Damian sudah duduk di kursinya, menunggu kedatangan semua orang untuk sarapan pagi bersama. Beberapa pelayan datang menghidangkan makanan di meja, mereka kembali dengan cepat menyisakan Mery yang masih berdiri.“Apa semuanya berjalan dengan lancar?”Mery mengangguk, pagi-pagi sekali dia sudah mengantar empat pelayan dari kediaman Borsman menuju tempat baru mereka bekerja. Mery mendapatkan banyak protesan, namun tidak ada yang bisa menghentikan keputusan Damian atas pemindahan mereka.“Semuanya berjalan lancar, Tuan. Nanti sore pekerja baru akan datang.”“Bagaimana dengan Ivana?”“Winona akan menggantikan Marsha hari ini karena pelayan pengganti akan datang sore hari. Saya permisi.” Mery membungkuk memberi hormat, wanita itu pergi undur diri kembali ke dapur.Damian membuang napasnya penuh kelegaan, dia berharap jika keputusannya akan membuat suasana rumah kembali tenang. Kini Damian tinggal fokus memperhatikan kondisi Ivana yang semakin tidak stabil.Tubuh Damian menegak, tersenyum me
Pandangan Alice mengabur, langkahnya terantuk-antuk kehilangan arah, samar-samar dia mendengar teriakan Ivana yang memaki Damian dan semua orang.Alice yang mulai kehilangan tenaganya sampai tidak menyadari jika Hayes telah memangkunya saat dirinya di bawa ke kamar.Dengan tergesa Hayes mendudukan Alice di sofa, pria itu berlari pergi ke sudut ruangan untuk mengambil obat yang tersimpan di sana.Rasa sakit kian terasa, dengan tatapan saya Alice berusaha sekeras mungkin untuk tetap mempertahankan kesadarannya, dia tidak boleh pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Dengan tangan yang gemetar Alice menyeka kembali darah yang mengucur mengenai sudut matanya hingga pipi.“Jangan sembarangan menyentuhnya!” Hayes menyingkirkan tangan Alice.Pria itu membungkuk di hadapan Alice. Sinar matahari yang masuk menerobos jendela memperjelas pandangan Hayes akan wajah Alice yang ada di hadapannya.Hayes menarik napasnya dalam-dalam, terpukau dengan sosok yang dilihatnya seperti sebuah lukisan. Bulu mata
Alice menekuk lututnya, memeluknya dengan erat dan menyembunyikan wajahnya dalam lipatan tangan. Suara napas yang tersendat-sendat tidak beraturan sangat menyakitkan dada, Alice ingin menangis, namun air mata kembali terus tertahan menyiksa Alice untuk kembali memendam rasa sakitnya di dalam hati.Alice bahagia dengan kelembutan Hayes dan kebaikan yang dia tawarkan, tetapi Alice harus terus sadar tentang dirinya siapa.Hayes bukanlah seseorang yang bisa Alice harapkan bahkan meski jika pria itu berubah sikap padanya. Semua tentang Alice dan Hayes seperti rumput liar yang mengharapkan sinar dari bintang di atas langit malam. Tempat mereka dilahirkan, status mereka, bahkan masa lalu mereka berdua, semuanya bertentangan.Sejak pertama mereka bertemu, Alice sudah berjanji kepada dirinya sendiri dan Tuhan, bahwa selama dua bulan pernikahannya dengan Hayes, Alice hanya ingin menikmati artinya hidup layaknya manusia.Alice tidak mengharapkan apapun lagi karena dia tahu, keberkahan yang dia
“Bagaimana dengan keadaan ibu saya?” tanya Hayes.Jesen tersenyum samar, guratan di bibirnya mengisyaratkan sesuatu yang tidak baik. Jesen sudah berbicara sebelumnya dengan Damian dan Damian memilih untuk menunggu keputusan dari Hayes.“Apa ada masalah?” tanya Hayes lagi menyadari sesuatu.Jesen menarik napasnya dalam-dalam dan berkata, “Dengan berat hati saya harus mengatakan jika keadaan nyonya Ivana semakin buruk. Melakukan pemulihan pada mental seseorang itu membutuhkan waktu yang sangat lama, sementara nyonya Ivana tidak menunjukan perkembangan apapun.”Hayes diam terpaku, tidak begitu terkejut dengan semua yang Jesen ucapkan. Sepanjang hidupnya, bahkan Hayes tidak bisa membedakan apakah apa yang terjadi pada Ivana karena gangguan mental, atau memang itu adalah sifat alamiahnya.Saat Ivana masih sehat, dia juga memiliki tempramen yang buruk, mudah marah dan selalu merasa yang paling benar. “Apakah ada solusi untuk ibu saya?” tanya Hayes terdengar putus asa. Berbagai cara sudah p
Sebuah topi merah menutupi meneduhi kepala kecil Alice, gadis itu tidak berhenti melihat ke segala arah, melihat keramaian orang-orang berlalu lalang di sekitarnya.Mereka berkostum unik dan banyak mengumbar senyuman bahagia hingga Alice bisa meraskan kebahagiaan yang mereka rasakan.Suara jerit tawa samar-samar terdengar, ada banyak kelompok keluarga, ada banyak anak kecil yang berlarian penuh antusias.Mata Alice berbinar sampai napasnya beberapa kali tertahan karena terpukau, jantungnya berdebar tidak dapat menutupi seberapa bahagianya dia saat ini melihat sesuatu yang menakjubkan di sekitarnya. Bangunan-bangunan yang cantik berdiri kokoh di setiap penjuru tempat, ada yang menyerupai istana yang sama persis dengan gambar di sampul buku dongeng yang pernah Alice lihat. Ada taman yang indah terawat, ada banyak bangunan raksasa yang dibuat dari besi berdiri terhalang beberapa bangunan lainnya. “Ayah, ini tempat apa?” tanya Alice dengan senyuman yang terus mengukir bibir mungilnya.
“Anda bertanya seperti ini dalam posisi apa? Seorang ayah yang ingin menegur teman menantunya, atau sebagai sebagai pria tua yang peduli pada Alice?”Damian mendengus geli, kewaspadaan di mata Theodor menghangatkan hatinya. Saat Alice mengatakan bahwa dia berteman dengan Theodor. Damian memutuskan memanggil Theodor karena dia ingin meminta tolong, agar Thedoro bisa membujuk Alice pergi ke rumah sakit, tapi ternyata ada sesuatu yang lebih menarik yang bisa Damian ketahui dari Theodor.Damian mengenal baik Theodor sejak lama, dia bukanlah seseorang yang peduli dengan urusan orang lain. Dari reaksi Theodor yang seperti peduli pada Alice, jelas menunjukan bahwa hubungannya dengan Alice lebih dari sekadar kata dekat. “Aku bertanya sebagai seorang ayah yang mengkhawatirkan putrinya.”Theodor berdeham tidak nyaman, pria itu terdiam cukup lama, memikirkan kata yang tepat untuk diucapkan. Theodor harus berhati-hati dengan ucapannya agar tidak merugikan Alice.“Aku akan sangat menghargai keju
Damian pergi memberi waktu untuk Theodor dan Alice berbicara, tampaknya kepribadian Theodor yang blak-blakan dalam berbicara sudah cukup berhasil mengambil banyak kepercayaan dari Damian.“Bisa kau angkat topimu Alice?” tanya Theodor seraya melangkah mendekat.“I-ni, ini bukan masalah besar,” jawab Alice terbata, kesulitan untuk menolak permintaan Theodor yang kini sudah berdiri begitu dekat di hadapannya.“Apa kau tidak memberiku izin untuk melihatnya?” tanya Theodor kian mendekat, mendesak Alice untuk mengangkat topi yang dia kenakan.Dengan ragu Alice melepas topi yang dia kenakan, memperlihat apa yang terjadi di keningnya.Napas Theodor tertahan di dada, sontak pria itu memaki dalam hati, amarahnya memuncak melihat seberapa parah luka yang menghiasi wajah Alice.Alice sangat rapuh, sudah terlalu banyak luka yang tertinggal di tubuhnya, kini luka itu bertambah di wajahnya.Tangan Theodor terulur, dengan penuh kehati-haian pria itu menarik helaian rambut Alice dan menyampirkannya di
Hari telah berlalu, sore sudah terlewati, Alice dan Damian akhirnya kembali pulang usai mendapatkan pengobatan yang memakan banyak waktu.Berkat bantuan Calla dan Theodor, kini Alice tidak lagi merasa pusing lagi di kepalanya, begitupun dengan pergelangan kakinya yang tidak lagi perih karena bergesekan dengan kaus kaki.Calla sempat mengatakan jika Alice membutuhkan waktu sekitar satu tahun lebih untuk menyembuhkan luka di tubuhnya, itupun harus terus berobat secara berkala.Sesungguhnya Alice sangat sedih saat mendengarnya, disisi lain Alice tidak kehilangan harapan, karena dia akan berusaha bekerja lebih keras lagi bekerja agar bisa melanjutkan perawatannya jika nanti selesai bercerai dengan Hayes. “Apa kau senang dengan hari ini?” tanya Damian menyusul keluar dari mobil. “Saya sangat tenang, hari ini sangat luar biasa, terima kasih banyak Ayah,” ucap Alice menyunggingkan senyuman manisnya.Damian ikut tersenyum, betapa melegakannya hari ini dia bisa melakukan sesuatu yang berhar