Berselang beberapa saat, Ernest pun menyelesaikan makannya tanpa berbicara sepatah katapun, membuat Anne tersenyum bahagia karena berhasil menjinakkan sang Majikan. "Sekarang, apa aku boleh aku pergi?! Bukankah aku sudah menyelesaikan apa yang kamu inginkan, Ann?" tukas Ernest, sebal. "Tentu, silakan, Tuan Ernest," sahut Anne, sembari tersenyum lebar. Ernest yang melihat hal itu, mendengus keras, enggan membalas karena merasa semua itu percuma."C'mon, Anton. Sudah saatnya kita bekerja," ajaknya pada Anton. Yang langsung dibalas oleh Asistennya itu dengan anggukan pelan. Begitu pula dengan James. Meski awalnya kedatangannya adalah untuk menjemput Paul, namun James merasa ia berkewajiban untuk membantu Ernest terlebih dahulu. Selain itu, ia juga merasa geram pada Isabelle yang entah bagaimana bisa kembali lagi ke mansion putra bungsu Majikannya ini. . . . 15 menit kemudian, di dalam ruangan kerja Ernest. Sang empunya ruangan tengah duduk di kursi kerjanya, sementara Anton dan Jam
Namun, belum sempat sosok itu membuka pintu, Ernest telah lebih dulu membukanya. Membuat sosok itu harus menepi ke balik pintu, bersembunyi agar tidak ketahuan. Sosok itu berusaha menahan napas saat melihat Ernest menghentikan langkahnya memasang gesture waspada. Mengamati seisi kamar dengan netranya, setelahnya pria tampan bertubuh seksi itu pun menggedikkan bahunya. Lalu berjalan ke arah walk in closed, membiarkan pintunya tetap terbuka lebar.Tanpa sosok itu ketahui, keberadaannya sebenarnya telah diketahui oleh Ernest yang sengaja tidak mengunci pintu kamarnya. Ia bahkan tersenyum tipis saat menyadari sekelebat bayangan lewat di balik punggungnya.Ia, membiarkannya begitu saja dan justru menanggalkan handuk hingga tubuh bagian belakangnya terlihat. Kemudian mengambil satu persatu pakaian yang akan ia kenakan dan mengenakannya dengan santai. Membuat sosok yang melihatnya diam-diam meneguk salivanya, dan tanpa sadar menyentuh sebuah pajangan di rak sudut.Pajangan itu pun jatuh meng
2 jam kemudian, di mansion Tuan Gail tua. Brukk!! Ernest mendorong Isabelle ke dalam ruang kerja Ayahnya, tepat di hadapan Ayahnya yang telah ia hubungi 1 jam sebelumnya. Saat ini, bukan hanya Ayahnya saja yang berada di dalam ruangan ini, tapi juga ada James dan Paul. "Ckk!! Untuk apa membawa wanita ini ke hadapan Ayah, Ern?!" protes Tuan Gail tua, menatap kesal pada putra bungsunya dengan satu alis terangkat naik. "Untuk apa?!" Ernest mengernyitkan keningnya, "Apa Ayah tidak ingin menghukumnya?! Ayah perlu tahu, wanita ini sudah berani mengancam menantu pilihan Ayah. Dan jangan lupa, cucu Ayah juga sedang bersama Rosi saat ini!" "Hmmm..." Tuan Gail tua menurunkan pandangannya, menatap Isabelle yang sedang terduduk meringis di lantai ruang kerjanya. "James, mana rekamannya!" lontarnya pada sang Asisten yang tengah berdiri di samping kanannya. James merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah alat perekam mungil dari sana. 1 jam yang lalu, setelah putra bungsu Majikannya mengh
Keesokan harinya, pagi-pagi buta, Ernest memerintahkan pada Anne agar membantunya berkemas. Menyiapkan segala yang ia butuhkan selama kepergiannya nanti ke Zurich.Tidak hanya Anne yang sibuk, Anton dan Ben bahkan telah dipanggil oleh Ernest ke mansionnya. Karena ia membutuhkan bantuan Ben untuk pergi bersamanya, dan ia ingin agar Anton mengambil alih tugas Ben dalam mengurus Gail Mart selama ia pergi bersama Ben."Semuanya sudah siap, Tuan Ernest." tukas Anne dari balik punggungnya.Ernest yang tengah berbicara pada Ben dan Anton di balkon kamar, segera menoleh ke belakang."Ok," sahutnya, singkat. Kemudian berpaling kembali pada Anton. "Tugasmu sebagai Asistenku telah selesai," ujarnya sambil menepuk pundak Anton. "Dan sekarang, tugasmu adalah mengurus tugas Keponakanku hingga Edward kembali."Anton menganggukkan kepalanya, "Aku mengerti, Tuan Ernest." Sahutnya.Usai berbicara pada Anton, Ernest berpaling pada Ben. "Kau sudah mempersiapkan semua yang perlu kau bawa?" tanyanya.Ben m
Setelah satu jam perjalanan yang melelahkan otaknya. Akhirnya Ernest tiba di Zurich bersama Ben. Waktu masih menunjukkan pukul 9 pagi ketika ia melirik arloji mewah yang melingkar di pergelangan tangannya, namun ia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan Rosalia.Keluar dari bandara, ia disambut oleh Elio, suami Martha. Sepasang suami istri yang menjaga rumah peristirahatan milik Ayahnya. Sepertinya Ayahnya telah memberitahukan tentang kedatangannya pada pria berusia 40 tahun itu. "Bagaimana kabar Martha?" tanyanya berbasa-basi, setelah ia menempatkan bokongnya di kursi penumpang sedan yang menjemput dirinya juga Ben."Baik, Tuan Ernest." Jawab Elio dari belakang setir, ia lalu tersenyum pada putra Majikannya itu melalui kaca spion mobil."Dan... Dia?" lontar Ernest lagi, tak sabar ingin mengetahui keadaan Rosalia. "Apakah yang Tuan maksud adalah Nyonya Rosi?" Elio balik bertanya."Tentu saja," dengus Ernest. Namun setelahnya, ia langsung menghela nafas. Baru menyadari bahwa i
"Tuan ingin pergi?" seorang pria paruh baya menyapa Ernest ketika ia bergegas pergi menuju lift bersama Ben. Mendengar sapaan itu, Ernest langsung membalikkan tubuhnya. Melemparkan pandangannya pada pria yang hanya tua beberapa tahun saja dari Saudara lelakinya. Kebetulan ia sangat mengenal pria itu. "Luis?" ia pun mengulurkan tangannya pada pria yang telah menyapanya tadi yang segera disambut oleh Luis Gracewell. Luis tidak terlalu banyak berubah sejak terakhir kali ia bertemu dengan pria ini. "Ingin ke ruanganku dulu, Tuan Ernest?" ajak Luis, sambil tersenyum ramah. Ernest diam sebentar, melirik pada pintu ruangan yang tadinya ingin ia masuki tapi ia urungkan. "Hmmm... Hanya sebentar, kebetulan ada sesuatu yang ingin ku bicarakan padamu." Tukasnya seiring ia mengalihkan pandangannya ke arah Luis. "Tentu, Tuan. Mari!" Luis melepaskan jabatan tangan Ernest dan segera mengajak putra Bos besarnya itu menuju ke ruangan pribadinya. Para karyawan wanita saling berbisik dan tersenyum m
Melihat keberadaan Rosalia, Ernest pun perlahan-lahan melangkahkan kakinya untuk memasuki ruang peristirahatan. Sangat pelan, agar suara langkah kakinya tidak membangunkan Rosalia yang sedang beristirahat di ruangan ini. Setibanya di samping sofa yang tengah istrinya tempati, ia lalu membungkukkan tubuhnya. Menatap wajah Rosalia yang masih tampak sedikit pucat, dari jarak dekat. "Baby, maafkan aku, Sayang." Desisnya lirih, mengangkat satu tangannya untuk menyingkirkan anak rambut yang jatuh menutupi wajah sang istri. Dan menyelipkan anak rambut itu ke belakang telinga Rosalia. Memperhatikan Rosalia dalam jarak sedekat ini, ingin rasanya Ernest mengusap wajah istri kecilnya itu dengan jemarinya. Namun ia terlalu takut untuk melakukannya, ia— Tidak ingin mengganggu istirahat Rosalia yang tampak sangat kelelahan. "Oh, Sayang." Panggilnya kelu, tanpa berani membangunkan Rosalia. Tidak ingin istrinya itu hingga terbangun dan menyadari keberadaannya. Tidak, ia tidak bisa melakukannya! S
Sambil mengikuti Ernest ke Parkiran Perusahaan cabang Zurich, Ben terus memperhatikan wajah Bosnya itu yang tampak menggelap. Hal itu terjadi sejak Ernest menerima telpon dari Oliver. Bahkan ketika Bosnya itu masuk kembali ke dalam sedan yang terus menunggunya di Parkiran, Ernest tetap bungkam. Hingga setelah sedan meninggalkan Parkiran Perusahaan cabang, Bosnya itu baru meminta Ben untuk menghubungi Edward. "Katakan pada Edward, bahwa dia harus menjaga Rosi dengan baik. Ikuti ke mana pun Rosi pergi, dan jangan sampai dia kehilangan istriku itu!" titah Ernest. Tidak hanya itu, Ernest juga memerintahkan pada Ben untuk mengumpulkan para Bodyguard Ayahnya yang bekerja di Perusahaan cabang. Hal ini membuat Ben tanpa sadar reflek bertanya. "Apa yang terjadi, Tuan?" lontarnya dengan wajah penasaran. Alih-alih menjawab, Ernest justru berkata. "Lakukan saja semua yang telah kukatakan tadi, nanti akan ku jelaskan padamu setelah kita berada di Hotel." Ujar Ernest, sambil menatap Ben dengan
Ini sudah dua hari sejak terakhir Ernest datang menemui Rosalia di rumah peristirahatan milik Ayah mertuanya. Dan selama dua hari ini, suaminya itu sudah tidak pernah lagi mengganggu dirinya. Tidak menemuinya sama sekali. Membuat Rosalia menjadi bingung dan juga berpikir, apakah Ernest benar-benar telah menyerah padanya. "Ed, aku ingin kembali bekerja!" cetusnya di meja makan, saat ia sarapan pagi bersama Edward. Namun Edward hanya menatapnya dengan wajah seolah kurang yakin kalau ia sudah siap untuk bekerja. "Bagaimana tubuhmu, Rosi? Kau yakin ingin melakukan hal ini?"Rosalia mengangguk tegas, keseriusannya itu juga ia tunjukkan lewat tatapan matanya yang tertuju pada Edward. "Aku bosan, Ed," ungkapnya, mencoba menjelaskan alasan tentang mengapa ia memutuskan untuk pergi bekerja. Sesaat, ia sempat menangkap raut wajah Edward tiba-tiba tampak aneh. Seolah ada sesuatu yang sedang disembunyikan Edward darinya. Tapi apa? "Baik, tapi sebaiknya aku menghubungi Luis terlebih dahulu, b
Di dalam kamarnya, duduk bersandar di atas ranjang, Rosalia terus menunggu seandainya Ernest naik ke lantai dua rumah peristirahatan. Lalu menggedor pintu kamarnya sambil berteriak marah memanggil namanya. Tapi hal itu tidak terjadi sama sekali, terlalu hening, terlalu sepi, membuat ia ingin menangis. Tak lama, suara sedan terdengar di pekarangan rumah. Suara itu seolah bergerak menjauh, pergi menjauhi rumah peristirahatan. "Dia menyerah? Haha ... ternyata hanya begitu." Rosalia tertawa lirih, dan di penghujung tawanya, ia justru terisak pelan. Menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, meringkuk, dan terus terisak di sana hingga ia tertidur. 1 jam kemudian, gagang pintu kamar Rosalia tiba-tiba bergerak turun. Berselang beberapa detik, pintu itu yang ternyata tidak terkunci bahkan didorong perlahan dari luar oleh sesosok tubuh tinggi besar. Sesaat, pria ini melemparkan pandangannya ke arah ranjang. Menatap cukup lama pada Rosalia yang telah tampak pulas, baru kemudian melangkah perlah
Malam hari, usai makan malam. Rosalia terus mengunci dirinya di dalam kamar, duduk termangu di atas ranjang sambil menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya yang sengaja ia tekuk. Hari ini ia jengkel sekali, sangat jengkel atas semua yang telah Ernest lakukan padanya. Dan ... bagaimana bisa suaminya itu merayunya, menggodanya, menyentuhnya dengan tangan yang pernah menyentuh Barbara sebelumnya, tanpa merasa bersalah pada dirinya? Ernest anggap apa dirinya? 'Itu karena kau juga sengaja membiarkannya melakukan hal itu padamu, Rosi! Kau ... selalu takluk ketika Ernest menyentuhmu. Kau selalu menyerah di bawah kecupannya. Pria itu menyadarinya, Rosalia Heart! Dia mengetahui kelemahanmu!'Rosalia memiringkan kepalanya, mencoba mengacuhkan semua jeritan yang diteriakkan hatinya padanya. Meski ia tahu kalau semua itu memang benar adanya. Yah, ia memang selemah itu di hadapan Ernest. Itu benar, dan ia tidak menampiknya. Ia juga sadar kalau ia tidak bisa melihat sekelilingnya karena h
Perlahan-lahan, Edward membalikkan tubuhnya. Dan ia sontak membeku saat telah berhadapan sempurna dengan Pamannya. Sebab wajah Ernest kini tampak sangat menakutkan. Beberapa saat yang lalu, Ernest hampir berhasil melepaskan satu-satunya kain yang masih melekat di tubuh Rosalia, namun konsentrasinya tiba-tiba terganggu oleh suara bel. Selama beberapa saat ia mencoba untuk mengacuhkannya, tapi naasnya ... suara bel kedua justru membuat Rosalia seketika membuka matanya. Istrinya itu menatap lekat ke arahnya, ia bahkan melihat ada kebencian di wajah Rosalia saat itu. Dan lebih sialnya lagi, suara bel kembali terdengar. Semakin sering, hingga Rosalia yang semula telah terpengaruh oleh sentuhannya, langsung mendorong tubuhnya. Istrinya itu bahkan segera memunguti semua pakaiannya dan bergegas berlari ke kamar mandi. Keributan itu tentu saja membuat Ernest meradang. Karena gara-gara suara bel, gairahnya yang semula telah berada di puncak, akhirnya langsung terjun bebas akibat penolakan Ros
Pukul 11 siang, Edward, Ben, dan juga Elio tampak memasuki lobby hotel. Ketika ketiganya telah memasuki lift, Edward yang sudah menahan kesabarannya sejak turun dari mobil, langsung membuka mulutnya. "Ini terlalu siang!" protesnya pada Ben, "Kau dengar? Rosi pasti sangat kelaparan sekarang," sungutnya. Ben tidak menanggapi celotehan Edward itu, melainkan melirik arloji mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. "Sekarang sudah pukul 11? Seharusnya saat ini Tuan sudah terbangun, 'kan? Dan juga sudah berbicara pada Nyonya, 'kan? Apa mereka baik-baik saja?" gumamnya pelan, ada keresahan di dalam nada suara Ben. Begitu pula kala ia melihat lampu lift yang menunjukkan pergantian lantai semakin mendekati lantai tempat di mana kamar Ernest berada. Tepat di saat lift tiba dan pintu lift telah terbuka, dengan wajah ragu ia keluar dari lift. Edward masih berkicau bak burung merpati yang belum diberi makan, namun Ben sengaja menulikan telinganya. Ia bahkan tidak mengerti sejak kapan Edwar
'Jangan!' erang hati Ernest, saat Rosalia tiba-tiba membuka piyama yang ia kenakan. Lalu mengusap tubuhnya yang memanas dengan menggunakan ... apapun itu, kini benda sialan itu sedang menari-nari di atas kulit tubuhnya. Membuat ia sontak menahan nafas ketika benda itu perlahan bergerak turun dan menyusuri perutnya. Menuju ke area ... "Bagaimana ini? Tubuh Ernest semakin panas, apa yang harus kulakukan sekarang? Dan di mana mereka?"Fiuh, Ernest menghela nafas lega. Karena bertepatan ia membuka matanya— di saat yang sama Rosalia tiba-tiba melemparkan pandangannya ke arah pintu kamar. Namun tangan istrinya itu masih mengusap perutnya, bahkan handuk yang Rosalia genggam di tangannya hampir menyentuh ... Ernest melirik benda lembut berwarna putih itu sambil kembali menahan nafas. Sebab, jika benda sialan itu sampai menyentuh miliknya, Rosalia pasti akan segera tahu kalau ia telah terjaga. 'Jangan ke sana! Ukh ....' Ia sontak merapatkan bibirnya kala jari kelingking Rosalia tiba-tiba me
"Sudah 30 menit berlalu, di mana mereka?" Rosalia beranjak dari tepian ranjang, berdiri tegak, lalu melemparkan pandangannya pada pintu kamar. Tanpa menyadari bahwa seseorang telah terjaga dan kini sedang menatap dirinya dengan wajah tak percaya. Pria tampan itu bahkan mengerjapkan matanya, seolah ia sedang bermimpi saat ini. 'Baby? Apa yang terjadi? Mengapa dia ... Dia ada di dalam kamarku?' monolog Ernest dalam hati, tanpa melepaskan pandangannya dari tubuh ramping Rosalia yang sedang membelakangi dirinya. Well, ia sebenarnya sudah bangun sejak merasakan ranjang yang ia tiduri berderit pelan. Saat itu ia menemukan Rosalia tengah mencoba untuk beranjak dari pinggir ranjang. Namun istrinya itu tampak tidak menyadari kalau ia sudah terjaga. Dan sekarang, ia justru sedang berpikir keras tentang apa yang telah terjadi semalam? Mengapa ia sampai tidak tahu kalau Rosalia telah datang ke kamar hotelnya? Dan juga ... dari mana istrinya ini tahu di mana ia menginap? Apakah itu Elio yang tel
Setelah hampir dua jam menunggu Dokter yang Ben katakan akan segera datang, dan sambil mengusap wajah Ernest dengan handuk hangat, Rosalia yang tak sabar akhirnya kembali membuka mulutnya."Di mana Dokternya? Apa kau benar-benar telah menghubunginya, Ben?" sungutnya, seiring ia berpaling pada Asisten suaminya yang justru tidak berani menatap matanya. Aneh, sangat aneh.Keanehan itu juga dirasakan oleh Edward dan Elio. Hanya saja, Elio tidak berani berbicara pada Ben. Selain itu, posisinya hanyalah penjaga rumah. Apa haknya untuk mempertanyakan apa yang telah Ben perbuat, sedangkan pria itu memiliki status yang lebih tinggi darinya?Berbeda dengan Elio, Edward justru segera menarik lengan Ben. Membawa pria itu menjauh dari Rosalia yang terus mengikuti Ben dengan tatapan matanya.Di dekat sofa, Edward langsung melepaskan lengan Ben. Ia bahkan memukul lengan itu seraya berbisik, "Hei, kau ... apa benar kau sudah memanggil Dokter?" gerutunya.Namun Ben, entah apa yang terjadi? Tiba-tiba p
"Apa yang terjadi, Ben?" dengan langkah lebar Rosalia menghampiri Ben yang menyambutnya di lobby hotel. Di belakangnya, Edward dan Elio bergegas mengejar dirinya. "Kita bertemu lagi, Nyonya," sapa Ben seraya menundukkan kepalanya. Usai melakukan hal itu, ia lalu melemparkan pandangannya pada Edward dan Elio. Kemudian mengangguk pada kedua pria itu dan berpaling kembali pada Rosalia. "Maaf, Nyonya. Seharusnya aku tidak menakuti Nyonya seperti ini," cetusnya. "Dan Tuan, mungkin Tuan juga akan marah padaku nanti jika Tuan bangun dan mengetahui apa yang telah kulakukan pada Nyonya. Tapi masalahnya ...." Ben diam sejenak, menurunkan pandangannya juga memasang wajah cemas. Ekspresi Ben itu tentu saja membuat Rosalia menjadi semakin takut. Sementara Edward dan Elio, justru saling bertukar pandang, bertanya-tanya dalam hati apakah telah terjadi sesuatu yang buruk terhadap Ernest? "Ben?!" desak Rosalia, dengan suara sedikit meninggi. Namun setelahnya, ia justru menghela nafas kala menemukan