“Perempuan mana yang justru menikmati—” Aku mengerang dalam hati. Tidak ingin terlalu memperlihatkan emosiku. Suasana hati Louton tampaknya sedang baik hari ini. Jangan sampai aku menyia-nyiakannya.
Terlebih dahulu aku menarik napas sebelum melanjutkan kalimat. “Oke. Aku suka kau yang berperilaku baik dan mungkin bisa dikatakan aku menikmatinya, tapi kalau kau sudah ….” Aku menangkap kilau biru mata Louton menyala. Detik itu juga aku menelan ludah. “Tapi kalau kemarahanmu sudah mulai tidak terkontrol, aku tidak bisa, Mr. Vague. Aku tidak bisa menikmati itu. Lagi pula, apa yang harus kunikmati kalau kau justru membuatku sakit?”
“Aku tidak bermaksud membuatmu sakit.” Refleks alisku terangkat sebagai isyarat rasa bingung atas kalimat balasannya. “Aku hanya ingin memberikanmu pelajaran.”
Wajahku berpaling seraya tertawa tak percaya. Melipat kedua tangan dan menyandarkan punggung ke sandaran tempat tidur.
“Sungguh aku tidak mengerti jalan pikir dan selera ‘pelajaran’ orang kaya,” gerutuku memutar mata dan menggelengkan kepala. Setelah itu pikiranku kosong sejenak di kala mataku bergerak dari jendela yang terbuka kemudian turun ke selimut yang terbentang di pangkuanku. “Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” tanyaku dengan berani dan cepat.
Dada Louton membusung. Berusaha menyerap seluruh udara yang ada ke dalam paru-parunya. Aku memang tidak melihat ada perubahan drastis di wajahnya usai aku bertanya dengan begitu berani. Ia masih terlihat tenang. Dikeluarkannya kedua tangan dari saku celana abu-abunya yang mengilap. Melangkah maju dimana kedua tangannya itu dibuat bertumpu pada area tempat tidur yang kosong. Semakin terlihat kekar ketika menahan bobot tubuhnya. Badannya membungkuk. Seakan dengan sengaja membiarkanku mengintip apa yang ada di balik kemejanya.
Louton lagi-lagi melekatkan tatapannya padaku dari depan sana. Warna biru matanya semakin silau bercampur dengan cahaya dari luar yang menembus masuk melalui jendela yang terbuka.
Dan sialnya, aku enggan untuk berpaling.
“Apa yang terjadi padaku sangat rumit,” jelasnya yang sebenarnya tidak cukup jelas bagiku. “Kau tidak akan mengerti.”
“Aku bisa mengerti,” cetusku cepat. Punggungku sampai tertarik dari sandaran tempat tidur. “Aku … di Berkeley aku mengambil Psikologi,” lanjutku sedikit menurunkan pandangan, tapi seakan tidak bisa berlama-lama berpaling dari Louton, aku memandangnya lagi.
Salah satu sudut matanya berkedut. Bibirnya menekan.
“Oleh karena itu kau bisa dengan yakin berkata bahwa ada yang salah di diriku?” tanya Louton kembali menegapkan tubuhnya.
“Benar,” jawabku mengiakan. “Dan kalaupun aku tidak mengambil jurusan itu, aku rasa aku akan tetap tahu.”
Waktu terbuang begitu saja hanya dengan saling menatap. Diam-diam berharap tidak ada yang salah dengan perkataanku, sebab ekspresi Louton kali ini sangat tidak terbaca. Apakah ia telah berubah marah atau ia masih bersikap baik. Hingga akhirnya keheningan ini ditutup oleh suara ketukan pintu.
“Sarapan telah siap, Mr. Vague,” ujar seorang wanita dari balik pintu.
Setelah kemunculan seorang pria bernama Vince, lantas ada seorang wanita juga yang tinggal di dalam rumah ini? Dan tidak ada sama sekali di antara mereka yang mempermasalahkan penculikanku? Selama beberapa hari ini mereka pasti melihat berita tentangku, kan?
“Silakan masuk, Mags,” perintah Louton.
Pintu terbuka. Menampakkan sosok seorang wanita menggunakan rok midi dan blazer hitam—mungkin berumur sekitar lima puluh tahunan—tengah membawa sebuah baki lipat besar yang di atasnya terdapat beberapa piring dan segelas susu putih. Mags—kurang lebih itulah nama yang disebut oleh Louton—berjalan masuk sambil tersenyum ramah. Membungkuk sopan ketika melewati Louton, lalu meletakkan baki lipat itu di atas pangkuanku.
“Silakan, Miss Johnson,” ujarnya mempersilakanku mencicipi makanan dan minuman yang ia berikan.
Aku tak henti-hentinya memandang Mags. Bahkan sepiring makanan lezat yang kini ada di pangkuanku tak cukup membuatku berpaling darinya. Maksudku, apa ia juga turut menganggap apa yang menimpaku ini adalah hal yang wajar? Sehingga ia terus saja tersenyum padaku seolah tidak terjadi apa-apa? Seolah tidak ada aktivitas penyekapan di dalam rumah ini? Lantas siapa lagi? Siapa lagi setelah Vince dan Mags yang akan kutemui di rumah Louton?
“Bukankah aku juga meminta kau sediakan pakaian ganti?”
“Oh, sudah saya sediakan di depan. Akan saya bawa ke dalam.”
Mags berjalan keluar dengan antusias dan kembali ke dalam sambil membawa paper bag.
“Ini pakaian ganti untuk Anda, Miss Johnson.” Mags memberikan paper bag tersebut padaku. Aku menerima dengan kikuk.
“Terima kasih,” kataku.
“Kalau begitu saya permisi, Mr. Vague,” ujar Mags pada Louton dengan gerak tubuh yang sopan. Louton hanya membalas dengan anggukan pelan.
Pintu tertutup. Mags kembali meninggalkanku berdua dengan Louton. Paper bag kuletakkan di sampingku. Memandang dua buah telur mata sapi, dua buah sosis, dan pancake dengan sirop maple berhiaskan sebuah stroberi. Terlihat menggiurkan, terlebih aku memang benar-benar lapar setelah kemarin tidak makan apa pun. Akan tetapi, entah kenapa semangat makanku justru meredup. Aku berpikir Louton sengaja menyumpal mulutku dengan makanan, jadi aku tidak perlu melontarkan banyak pertanyaan padanya.
Bukannya mulai mengambil pisau dan garpu, aku justru menyembunyikan kedua tanganku di bawah baki. Saling memainkan kuku jari di bawah sana.
“Kenapa kau tidak makan?” tanya Louton dengan dahi mengerut.
Aku mengulum bibir. “Ada siapa lagi di rumahmu ini?”
Louton mendengkus. Menjejalkan kedua tangan pada saku celananya lagi. Merasa bosan jika harus menghadapiku dari jauh, Louton melangkah ke sisi tempat tidur di sebelah kananku. Dari balik wajah yang menunduk, bola mataku bergulir untuk melihatnya, meski yang terlihat hanya sebatas dada. Tadinya kupikir Louton akan berdiri saja di sana, tapi ia tiba-tiba mengambil posisi duduk di sebelahku—di area ranjang yang masih kosong. Barulah aku bisa melihat wajahnya, walaupun wajahku tidak sepenuhnya terangkat. Tidak ada alasan lagi untuk tidak melihat matanya.
“Akan kujawab setelah kau makan,” jawab Louton.
Ia benar-benar suka mengatur. Mengatur segala sesuatu sesuai dengan keinginannya dan anehnya, aku menuruti. Kedua tangan kukeluarkan dari bawah baki dengan terpaksa. Garpu dan pisau kuambil, lalu mulai memotong telur. Memasukkannya ke dalam mulut dan rasanya … sungguh enak. Begitu terang-terangan aku memejamkan mata ketika menikmati bagaimana rasanya. Tidak bisa bohong lagi jika aku sangat lapar. Tidak peduli juga ada Louton yang tengah memandangiku makan dengan begitu lahap.
Setelah dirasa cukup, aku meneguk susu hingga setengah gelas, lalu berhenti sejenak.
“Siapa Vince dan Mags?” tanyaku lagi. Kali ini memberanikan diri menangkap sorot matanya. “Kenapa mereka bersikap biasa saja, padahal mereka tahu aku sedang diculik olehmu.”
Louton menarik napas dalam.
“Hanya ada Vince dan Mags di sini. Mereka ada di sini pun jika aku butuh. Vince adalah asisten pribadiku dan Mags adalah asisten rumah tanggaku,” jawabnya tenang. Jadi, seperti ini rasanya berbincang santai dengan Louton? “Lanjutkan makanmu, Rose.”
Layaknya titah yang tak bisa dielak, aku mengambil sendok untuk memotong pancake.
“Mereka terikat semacam perjanjian rahasia denganku, jadi mereka tidak akan membocorkan apa pun,” jelasnya melanjutkan jawaban untuk pertanyaanku dan itu cukup menjelaskan kenapa Vince dan Mags tidak melakukan apa-apa. “Sama seperti kau. Kau juga akan menandatangani sebuah perjanjian.”
Kunyahanku menggantung. Mataku melebar dan tak berkedip selama beberapa detik.
“Perjanjian apa?” tanyaku sambil lanjut mengunyah. Aku tahu itu tidak sopan, tapi aku baru sadar setelah melakukannya.
Samar-samar kulihat Louton tersenyum tipis. Ia mengangkat paha kanannya ke permukaan tempat tidur, lalu mengarahkan posisi duduknya menghadapku. Di situlah aku melihat mata jernihnya berkobar penuh kemenangan.
“Perjanjian yang tentunya akan menguntungkanmu juga menguntungkanku.”
Mataku berkedip cepat. "Apa aku harus menandatangani itu?" tanyaku meladeni. Lanjut mengunyah pancake. "Aku bersikeras agar kau melakukannya." "Apa kau akan menyakitiku kalau aku tetap tidak mau?" Bola mataku bergulir ke arahnya dengan hati-hati. Kulihat mata Louton menyipit. Tampak tidak senang dengan pertanyaanku. Rahangnya mulai mengencang. Tangannya mulai bersiap mengepal dengan gelisah. Sesaat aku sadar kalau sesi ramah-tamah Louton untuk hari ini telah selesai. "Iya. Aku akan menyakitimu. Lebih dari apa yang pernah kulakukan," jawabnya mampu menggetarkan segala sesuatu yang ada di diriku. Bahkan sayup-sayup aku seperti mendengar ada yang memohon agar aku tidak m
Lagi-lagi terbangun seperti ini. Rasa ngilu yang sebelumnya belum seratus persen hilang, tapi sudah kembali ditimpa oleh rasa ngilu yang lain. Punggung, dahi, bahkan kaki. Nyaris semua anggota tubuhku telah menjadi korban kekejaman Louton. Dan nahasnya, aku masih di sini. Di rumahnya. Di dalam ruangan penyiksaannya di bawah tanah. Entah hal buruk apa lagi yang akan datang padaku. Rasa-rasanya aku sudah tidak sanggup menerimanya. Harusnya aku bisa mendapatkan hal yang jauh lebih baik dari ini. Ibuku yang mengatakan itu. Ibuku mengatakan jika suatu saat nanti aku akan bertemu dengan seorang pria baik yang akan menempatkanku—Rose—di taman terindahnya. Oh, tidak. Ibu. Mungkin Louton benar. Aku bukan anak yang patuh. Aku tidak mengindahkan nasihat, pesannya, hingga akhirnya aku berakhir seperti ini. Anggap saja Louton adalah seseorang yang datang mewak
Louton. Berdiri di sana. Di ambang pintu kaca—yang tadinya kupikir adalah jendela, yang tadinya ditatap oleh Mags dengan begitu gelisah—hanya dengan sehelai handuk putih melilit dari pinggang ke bawah. Sementara bagian atasnya? Dibiarkan saja terekspos tanpa sehelai benang pun. Tidak perlu susah payah mengintip apa yang ada di balik kemejanya, kini Louton telah memperlihatkan tubuh indahnya secara cuma-cuma.Dan, inilah aku. Seorang wanita biasa yang rasa-rasanya tak mungkin dihadapi dengan pemandangan gratis Louton Vague semacam ini, jadi mau tak mau hanya bisa terpaku padanya hingga bola mataku bergerak mengikuti ke mana pun arah ia pergi. Benar-benar memalukan. Malu pada diriku sendiri yang seolah memiliki dua sisi yang saling bertentangan, yaitu membencinya dan mengaguminya. Hatiku mungkin mengatakan jika aku membencinya, tapi mataku? Mataku sungguh-sungguh sialan.
Cahaya di sekitarku berganti menjadi terang tak lama setelah suara gesekan halus terdengar. Mataku mengerut sebelum akhirnya terbuka perlahan. "Selamat Pagi, Miss Johnson," sapa Mags dengan ceria. Tidak lagi tegang seperti saat terakhir ia meninggalkanku. "Anda ingin mandi atau sarapan lebih dulu? Biar saya siapkan." Rahangku masih terasa berat, tapi sudah jauh lebih baik dari semalam. "Aku … aku ingin sarapan," jawabku parau. "Baik kalau begitu. Akan saya bawakan sarapannya," ujar Mags tersenyum, kemudian berlalu dengan langkah tegas. Aku mencoba bangun. Astaga. Ini seperti bukan tubuhku. Aku tidak pernah merasakan sakit yang separah ini. Seumur hidu
Hangat. Elegan. Mewah. Bathtub yang ada di kamar mandi Louton sungguh luar biasa. Bukan hanya bathtub, tapi semuanya. Aku tidak tahu kenapa ia masih memiliki bathtub padahal ia sudah memiliki kolam jacuzzi di luar sana. Dan ada shower juga. Akan tetapi, masa bodoh dengan itu. Intinya aku tetap merasa nyaman. Aku bisa melihat pemandangan di luar meski aku sedang berendam. Sungguh menakjubkan. Namun, tidak. Bukan saatnya aku t
"Setelah makan aku ingin kau kembali ke basement," cetus Louton segera setelah aku menyuap sereal ke dalam mulut. Mendengar itu nafsu makanku mendadak memudar. "Ada apa? Kau mau menolak?" Aku mengunyah pelan. Wajahku menunduk sambil mengaduk tak bersemangat semangkuk sereal gandum utuh dengan chia seed dan potongan stroberi. Louton tampaknya bisa membaca ekspresi wajahku. Ekspresi wajah yang jelas-jelas menggambarkan penolakan tanpa perlu diutarakan dengan kata-kata. Aku membersihkan area bibir dengan juluran lidah, lalu memandangnya. "Tidak," kataku menggeleng. "Kau sendiri yang bilang kalau tempatku harusnya ada di bawah sana. Tapi ka
Kemunculan Vince secara tiba-tiba membuatku terkejut sekaligus malu, sebab Louton masih membopongku. Aku bisa saja menjatuhkan diri, tapi mengingat kakiku yang masih belum bisa dikatakan sembuh total, alhasil aku mengurungkan niat itu. “Maaf, Mr. Vague,” ujar Vince berdiri tak jauh dari Louton. Ada semacam rasa bersalah tergambar di wajahnya. “Tampaknya Mrs. Vague sudah menunggu di depan.” Reaksi Louton masih sama. Aku sungguh berharap ia tidak membantingku hanya karena kedatangan tamu yang tidak menyenangkan di pagi hari. “Kelihatannya mobil Ibuku memang harus masuk ke daftar blacklist,” gerutunya lanjut berjalan dengan bersungut-sungut.
Sebuah tamparan melayang dan mendarat begitu ringan di pipi kiri Louton. Suara nyaringnya seketika menyentak mataku yang tengah mengintip. Sontak aku berputar dan kembali bersembunyi di balik dinding. Meski begitu, bukan berarti aku bisa langsung melupakan apa yang baru saja ditayangkan di depan mataku. Bagaimana Mrs. Vague menampar Louton, bagaimana Louton diam saja dan membiarkan hal itu terjadi. Bahkan suara nyaring yang dihasilkan oleh tamparan itu sampai sekarang masih mampu mengiris dinding rongga telingaku."Katakan pada Ibumu ini, kenapa kemarin kau tidak datang?" tanya Mrs. Vague pada Louton. Setidaknya itu yang aku dengar, meskipun aku masih belum berani mengintip lagi. "Pagi hari kau tidak datang dan acara makan malam pun kau juga tidak datang. Apa kau mulai ingin membangkang?"Terdapat jeda cukup panjang di sana. Waktu pun seakan berhenti di sekitar
“Aku tidak memintamu untuk ke sini,” ujar Louton dengan suara serak dan dingin. “Aku memintamu untuk menungguku di dalam kamar,” lanjutnya tanpa berniat bertatapan denganku sebagai satu-satunya lawan bicaranya.Sayangnya, apa yang dikatakannya itu tidak mampu membuatku berhenti mendekat."Aku tahu dan aku sudah menunggumu, tapi kau tidak kunjung datang.""Apa kau tidak paham dengan maksud dari kata menunggu?"Louton mengangkat wajahnya. Entah memang wajahnya yang memerah atau cahaya remang-remang lampu ruang anggur yang tanpa sengaja terserap ke dalam wajahnya, yang pasti wajahnya itu terlihat seperti bara api akibat pembakaran kayu, batu bara, atau bahan karbon lainnya. Menjadikannya tampak panas.Lou
Aku memikirkan ibuku. Tidak mungkin tidak. Aku juga tidak yakin ibu memutuskan untuk diam saja. Bahkan mungkin sekarang ia sedang berada di kantor Berkeley Police Department untuk melaporkan bahwa aku akhirnya memberi kabar setelah tujuh hari menghilang.Tujuh hari. Aku sendiri pun tidak sadar sudah selama itu aku berada di sini.Di tengah lamunanku, seseorang mengetuk pelan pintu kamar Louton. Aku segera bangun dari posisi merebahkan tubuh di atas tempat tidur."Miss Johnson?" panggil Mags."Aku di dalam, Mags."Pintu terbuka. Sosok Mags yang tersenyum kembali tampak usai selama beberapa jam ini sibuk menjamu tamu, yaitu seorang Mia Evans."Anda pasti sudah lapar," uj
Lagi-lagi ibu berhasil menebaknya. Apa memang sekuat itu insting yang dimiliki seorang ibu?Tanpa sadar aku berputar dan mataku menangkap sosok Louton berdiri di pintu kaca yang terbuka. Apa ia sudah sejak tadi ada di sana? Mendengarku menelepon? Ketika sekalinya telingaku menemukan kembali suara ibu, aku langsung lupa akan apa yang terjadi sebelumnya di sini. Termasuk Louton. Aku tidak ingat jika ia akan datang ke kamarnya untuk berganti pakaian dan setelahnya akan menemui Mia Evans di bawah sana."Rose?" tanya ibu menagih jawaban.Sial. Abaikan dulu Louton, aku harus segera memberi jawaban yang aman pada ibu."Seseorang? Umm, yah, kurang lebih bisa dikatakan seperti itu. Terkadang aku bersama seseorang dan terkadang juga
Aku tidak tenang. Sungguh tidak tenang. Sedari tadi yang kulakukan hanyalah mondar-mandir di kamar Louton sembari menggigiti kuku ibu jari. Hati ini begitu gelisah. Rasanya ingin segera keluar kamar, turun ke lantai bawah, dan melihat langsung apa yang sedang terjadi. Terlebih jam sudah menunjukkan pukul tiga lewat. Memberi pertanda bahwa Louton akan segera datang.Mags juga tampaknya tidak ada niatan naik ke atas untuk mengunjungiku. Sekadar mengecek keadaanku—mungkin—sekaligus mengatakan bahwa ia tetap mempercayaiku dan tetap menaruh harapan padaku untuk memperbaiki Louton.Memikirkan kemungkinan jika Mags langsung berubah pikiran setelah bertemu dengan Mia Evans, benar-benar membuat hatiku semakin tidak tenang."Oke, Rose," kataku menarik napas, kemudian mengembuskan perlahan. "Mungkin kau bisa
"Ke-kenapa?" tanyaku mendongak melihat Vince yang berdiri menjulang."Mags, tolong bawa pergi Miss Johnson," perintah Vince sambil meletakkan ponselnya di telinga. Wajahnya tegang, tapi gerak-geriknya terlihat tenang. Kelihatannya Vince sudah berpengalaman menghadapi sesuatu yang membuatnya terkejut."Kau tidak mau memberi tahu terlebih dahulu ada apa sebenarnya?" tanya Mags sama bingungnya denganku."Selamat siang, Mr. Vague," ujar Vince tiba-tiba. Aku menoleh pada Mags yang juga kedapatan sedang membalas tatapanku. "Maaf telah mengganggu waktu Anda. Ada sebuah mobil yang menunggu di depan pintu gerbang rumah Anda. Dikendarai oleh seorang wanita. Akan segera saya kirimkan pada Anda detailnya."Vince merogoh saku bagian dalam jasnya dan mengeluarkan ponsel.
"Mags, ini …," aku mencoba mencari kata yang tepat untuk merepresentasikan masakan Mags, "ini benar-benar enak. Terima kasih banyak."Sebenarnya aku kurang puas dengan ucapanku, tapi memang tidak ada kata lain yang bisa kulontarkan lagi. Setidaknya itu lebih baik dibanding dengan hanya diam saja seperti Vince, padahal ia juga telah menyapu bersih makanan yang ada di atas piring. Namun, tidak ada niatan untuk merespons berupa pujian atau semacamnya. Lelaki ini benar-benar kaku seperti robot. Walau begitu, sepertinya Mags sudah terbiasa."Senang melihat Anda makan dengan lahap," ujar Mags yang sudah ikut duduk di dekatku. "Setidaknya dengan adanya Anda di sini, saya jadi tahu jika masakan saya cukup baik."Aku dan Mags saling melempar senyum. Sekilas melirik pada Vince yang sedang menyesap secangkir kopi&
Tidak tahu harus melakukan apa di kamar Louton, aku memutuskan turun ke lantai bawah.Rumah ini benar-benar sepi. Besar dan sepi. Mungkin juga efek dari lokasi rumah yang berada di daerah terpencil yang jarang dilalui orang banyak. Mengintip area luar melalui kaca besar yang hampir mengelilingi setiap sisi rumahnya, membuatku jadi ingin pergi keluar rumah. Hanya saja, sudah pasti Vince tidak akan membiarkanku keluar. Ia pasti akan langsung melaporkanku pada Louton jika aku berniat menginjakkan kaki selangkah saja keluar dari pintu."Mags?"Mataku mengedar ke sekeliling rumah seraya memanggil dan mencari Mags. Aku ingat jika sebelumnya ia mengatakan jika dirinya akan menyiapkan makan siang, jadi aku mencarinya ke dapur dengan niatan ingin membantunya, tapi rupanya ia tidak ada.
Aliran darah di wajah Mags seakan terserap habis hingga membuatnya tampak pucat. Matanya yang keriput tampak melotot. Mulutnya terbuka sedikit yang tak lama setelahnya ditutupi oleh telapak tangannya."Ya Tuhan. Apa yang sudah saya lakukan?" tanyanya panik memegangi dada. Terkejut atas ketidaksengajaannya sendiri."Mags ….""Seharusnya saya tidak boleh mengatakan itu. Apa yang nantinya akan dilakukan Mr. Vague pada saya? Saya benar-benar lancang." Mags terus meracau. Menyumpahi kesalahannya yang bagaikan tidak sengaja membongkar rahasia negara."Mags. Hei …."Aku mencoba mengambil alih perhatian Mags yang mungkin sedang mati-matian berjibaku dengan rasa bersalah.
Sebuah garis keras terbentuk di bibir Louton. Matanya terlihat berkedut. Siap menerkamku kalau saja ponsel miliknya tidak berdering. Louton pun melihat ponselnya. Ekspresinya tidak terbaca.Belum ingin mengangkat teleponnya, ia justru melempar tatapannya padaku."Tunggu aku," ujarnya menuntut. Memaksaku untuk tidak menolak, meskipun aku memang tidak akan menolak.Aku menarik napas."Tentu. Aku akan tunggu kau di kamar—eh, seperti yang kau perintahkan," ujarku melengkapi seraya menurunkan pandangan dan mengulum bibir.Sosoknya yang dalam balutan pakaian formal yang mengagumkan itu pun akhirnya menghilang di balik pintu. Aroma maskulin dari tubuhnya yang sekilas tercium seperti campuran