia khawatir jika sekarang bukan moment yang pas untuk menunjukannya kepada Alice. “Aku membawa sesuatu untukmu,” jawab Theodor ragu.“Benarkah?”Theodor membuka penutup kotak di pangkuannya, memperlihatkan apa yang sebenarnya telah dia bawa.Alice memberanikan diri untuk bergeser sedikit lebih dekat, melihat apa yang ada di dalam kotak. Suasana hatinya berubah dalam seperkian detik, begitupun dengan bibir mungilnya yang langsung terkatup rapat, melihat tiga buah cup gelas berisi sesuatu yang berkilauan.“I-itu untukku?” tanya Alice terbata.“Calla bil
Ivana menghempaskan beberapa pot bunga yang ada di jangkauannya, suara pecahan terdengar. Wajah Ivana merah padam penuh amarah dan kekecewaan setelah mendengar kabar yang tidak dia harapkan dari Justin.Orang yang paling dia benci di dunia, orang yang paling ingin dia singkirkan, dia selamat tanpa kekurangan apapun, sementara yang lainnya hangus terbakar.Ivana sangat marah, sia-sia sudah usahanya menyingkirkan Giselle. Kegagalan ini hanya akan membawa bahaya kepada Ivana, wanita gila itu pasti akan segera membalasnya juga.“Bajingan!” Ivana menjatuhan diri di kursi, wanita itu duduk dengan napas yang tidak beraturan diserang ketakutan dan kekhawtiran yang mencekiknya.Tidak ada pilihan lain untuk Ivana, dia harus kembali meminta Justin melakukan percobaan kedua untuk menyingkirkan Giselle, jika perlu, wanita itu dibunuh malam ini juga.Tangan Ivana yang kotor terkepal kuat di atas meja, wanita itu mencoba mengatur napasnya agar tidak kembali histeris dan kehilangan kendali.“Aku tid