Sebuah tamparan melayang dan mendarat begitu ringan di pipi kiri Louton. Suara nyaringnya seketika menyentak mataku yang tengah mengintip. Sontak aku berputar dan kembali bersembunyi di balik dinding. Meski begitu, bukan berarti aku bisa langsung melupakan apa yang baru saja ditayangkan di depan mataku. Bagaimana Mrs. Vague menampar Louton, bagaimana Louton diam saja dan membiarkan hal itu terjadi. Bahkan suara nyaring yang dihasilkan oleh tamparan itu sampai sekarang masih mampu mengiris dinding rongga telingaku.
"Katakan pada Ibumu ini, kenapa kemarin kau tidak datang?" tanya Mrs. Vague pada Louton. Setidaknya itu yang aku dengar, meskipun aku masih belum berani mengintip lagi. "Pagi hari kau tidak datang dan acara makan malam pun kau juga tidak datang. Apa kau mulai ingin membangkang?"
Terdapat jeda cukup panjang di sana. Waktu pun seakan berhenti di sekitar
Aku kembali di tempat semestinya aku berada. Tidak ada lagi kaca jendela besar yang memperlihatkan pemandangan pepohonan di luar rumah, tidak ada lagi tempat tidur yang lebih lembut dan empuk, tidak ada lagi bathtub, dan yang pasti tidak ada lagi penampakan Louton berlalu-lalang tanpa pakaian.Aku telah kembali di ruangan yang tanpa apa pun ini, selain tempat tidur, meja, dan shower box."Kalau begitu saya permisi, Miss Johnson. Dan saya harus menutup pintu ini."Oh, tidak. Aku benar-benar tidak ingin pintu itu ditutup. Sekalinya pintu tersebut ditutup, aku merasa seperti kembali lagi ke awal. Menjadi tahanan Louton. Padahal beberapa hari ini ia telah membiarkanku keluar dari
Tidak ada yang bisa kulakukan selain membalas memandanginya. Mungkin ada beberapa detik berlalu hanya dengan saling menatap dan baru kali ini aku merasa nyaman menempatkan mataku pada Louton dalam waktu lama. Entah. Mungkin karena efek red wine yang ia minum. Menjadikannya mabuk dan hangat. Bahkan wajahnya memerah. Ingin rasanya mendaratkan telapak tanganku di sana."Cuma kau satu-satunya orang di sini yang bisa menemaniku minum malam ini, jadi minumlah."Louton memaksa lagi. Kini ia sudah menarik diri dariku dan menuang red wine lagi ke dalam gelasnya. Seketika aku menghela napas. Padahal ia hanya mendekatkan wajahnya, tapi energiku seakan terserap olehnya hingga membuatku lemas.
Semalam benar-benar kacau.Sudah kukatakan aku tidak bisa minum minuman semacam itu. Aku tahu kondisi diriku sendiri dan aku tahu—aku sudah memprediksinya—bahwa aku tidak akan bisa mengontrol diri ketika alkohol sudah mulai masuk ke dalam tubuhku. Bicaraku jadi melantur. Meracau tak jelas. Dan sialnya, apa yang kukatakan adalah hal yang seharusnya tidak kukatakan.Aku menginginkan Louton? Aku mengaguminya? Bahwa ia memang memabukkan? Bahwa ia pantas untuk dicintai? Ha! Rasanya berbagai macam sumpah serapah ingin kulontarkan pada diriku ini usai mengingat-ingat apa yang sempat kukatakan dan kupikirkan ketika tadi malam minum bersamanya.Aku mematikan shower saat kurasa seseorang masuk ke dalam ruangan.
Memperbaiki Louton. Bagaimana caranya?Bahkan aku sendiri tidak tahu apa yang telah kulakukan padanya hingga membuat ia sedikit berubah. Apa itu ada sangkut pautnya dengan pertanyaannya tadi malam terkait apa yang telah kuperbuat padanya? Namun, aku telah melakukan apa? Tak henti-hentinya pertanyaan itu berputar-putar di dalam kepalaku seiring dengan kunyahan steak di dalam mulut.Steak buatan Mags sungguh enak. Tidak jauh berbeda dengan steak yang disajikan di restoran mewah dan beruntung aku bisa merasakannya secara cuma-cuma. Bahkan tidak rela rasanya jika harus dihabiskan. Mungkin aku harus berterima kasih pada Louton karena telah meminta
Louton terduduk lagi di atas tempat tidur. Wajahnya diselimuti rasa menyesal, entah kenapa. Kedua tangannya pun mulai mengusap wajah dimana kemudian telapak tangannya lanjut bergerak menyusuri hingga ke belakang kepala. Kuamati matanya terpejam dengan posisi kepala menunduk, lalu berdiam diri dalam posisi itu sekian lama. Aku pun hanya bisa memandanginya sembari berpikir kira-kira apa yang bisa kulakukan.Perlahan aku mendekatkan diri. Merayap di atas tempat tidur dan berhenti di sampingnya. Duduk di sana dengan perasaan waswas. Jangan pikir aku tidak takut, sebab yang kurasakan justru sebaliknya. Aku sangat takut. Takut salah dalam memilih langkah hingga akhirnya yang ada kemarahan Louton justru semakin tak terkendali."Maaf. Aku tidak bermaksud ingin membentakmu," kataku pelan. Mencerminkan rasa bersalah melalui wajah yang menunduk memandang kuku jari.
"Aku tidak tahu lagi cara yang tepat untuk menutup mulutmu, Rose."Aku masih terbawa suasana ketika kalimat itu terucap oleh Louton.Kelopak mataku perlahan terangkat. Kedua tangannya masih ada di posisi sebelumnya. Mulutku terbuka sedikit untuk mengambil udara yang sempat diambil paksa olehnya. Masih terlampau syok, aku pun menatap linglung."A-aku … tidak masalah dengan cara itu," balasku terdengar bodoh.Louton menundukkan kepala. Masing-masing tangannya terlepas dariku dan ia pun menjauh.Aku ikut menunduk rikuh dan menggigit bibir."Lupakan yang baru saja terjadi."Sontak aku mendongak.
Aku tidak bisa menebak apa yang ada di dalam pikirannya. Ia hanya menatapku melalui mata elang juga rahang kokohnya miliknya yang tengah mengunyah dengan irama pelan. Sesuatu di dalam diriku ikut terkoyak karena itu.Bahkan bagaimana cara ia mengambil segelas jus, kemudian meneguknya pun begitu mampu menarik perhatian dan membuat mataku terpaku."Aku serius ingin memperbaikimu."Keberanianku yang tak seberapa besar mulai berulah.Kedua tangan Louton yang masing-masing memegang garpu dan pisau, diletakkan di sisi kanan dan kiri piring. Wajahnya terangkat seiring dengan dadanya yang mengembang."Aku tidak memaksamu melakukan itu."“Tapi aku bersikeras melakukannya.&rdquo
“Tidak masalah,” kataku pada akhirnya sembari berusaha bangun. “Wajar saja jika kau marah, karena aku memang bodoh. Aku … aku tidak memaksimalkan kesempatan yang kau berikan dan aku … aku tidak bisa menjaga emosiku.”Louton menatapku bingung. Kulihat napasnya sudah kembali normal. Mungkin ia berpikir bahwa ada yang salah dengan diriku karena aku bersikap tidak biasanya. Tidak seperti dulu yang begitu melawannya dan begitu menyumpahi tindakan kasarnya.Aku berdiri. Perlahan mendekat padanya.“Aku sungguh minta maaf karena sudah melakukan hal yang tidak kau suka.”Postur Louton yang jauh lebih tinggi dariku menyebabkanku harus mendongak untuk melihatnya. Bola mata biru cerahnya itu seakan tertambat pada ma