Keesokan harinya, pagi-pagi buta, Ernest memerintahkan pada Anne agar membantunya berkemas. Menyiapkan segala yang ia butuhkan selama kepergiannya nanti ke Zurich.Tidak hanya Anne yang sibuk, Anton dan Ben bahkan telah dipanggil oleh Ernest ke mansionnya. Karena ia membutuhkan bantuan Ben untuk pergi bersamanya, dan ia ingin agar Anton mengambil alih tugas Ben dalam mengurus Gail Mart selama ia pergi bersama Ben."Semuanya sudah siap, Tuan Ernest." tukas Anne dari balik punggungnya.Ernest yang tengah berbicara pada Ben dan Anton di balkon kamar, segera menoleh ke belakang."Ok," sahutnya, singkat. Kemudian berpaling kembali pada Anton. "Tugasmu sebagai Asistenku telah selesai," ujarnya sambil menepuk pundak Anton. "Dan sekarang, tugasmu adalah mengurus tugas Keponakanku hingga Edward kembali."Anton menganggukkan kepalanya, "Aku mengerti, Tuan Ernest." Sahutnya.Usai berbicara pada Anton, Ernest berpaling pada Ben. "Kau sudah mempersiapkan semua yang perlu kau bawa?" tanyanya.Ben m
Setelah satu jam perjalanan yang melelahkan otaknya. Akhirnya Ernest tiba di Zurich bersama Ben. Waktu masih menunjukkan pukul 9 pagi ketika ia melirik arloji mewah yang melingkar di pergelangan tangannya, namun ia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan Rosalia.Keluar dari bandara, ia disambut oleh Elio, suami Martha. Sepasang suami istri yang menjaga rumah peristirahatan milik Ayahnya. Sepertinya Ayahnya telah memberitahukan tentang kedatangannya pada pria berusia 40 tahun itu. "Bagaimana kabar Martha?" tanyanya berbasa-basi, setelah ia menempatkan bokongnya di kursi penumpang sedan yang menjemput dirinya juga Ben."Baik, Tuan Ernest." Jawab Elio dari belakang setir, ia lalu tersenyum pada putra Majikannya itu melalui kaca spion mobil."Dan... Dia?" lontar Ernest lagi, tak sabar ingin mengetahui keadaan Rosalia. "Apakah yang Tuan maksud adalah Nyonya Rosi?" Elio balik bertanya."Tentu saja," dengus Ernest. Namun setelahnya, ia langsung menghela nafas. Baru menyadari bahwa i
"Tuan ingin pergi?" seorang pria paruh baya menyapa Ernest ketika ia bergegas pergi menuju lift bersama Ben. Mendengar sapaan itu, Ernest langsung membalikkan tubuhnya. Melemparkan pandangannya pada pria yang hanya tua beberapa tahun saja dari Saudara lelakinya. Kebetulan ia sangat mengenal pria itu. "Luis?" ia pun mengulurkan tangannya pada pria yang telah menyapanya tadi yang segera disambut oleh Luis Gracewell. Luis tidak terlalu banyak berubah sejak terakhir kali ia bertemu dengan pria ini. "Ingin ke ruanganku dulu, Tuan Ernest?" ajak Luis, sambil tersenyum ramah. Ernest diam sebentar, melirik pada pintu ruangan yang tadinya ingin ia masuki tapi ia urungkan. "Hmmm... Hanya sebentar, kebetulan ada sesuatu yang ingin ku bicarakan padamu." Tukasnya seiring ia mengalihkan pandangannya ke arah Luis. "Tentu, Tuan. Mari!" Luis melepaskan jabatan tangan Ernest dan segera mengajak putra Bos besarnya itu menuju ke ruangan pribadinya. Para karyawan wanita saling berbisik dan tersenyum m
Melihat keberadaan Rosalia, Ernest pun perlahan-lahan melangkahkan kakinya untuk memasuki ruang peristirahatan. Sangat pelan, agar suara langkah kakinya tidak membangunkan Rosalia yang sedang beristirahat di ruangan ini. Setibanya di samping sofa yang tengah istrinya tempati, ia lalu membungkukkan tubuhnya. Menatap wajah Rosalia yang masih tampak sedikit pucat, dari jarak dekat. "Baby, maafkan aku, Sayang." Desisnya lirih, mengangkat satu tangannya untuk menyingkirkan anak rambut yang jatuh menutupi wajah sang istri. Dan menyelipkan anak rambut itu ke belakang telinga Rosalia. Memperhatikan Rosalia dalam jarak sedekat ini, ingin rasanya Ernest mengusap wajah istri kecilnya itu dengan jemarinya. Namun ia terlalu takut untuk melakukannya, ia— Tidak ingin mengganggu istirahat Rosalia yang tampak sangat kelelahan. "Oh, Sayang." Panggilnya kelu, tanpa berani membangunkan Rosalia. Tidak ingin istrinya itu hingga terbangun dan menyadari keberadaannya. Tidak, ia tidak bisa melakukannya! S
Sambil mengikuti Ernest ke Parkiran Perusahaan cabang Zurich, Ben terus memperhatikan wajah Bosnya itu yang tampak menggelap. Hal itu terjadi sejak Ernest menerima telpon dari Oliver. Bahkan ketika Bosnya itu masuk kembali ke dalam sedan yang terus menunggunya di Parkiran, Ernest tetap bungkam. Hingga setelah sedan meninggalkan Parkiran Perusahaan cabang, Bosnya itu baru meminta Ben untuk menghubungi Edward. "Katakan pada Edward, bahwa dia harus menjaga Rosi dengan baik. Ikuti ke mana pun Rosi pergi, dan jangan sampai dia kehilangan istriku itu!" titah Ernest. Tidak hanya itu, Ernest juga memerintahkan pada Ben untuk mengumpulkan para Bodyguard Ayahnya yang bekerja di Perusahaan cabang. Hal ini membuat Ben tanpa sadar reflek bertanya. "Apa yang terjadi, Tuan?" lontarnya dengan wajah penasaran. Alih-alih menjawab, Ernest justru berkata. "Lakukan saja semua yang telah kukatakan tadi, nanti akan ku jelaskan padamu setelah kita berada di Hotel." Ujar Ernest, sambil menatap Ben dengan
Dada Ernest berdetak semakin cepat kala ia menyapu tanda terima panggilan, lalu menempatkan ponselnya ke samping telinga kanannya. Melihat tingkah sang Bos yang tampak gelisah, Ben pun mengernyitkan keningnya. Hingga Ernest menyapa seseorang yang telah menghubunginya itu. Di saat itu, ia baru mengerti mengapa sebelumnya sang Bos menatap tegang layar ponselnya. "Baby?"Selama beberapa saat hanya hening dan hembusan nafas pelan yang menyapa indera pendengaran Ernest. Namun setelah berlalu beberapa menit, si penelpon akhirnya berbicara padanya. "Aku memimpikanmu berada di sini."Ernest hanya diam, berharap suara di seberang sana mau lebih banyak berbicara padanya. Oh, Tuhan. Betapa ia merindukan suara itu. Ia rindu suara itu merintih memanggil namanya di saat ia menyatukan tubuhnya pada tubuh sang empunya suara. Yang belakangan ini sedang tidak ingin bertemu dengannya. "Bagaimana kabarmu?"Ernest tergugu, ingin rasanya ia segera menjawab pertanyaan itu. Namun lidahnya tiba-tiba terasa
"Ini masih siang, Tuan Edward." Luis menatap Edward yang datang bersama Rosalia ke ruang kantornya. Sedikit bersyukur bahwa Ernest sudah pergi, karena jika tidak... Keberadaan putra bungsu Majikannya itu pasti akan diketahui oleh Rosalia. Sementara Ernest sendiri tidak ingin hal itu sampai terjadi."Telponlah Kakekku! Katakan pada beliau jika Rosi belum sembuh," usul Edward. Setelah beberapa menit yang lalu ia meminta ijin pada Luis untuk mengantar Rosalia pulang ke rumah peristirahatan milik Kakeknya."Eng." Luis melirik Rosalia, saat ini wajah mungil wanita itu memang tampak sedikit pucat. Jadi, haruskah ia memberikan libur pada Edward dan juga Rosalia selama beberapa hari ke depan? Lagipula, belum lama ini, ia juga baru mendapat kabar dari Ernest bahwa nyawa Rosalia sedang dalam bahaya. "Dua hari, apa itu cukup?" tukas Luis tegas.Mendengar ucapan Luis, Edward langsung menurunkan pandangannya. Melirik ke arah Rosalia yang tengah termangu, entah apa yang sedang dipikirkan oleh wanit
Friesstrasse 8, pukul 2.44 siang. Saat ini dua sedan hitam tiba-tiba berhenti di depan sebuah hotel tua yang tampak bak bangunan pra sejarah. Dari sedan pertama turun Ben, Ernest, dan juga 2 pria berpakaian rapi layaknya Bodyguard yang Ernest miliki di Kota L. Dan dari sedan kedua, 4 pria berpakaian rapi lagi-lagi keluar dari sedan itu. Keempat pria ini segera bergabung dengan dua pria lainnya, mengikuti Ernest dan Ben dari belakang. "Hanya satu nomor ponsel yang sekarang terlacak di bangunan ini, Tuan Ernest." Lapor Ben, sambil memperhatikan ponsel miliknya yang memiliki program pelacak di dalamnya. "Bagaimana dengan pemilik nomor ponsel yang satu lagi? Di mana dia?" lontar Ernest datar, mengikuti Ben memasuki bangunan hotel yang berdiri tegak di hadapannya. "Pria itu..." Sesaat Ben tampak ragu untuk mengatakannya pada Ernest, namun hal itu justru membuat Ernest menjadi penasaran dan menoleh pada Asistennya itu. "Ada apa, Ben?" "Tuan, nomor ponsel lainnya... Saat ini sedang be