Aku diculik.
Setidaknya itu yang aku tahu ketika terbangun sudah berada di sebuah ruangan berukuran kurang lebih dua belas meter persegi. Memang tidak jauh berbeda dengan ukuran ruang kamarku, tapi meminum dua teguk sampanye untungnya tidak terlalu membuatku mabuk hingga lupa bagaimana rupa dari kamar yang telah aku tempati selama hampir dua puluh tahun. Terlebih tidak ada apa-apa di dalam ruangan ini selain tempat tidur, meja, juga shower box.
"Halo?" panggilku pada siapa pun yang mungkin saja mendengar. Sayangnya, tidak ada jawaban.
Sial. Aku tidak bisa bersikap biasa saja seperti ini. Aku sedang diculik. Aku tidak tahu apa yang akan penculik itu lakukan padaku jika aku hanya berdiam diri tanpa melakukan apa pun. Aku harus melakukan sesuatu untuk bisa membebaskan diri.
Belum juga kakiku mencapai pintu, pintu yang dimaksud tiba-tiba mengeluarkan bunyi desis. Bersamaan dengan itu pula pintu bergeser ke samping seperti halnya sebuah pintu lift ketika terbuka.
Dari balik pintu yang telah terbuka tersebut, seorang pria muda berwajah tampan, berpostur tinggi, tegap, proporsional, model rambut buzz cut, muncul dan berdiri di ambang pintu. Tangan kanannya menjinjing sebuah paper bag, sementara tangan kirinya disembunyikan dalam saku jaket bomber berwarna hijau army yang ia pakai.
Aku mematung di tempat. Menatap seseorang yang aku sendiri tidak menyangka bahwa ialah orang yang telah menculikku.
"Mr. Vague?" tanyaku bernada tak percaya. "I-ini benar kau?"
Mata Mr. Vague memicing sedetik setelah aku menyebut namanya.
"Rupanya kau mengenalku," ujarnya datar dan terkesan tidak terlalu senang.
"Ya—eh, tidak," ralatku segera. "Maksudku, tidak terlalu kenal, tapi aku tahu kau tentu saja."
"Rasa-rasanya aku tidak berencana untuk mengekspos diriku sendiri agar diketahui orang banyak."
Mr. Vague melangkah lebih ke dalam ruangan. Tadinya aku pikir ia akan membiarkan pintu tetap terbuka, tapi tiba-tiba tangannya menyentuh sesuatu yang ada pada salah satu sisi tembok dan pintu kembali tertutup. Mungkin ada semacam pemindai telapak tangan di sana. Dan, itu tampak tidak bagus untukku.
"Kau … mungkin begitu, tapi tidak dengan orang lain. Mereka dengan senang hati membuatmu terekspos," jawabku tanpa sadar bergerak mundur secara perlahan saat Mr. Vague mendekat.
“Jadi apa yang kau tahu dariku?” tanya Mr. Vague sudah berdiri tepat di depanku.
"Kau?"
"Siapa lagi?"
Meskipun masih berjarak satu langkah, aku sudah bisa melihat mata birunya yang jernih. Belum pernah aku melihatnya dalam jarak sedekat ini dan kuakui bahwa matanya begitu memukau.
Aku menelan ludah. Bagaimana caranya menatap membuatku terintimidasi.
"Oh, kau …," jujur saja aku canggung ditatap dengan seorang pria sepertinya, "yang aku tahu kau menjadi ahli waris Vague Holding Group."
"Hanya itu?"
Aku berpikir. "Memang hanya itu informasi yang paling melekat di dirimu," jawabku. Selama sesaat yang tidak terlalu menyenangkan, kupikir ia akan merespons jawabanku, tapi ternyata ia hanya diam seolah menunggu kalimatku yang selanjutnya. “Tapi aku rasa kau tidak terlalu senang dengan posisi itu.”
Mata biru Mr. Vague menyala.
"Kau berpikir begitu?"
“Maaf,” kataku kemudian. “Itu hanya menurutku. Tolong jangan cabut beasiswaku hanya karena aku berkata kurang sopan.”
"Rupanya kau berkuliah di UC Berkeley." Mr. Vague memberi tanggapan.
“Kau menebaknya."
“Karena program beasiswa Vague Holding Group memang hanya ada di sana,” jelas Mr. Vague seraya menyodorkan tangannya yang sedari tadi memegang paper bag. “Makananmu seharian ini. Pastikan cukup sampai makan malam."
Aku memandang paper bag yang masih menggantung di tangannya. Menerima dengan ragu sambil mengecek apa isi di dalam paper bag tersebut.
"Sandwich dan air mineral?" tanyaku bingung.
"Seperti yang kau lihat."
"Dan kau bilang hanya ini makananku untuk seharian ini? Apa kau serius?"
"Aku tidak pernah tidak serius dan jangan buatku harus menjelaskan dua kali."
“Mr. Vague, tapi ini … jujur aku bisa menghabiskan semua ini sekarang juga. Bahkan aku bisa menghabiskan dua sandwich sewaktu sarapan," ungkapku dan ia hanya bergeming mendengar pengakuanku yang mungkin sedikit memalukan. Terlihat sekali jika aku sangat lapar juga banyak makan.
“Silakan saja jika ingin langsung kau habiskan, tapi kutegaskan bahwa aku hanya akan memberikan makanan untukmu satu kali di pagi hari setiap harinya dan untuk hari ini hanya itu yang aku berikan,” jelasnya berbalik pergi di saat aku masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan.
“Kenapa kau melakukan ini padaku?” tanyaku pada akhirnya. Kemunculan Mr. Vague beberapa menit lalu nyaris membuatku lupa bahwa aku sedang diculik olehnya.
Langkah kaki Mr. Vague terhenti, lalu ia kembali berbalik menghadapku.
“Apa yang aku perbuat sampai kau berbuat seperti ini? Bahkan aku sama sekali tidak mengenalmu. Jika ada suatu kesalahan yang pernah aku lakukan, tolong katakan, tapi jangan seperti ini.”
“Kau tidak melakukan kesalahan apa pun, Rose.”
Aku tertegun. “Kau tahu namaku.”
“Hampir semua informasi tentangmu ada di dalam dompet dan ponsel.”
“Oh.” Kepalaku berkeliling. Baru sadar jika tas, dompet, juga ponselku tidak ada di mana pun. “Lalu apa? Jika aku tidak melakukan kesalahan apa pun padamu, kenapa aku bisa ada di sini? Kenapa kau menculikku?” tanyaku menekan dan matanya kembali menyala.
Mr. Vague sekali lagi mendekat. Tidak terlalu tampak, tapi aku merasa ada perbedaan dari sorot mata juga ekspresi wajahnya. Rahangnya mengatup kuat, kulit di area wajah dan lehernya tertarik, bibir tipisnya mengerut seakan tengah menahan sesuatu yang muncul dari dalam dirinya. Apa aku membuatnya marah? Tapi seharusnya akulah yang marah!
“Kau tidak perlu tahu alasannya,” jelasnya dengan suara pelan, dalam, dan mengintimidasi.
Aku takut, tapi aku tetap berusaha terlihat berani.
“Aku perlu tahu," tegasku.
"Tidak untuk sekarang."
"Apa bedanya sekarang atau nanti?" balasku berkeras tanpa memedulikan reaksinya. "Intinya aku perlu tahu alasan kenapa aku ada di sini. Kau tidak bisa seenaknya melakukan ini pada—AH!” jeritku ketika Mr. Vague tiba-tiba menjambak rambutku begitu kuat hingga kepalaku ikut tertarik ke bawah dengan kasar. Rasa sakit yang ditimbulkan oleh tarikan yang terjadi di antara rambut dan kulit kepala benar-benar terasa menyakitkan.
Dalam posisi itu, Mr. Vague semakin mendekatkan wajahnya pada wajahku. Ekspresi yang tadinya terlihat datar, seketika berubah menjadi bengis.
“Kau ikuti saja apa yang aku perintahkan,” katanya berbisik dan menekan, dimana bibirnya nyaris mengenai daun telingaku. Menghadirkan rasa merinding yang luar biasa. Mataku terpejam dan hanya bisa merintih.
"Cukup … tolong … ini sakit," rintihku saat ia makin menjambak rambutku.
"Kukatakan sekali lagi. Itu adalah makanan dan minumanmu selama seharian ini dan kau tidak perlu bertanya kenapa kau bisa ada di sini. Mengerti, Proserpina Johnson?”
Mendengar Mr. Vague menyebut nama lengkapku, hanya makin membuat tubuhku seperti terserang oleh sengatan listrik ratusan volt. Terkesan berlebihan, tapi memang itu yang kurasakan. Suaranya benar-benar mampu menghadirkan sensasi itu.
"Jawab aku jika kau mengerti."
Kepalaku mengangguk pelan.
"Aku butuh suaramu, Rose."
Sebisa mungkin aku berusaha mengeluarkan suaraku di tengah kesakitan yang kuterima.
"A-aku mengerti."
"Gadis baik."
Setelahnya, Mr. Vague melepas tangannya dengan lebih dulu menarik rambut, kepala, beserta tubuhku hingga jatuh ke lantai. Kemudian ia langsung pergi tanpa mengatakan apa pun. Betul-betul pergi menghilang di balik pintu yang kembali tertutup rapat. Meninggalkanku seorang diri dengan kondisi masih dihinggapi rasa tidak percaya, bingung, dan takut atas perlakuan seorang Louton Vague.
"Sial. Aku lapar."Perutku keroncongan sejak beberapa jam setelah aku menghabiskan sandwich."Kapan ia akan datang?" keluhku sambil memeluk perut.Jujur saja aku tidak tahu sudah jam berapakah ini, sebab tidak ada sama sekali penanda waktu di sekitarku. Apakah aku harus menunggu satu, dua, tiga, atau beberapa jam lagi untuk Louton datang dan membawakanku makanan serta minuman, sesuai dengan perkataannya sebelumnya. Dan, kalaupun ia datang, aku harap ia tidak hanya membawa setangkup sandwich dan sebotol air mineral.Usai menerima perlakuan tidak menyenangkan dari Louton, aku benar-benar me
Di bawah pancuran air hangat, kegelisahanku berangsur mereda. Emosi di dalam diriku seakan ikut menguap, bercampur dengan uap hangat yang beterbangan di sekitarku. Rasanya tidak ingin berhenti. Kalau bisa, terus dalam keadaan seperti ini saja. Tidak perlu keluar dari kamar mandi. Tidak perlu kembali ke ruangan penyiksaan itu lagi. Dan tentunya, tidak perlu berhadapan dengan Louton lagi."Menghukummu."Suara Louton tiba-tiba saja menggema di rongga telingaku. Merusak kedamaian yang tengah aku rasakan.Louton bilang bahwa ia melakukan hal gila ini untuk menghukumku? Dan ia akan membebaskanku di saat ia merasa jika hukuman darinya telah cukup? Omong kosong.Baiklah. Aku tahu ia punya banyak uang—entah itu uang dari perusahaannya atau uang ya
Sungguh aku tidak paham dengan kepribadiannya. Beberapa menit lalu Louton bersikap begitu jahat, lalu beberapa menit kemudian sikapnya berubah begitu lembut. Meski di akhirnya ia terkesan seperti baru saja tersadar dari hipnotis, tapi tetap saja aku merasa ada perubahan yang signifikan di dirinya. Dan bodohnya, sikap lembutnya itu dengan mudahnya membuatku terpaku. Benar-benar terpaku pada matanya yang memancarkan warna biru terang yang memukau.“Tidak bisa,” cetusku bangkit dari tempat tidur. “Aku tidak bisa seperti ini. Ia telah menculikku. Aku harus melawannya,” tegasku pada diri sendiri sambil mondar-mandir tanpa arah.Aku harus pergi dari tempat ini.Aku tidak boleh justru menikmati penculikan ini hanya karena orang yang menculikku adalah Louton Vague. Meskipun sosoknya begitu menawan, i
Aku sadar kalau tubuhku berayun. Samar-samar aku melihat cahaya terang, kemudian perlahan meredup. Kelopak mataku mengerut ketika menghadapi transisi yang begitu mencolok. Meski begitu, aku masih terlampau lemas untuk menggerakkan tubuhku sendiri."Aku minta kau bermalam di sini. Perempuan yang satu ini sungguh liar. Jangan biarkan dia kabur lagi. Aku tidak tahu harus kuapakan ia jika kembali kabur.""Baik, Mr. Vague. Apa ada yang perlu saya lakukan lagi untuk Anda?"Pertanyaan itu tertangkap oleh telingaku sesaat setelah tubuhku diletakkan. Berdasarkan hasil dari indra perabaku, aku merasakan permukaan yang lembut, empuk, dan dingin. Sepertinya aku telah kembali ke dalam ruang penyekapan. Kembali berbaring di atas tempat tidur usai mengalami kejadian yang amat buruk.
Usai mengalami insiden melarikan diri yang gagal, entah kenapa aku justru merasa tidurku nyenyak—meski ketika bangun sekujur tubuh makin terasa ngilu dan kepalaku terasa pusing. Mungkin karena saking lelahnya, hingga seluruh sistem di tubuhku memilih untuk langsung mengnonaktifkan diri dan kembali aktif di hari berikutnya."Panas … kenapa terasa panas?"Tidak tahu apakah suhu ruangan ini memang sengaja dibuat lebih panas oleh Louton, tapi aku merasa demikian. Panas yang kurasakan berbeda dengan biasanya. Aku merasakan suhu tubuhku meningkat, tapi aku pun juga merasa kedinginan. Aku menggigil. Bahkan selimut yang disediakan tidak cukup menghalau rasa dingin yang ada."Sialan perutku …."Belum lagi perutku yang sudah meronta-ronta. Suara yan
“Perempuan mana yang justru menikmati—” Aku mengerang dalam hati. Tidak ingin terlalu memperlihatkan emosiku. Suasana hati Louton tampaknya sedang baik hari ini. Jangan sampai aku menyia-nyiakannya. Terlebih dahulu aku menarik napas sebelum melanjutkan kalimat. “Oke. Aku suka kau yang berperilaku baik dan mungkin bisa dikatakan aku menikmatinya, tapi kalau kau sudah ….” Aku menangkap kilau biru mata Louton menyala. Detik itu juga aku menelan ludah. “Tapi kalau kemarahanmu sudah mulai tidak terkontrol, aku tidak bisa, Mr. Vague. Aku tidak bisa menikmati itu. Lagi pula, apa yang harus kunikmati kalau kau justru membuatku sakit?” “Aku tidak bermaksud membuatmu sakit.” Refleks alisku terangkat sebagai isyarat rasa bingung atas kalimat balasannya. “Aku hanya ingin memberikanmu pelajaran.” Wajahku berpaling seray
Mataku berkedip cepat. "Apa aku harus menandatangani itu?" tanyaku meladeni. Lanjut mengunyah pancake. "Aku bersikeras agar kau melakukannya." "Apa kau akan menyakitiku kalau aku tetap tidak mau?" Bola mataku bergulir ke arahnya dengan hati-hati. Kulihat mata Louton menyipit. Tampak tidak senang dengan pertanyaanku. Rahangnya mulai mengencang. Tangannya mulai bersiap mengepal dengan gelisah. Sesaat aku sadar kalau sesi ramah-tamah Louton untuk hari ini telah selesai. "Iya. Aku akan menyakitimu. Lebih dari apa yang pernah kulakukan," jawabnya mampu menggetarkan segala sesuatu yang ada di diriku. Bahkan sayup-sayup aku seperti mendengar ada yang memohon agar aku tidak m
Lagi-lagi terbangun seperti ini. Rasa ngilu yang sebelumnya belum seratus persen hilang, tapi sudah kembali ditimpa oleh rasa ngilu yang lain. Punggung, dahi, bahkan kaki. Nyaris semua anggota tubuhku telah menjadi korban kekejaman Louton. Dan nahasnya, aku masih di sini. Di rumahnya. Di dalam ruangan penyiksaannya di bawah tanah. Entah hal buruk apa lagi yang akan datang padaku. Rasa-rasanya aku sudah tidak sanggup menerimanya. Harusnya aku bisa mendapatkan hal yang jauh lebih baik dari ini. Ibuku yang mengatakan itu. Ibuku mengatakan jika suatu saat nanti aku akan bertemu dengan seorang pria baik yang akan menempatkanku—Rose—di taman terindahnya. Oh, tidak. Ibu. Mungkin Louton benar. Aku bukan anak yang patuh. Aku tidak mengindahkan nasihat, pesannya, hingga akhirnya aku berakhir seperti ini. Anggap saja Louton adalah seseorang yang datang mewak
“Aku tidak memintamu untuk ke sini,” ujar Louton dengan suara serak dan dingin. “Aku memintamu untuk menungguku di dalam kamar,” lanjutnya tanpa berniat bertatapan denganku sebagai satu-satunya lawan bicaranya.Sayangnya, apa yang dikatakannya itu tidak mampu membuatku berhenti mendekat."Aku tahu dan aku sudah menunggumu, tapi kau tidak kunjung datang.""Apa kau tidak paham dengan maksud dari kata menunggu?"Louton mengangkat wajahnya. Entah memang wajahnya yang memerah atau cahaya remang-remang lampu ruang anggur yang tanpa sengaja terserap ke dalam wajahnya, yang pasti wajahnya itu terlihat seperti bara api akibat pembakaran kayu, batu bara, atau bahan karbon lainnya. Menjadikannya tampak panas.Lou
Aku memikirkan ibuku. Tidak mungkin tidak. Aku juga tidak yakin ibu memutuskan untuk diam saja. Bahkan mungkin sekarang ia sedang berada di kantor Berkeley Police Department untuk melaporkan bahwa aku akhirnya memberi kabar setelah tujuh hari menghilang.Tujuh hari. Aku sendiri pun tidak sadar sudah selama itu aku berada di sini.Di tengah lamunanku, seseorang mengetuk pelan pintu kamar Louton. Aku segera bangun dari posisi merebahkan tubuh di atas tempat tidur."Miss Johnson?" panggil Mags."Aku di dalam, Mags."Pintu terbuka. Sosok Mags yang tersenyum kembali tampak usai selama beberapa jam ini sibuk menjamu tamu, yaitu seorang Mia Evans."Anda pasti sudah lapar," uj
Lagi-lagi ibu berhasil menebaknya. Apa memang sekuat itu insting yang dimiliki seorang ibu?Tanpa sadar aku berputar dan mataku menangkap sosok Louton berdiri di pintu kaca yang terbuka. Apa ia sudah sejak tadi ada di sana? Mendengarku menelepon? Ketika sekalinya telingaku menemukan kembali suara ibu, aku langsung lupa akan apa yang terjadi sebelumnya di sini. Termasuk Louton. Aku tidak ingat jika ia akan datang ke kamarnya untuk berganti pakaian dan setelahnya akan menemui Mia Evans di bawah sana."Rose?" tanya ibu menagih jawaban.Sial. Abaikan dulu Louton, aku harus segera memberi jawaban yang aman pada ibu."Seseorang? Umm, yah, kurang lebih bisa dikatakan seperti itu. Terkadang aku bersama seseorang dan terkadang juga
Aku tidak tenang. Sungguh tidak tenang. Sedari tadi yang kulakukan hanyalah mondar-mandir di kamar Louton sembari menggigiti kuku ibu jari. Hati ini begitu gelisah. Rasanya ingin segera keluar kamar, turun ke lantai bawah, dan melihat langsung apa yang sedang terjadi. Terlebih jam sudah menunjukkan pukul tiga lewat. Memberi pertanda bahwa Louton akan segera datang.Mags juga tampaknya tidak ada niatan naik ke atas untuk mengunjungiku. Sekadar mengecek keadaanku—mungkin—sekaligus mengatakan bahwa ia tetap mempercayaiku dan tetap menaruh harapan padaku untuk memperbaiki Louton.Memikirkan kemungkinan jika Mags langsung berubah pikiran setelah bertemu dengan Mia Evans, benar-benar membuat hatiku semakin tidak tenang."Oke, Rose," kataku menarik napas, kemudian mengembuskan perlahan. "Mungkin kau bisa
"Ke-kenapa?" tanyaku mendongak melihat Vince yang berdiri menjulang."Mags, tolong bawa pergi Miss Johnson," perintah Vince sambil meletakkan ponselnya di telinga. Wajahnya tegang, tapi gerak-geriknya terlihat tenang. Kelihatannya Vince sudah berpengalaman menghadapi sesuatu yang membuatnya terkejut."Kau tidak mau memberi tahu terlebih dahulu ada apa sebenarnya?" tanya Mags sama bingungnya denganku."Selamat siang, Mr. Vague," ujar Vince tiba-tiba. Aku menoleh pada Mags yang juga kedapatan sedang membalas tatapanku. "Maaf telah mengganggu waktu Anda. Ada sebuah mobil yang menunggu di depan pintu gerbang rumah Anda. Dikendarai oleh seorang wanita. Akan segera saya kirimkan pada Anda detailnya."Vince merogoh saku bagian dalam jasnya dan mengeluarkan ponsel.
"Mags, ini …," aku mencoba mencari kata yang tepat untuk merepresentasikan masakan Mags, "ini benar-benar enak. Terima kasih banyak."Sebenarnya aku kurang puas dengan ucapanku, tapi memang tidak ada kata lain yang bisa kulontarkan lagi. Setidaknya itu lebih baik dibanding dengan hanya diam saja seperti Vince, padahal ia juga telah menyapu bersih makanan yang ada di atas piring. Namun, tidak ada niatan untuk merespons berupa pujian atau semacamnya. Lelaki ini benar-benar kaku seperti robot. Walau begitu, sepertinya Mags sudah terbiasa."Senang melihat Anda makan dengan lahap," ujar Mags yang sudah ikut duduk di dekatku. "Setidaknya dengan adanya Anda di sini, saya jadi tahu jika masakan saya cukup baik."Aku dan Mags saling melempar senyum. Sekilas melirik pada Vince yang sedang menyesap secangkir kopi&
Tidak tahu harus melakukan apa di kamar Louton, aku memutuskan turun ke lantai bawah.Rumah ini benar-benar sepi. Besar dan sepi. Mungkin juga efek dari lokasi rumah yang berada di daerah terpencil yang jarang dilalui orang banyak. Mengintip area luar melalui kaca besar yang hampir mengelilingi setiap sisi rumahnya, membuatku jadi ingin pergi keluar rumah. Hanya saja, sudah pasti Vince tidak akan membiarkanku keluar. Ia pasti akan langsung melaporkanku pada Louton jika aku berniat menginjakkan kaki selangkah saja keluar dari pintu."Mags?"Mataku mengedar ke sekeliling rumah seraya memanggil dan mencari Mags. Aku ingat jika sebelumnya ia mengatakan jika dirinya akan menyiapkan makan siang, jadi aku mencarinya ke dapur dengan niatan ingin membantunya, tapi rupanya ia tidak ada.
Aliran darah di wajah Mags seakan terserap habis hingga membuatnya tampak pucat. Matanya yang keriput tampak melotot. Mulutnya terbuka sedikit yang tak lama setelahnya ditutupi oleh telapak tangannya."Ya Tuhan. Apa yang sudah saya lakukan?" tanyanya panik memegangi dada. Terkejut atas ketidaksengajaannya sendiri."Mags ….""Seharusnya saya tidak boleh mengatakan itu. Apa yang nantinya akan dilakukan Mr. Vague pada saya? Saya benar-benar lancang." Mags terus meracau. Menyumpahi kesalahannya yang bagaikan tidak sengaja membongkar rahasia negara."Mags. Hei …."Aku mencoba mengambil alih perhatian Mags yang mungkin sedang mati-matian berjibaku dengan rasa bersalah.
Sebuah garis keras terbentuk di bibir Louton. Matanya terlihat berkedut. Siap menerkamku kalau saja ponsel miliknya tidak berdering. Louton pun melihat ponselnya. Ekspresinya tidak terbaca.Belum ingin mengangkat teleponnya, ia justru melempar tatapannya padaku."Tunggu aku," ujarnya menuntut. Memaksaku untuk tidak menolak, meskipun aku memang tidak akan menolak.Aku menarik napas."Tentu. Aku akan tunggu kau di kamar—eh, seperti yang kau perintahkan," ujarku melengkapi seraya menurunkan pandangan dan mengulum bibir.Sosoknya yang dalam balutan pakaian formal yang mengagumkan itu pun akhirnya menghilang di balik pintu. Aroma maskulin dari tubuhnya yang sekilas tercium seperti campuran