Home / Romansa / 30 Days With Mr. Vague / 5. There's Something Wrong With You

Share

5. There's Something Wrong With You

Author: elhrln
last update Last Updated: 2021-12-02 10:06:16

Aku sadar kalau tubuhku berayun. Samar-samar aku melihat cahaya terang, kemudian perlahan meredup. Kelopak mataku mengerut ketika menghadapi transisi yang begitu mencolok. Meski begitu, aku masih terlampau lemas untuk menggerakkan tubuhku sendiri. 

"Aku minta kau bermalam di sini. Perempuan yang satu ini sungguh liar. Jangan biarkan dia kabur lagi. Aku tidak tahu harus kuapakan ia jika kembali kabur."

"Baik, Mr. Vague. Apa ada yang perlu saya lakukan lagi untuk Anda?" 

Pertanyaan itu tertangkap oleh telingaku sesaat setelah tubuhku diletakkan. Berdasarkan hasil dari indra perabaku, aku merasakan permukaan yang lembut, empuk, dan dingin. Sepertinya aku telah kembali ke dalam ruang penyekapan. Kembali berbaring di atas tempat tidur usai mengalami kejadian yang amat buruk. 

Aku menggulirkan kepalaku. Melalui penglihatan yang sedikit kabur, aku melihat pria berjas hitam tadi berdiri tak jauh dariku dan Louton berdiri tak jauh dari pintu. Tangannya bersilang di dada. Setelahnya, aku memejamkan mataku lagi. Belum terlalu kuat untuk membuka mata dalam waktu lama. Terlebih hampir seluruh bagian wajahku teramat kaku dan ngilu. 

“Tidak. Terima kasih. Kau bisa pergi, Vince.”

Kali ini suara Louton yang khas bergaung di rongga telingaku.

“Baik, Mr. Vague.”

Pria berjas itu pergi. Menyisakan Louton seorang diri bersamaku. Bersamaku yang teramat sangat tidak berdaya. 

Aku mencoba mengembalikan fokus mataku. Meskipun tubuhku masih sakit untuk digerakkan, setidaknya penglihatanku kembali normal. Namun …, sungguh. Tamparannya tadi sungguh luar biasa. Sekalinya telapak tangannya mendarat di pipiku, sensasi panas langsung menjalar hingga membuatku tak sadarkan diri. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Apakah Louton terus melanjutkan serangan kemarahannya padaku atau tidak, tapi yang pasti—yang kurasakan sekarang—sekujur tubuhku remuk. 

Terlepas dari itu, siapa pria berjas hitam tadi? Aku mendengar Louton memanggil dengan nama Vince. Padahal pria itu terlihat lebih tua darinya. Apa ia bekerja dengan Louton? Ia hanya berdiam diri ketika Louton memperlakukanku sebegitu buruk. Bahkan ia pun tahu tentang ruangan ini dan malah bersikap biasa saja. Seakan mengurung seorang wanita di sebuah ruangan tersembunyi di dalam basement adalah suatu hal yang wajar. 

Benar-benar aneh. Semakin bertambahnya hari yang kuhabiskan di sini, semakin bertambah pula hal yang tidak kumengerti.

Usai penglihatanku sudah kembali jelas, perlahan aku menggerakkan kaki juga tanganku.

"Mmhh," rintihku ketika mencoba menggeliat.

Awalnya terasa sakit, tapi sewaktu tahu Louton mulai melangkah mendekat, dalam sekejap rasa sakit itu lenyap. Tubuhku tersentak, lalu dengan cepat bergerak menjauhinya. Meringkuk di pojok tempat tidur yang menempel pada tembok. Seluruh tubuhku refleks bergetar. Menunjukkan rasa takut yang tampaknya sudah tidak bisa ditoleransi lagi. 

"Jangan mendekatiku lagi," kataku setegas mungkin, tapi tidak cukup membuat Louton mengurungkan niatnya untuk terus mendekat. "Berhenti kubilang!" bentakku pada akhirnya.

Barulah Louton menutup langkahnya. Ekspresi wajahnya jelas masih sama dengan yang ia tunjukkan sesaat sebelum ia menamparku. 

"Setelah dengan beraninya kau menyerangku, sekarang kau berani membentak dan memerintahku?" tanyanya tak senang.

"Kalau kau memang ingin membunuhku, kenapa tidak langsung kau bunuh saja?" tanyaku tak mampu lagi menahan desakan yang muncul di rongga mata. 

"Oh jika aku ingin aku pasti sudah melakukannya, Rose, tapi sayangnya bukan itu yang aku ingin."

"Persetan dengan keinginanmu, aku ingin segera pergi dari tempat ini!" pekikku dan tangisku pun pecah. "Aku tidak bisa begini terus, Mr. Vague. Dan kau pun tidak bisa memperlakukanku seenaknya seperti ini."

"Sudah kukatakan berperilakulah baik, maka aku akan memperlakukanmu dengan baik," ujarnya terdengar tertekan. Seperti mencoba mengontrol emosi yang masih tersisa di dalam dirinya. 

Aku semakin memeluk diriku sendiri.

"Seperti apa? Kau pikir memberiku makan setangkup sandwich sekali dalam sehari adalah bentuk perlakuan yang baik?" tanyaku memelotot padanya dengan mata penuh bulir air mata. 

"Harusnya kau masih berterima kasih meski hanya dengan sebuah sandwich."

"Oh, iya, aku berterima kasih, karena mungkin saja penculik di luar sana akan jauh lebih membuatku kelaparan. Tapi masalahnya tidak ada yang ingin menculikku, Mr. Vague. Hanya kau. Hanya kau dengan alasan tidak jelasmu itu!"

Wajah Louton semakin memerah. Pastinya bukan karena tersipu atau semacamnya, tapi karena menahan luapan api kemarahan di dalam dirinya.

"Sebaik apa pun sikapku padamu, kau tidak akan pernah membalas dengan sikap yang serupa. Tidak. Tidak jika kau masih terus mengurungku di sini." 

Sengaja kutekankan kalimat terakhirku agar ia sadar bahwa segala bentuk sikap baiknya tidak akan bisa terbayar apabila ia terus mengurung dan menghukumku di sini.

"Kau tidak akan selamanya ada di sini, Rose. Kau akan kubebaskan setelah—"

"Setelah kau merasa cukup menghukumku?" sergahku segera. 

"Kau tahu itu."

"Kau sakit jiwa, Mr. Vague. Mungkin kau harus segera memeriksa kondisi psikologismu sebelum jiwamu yang rusak itu memakan korban lebih banyak!"

Louton masih bergeming. Ada sekian detik jeda terlewati hanya dengan kami berdua yang saling tatap. Kilau mata birunya itu, sayangnya tidak lagi meluluhkanku. 

"Kau harusnya sadar atas apa yang kau katakan," ujar Louton kemudian.

"Aku sadar dan aku yakin kau pun tahu apa yang kukatakan barusan adalah benar," timpalku tak mau kalah. 

"Kau tidak mengenalku, jadi kau tidak bisa seyakin itu atas diriku."

"Aku tidak peduli," balasku dengan wajah menantang. "Ada yang salah dengan dirimu juga hidupmu hingga kau terpaksa menjadi seperti ini dan kurasa kau sendiri menyadari itu."

"Tutup mulutmu, Rose."

"Kenapa? Apa yang membuatmu menjadi seperti ini, Mr. Vague? Apa yang membuatmu melampiaskan kemarahanmu pada perempuan sepertiku?" 

"CUKUP!"

Tangan Louton mengepal kuat. Guratan di area kepalan tangannya tampak begitu jelas seperti membentuk pola aliran sungai yang memanjang hingga ke dalam lengan kaus oblong abu-abu yang dipakainya. Matanya menatapku dengan tatapan pemburu yang telah menetapkanku sebagai satu-satunya mangsa untuk dihabisi.

Aku memandang lemah.

"Aku tidak peduli lagi jika kau marah. Terserah kau akan melakukan apa. Aku tidak peduli," tuturku begitu melihat reaksinya. Kemudian berpaling pada apa pun selain Louton.

"Kalau begitu itu artinya kau juga tidak akan peduli jika aku tidak memberikanmu makanan untuk seharian ini!" balasnya ketus seraya berbalik pergi dengan bersungut-sungut. Bahkan tangannya sampai menghantam pemindai pintu dengan keras. 

Detik itu juga aku menjatuhkan kepalaku di atas kedua lutut yang tertekuk. Wajahku tenggelam dalam rangkulan lenganku sendiri. 

Aku hanya ingin bebas dari tempat ini, apa aku salah? Aku tidak bisa berada di sini terus tanpa berusaha melakukan apa pun di saat ibuku di luar sana begitu khawatir dengan keadaanku. Membayangkannya saja sudah begitu menyedihkan. 

"Ya Tuhan … kenapa hal semacam ini mesti terjadi padaku?" gumamku lirih.

Dan, tidak ada makanan untuk hari ini. Setelah dua hari ia hanya memberikanku sandwich dan satu botol air mineral, hari ini justru tidak ada makanan dan minuman apa pun? Umpatan apa yang kira-kira cocok aku lontarkan padanya?

Astaga. Aku harus bagaimana? Apa yang harus kulakukan di saat kabur saja sudah menjadi hal yang tidak mungkin?

Related chapters

  • 30 Days With Mr. Vague   6. You Confuse Me

    Usai mengalami insiden melarikan diri yang gagal, entah kenapa aku justru merasa tidurku nyenyak—meski ketika bangun sekujur tubuh makin terasa ngilu dan kepalaku terasa pusing. Mungkin karena saking lelahnya, hingga seluruh sistem di tubuhku memilih untuk langsung mengnonaktifkan diri dan kembali aktif di hari berikutnya."Panas … kenapa terasa panas?"Tidak tahu apakah suhu ruangan ini memang sengaja dibuat lebih panas oleh Louton, tapi aku merasa demikian. Panas yang kurasakan berbeda dengan biasanya. Aku merasakan suhu tubuhku meningkat, tapi aku pun juga merasa kedinginan. Aku menggigil. Bahkan selimut yang disediakan tidak cukup menghalau rasa dingin yang ada."Sialan perutku …."Belum lagi perutku yang sudah meronta-ronta. Suara yan

    Last Updated : 2021-12-03
  • 30 Days With Mr. Vague   7. I Can Understand

    “Perempuan mana yang justru menikmati—” Aku mengerang dalam hati. Tidak ingin terlalu memperlihatkan emosiku. Suasana hati Louton tampaknya sedang baik hari ini. Jangan sampai aku menyia-nyiakannya. Terlebih dahulu aku menarik napas sebelum melanjutkan kalimat. “Oke. Aku suka kau yang berperilaku baik dan mungkin bisa dikatakan aku menikmatinya, tapi kalau kau sudah ….” Aku menangkap kilau biru mata Louton menyala. Detik itu juga aku menelan ludah. “Tapi kalau kemarahanmu sudah mulai tidak terkontrol, aku tidak bisa, Mr. Vague. Aku tidak bisa menikmati itu. Lagi pula, apa yang harus kunikmati kalau kau justru membuatku sakit?” “Aku tidak bermaksud membuatmu sakit.” Refleks alisku terangkat sebagai isyarat rasa bingung atas kalimat balasannya. “Aku hanya ingin memberikanmu pelajaran.” Wajahku berpaling seray

    Last Updated : 2021-12-04
  • 30 Days With Mr. Vague   8. Are You Spying On Me?

    Mataku berkedip cepat. "Apa aku harus menandatangani itu?" tanyaku meladeni. Lanjut mengunyah pancake. "Aku bersikeras agar kau melakukannya." "Apa kau akan menyakitiku kalau aku tetap tidak mau?" Bola mataku bergulir ke arahnya dengan hati-hati. Kulihat mata Louton menyipit. Tampak tidak senang dengan pertanyaanku. Rahangnya mulai mengencang. Tangannya mulai bersiap mengepal dengan gelisah. Sesaat aku sadar kalau sesi ramah-tamah Louton untuk hari ini telah selesai. "Iya. Aku akan menyakitimu. Lebih dari apa yang pernah kulakukan," jawabnya mampu menggetarkan segala sesuatu yang ada di diriku. Bahkan sayup-sayup aku seperti mendengar ada yang memohon agar aku tidak m

    Last Updated : 2021-12-04
  • 30 Days With Mr. Vague   9. More Than That

    Lagi-lagi terbangun seperti ini. Rasa ngilu yang sebelumnya belum seratus persen hilang, tapi sudah kembali ditimpa oleh rasa ngilu yang lain. Punggung, dahi, bahkan kaki. Nyaris semua anggota tubuhku telah menjadi korban kekejaman Louton. Dan nahasnya, aku masih di sini. Di rumahnya. Di dalam ruangan penyiksaannya di bawah tanah. Entah hal buruk apa lagi yang akan datang padaku. Rasa-rasanya aku sudah tidak sanggup menerimanya. Harusnya aku bisa mendapatkan hal yang jauh lebih baik dari ini. Ibuku yang mengatakan itu. Ibuku mengatakan jika suatu saat nanti aku akan bertemu dengan seorang pria baik yang akan menempatkanku—Rose—di taman terindahnya. Oh, tidak. Ibu. Mungkin Louton benar. Aku bukan anak yang patuh. Aku tidak mengindahkan nasihat, pesannya, hingga akhirnya aku berakhir seperti ini. Anggap saja Louton adalah seseorang yang datang mewak

    Last Updated : 2021-12-05
  • 30 Days With Mr. Vague   10. Two Sides

    Louton. Berdiri di sana. Di ambang pintu kaca—yang tadinya kupikir adalah jendela, yang tadinya ditatap oleh Mags dengan begitu gelisah—hanya dengan sehelai handuk putih melilit dari pinggang ke bawah. Sementara bagian atasnya? Dibiarkan saja terekspos tanpa sehelai benang pun. Tidak perlu susah payah mengintip apa yang ada di balik kemejanya, kini Louton telah memperlihatkan tubuh indahnya secara cuma-cuma.Dan, inilah aku. Seorang wanita biasa yang rasa-rasanya tak mungkin dihadapi dengan pemandangan gratis Louton Vague semacam ini, jadi mau tak mau hanya bisa terpaku padanya hingga bola mataku bergerak mengikuti ke mana pun arah ia pergi. Benar-benar memalukan. Malu pada diriku sendiri yang seolah memiliki dua sisi yang saling bertentangan, yaitu membencinya dan mengaguminya. Hatiku mungkin mengatakan jika aku membencinya, tapi mataku? Mataku sungguh-sungguh sialan.

    Last Updated : 2021-12-05
  • 30 Days With Mr. Vague   11. I'll Play Your Game

    Cahaya di sekitarku berganti menjadi terang tak lama setelah suara gesekan halus terdengar. Mataku mengerut sebelum akhirnya terbuka perlahan. "Selamat Pagi, Miss Johnson," sapa Mags dengan ceria. Tidak lagi tegang seperti saat terakhir ia meninggalkanku. "Anda ingin mandi atau sarapan lebih dulu? Biar saya siapkan." Rahangku masih terasa berat, tapi sudah jauh lebih baik dari semalam. "Aku … aku ingin sarapan," jawabku parau. "Baik kalau begitu. Akan saya bawakan sarapannya," ujar Mags tersenyum, kemudian berlalu dengan langkah tegas. Aku mencoba bangun. Astaga. Ini seperti bukan tubuhku. Aku tidak pernah merasakan sakit yang separah ini. Seumur hidu

    Last Updated : 2021-12-05
  • 30 Days With Mr. Vague   12. I Have To Find Out

    Hangat. Elegan. Mewah. Bathtub yang ada di kamar mandi Louton sungguh luar biasa. Bukan hanya bathtub, tapi semuanya. Aku tidak tahu kenapa ia masih memiliki bathtub padahal ia sudah memiliki kolam jacuzzi di luar sana. Dan ada shower juga. Akan tetapi, masa bodoh dengan itu. Intinya aku tetap merasa nyaman. Aku bisa melihat pemandangan di luar meski aku sedang berendam. Sungguh menakjubkan. Namun, tidak. Bukan saatnya aku t

    Last Updated : 2021-12-06
  • 30 Days With Mr. Vague   13. Just Curious

    "Setelah makan aku ingin kau kembali ke basement," cetus Louton segera setelah aku menyuap sereal ke dalam mulut. Mendengar itu nafsu makanku mendadak memudar. "Ada apa? Kau mau menolak?" Aku mengunyah pelan. Wajahku menunduk sambil mengaduk tak bersemangat semangkuk sereal gandum utuh dengan chia seed dan potongan stroberi. Louton tampaknya bisa membaca ekspresi wajahku. Ekspresi wajah yang jelas-jelas menggambarkan penolakan tanpa perlu diutarakan dengan kata-kata. Aku membersihkan area bibir dengan juluran lidah, lalu memandangnya. "Tidak," kataku menggeleng. "Kau sendiri yang bilang kalau tempatku harusnya ada di bawah sana. Tapi ka

    Last Updated : 2021-12-07

Latest chapter

  • 30 Days With Mr. Vague   32. In Seven Days

    “Aku tidak memintamu untuk ke sini,” ujar Louton dengan suara serak dan dingin. “Aku memintamu untuk menungguku di dalam kamar,” lanjutnya tanpa berniat bertatapan denganku sebagai satu-satunya lawan bicaranya.Sayangnya, apa yang dikatakannya itu tidak mampu membuatku berhenti mendekat."Aku tahu dan aku sudah menunggumu, tapi kau tidak kunjung datang.""Apa kau tidak paham dengan maksud dari kata menunggu?"Louton mengangkat wajahnya. Entah memang wajahnya yang memerah atau cahaya remang-remang lampu ruang anggur yang tanpa sengaja terserap ke dalam wajahnya, yang pasti wajahnya itu terlihat seperti bara api akibat pembakaran kayu, batu bara, atau bahan karbon lainnya. Menjadikannya tampak panas.Lou

  • 30 Days With Mr. Vague   31. Are You Okay?

    Aku memikirkan ibuku. Tidak mungkin tidak. Aku juga tidak yakin ibu memutuskan untuk diam saja. Bahkan mungkin sekarang ia sedang berada di kantor Berkeley Police Department untuk melaporkan bahwa aku akhirnya memberi kabar setelah tujuh hari menghilang.Tujuh hari. Aku sendiri pun tidak sadar sudah selama itu aku berada di sini.Di tengah lamunanku, seseorang mengetuk pelan pintu kamar Louton. Aku segera bangun dari posisi merebahkan tubuh di atas tempat tidur."Miss Johnson?" panggil Mags."Aku di dalam, Mags."Pintu terbuka. Sosok Mags yang tersenyum kembali tampak usai selama beberapa jam ini sibuk menjamu tamu, yaitu seorang Mia Evans."Anda pasti sudah lapar," uj

  • 30 Days With Mr. Vague   30. His Pleasure

    Lagi-lagi ibu berhasil menebaknya. Apa memang sekuat itu insting yang dimiliki seorang ibu?Tanpa sadar aku berputar dan mataku menangkap sosok Louton berdiri di pintu kaca yang terbuka. Apa ia sudah sejak tadi ada di sana? Mendengarku menelepon? Ketika sekalinya telingaku menemukan kembali suara ibu, aku langsung lupa akan apa yang terjadi sebelumnya di sini. Termasuk Louton. Aku tidak ingat jika ia akan datang ke kamarnya untuk berganti pakaian dan setelahnya akan menemui Mia Evans di bawah sana."Rose?" tanya ibu menagih jawaban.Sial. Abaikan dulu Louton, aku harus segera memberi jawaban yang aman pada ibu."Seseorang? Umm, yah, kurang lebih bisa dikatakan seperti itu. Terkadang aku bersama seseorang dan terkadang juga

  • 30 Days With Mr. Vague   29. I'm Fine

    Aku tidak tenang. Sungguh tidak tenang. Sedari tadi yang kulakukan hanyalah mondar-mandir di kamar Louton sembari menggigiti kuku ibu jari. Hati ini begitu gelisah. Rasanya ingin segera keluar kamar, turun ke lantai bawah, dan melihat langsung apa yang sedang terjadi. Terlebih jam sudah menunjukkan pukul tiga lewat. Memberi pertanda bahwa Louton akan segera datang.Mags juga tampaknya tidak ada niatan naik ke atas untuk mengunjungiku. Sekadar mengecek keadaanku—mungkin—sekaligus mengatakan bahwa ia tetap mempercayaiku dan tetap menaruh harapan padaku untuk memperbaiki Louton.Memikirkan kemungkinan jika Mags langsung berubah pikiran setelah bertemu dengan Mia Evans, benar-benar membuat hatiku semakin tidak tenang."Oke, Rose," kataku menarik napas, kemudian mengembuskan perlahan. "Mungkin kau bisa

  • 30 Days With Mr. Vague   28. A Guest

    "Ke-kenapa?" tanyaku mendongak melihat Vince yang berdiri menjulang."Mags, tolong bawa pergi Miss Johnson," perintah Vince sambil meletakkan ponselnya di telinga. Wajahnya tegang, tapi gerak-geriknya terlihat tenang. Kelihatannya Vince sudah berpengalaman menghadapi sesuatu yang membuatnya terkejut."Kau tidak mau memberi tahu terlebih dahulu ada apa sebenarnya?" tanya Mags sama bingungnya denganku."Selamat siang, Mr. Vague," ujar Vince tiba-tiba. Aku menoleh pada Mags yang juga kedapatan sedang membalas tatapanku. "Maaf telah mengganggu waktu Anda. Ada sebuah mobil yang menunggu di depan pintu gerbang rumah Anda. Dikendarai oleh seorang wanita. Akan segera saya kirimkan pada Anda detailnya."Vince merogoh saku bagian dalam jasnya dan mengeluarkan ponsel.

  • 30 Days With Mr. Vague   27. I Want To Know

    "Mags, ini …," aku mencoba mencari kata yang tepat untuk merepresentasikan masakan Mags, "ini benar-benar enak. Terima kasih banyak."Sebenarnya aku kurang puas dengan ucapanku, tapi memang tidak ada kata lain yang bisa kulontarkan lagi. Setidaknya itu lebih baik dibanding dengan hanya diam saja seperti Vince, padahal ia juga telah menyapu bersih makanan yang ada di atas piring. Namun, tidak ada niatan untuk merespons berupa pujian atau semacamnya. Lelaki ini benar-benar kaku seperti robot. Walau begitu, sepertinya Mags sudah terbiasa."Senang melihat Anda makan dengan lahap," ujar Mags yang sudah ikut duduk di dekatku. "Setidaknya dengan adanya Anda di sini, saya jadi tahu jika masakan saya cukup baik."Aku dan Mags saling melempar senyum. Sekilas melirik pada Vince yang sedang menyesap secangkir kopi&

  • 30 Days With Mr. Vague   26. Almost

    Tidak tahu harus melakukan apa di kamar Louton, aku memutuskan turun ke lantai bawah.Rumah ini benar-benar sepi. Besar dan sepi. Mungkin juga efek dari lokasi rumah yang berada di daerah terpencil yang jarang dilalui orang banyak. Mengintip area luar melalui kaca besar yang hampir mengelilingi setiap sisi rumahnya, membuatku jadi ingin pergi keluar rumah. Hanya saja, sudah pasti Vince tidak akan membiarkanku keluar. Ia pasti akan langsung melaporkanku pada Louton jika aku berniat menginjakkan kaki selangkah saja keluar dari pintu."Mags?"Mataku mengedar ke sekeliling rumah seraya memanggil dan mencari Mags. Aku ingat jika sebelumnya ia mengatakan jika dirinya akan menyiapkan makan siang, jadi aku mencarinya ke dapur dengan niatan ingin membantunya, tapi rupanya ia tidak ada.

  • 30 Days With Mr. Vague   25. I'm Not The Only One

    Aliran darah di wajah Mags seakan terserap habis hingga membuatnya tampak pucat. Matanya yang keriput tampak melotot. Mulutnya terbuka sedikit yang tak lama setelahnya ditutupi oleh telapak tangannya."Ya Tuhan. Apa yang sudah saya lakukan?" tanyanya panik memegangi dada. Terkejut atas ketidaksengajaannya sendiri."Mags ….""Seharusnya saya tidak boleh mengatakan itu. Apa yang nantinya akan dilakukan Mr. Vague pada saya? Saya benar-benar lancang." Mags terus meracau. Menyumpahi kesalahannya yang bagaikan tidak sengaja membongkar rahasia negara."Mags. Hei …."Aku mencoba mengambil alih perhatian Mags yang mungkin sedang mati-matian berjibaku dengan rasa bersalah.

  • 30 Days With Mr. Vague   24. Hope

    Sebuah garis keras terbentuk di bibir Louton. Matanya terlihat berkedut. Siap menerkamku kalau saja ponsel miliknya tidak berdering. Louton pun melihat ponselnya. Ekspresinya tidak terbaca.Belum ingin mengangkat teleponnya, ia justru melempar tatapannya padaku."Tunggu aku," ujarnya menuntut. Memaksaku untuk tidak menolak, meskipun aku memang tidak akan menolak.Aku menarik napas."Tentu. Aku akan tunggu kau di kamar—eh, seperti yang kau perintahkan," ujarku melengkapi seraya menurunkan pandangan dan mengulum bibir.Sosoknya yang dalam balutan pakaian formal yang mengagumkan itu pun akhirnya menghilang di balik pintu. Aroma maskulin dari tubuhnya yang sekilas tercium seperti campuran

DMCA.com Protection Status