Usai mengalami insiden melarikan diri yang gagal, entah kenapa aku justru merasa tidurku nyenyak—meski ketika bangun sekujur tubuh makin terasa ngilu dan kepalaku terasa pusing. Mungkin karena saking lelahnya, hingga seluruh sistem di tubuhku memilih untuk langsung mengnonaktifkan diri dan kembali aktif di hari berikutnya.
"Panas … kenapa terasa panas?"
Tidak tahu apakah suhu ruangan ini memang sengaja dibuat lebih panas oleh Louton, tapi aku merasa demikian. Panas yang kurasakan berbeda dengan biasanya. Aku merasakan suhu tubuhku meningkat, tapi aku pun juga merasa kedinginan. Aku menggigil. Bahkan selimut yang disediakan tidak cukup menghalau rasa dingin yang ada.
"Sialan perutku …."
Belum lagi perutku yang sudah meronta-ronta. Suara yang keluar dari dalam sana begitu mengerikan. Seperti ada monster yang begitu kelaparan dan terpaksa menggerogoti isi perutku hingga membuatku melilit. Sialnya aku tidak bisa melakukan apa pun. Aku hanya bisa berbaring. Seolah tulang-tulang yang menyokong tubuhku ini melebur hingga menyebabkanku tidak bisa mengangkat tubuhku sendiri.
Irama napasku pun terasa pendek. Seakan oksigen yang tersebar di sekitar telah menipis. Atau jangan-jangan Louton juga mengatur jumlah oksigen di dalam ruangan ini? Sebagai bentuk hukumannya padaku akibat telah berusaha kabur? Sengaja membuatku menggigil, sengaja membuatku sesak, sengaja membuatku lapar, dan apabila telah merasa cukup ia akan mengembalikan segala sesuatunya ke keadaan normal?
"Hha, tidak mungkin." Aku menampik hasil pemikiranku sendiri.
Di tengah tingkat kesadaranku yang mulai menurun, telingaku masih menangkap suara desis yang tak asing. Sayangnya kepalaku terasa berat untuk sekadar menoleh ke arah pintu, jadi aku hanya menatap lemah langit-langit yang tampak mengabur.
Tak lama kemudian aku merasakan sesuatu yang hangat menempel di dahiku. Menekan dengan lembut, lalu beralih turun ke pipi juga leherku. Bisa kuhirup aroma maskulin yang menyenangkan ketika ia semakin mendekat.
Louton, batinku bicara.
"Apa kau … belum puas … menghukumku?" tanyaku lemas di tengah tarikan napas pendek. "Apa aku … belum … terlihat … menyedihkan? Aku … harus—"
"Berhentilah bicara."
Ingin aku mengelak ketika ia menyibak selimut yang menutupi tubuhku, tapi apa daya aku tidak bisa. Akhirnya kubiarkan Louton meletakkan satu tangannya di sepanjang bahuku, kemudian satu tangannya lagi ia letakkan di bagian belakang kedua lututku. Dalam hitungan detik dengan mudah ia mengangkatku dan membawaku pergi keluar ruangan.
"Kau ingin … membawaku … ke mana?"
"Kubilang berhenti bicara. Kenapa perintah sederhana seperti itu saja sulit untuk kau lakukan?"
Selama sesaat yang mengerikan, kupikir ia akan membawaku ke halaman belakang rumahnya dan menguburku hidup-hidup di sana, tapi tidak. Louton justru membawaku ke lantai atas. Lantai atas rumahnya yang kemarin belum sempat kujelajahi. Mungkin di sana terdapat ruang penyekapan yang lebih sempit, lebih canggih, dipenuhi oleh alat-alat penyiksaan yang akan lebih membuatnya merasa puas untuk menghukumku … aku tidak tahu. Sepanjang aku dibawa pergi olehnya, selama itu pula otakku diselimuti oleh pikiran buruk.
“Oh, Vince!” pekik Louton tiba-tiba. Kalau saja aku tidak dalam keadaan seperti ini, mungkin aku sudah terlonjak akibat suaranya yang menggelegar di tengah kesunyian rumahnya.
“Selamat pagi, Mr. Vague. Mobil Anda telah siap," balas Vince dengan suara rendah, berat, dan pelan.
“Aku tidak jadi pergi hari ini.” ujar Louton tegas dan ia bicara pada Vince masih dalam keadaan membopongku. “Tolong sampaikan pada Ibuku."
"Baik, Mr. Vague."
"Jangan katakan alasan apa pun. Cukup beri tahu padanya aku tidak jadi pergi."
"Baik, Mr. Vague. Apa ada yang perlu saya lakukan lagi?"
"Tidak ada. Biar ini menjadi urusanku."
Louton melanjutkan aktivitasnya yang sempat terhenti oleh kemunculan Vince. Ia membawaku ke ruangan lain yang lebih terang dan lebih luas dari ruangan di basement. Aku tahu itu karena butuh perjalanan panjang sebelum akhirnya Louton menurunkan tubuhku dan membaringkannya di atas sesuatu yang lebih lembut—sebuah tempat tidur, kurasa. Udara yang terhirup pun lebih segar. Seperti udara luar yang kemarin sempat kuhirup ketika berhasil keluar menuju halaman belakang. Membuat kinerja paru-paruku berangsur normal.
Dalam mata terpejam, aku melihat bayang-bayang hitam Louton telah pergi, walau aromanya masih tertinggal di sekitarku. Namun, tidak lama. Ia kembali datang dan ikut duduk di atas tempat tidur, di sebelah tubuhku yang berbaring. Menyentuh dahiku sekali lagi sesaat sebelum akhirnya ia mulai menempelkan kain basah yang hangat di area wajah dan leherku, kemudian menyekanya dengan pelan.
Rasanya aku ingin segera membuka mata untuk melihatnya. Untuk memastikan bahwa seseorang ini benar Louton. Akan tetapi, sisi lain diriku menyarankan untuk tidak melakukannya, sebab jika aku membuka mata, belum tentu Louton akan tetap bersikap selembut ini. Siapa tahu ia akan terkejut, panik, dan merasa salah telah bersikap baik padaku. Lalu tanpa berpikir panjang lagi, detik itu juga ia kembali bersikap jahat. Jadi, kuputuskan untuk terus memejamkan mata. Menikmati usapan hangat yang mulai berpindah ke area lenganku. Bahkan saking terhanyutnya, tanpa sadar aku kembali tertidur.
🌹🌹🌹
Aku memimpikan ibu. Ia menangis sesenggukan di sofa ruang tamu rumah kami sambil memandang haru fotoku. Tangannya yang mulai keriput mengusap pilu foto tersebut. Sesekali memeluk erat, seolah dengan begitu aku ikut mampu merasakan pelukannya.
Pemandangan yang sungguh membuatku sedih, walau aku tahu itu hanya dalam mimpi. Aku tidak pernah melihat ibu menangis seperti itu setelah kepergian ayah. Tidak pernah sampai detik dimana aku hilang. Hilang begitu saja dari kehidupannya. Membiarkan dirinya sendirian dalam kebingungan dan kekhawatiran yang teramat sangat.
Terlebih aku juga belum bertemu dengan ibu lagi setelah beberapa minggu berada di Berkeley. Aku belum sempat pulang ke Vancouver dan niatnya aku akan pulang di hari libur setelah pekan ujian akhir selesai. Namun, yang ada aku justru terkurung di tempat antah-berantah yang tidak kuketahui di mana tepatnya.
Meski begitu, aku mencoba mendekati ibu yang masih menangis terisak. Baru juga melangkah, seketika tanganku langsung dicengkeram dari belakang dan tubuhku tertarik mundur. Louton muncul dimana tangannya yang lain dengan sigap mencekik leherku.
Aku tercekat dan tubuhku tersentak ke atas begitu kuat. Refleks tanganku memegangi leher dengan panik. Dadaku kembang kempis dengan mulut menganga. Bola mataku berkeliaran ke segala arah.
Kusibakkan selimut, kemudian kulayangkan kedua kakiku ke atas lantai. Tanpa persiapan apa pun langsung memaksa badan ini berdiri dan sontak aku pun terhuyung. Ketika tanganku hendak menggapai sesuatu yang bisa dijadikan penopang, aku sudah lebih dulu terjatuh tepat saat pintu terbuka.
Louton meraih bahuku.
"Apa kau mencoba untuk kabur lagi?" tanyanya sembari mengangkatku untuk yang kedua kalinya. "Saat dalam keadaan sehat saja kau tidak bisa kabur, Rose. Apalagi ketika kau dalam keadaan seperti ini."
Aku dibaringkan lagi olehnya di atas ranjang. Dengan cekatan aku menarik selimut hingga menutupi tubuhku dan menciut di baliknya. Bola mataku bergulir untuk melihat Louton yang masih berdiri di sebelahku. Tidak ada tanda-tanda kemarahan di wajahnya. Bahkan ia terlihat cerah dengan kemeja putih yang melekat di tubuhnya. Ditambah dengan kancing bagian atas sengaja dibiarkan terbuka, juga bagian lengan yang digulung sebatas siku, ikat pinggang kulit, dan celana abu-abu formal yang membalut kedua kakinya yang jenjang. Semakin membuatnya menarik.
Kalau saja aku sedang tidak menjadi korban penculikannya, sudah pasti aku menjadi wanita yang paling beruntung bisa berhadapan dengan Louton Vague sedekat ini.
“Di mana aku?”
“Di kamarku.”
Baiklah. Untuk kali ini mataku mengecek sekeliling dengan saksama. Jam rupanya masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Tampaknya tidurku yang sebelumnya tidak terlalu panjang.
"Kenapa kau melakukan ini?" tanyaku hati-hati sambil mengubah posisi menjadi duduk.
"Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu," jawabnya melepas jam tangan yang melingkar di tangan kirinya sambil menghadap cermin kotak berukuran besar.
"Bukan soal penculikan atau perlakuan jahatmu, tapi sebaliknya," kataku meralat apa yang tengah Louton pikirkan. "Kenapa sekarang kau justru baik padaku? Sikapmu benar-benar buatku bingung."
Louton melempar jam tangannya ke atas meja kayu yang ada di bawah cermin, tepat di depan tempat tidur. Suaranya nyaring ketika beradu dengan permukaan meja.
Setelah itu Louton berbalik dengan posisi kedua tangan dijejalkan ke dalam saku celana. Ia menatapku dari depan sana. Pancaran matanya kali ini sungguh berbeda. Tidak membara, tidak berkilat tajam, dan tidak beringas. Kali ini terasa lembut dan hangat.
"Kenapa juga kau selalu bertanya, Rose? Apa kau tidak bisa menikmatinya saja?"
“Perempuan mana yang justru menikmati—” Aku mengerang dalam hati. Tidak ingin terlalu memperlihatkan emosiku. Suasana hati Louton tampaknya sedang baik hari ini. Jangan sampai aku menyia-nyiakannya. Terlebih dahulu aku menarik napas sebelum melanjutkan kalimat. “Oke. Aku suka kau yang berperilaku baik dan mungkin bisa dikatakan aku menikmatinya, tapi kalau kau sudah ….” Aku menangkap kilau biru mata Louton menyala. Detik itu juga aku menelan ludah. “Tapi kalau kemarahanmu sudah mulai tidak terkontrol, aku tidak bisa, Mr. Vague. Aku tidak bisa menikmati itu. Lagi pula, apa yang harus kunikmati kalau kau justru membuatku sakit?” “Aku tidak bermaksud membuatmu sakit.” Refleks alisku terangkat sebagai isyarat rasa bingung atas kalimat balasannya. “Aku hanya ingin memberikanmu pelajaran.” Wajahku berpaling seray
Mataku berkedip cepat. "Apa aku harus menandatangani itu?" tanyaku meladeni. Lanjut mengunyah pancake. "Aku bersikeras agar kau melakukannya." "Apa kau akan menyakitiku kalau aku tetap tidak mau?" Bola mataku bergulir ke arahnya dengan hati-hati. Kulihat mata Louton menyipit. Tampak tidak senang dengan pertanyaanku. Rahangnya mulai mengencang. Tangannya mulai bersiap mengepal dengan gelisah. Sesaat aku sadar kalau sesi ramah-tamah Louton untuk hari ini telah selesai. "Iya. Aku akan menyakitimu. Lebih dari apa yang pernah kulakukan," jawabnya mampu menggetarkan segala sesuatu yang ada di diriku. Bahkan sayup-sayup aku seperti mendengar ada yang memohon agar aku tidak m
Lagi-lagi terbangun seperti ini. Rasa ngilu yang sebelumnya belum seratus persen hilang, tapi sudah kembali ditimpa oleh rasa ngilu yang lain. Punggung, dahi, bahkan kaki. Nyaris semua anggota tubuhku telah menjadi korban kekejaman Louton. Dan nahasnya, aku masih di sini. Di rumahnya. Di dalam ruangan penyiksaannya di bawah tanah. Entah hal buruk apa lagi yang akan datang padaku. Rasa-rasanya aku sudah tidak sanggup menerimanya. Harusnya aku bisa mendapatkan hal yang jauh lebih baik dari ini. Ibuku yang mengatakan itu. Ibuku mengatakan jika suatu saat nanti aku akan bertemu dengan seorang pria baik yang akan menempatkanku—Rose—di taman terindahnya. Oh, tidak. Ibu. Mungkin Louton benar. Aku bukan anak yang patuh. Aku tidak mengindahkan nasihat, pesannya, hingga akhirnya aku berakhir seperti ini. Anggap saja Louton adalah seseorang yang datang mewak
Louton. Berdiri di sana. Di ambang pintu kaca—yang tadinya kupikir adalah jendela, yang tadinya ditatap oleh Mags dengan begitu gelisah—hanya dengan sehelai handuk putih melilit dari pinggang ke bawah. Sementara bagian atasnya? Dibiarkan saja terekspos tanpa sehelai benang pun. Tidak perlu susah payah mengintip apa yang ada di balik kemejanya, kini Louton telah memperlihatkan tubuh indahnya secara cuma-cuma.Dan, inilah aku. Seorang wanita biasa yang rasa-rasanya tak mungkin dihadapi dengan pemandangan gratis Louton Vague semacam ini, jadi mau tak mau hanya bisa terpaku padanya hingga bola mataku bergerak mengikuti ke mana pun arah ia pergi. Benar-benar memalukan. Malu pada diriku sendiri yang seolah memiliki dua sisi yang saling bertentangan, yaitu membencinya dan mengaguminya. Hatiku mungkin mengatakan jika aku membencinya, tapi mataku? Mataku sungguh-sungguh sialan.
Cahaya di sekitarku berganti menjadi terang tak lama setelah suara gesekan halus terdengar. Mataku mengerut sebelum akhirnya terbuka perlahan. "Selamat Pagi, Miss Johnson," sapa Mags dengan ceria. Tidak lagi tegang seperti saat terakhir ia meninggalkanku. "Anda ingin mandi atau sarapan lebih dulu? Biar saya siapkan." Rahangku masih terasa berat, tapi sudah jauh lebih baik dari semalam. "Aku … aku ingin sarapan," jawabku parau. "Baik kalau begitu. Akan saya bawakan sarapannya," ujar Mags tersenyum, kemudian berlalu dengan langkah tegas. Aku mencoba bangun. Astaga. Ini seperti bukan tubuhku. Aku tidak pernah merasakan sakit yang separah ini. Seumur hidu
Hangat. Elegan. Mewah. Bathtub yang ada di kamar mandi Louton sungguh luar biasa. Bukan hanya bathtub, tapi semuanya. Aku tidak tahu kenapa ia masih memiliki bathtub padahal ia sudah memiliki kolam jacuzzi di luar sana. Dan ada shower juga. Akan tetapi, masa bodoh dengan itu. Intinya aku tetap merasa nyaman. Aku bisa melihat pemandangan di luar meski aku sedang berendam. Sungguh menakjubkan. Namun, tidak. Bukan saatnya aku t
"Setelah makan aku ingin kau kembali ke basement," cetus Louton segera setelah aku menyuap sereal ke dalam mulut. Mendengar itu nafsu makanku mendadak memudar. "Ada apa? Kau mau menolak?" Aku mengunyah pelan. Wajahku menunduk sambil mengaduk tak bersemangat semangkuk sereal gandum utuh dengan chia seed dan potongan stroberi. Louton tampaknya bisa membaca ekspresi wajahku. Ekspresi wajah yang jelas-jelas menggambarkan penolakan tanpa perlu diutarakan dengan kata-kata. Aku membersihkan area bibir dengan juluran lidah, lalu memandangnya. "Tidak," kataku menggeleng. "Kau sendiri yang bilang kalau tempatku harusnya ada di bawah sana. Tapi ka
Kemunculan Vince secara tiba-tiba membuatku terkejut sekaligus malu, sebab Louton masih membopongku. Aku bisa saja menjatuhkan diri, tapi mengingat kakiku yang masih belum bisa dikatakan sembuh total, alhasil aku mengurungkan niat itu. “Maaf, Mr. Vague,” ujar Vince berdiri tak jauh dari Louton. Ada semacam rasa bersalah tergambar di wajahnya. “Tampaknya Mrs. Vague sudah menunggu di depan.” Reaksi Louton masih sama. Aku sungguh berharap ia tidak membantingku hanya karena kedatangan tamu yang tidak menyenangkan di pagi hari. “Kelihatannya mobil Ibuku memang harus masuk ke daftar blacklist,” gerutunya lanjut berjalan dengan bersungut-sungut.
“Aku tidak memintamu untuk ke sini,” ujar Louton dengan suara serak dan dingin. “Aku memintamu untuk menungguku di dalam kamar,” lanjutnya tanpa berniat bertatapan denganku sebagai satu-satunya lawan bicaranya.Sayangnya, apa yang dikatakannya itu tidak mampu membuatku berhenti mendekat."Aku tahu dan aku sudah menunggumu, tapi kau tidak kunjung datang.""Apa kau tidak paham dengan maksud dari kata menunggu?"Louton mengangkat wajahnya. Entah memang wajahnya yang memerah atau cahaya remang-remang lampu ruang anggur yang tanpa sengaja terserap ke dalam wajahnya, yang pasti wajahnya itu terlihat seperti bara api akibat pembakaran kayu, batu bara, atau bahan karbon lainnya. Menjadikannya tampak panas.Lou
Aku memikirkan ibuku. Tidak mungkin tidak. Aku juga tidak yakin ibu memutuskan untuk diam saja. Bahkan mungkin sekarang ia sedang berada di kantor Berkeley Police Department untuk melaporkan bahwa aku akhirnya memberi kabar setelah tujuh hari menghilang.Tujuh hari. Aku sendiri pun tidak sadar sudah selama itu aku berada di sini.Di tengah lamunanku, seseorang mengetuk pelan pintu kamar Louton. Aku segera bangun dari posisi merebahkan tubuh di atas tempat tidur."Miss Johnson?" panggil Mags."Aku di dalam, Mags."Pintu terbuka. Sosok Mags yang tersenyum kembali tampak usai selama beberapa jam ini sibuk menjamu tamu, yaitu seorang Mia Evans."Anda pasti sudah lapar," uj
Lagi-lagi ibu berhasil menebaknya. Apa memang sekuat itu insting yang dimiliki seorang ibu?Tanpa sadar aku berputar dan mataku menangkap sosok Louton berdiri di pintu kaca yang terbuka. Apa ia sudah sejak tadi ada di sana? Mendengarku menelepon? Ketika sekalinya telingaku menemukan kembali suara ibu, aku langsung lupa akan apa yang terjadi sebelumnya di sini. Termasuk Louton. Aku tidak ingat jika ia akan datang ke kamarnya untuk berganti pakaian dan setelahnya akan menemui Mia Evans di bawah sana."Rose?" tanya ibu menagih jawaban.Sial. Abaikan dulu Louton, aku harus segera memberi jawaban yang aman pada ibu."Seseorang? Umm, yah, kurang lebih bisa dikatakan seperti itu. Terkadang aku bersama seseorang dan terkadang juga
Aku tidak tenang. Sungguh tidak tenang. Sedari tadi yang kulakukan hanyalah mondar-mandir di kamar Louton sembari menggigiti kuku ibu jari. Hati ini begitu gelisah. Rasanya ingin segera keluar kamar, turun ke lantai bawah, dan melihat langsung apa yang sedang terjadi. Terlebih jam sudah menunjukkan pukul tiga lewat. Memberi pertanda bahwa Louton akan segera datang.Mags juga tampaknya tidak ada niatan naik ke atas untuk mengunjungiku. Sekadar mengecek keadaanku—mungkin—sekaligus mengatakan bahwa ia tetap mempercayaiku dan tetap menaruh harapan padaku untuk memperbaiki Louton.Memikirkan kemungkinan jika Mags langsung berubah pikiran setelah bertemu dengan Mia Evans, benar-benar membuat hatiku semakin tidak tenang."Oke, Rose," kataku menarik napas, kemudian mengembuskan perlahan. "Mungkin kau bisa
"Ke-kenapa?" tanyaku mendongak melihat Vince yang berdiri menjulang."Mags, tolong bawa pergi Miss Johnson," perintah Vince sambil meletakkan ponselnya di telinga. Wajahnya tegang, tapi gerak-geriknya terlihat tenang. Kelihatannya Vince sudah berpengalaman menghadapi sesuatu yang membuatnya terkejut."Kau tidak mau memberi tahu terlebih dahulu ada apa sebenarnya?" tanya Mags sama bingungnya denganku."Selamat siang, Mr. Vague," ujar Vince tiba-tiba. Aku menoleh pada Mags yang juga kedapatan sedang membalas tatapanku. "Maaf telah mengganggu waktu Anda. Ada sebuah mobil yang menunggu di depan pintu gerbang rumah Anda. Dikendarai oleh seorang wanita. Akan segera saya kirimkan pada Anda detailnya."Vince merogoh saku bagian dalam jasnya dan mengeluarkan ponsel.
"Mags, ini …," aku mencoba mencari kata yang tepat untuk merepresentasikan masakan Mags, "ini benar-benar enak. Terima kasih banyak."Sebenarnya aku kurang puas dengan ucapanku, tapi memang tidak ada kata lain yang bisa kulontarkan lagi. Setidaknya itu lebih baik dibanding dengan hanya diam saja seperti Vince, padahal ia juga telah menyapu bersih makanan yang ada di atas piring. Namun, tidak ada niatan untuk merespons berupa pujian atau semacamnya. Lelaki ini benar-benar kaku seperti robot. Walau begitu, sepertinya Mags sudah terbiasa."Senang melihat Anda makan dengan lahap," ujar Mags yang sudah ikut duduk di dekatku. "Setidaknya dengan adanya Anda di sini, saya jadi tahu jika masakan saya cukup baik."Aku dan Mags saling melempar senyum. Sekilas melirik pada Vince yang sedang menyesap secangkir kopi&
Tidak tahu harus melakukan apa di kamar Louton, aku memutuskan turun ke lantai bawah.Rumah ini benar-benar sepi. Besar dan sepi. Mungkin juga efek dari lokasi rumah yang berada di daerah terpencil yang jarang dilalui orang banyak. Mengintip area luar melalui kaca besar yang hampir mengelilingi setiap sisi rumahnya, membuatku jadi ingin pergi keluar rumah. Hanya saja, sudah pasti Vince tidak akan membiarkanku keluar. Ia pasti akan langsung melaporkanku pada Louton jika aku berniat menginjakkan kaki selangkah saja keluar dari pintu."Mags?"Mataku mengedar ke sekeliling rumah seraya memanggil dan mencari Mags. Aku ingat jika sebelumnya ia mengatakan jika dirinya akan menyiapkan makan siang, jadi aku mencarinya ke dapur dengan niatan ingin membantunya, tapi rupanya ia tidak ada.
Aliran darah di wajah Mags seakan terserap habis hingga membuatnya tampak pucat. Matanya yang keriput tampak melotot. Mulutnya terbuka sedikit yang tak lama setelahnya ditutupi oleh telapak tangannya."Ya Tuhan. Apa yang sudah saya lakukan?" tanyanya panik memegangi dada. Terkejut atas ketidaksengajaannya sendiri."Mags ….""Seharusnya saya tidak boleh mengatakan itu. Apa yang nantinya akan dilakukan Mr. Vague pada saya? Saya benar-benar lancang." Mags terus meracau. Menyumpahi kesalahannya yang bagaikan tidak sengaja membongkar rahasia negara."Mags. Hei …."Aku mencoba mengambil alih perhatian Mags yang mungkin sedang mati-matian berjibaku dengan rasa bersalah.
Sebuah garis keras terbentuk di bibir Louton. Matanya terlihat berkedut. Siap menerkamku kalau saja ponsel miliknya tidak berdering. Louton pun melihat ponselnya. Ekspresinya tidak terbaca.Belum ingin mengangkat teleponnya, ia justru melempar tatapannya padaku."Tunggu aku," ujarnya menuntut. Memaksaku untuk tidak menolak, meskipun aku memang tidak akan menolak.Aku menarik napas."Tentu. Aku akan tunggu kau di kamar—eh, seperti yang kau perintahkan," ujarku melengkapi seraya menurunkan pandangan dan mengulum bibir.Sosoknya yang dalam balutan pakaian formal yang mengagumkan itu pun akhirnya menghilang di balik pintu. Aroma maskulin dari tubuhnya yang sekilas tercium seperti campuran