Aku kembali di tempat semestinya aku berada. Tidak ada lagi kaca jendela besar yang memperlihatkan pemandangan pepohonan di luar rumah, tidak ada lagi tempat tidur yang lebih lembut dan empuk, tidak ada lagi bathtub, dan yang pasti tidak ada lagi penampakan Louton berlalu-lalang tanpa pakaian.
Aku telah kembali di ruangan yang tanpa apa pun ini, selain tempat tidur, meja, dan shower box.
"Kalau begitu saya permisi, Miss Johnson. Dan saya harus menutup pintu ini."
Oh, tidak. Aku benar-benar tidak ingin pintu itu ditutup. Sekalinya pintu tersebut ditutup, aku merasa seperti kembali lagi ke awal. Menjadi tahanan Louton. Padahal beberapa hari ini ia telah membiarkanku keluar dari <
Tidak ada yang bisa kulakukan selain membalas memandanginya. Mungkin ada beberapa detik berlalu hanya dengan saling menatap dan baru kali ini aku merasa nyaman menempatkan mataku pada Louton dalam waktu lama. Entah. Mungkin karena efek red wine yang ia minum. Menjadikannya mabuk dan hangat. Bahkan wajahnya memerah. Ingin rasanya mendaratkan telapak tanganku di sana."Cuma kau satu-satunya orang di sini yang bisa menemaniku minum malam ini, jadi minumlah."Louton memaksa lagi. Kini ia sudah menarik diri dariku dan menuang red wine lagi ke dalam gelasnya. Seketika aku menghela napas. Padahal ia hanya mendekatkan wajahnya, tapi energiku seakan terserap olehnya hingga membuatku lemas.
Semalam benar-benar kacau.Sudah kukatakan aku tidak bisa minum minuman semacam itu. Aku tahu kondisi diriku sendiri dan aku tahu—aku sudah memprediksinya—bahwa aku tidak akan bisa mengontrol diri ketika alkohol sudah mulai masuk ke dalam tubuhku. Bicaraku jadi melantur. Meracau tak jelas. Dan sialnya, apa yang kukatakan adalah hal yang seharusnya tidak kukatakan.Aku menginginkan Louton? Aku mengaguminya? Bahwa ia memang memabukkan? Bahwa ia pantas untuk dicintai? Ha! Rasanya berbagai macam sumpah serapah ingin kulontarkan pada diriku ini usai mengingat-ingat apa yang sempat kukatakan dan kupikirkan ketika tadi malam minum bersamanya.Aku mematikan shower saat kurasa seseorang masuk ke dalam ruangan.
Memperbaiki Louton. Bagaimana caranya?Bahkan aku sendiri tidak tahu apa yang telah kulakukan padanya hingga membuat ia sedikit berubah. Apa itu ada sangkut pautnya dengan pertanyaannya tadi malam terkait apa yang telah kuperbuat padanya? Namun, aku telah melakukan apa? Tak henti-hentinya pertanyaan itu berputar-putar di dalam kepalaku seiring dengan kunyahan steak di dalam mulut.Steak buatan Mags sungguh enak. Tidak jauh berbeda dengan steak yang disajikan di restoran mewah dan beruntung aku bisa merasakannya secara cuma-cuma. Bahkan tidak rela rasanya jika harus dihabiskan. Mungkin aku harus berterima kasih pada Louton karena telah meminta
Louton terduduk lagi di atas tempat tidur. Wajahnya diselimuti rasa menyesal, entah kenapa. Kedua tangannya pun mulai mengusap wajah dimana kemudian telapak tangannya lanjut bergerak menyusuri hingga ke belakang kepala. Kuamati matanya terpejam dengan posisi kepala menunduk, lalu berdiam diri dalam posisi itu sekian lama. Aku pun hanya bisa memandanginya sembari berpikir kira-kira apa yang bisa kulakukan.Perlahan aku mendekatkan diri. Merayap di atas tempat tidur dan berhenti di sampingnya. Duduk di sana dengan perasaan waswas. Jangan pikir aku tidak takut, sebab yang kurasakan justru sebaliknya. Aku sangat takut. Takut salah dalam memilih langkah hingga akhirnya yang ada kemarahan Louton justru semakin tak terkendali."Maaf. Aku tidak bermaksud ingin membentakmu," kataku pelan. Mencerminkan rasa bersalah melalui wajah yang menunduk memandang kuku jari.
"Aku tidak tahu lagi cara yang tepat untuk menutup mulutmu, Rose."Aku masih terbawa suasana ketika kalimat itu terucap oleh Louton.Kelopak mataku perlahan terangkat. Kedua tangannya masih ada di posisi sebelumnya. Mulutku terbuka sedikit untuk mengambil udara yang sempat diambil paksa olehnya. Masih terlampau syok, aku pun menatap linglung."A-aku … tidak masalah dengan cara itu," balasku terdengar bodoh.Louton menundukkan kepala. Masing-masing tangannya terlepas dariku dan ia pun menjauh.Aku ikut menunduk rikuh dan menggigit bibir."Lupakan yang baru saja terjadi."Sontak aku mendongak.
Aku tidak bisa menebak apa yang ada di dalam pikirannya. Ia hanya menatapku melalui mata elang juga rahang kokohnya miliknya yang tengah mengunyah dengan irama pelan. Sesuatu di dalam diriku ikut terkoyak karena itu.Bahkan bagaimana cara ia mengambil segelas jus, kemudian meneguknya pun begitu mampu menarik perhatian dan membuat mataku terpaku."Aku serius ingin memperbaikimu."Keberanianku yang tak seberapa besar mulai berulah.Kedua tangan Louton yang masing-masing memegang garpu dan pisau, diletakkan di sisi kanan dan kiri piring. Wajahnya terangkat seiring dengan dadanya yang mengembang."Aku tidak memaksamu melakukan itu."“Tapi aku bersikeras melakukannya.&rdquo
“Tidak masalah,” kataku pada akhirnya sembari berusaha bangun. “Wajar saja jika kau marah, karena aku memang bodoh. Aku … aku tidak memaksimalkan kesempatan yang kau berikan dan aku … aku tidak bisa menjaga emosiku.”Louton menatapku bingung. Kulihat napasnya sudah kembali normal. Mungkin ia berpikir bahwa ada yang salah dengan diriku karena aku bersikap tidak biasanya. Tidak seperti dulu yang begitu melawannya dan begitu menyumpahi tindakan kasarnya.Aku berdiri. Perlahan mendekat padanya.“Aku sungguh minta maaf karena sudah melakukan hal yang tidak kau suka.”Postur Louton yang jauh lebih tinggi dariku menyebabkanku harus mendongak untuk melihatnya. Bola mata biru cerahnya itu seakan tertambat pada ma
Sebuah garis keras terbentuk di bibir Louton. Matanya terlihat berkedut. Siap menerkamku kalau saja ponsel miliknya tidak berdering. Louton pun melihat ponselnya. Ekspresinya tidak terbaca.Belum ingin mengangkat teleponnya, ia justru melempar tatapannya padaku."Tunggu aku," ujarnya menuntut. Memaksaku untuk tidak menolak, meskipun aku memang tidak akan menolak.Aku menarik napas."Tentu. Aku akan tunggu kau di kamar—eh, seperti yang kau perintahkan," ujarku melengkapi seraya menurunkan pandangan dan mengulum bibir.Sosoknya yang dalam balutan pakaian formal yang mengagumkan itu pun akhirnya menghilang di balik pintu. Aroma maskulin dari tubuhnya yang sekilas tercium seperti campuran
“Aku tidak memintamu untuk ke sini,” ujar Louton dengan suara serak dan dingin. “Aku memintamu untuk menungguku di dalam kamar,” lanjutnya tanpa berniat bertatapan denganku sebagai satu-satunya lawan bicaranya.Sayangnya, apa yang dikatakannya itu tidak mampu membuatku berhenti mendekat."Aku tahu dan aku sudah menunggumu, tapi kau tidak kunjung datang.""Apa kau tidak paham dengan maksud dari kata menunggu?"Louton mengangkat wajahnya. Entah memang wajahnya yang memerah atau cahaya remang-remang lampu ruang anggur yang tanpa sengaja terserap ke dalam wajahnya, yang pasti wajahnya itu terlihat seperti bara api akibat pembakaran kayu, batu bara, atau bahan karbon lainnya. Menjadikannya tampak panas.Lou
Aku memikirkan ibuku. Tidak mungkin tidak. Aku juga tidak yakin ibu memutuskan untuk diam saja. Bahkan mungkin sekarang ia sedang berada di kantor Berkeley Police Department untuk melaporkan bahwa aku akhirnya memberi kabar setelah tujuh hari menghilang.Tujuh hari. Aku sendiri pun tidak sadar sudah selama itu aku berada di sini.Di tengah lamunanku, seseorang mengetuk pelan pintu kamar Louton. Aku segera bangun dari posisi merebahkan tubuh di atas tempat tidur."Miss Johnson?" panggil Mags."Aku di dalam, Mags."Pintu terbuka. Sosok Mags yang tersenyum kembali tampak usai selama beberapa jam ini sibuk menjamu tamu, yaitu seorang Mia Evans."Anda pasti sudah lapar," uj
Lagi-lagi ibu berhasil menebaknya. Apa memang sekuat itu insting yang dimiliki seorang ibu?Tanpa sadar aku berputar dan mataku menangkap sosok Louton berdiri di pintu kaca yang terbuka. Apa ia sudah sejak tadi ada di sana? Mendengarku menelepon? Ketika sekalinya telingaku menemukan kembali suara ibu, aku langsung lupa akan apa yang terjadi sebelumnya di sini. Termasuk Louton. Aku tidak ingat jika ia akan datang ke kamarnya untuk berganti pakaian dan setelahnya akan menemui Mia Evans di bawah sana."Rose?" tanya ibu menagih jawaban.Sial. Abaikan dulu Louton, aku harus segera memberi jawaban yang aman pada ibu."Seseorang? Umm, yah, kurang lebih bisa dikatakan seperti itu. Terkadang aku bersama seseorang dan terkadang juga
Aku tidak tenang. Sungguh tidak tenang. Sedari tadi yang kulakukan hanyalah mondar-mandir di kamar Louton sembari menggigiti kuku ibu jari. Hati ini begitu gelisah. Rasanya ingin segera keluar kamar, turun ke lantai bawah, dan melihat langsung apa yang sedang terjadi. Terlebih jam sudah menunjukkan pukul tiga lewat. Memberi pertanda bahwa Louton akan segera datang.Mags juga tampaknya tidak ada niatan naik ke atas untuk mengunjungiku. Sekadar mengecek keadaanku—mungkin—sekaligus mengatakan bahwa ia tetap mempercayaiku dan tetap menaruh harapan padaku untuk memperbaiki Louton.Memikirkan kemungkinan jika Mags langsung berubah pikiran setelah bertemu dengan Mia Evans, benar-benar membuat hatiku semakin tidak tenang."Oke, Rose," kataku menarik napas, kemudian mengembuskan perlahan. "Mungkin kau bisa
"Ke-kenapa?" tanyaku mendongak melihat Vince yang berdiri menjulang."Mags, tolong bawa pergi Miss Johnson," perintah Vince sambil meletakkan ponselnya di telinga. Wajahnya tegang, tapi gerak-geriknya terlihat tenang. Kelihatannya Vince sudah berpengalaman menghadapi sesuatu yang membuatnya terkejut."Kau tidak mau memberi tahu terlebih dahulu ada apa sebenarnya?" tanya Mags sama bingungnya denganku."Selamat siang, Mr. Vague," ujar Vince tiba-tiba. Aku menoleh pada Mags yang juga kedapatan sedang membalas tatapanku. "Maaf telah mengganggu waktu Anda. Ada sebuah mobil yang menunggu di depan pintu gerbang rumah Anda. Dikendarai oleh seorang wanita. Akan segera saya kirimkan pada Anda detailnya."Vince merogoh saku bagian dalam jasnya dan mengeluarkan ponsel.
"Mags, ini …," aku mencoba mencari kata yang tepat untuk merepresentasikan masakan Mags, "ini benar-benar enak. Terima kasih banyak."Sebenarnya aku kurang puas dengan ucapanku, tapi memang tidak ada kata lain yang bisa kulontarkan lagi. Setidaknya itu lebih baik dibanding dengan hanya diam saja seperti Vince, padahal ia juga telah menyapu bersih makanan yang ada di atas piring. Namun, tidak ada niatan untuk merespons berupa pujian atau semacamnya. Lelaki ini benar-benar kaku seperti robot. Walau begitu, sepertinya Mags sudah terbiasa."Senang melihat Anda makan dengan lahap," ujar Mags yang sudah ikut duduk di dekatku. "Setidaknya dengan adanya Anda di sini, saya jadi tahu jika masakan saya cukup baik."Aku dan Mags saling melempar senyum. Sekilas melirik pada Vince yang sedang menyesap secangkir kopi&
Tidak tahu harus melakukan apa di kamar Louton, aku memutuskan turun ke lantai bawah.Rumah ini benar-benar sepi. Besar dan sepi. Mungkin juga efek dari lokasi rumah yang berada di daerah terpencil yang jarang dilalui orang banyak. Mengintip area luar melalui kaca besar yang hampir mengelilingi setiap sisi rumahnya, membuatku jadi ingin pergi keluar rumah. Hanya saja, sudah pasti Vince tidak akan membiarkanku keluar. Ia pasti akan langsung melaporkanku pada Louton jika aku berniat menginjakkan kaki selangkah saja keluar dari pintu."Mags?"Mataku mengedar ke sekeliling rumah seraya memanggil dan mencari Mags. Aku ingat jika sebelumnya ia mengatakan jika dirinya akan menyiapkan makan siang, jadi aku mencarinya ke dapur dengan niatan ingin membantunya, tapi rupanya ia tidak ada.
Aliran darah di wajah Mags seakan terserap habis hingga membuatnya tampak pucat. Matanya yang keriput tampak melotot. Mulutnya terbuka sedikit yang tak lama setelahnya ditutupi oleh telapak tangannya."Ya Tuhan. Apa yang sudah saya lakukan?" tanyanya panik memegangi dada. Terkejut atas ketidaksengajaannya sendiri."Mags ….""Seharusnya saya tidak boleh mengatakan itu. Apa yang nantinya akan dilakukan Mr. Vague pada saya? Saya benar-benar lancang." Mags terus meracau. Menyumpahi kesalahannya yang bagaikan tidak sengaja membongkar rahasia negara."Mags. Hei …."Aku mencoba mengambil alih perhatian Mags yang mungkin sedang mati-matian berjibaku dengan rasa bersalah.
Sebuah garis keras terbentuk di bibir Louton. Matanya terlihat berkedut. Siap menerkamku kalau saja ponsel miliknya tidak berdering. Louton pun melihat ponselnya. Ekspresinya tidak terbaca.Belum ingin mengangkat teleponnya, ia justru melempar tatapannya padaku."Tunggu aku," ujarnya menuntut. Memaksaku untuk tidak menolak, meskipun aku memang tidak akan menolak.Aku menarik napas."Tentu. Aku akan tunggu kau di kamar—eh, seperti yang kau perintahkan," ujarku melengkapi seraya menurunkan pandangan dan mengulum bibir.Sosoknya yang dalam balutan pakaian formal yang mengagumkan itu pun akhirnya menghilang di balik pintu. Aroma maskulin dari tubuhnya yang sekilas tercium seperti campuran