Sungguh aku tidak paham dengan kepribadiannya. Beberapa menit lalu Louton bersikap begitu jahat, lalu beberapa menit kemudian sikapnya berubah begitu lembut. Meski di akhirnya ia terkesan seperti baru saja tersadar dari hipnotis, tapi tetap saja aku merasa ada perubahan yang signifikan di dirinya. Dan bodohnya, sikap lembutnya itu dengan mudahnya membuatku terpaku. Benar-benar terpaku pada matanya yang memancarkan warna biru terang yang memukau.
“Tidak bisa,” cetusku bangkit dari tempat tidur. “Aku tidak bisa seperti ini. Ia telah menculikku. Aku harus melawannya,” tegasku pada diri sendiri sambil mondar-mandir tanpa arah.
Aku harus pergi dari tempat ini.
Aku tidak boleh justru menikmati penculikan ini hanya karena orang yang menculikku adalah Louton Vague. Meskipun sosoknya begitu menawan, ia tetap seorang penculik dan ia juga telah berlaku kasar padaku. Sudah seharusnya rambutku yang dijambaknya serta tubuhku yang dilempar olehnya ini menjadi alasan kuat untukku membencinya. Bukannya justru mematung hanya karena sikap lembutnya yang mungkin hanya terjadi sesekali di tengah sikap jahatnya yang datang berkali-kali.
“Oke. Apa yang bisa kau lakukan, Rose?” tanyaku sambil melihat sekeliling ruangan. “Ia tidak memasang CCTV. Tidak ada satu pun CCTV di sini.”
Jujur aku baru sadar satu hal itu. Entah kenapa Louton tidak memasang kamera untuk mengintai pergerakanku, padahal pintu ruangannya saja canggihnya bukan main. Namun, hal itu justru menguntungkanku, karena dengan begitu aku bisa menipunya.
Mungkin ini semacam firasat yang akhirnya terbentuk setelah tiga hari dikurung tanpa adanya aktivitas lain selain makan, tidur, ke toilet, juga berjalan ke sana kemari tanpa tujuan yang jelas. Aku merasa jika sebentar lagi Louton akan datang untuk membawakanku menu makanan hari ini.
“Lihat ini, Vague,” gumamku bersemangat. “Bukan hanya kau yang mempersiapkan dengan matang, aku pun juga berusaha seperti itu.”
Jadi, kubiarkan shower menyala dan kututup pintu shower box, sementara aku mengambil posisi berdiri tepat di sebelah pintu yang mulai terbuka. Tubuhku benar-benar menempel pada dinding seperti halnya seekor cecak. Bermodalkan keberanian seadanya, diam-diam menunggu Louton masuk dengan ditemani suara degup jantung yang sungguh sudah tak keruan.
Pintu sudah sepenuhnya terbuka. Melalui sudut mata, kulihat kaki Louton mulai melangkah masuk, tapi aku masih berdiam diri menunggu waktu yang tepat untuk beraksi. Dan, ketika Louton sudah benar-benar masuk ke dalam ruangan, secepat kilat aku menyerang dengan mendorong tubuhnya sekuat tenaga hingga membentur tembok. Louton pun seketika ambruk.
“Rasakan itu!” geramku puas. "Bagaimana? Tidak enak, kan? Tapi kau patut menerimanya atas semua perlakuanmu padaku."
Aku lanjut melangkah ke luar ruangan dan ….
“Apa-apaan ini?” tanyaku pada diri sendiri usai melihat apa yang ada di depan mata.
Kupikir situasi di luar jauh lebih baik dari yang ada di dalam ruangan. Rupanya sama saja: dingin dan gelap. Bedanya, bukan lagi sebuah ruangan berbentuk kotak, melainkan sebuah lorong panjang yang jika kulihat dengan lebih teliti, di ujung lorongnya terdapat sebuah pintu. Akan menjadi gawat jika pintu tersebut juga butuh pemindai sidik jari Louton.
“Sial!”
Masa bodoh dengan pintu tersebut, aku terus berlari ketika kusadari Louton sudah mulai berusaha bangun. Hingga akhirnya aku telah mencapai pintu yang dimaksud dan ternyata ini bukan hanya sekadar sebuah pintu, melainkan sebuah lift. Dengan panik tanganku bergerilya di sekitar tombol yang terpasang di dinding. Menekan apa pun yang ada di sana.
“Ayolah! Apa kau tidak mau membantuku?!” tanyaku frustrasi pada sebuah lift.
Lalu tak lama setelahnya, muncullah suara denting dan lampu yang ada di atas lift berpendar. Disusul dengan suara desis yang mengiringi pintu lift sewaktu terbuka. Aku pun bergegas masuk, kemudian berulang kali menekan tombol agar pintu lift segera menutup. Terlebih ketika kulihat Louton sudah berlari mengejarku dengan wajah berang.
“Tahan pintu itu atau kau tidak akan selamat, Rose!”
“Kumohon cepatlah tertutup!” jeritku panik, karena pintu lift tak kunjung menutup.
Dan, di detik-detik menuju hal mengerikan terjadi, di saat kupikir pintu tidak akan tertutup tepat waktu, aku bergerak mundur ke belakang sewaktu jarak Louton tinggal tersisa beberapa langkah lagi dariku. Mataku terpejam. Wajahku berpaling. Sekujur tubuhku menempel pasrah pada dinding lift. Pasrah untuk menerima hantamannya.
“Rose!”
Namun, yang datang setelahnya hanyalah suara pukulan yang teredam serta erangan frustasi yang memekakkan telinga. Dan semakin lama, sekelilingku berubah menjadi hening. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah suara napasku sendiri. Terengah-engah di sela keringat dingin bercucuran.
Perlahan aku membuka mata.
“Selamat ...,” desahku sedikit merasa lega.
Paling tidak selama sesaat yang melegakan aku merasa aku telah selamat dari kejaran Louton, tapi aku tidak bisa langsung berpuas diri. Ketika aku keluar dari lift, lift ini tentu akan kembali ke bawah untuk membawa Louton padaku. Berhasil keluar dari ruang penculikan itu tidak cukup. Aku harus benar-benar keluar dari rumah ini.
Lift kembali berdenting. Pintu terbuka dan cahaya terang langsung menyapa. Entah kenapa melihat cahaya terang seperti ini sungguh membuatku terharu. Hampir empat hari lamanya disekap di dalam ruangan yang ada di bawah tanah dan tidak mendapat cahaya sama sekali, nyaris membuatku lupa seperti apa rasanya memanjakan mata dengan warna langit yang cerah di pagi hari.
Namun, bukan saatnya untuk melepas rindu seperti itu.
Sebelum benar-benar mengayunkan kaki keluar dari lift, aku menarik napas dalam-dalam.
“Ayo, Rose. Kau bisa keluar dari tempat ini,” ujarku menyemangati diri sendiri.
Aku langsung berjalan menyusuri rumah Louton tanpa arah yang jelas, sebab aku sama sekali tidak tahu di mana tepatnya letak pintu utama rumahnya. Aku pun juga tidak tahu apakah Louton tinggal seorang diri atau tidak, oleh karena itu mataku tetap bergerak waspada.
“Oh my God. Ini … rumahnya?”
Sepanjang aku berjalan, tak henti-hentinya aku mengagumi rumah Louton. Bersih, luas, langit-langit rumah yang tinggi, dan kusadari ada lantai dua di atas sana yang kiranya mengambil setengah lahan dari rumah seutuhnya. Sekeliling rumah ini terbuat dari kayu dan didominasi oleh kaca jendela dalam berbagai ukuran. Agak tercengang juga sewaktu pemandangan yang terlihat di balik kaca jendela adalah hamparan pepohonan lebat yang telah menguning. Siapa yang akan menyangka di bawah rumah seindah ini terdapat sebuah ruangan rahasia?
"Ke mana aku harus pergi?"
Aku terus melangkah mengikuti naluri. Situasi rumah ini benar-benar sepi. Bahkan perabot rumah yang ada, seperti tidak pernah tersentuh sama sekali. Tersusun begitu rapi pada tempatnya.
“Pintu keluar!”
Aku pun berlari ketika kutemukan pintu utama tak jauh di depan.
Susah payah membuka, tapi tak ada hasil. “Ergh! Sial!” Pintunya jelas terkunci. “Tenang, Rose. Pikirkan sesuatu.”
Kemudian aku beralih pada kaca jendela yang tersebar hampir di sekeliling rumah. Sialnya kaca jendela tersebut juga bukan tipe jendela yang bisa dibuka.
“ROSE!” teriak Louton yang rupanya telah berhasil keluar dari basement.
Suaranya yang menggema itu membuat kepanikanku semakin menjadi-jadi. Segera aku kembali berlari menyusuri bagian rumahnya yang belum sempat kujelajahi.
“Oh, thank God!” seruku ketika kutemukan sebuah area terbuka yang membawaku ke halaman belakang.
Tanpa alas kaki, kakiku berayun dengan cepat di permukaan rerumputan yang lembut. Sesekali menengok ke belakang dimana kulihat Louton sudah berhasil menemukanku dan melihatku dari balik kaca jendela yang terbentang sepanjang halaman. Sontak ia berlari menyusul dengan kecepatan ekstra dan aku pun ikut berusaha menaikkan ritme langkah kakiku. Hingga akhirnya tanpa sengaja aku justru tersandung oleh kakiku sendiri, terjerembap ke atas rerumputan, kemudian mau tak mau langsung berusaha bangkit, dan sayangnya pergerakanku justru tertahan oleh kemunculan seorang pria berjas hitam dengan postur tubuh lebih besar dari Louton.
“Hei, tolong bawa aku pergi dari sini!” pintaku saat pria berjas ini memegang kedua lenganku. Detak jantungku semakin berpacu di kala kulihat Louton semakin mendekat. “Lelaki itu menculikku! Tolong bawa aku pergi dari sini!” jeritku sambil berusaha melepas cengkeraman pria berjas ini yang entah kenapa seakan malah menahanku agar tidak pergi.
Louton berhenti di belakangku. Sama sepertiku yang masih terengah-engah, Louton semakin mendekatkan diri dan menatapku dengan teramat geram.
"Apa yang harus kulakukan padamu?"
Sorot matanya berkilat tajam. Seperti ada pijar api yang membara di dalam sana. Kulit wajahnya mengerut. Menampakkan bentuk tulang rahangnya yang kokoh dan mengatup kencang. Bibirnya yang tipis merapat, menekan, dan membentuk garis tipis yang tegas.
Aku kembali pada pria berjas.
"Tolong aku," pintaku yang masih ada di dalam cengkeraman tangan pria berjas ini. "Aku tidak kenal lelaki ini. Sungguh. Ia membawa dan mengurungku di sini. Tolong bawa aku pergi."
Aku masih berusaha melepaskan diri dengan tenaga seadanya. Walau aku tahu, upayaku ini akan berakhir dengan percuma.
“Selamat pagi, Mr. Vague,” sapa pria berjas di depanku dengan suara berat. “Maaf telah membuat Anda ikut mencari. Apa Anda ingin saya mengembalikan Miss Johnson ke ruangannya?”
Kalimat pertanyaannya barusan seketika membuatku lemas. Saking lemasnya, aku bahkan tidak mampu untuk membuka mata lagi. Pasrah atas apa yang akan terjadi.
"Bawa ia kembali ke ruangannya, Vince, tapi sebelumnya ... aku harus memberinya sedikit pelajaran."
Lalu, semuanya berlangsung begitu cepat. Tiba-tiba saja Louton menarikku hingga tanganku terlepas dari pria berjas tadi, membawaku mendekat padanya, dan dalam hitungan detik satu tamparan keras langsung mendarat tepat di pipiku.
Aku sadar kalau tubuhku berayun. Samar-samar aku melihat cahaya terang, kemudian perlahan meredup. Kelopak mataku mengerut ketika menghadapi transisi yang begitu mencolok. Meski begitu, aku masih terlampau lemas untuk menggerakkan tubuhku sendiri."Aku minta kau bermalam di sini. Perempuan yang satu ini sungguh liar. Jangan biarkan dia kabur lagi. Aku tidak tahu harus kuapakan ia jika kembali kabur.""Baik, Mr. Vague. Apa ada yang perlu saya lakukan lagi untuk Anda?"Pertanyaan itu tertangkap oleh telingaku sesaat setelah tubuhku diletakkan. Berdasarkan hasil dari indra perabaku, aku merasakan permukaan yang lembut, empuk, dan dingin. Sepertinya aku telah kembali ke dalam ruang penyekapan. Kembali berbaring di atas tempat tidur usai mengalami kejadian yang amat buruk.
Usai mengalami insiden melarikan diri yang gagal, entah kenapa aku justru merasa tidurku nyenyak—meski ketika bangun sekujur tubuh makin terasa ngilu dan kepalaku terasa pusing. Mungkin karena saking lelahnya, hingga seluruh sistem di tubuhku memilih untuk langsung mengnonaktifkan diri dan kembali aktif di hari berikutnya."Panas … kenapa terasa panas?"Tidak tahu apakah suhu ruangan ini memang sengaja dibuat lebih panas oleh Louton, tapi aku merasa demikian. Panas yang kurasakan berbeda dengan biasanya. Aku merasakan suhu tubuhku meningkat, tapi aku pun juga merasa kedinginan. Aku menggigil. Bahkan selimut yang disediakan tidak cukup menghalau rasa dingin yang ada."Sialan perutku …."Belum lagi perutku yang sudah meronta-ronta. Suara yan
“Perempuan mana yang justru menikmati—” Aku mengerang dalam hati. Tidak ingin terlalu memperlihatkan emosiku. Suasana hati Louton tampaknya sedang baik hari ini. Jangan sampai aku menyia-nyiakannya. Terlebih dahulu aku menarik napas sebelum melanjutkan kalimat. “Oke. Aku suka kau yang berperilaku baik dan mungkin bisa dikatakan aku menikmatinya, tapi kalau kau sudah ….” Aku menangkap kilau biru mata Louton menyala. Detik itu juga aku menelan ludah. “Tapi kalau kemarahanmu sudah mulai tidak terkontrol, aku tidak bisa, Mr. Vague. Aku tidak bisa menikmati itu. Lagi pula, apa yang harus kunikmati kalau kau justru membuatku sakit?” “Aku tidak bermaksud membuatmu sakit.” Refleks alisku terangkat sebagai isyarat rasa bingung atas kalimat balasannya. “Aku hanya ingin memberikanmu pelajaran.” Wajahku berpaling seray
Mataku berkedip cepat. "Apa aku harus menandatangani itu?" tanyaku meladeni. Lanjut mengunyah pancake. "Aku bersikeras agar kau melakukannya." "Apa kau akan menyakitiku kalau aku tetap tidak mau?" Bola mataku bergulir ke arahnya dengan hati-hati. Kulihat mata Louton menyipit. Tampak tidak senang dengan pertanyaanku. Rahangnya mulai mengencang. Tangannya mulai bersiap mengepal dengan gelisah. Sesaat aku sadar kalau sesi ramah-tamah Louton untuk hari ini telah selesai. "Iya. Aku akan menyakitimu. Lebih dari apa yang pernah kulakukan," jawabnya mampu menggetarkan segala sesuatu yang ada di diriku. Bahkan sayup-sayup aku seperti mendengar ada yang memohon agar aku tidak m
Lagi-lagi terbangun seperti ini. Rasa ngilu yang sebelumnya belum seratus persen hilang, tapi sudah kembali ditimpa oleh rasa ngilu yang lain. Punggung, dahi, bahkan kaki. Nyaris semua anggota tubuhku telah menjadi korban kekejaman Louton. Dan nahasnya, aku masih di sini. Di rumahnya. Di dalam ruangan penyiksaannya di bawah tanah. Entah hal buruk apa lagi yang akan datang padaku. Rasa-rasanya aku sudah tidak sanggup menerimanya. Harusnya aku bisa mendapatkan hal yang jauh lebih baik dari ini. Ibuku yang mengatakan itu. Ibuku mengatakan jika suatu saat nanti aku akan bertemu dengan seorang pria baik yang akan menempatkanku—Rose—di taman terindahnya. Oh, tidak. Ibu. Mungkin Louton benar. Aku bukan anak yang patuh. Aku tidak mengindahkan nasihat, pesannya, hingga akhirnya aku berakhir seperti ini. Anggap saja Louton adalah seseorang yang datang mewak
Louton. Berdiri di sana. Di ambang pintu kaca—yang tadinya kupikir adalah jendela, yang tadinya ditatap oleh Mags dengan begitu gelisah—hanya dengan sehelai handuk putih melilit dari pinggang ke bawah. Sementara bagian atasnya? Dibiarkan saja terekspos tanpa sehelai benang pun. Tidak perlu susah payah mengintip apa yang ada di balik kemejanya, kini Louton telah memperlihatkan tubuh indahnya secara cuma-cuma.Dan, inilah aku. Seorang wanita biasa yang rasa-rasanya tak mungkin dihadapi dengan pemandangan gratis Louton Vague semacam ini, jadi mau tak mau hanya bisa terpaku padanya hingga bola mataku bergerak mengikuti ke mana pun arah ia pergi. Benar-benar memalukan. Malu pada diriku sendiri yang seolah memiliki dua sisi yang saling bertentangan, yaitu membencinya dan mengaguminya. Hatiku mungkin mengatakan jika aku membencinya, tapi mataku? Mataku sungguh-sungguh sialan.
Cahaya di sekitarku berganti menjadi terang tak lama setelah suara gesekan halus terdengar. Mataku mengerut sebelum akhirnya terbuka perlahan. "Selamat Pagi, Miss Johnson," sapa Mags dengan ceria. Tidak lagi tegang seperti saat terakhir ia meninggalkanku. "Anda ingin mandi atau sarapan lebih dulu? Biar saya siapkan." Rahangku masih terasa berat, tapi sudah jauh lebih baik dari semalam. "Aku … aku ingin sarapan," jawabku parau. "Baik kalau begitu. Akan saya bawakan sarapannya," ujar Mags tersenyum, kemudian berlalu dengan langkah tegas. Aku mencoba bangun. Astaga. Ini seperti bukan tubuhku. Aku tidak pernah merasakan sakit yang separah ini. Seumur hidu
Hangat. Elegan. Mewah. Bathtub yang ada di kamar mandi Louton sungguh luar biasa. Bukan hanya bathtub, tapi semuanya. Aku tidak tahu kenapa ia masih memiliki bathtub padahal ia sudah memiliki kolam jacuzzi di luar sana. Dan ada shower juga. Akan tetapi, masa bodoh dengan itu. Intinya aku tetap merasa nyaman. Aku bisa melihat pemandangan di luar meski aku sedang berendam. Sungguh menakjubkan. Namun, tidak. Bukan saatnya aku t
“Aku tidak memintamu untuk ke sini,” ujar Louton dengan suara serak dan dingin. “Aku memintamu untuk menungguku di dalam kamar,” lanjutnya tanpa berniat bertatapan denganku sebagai satu-satunya lawan bicaranya.Sayangnya, apa yang dikatakannya itu tidak mampu membuatku berhenti mendekat."Aku tahu dan aku sudah menunggumu, tapi kau tidak kunjung datang.""Apa kau tidak paham dengan maksud dari kata menunggu?"Louton mengangkat wajahnya. Entah memang wajahnya yang memerah atau cahaya remang-remang lampu ruang anggur yang tanpa sengaja terserap ke dalam wajahnya, yang pasti wajahnya itu terlihat seperti bara api akibat pembakaran kayu, batu bara, atau bahan karbon lainnya. Menjadikannya tampak panas.Lou
Aku memikirkan ibuku. Tidak mungkin tidak. Aku juga tidak yakin ibu memutuskan untuk diam saja. Bahkan mungkin sekarang ia sedang berada di kantor Berkeley Police Department untuk melaporkan bahwa aku akhirnya memberi kabar setelah tujuh hari menghilang.Tujuh hari. Aku sendiri pun tidak sadar sudah selama itu aku berada di sini.Di tengah lamunanku, seseorang mengetuk pelan pintu kamar Louton. Aku segera bangun dari posisi merebahkan tubuh di atas tempat tidur."Miss Johnson?" panggil Mags."Aku di dalam, Mags."Pintu terbuka. Sosok Mags yang tersenyum kembali tampak usai selama beberapa jam ini sibuk menjamu tamu, yaitu seorang Mia Evans."Anda pasti sudah lapar," uj
Lagi-lagi ibu berhasil menebaknya. Apa memang sekuat itu insting yang dimiliki seorang ibu?Tanpa sadar aku berputar dan mataku menangkap sosok Louton berdiri di pintu kaca yang terbuka. Apa ia sudah sejak tadi ada di sana? Mendengarku menelepon? Ketika sekalinya telingaku menemukan kembali suara ibu, aku langsung lupa akan apa yang terjadi sebelumnya di sini. Termasuk Louton. Aku tidak ingat jika ia akan datang ke kamarnya untuk berganti pakaian dan setelahnya akan menemui Mia Evans di bawah sana."Rose?" tanya ibu menagih jawaban.Sial. Abaikan dulu Louton, aku harus segera memberi jawaban yang aman pada ibu."Seseorang? Umm, yah, kurang lebih bisa dikatakan seperti itu. Terkadang aku bersama seseorang dan terkadang juga
Aku tidak tenang. Sungguh tidak tenang. Sedari tadi yang kulakukan hanyalah mondar-mandir di kamar Louton sembari menggigiti kuku ibu jari. Hati ini begitu gelisah. Rasanya ingin segera keluar kamar, turun ke lantai bawah, dan melihat langsung apa yang sedang terjadi. Terlebih jam sudah menunjukkan pukul tiga lewat. Memberi pertanda bahwa Louton akan segera datang.Mags juga tampaknya tidak ada niatan naik ke atas untuk mengunjungiku. Sekadar mengecek keadaanku—mungkin—sekaligus mengatakan bahwa ia tetap mempercayaiku dan tetap menaruh harapan padaku untuk memperbaiki Louton.Memikirkan kemungkinan jika Mags langsung berubah pikiran setelah bertemu dengan Mia Evans, benar-benar membuat hatiku semakin tidak tenang."Oke, Rose," kataku menarik napas, kemudian mengembuskan perlahan. "Mungkin kau bisa
"Ke-kenapa?" tanyaku mendongak melihat Vince yang berdiri menjulang."Mags, tolong bawa pergi Miss Johnson," perintah Vince sambil meletakkan ponselnya di telinga. Wajahnya tegang, tapi gerak-geriknya terlihat tenang. Kelihatannya Vince sudah berpengalaman menghadapi sesuatu yang membuatnya terkejut."Kau tidak mau memberi tahu terlebih dahulu ada apa sebenarnya?" tanya Mags sama bingungnya denganku."Selamat siang, Mr. Vague," ujar Vince tiba-tiba. Aku menoleh pada Mags yang juga kedapatan sedang membalas tatapanku. "Maaf telah mengganggu waktu Anda. Ada sebuah mobil yang menunggu di depan pintu gerbang rumah Anda. Dikendarai oleh seorang wanita. Akan segera saya kirimkan pada Anda detailnya."Vince merogoh saku bagian dalam jasnya dan mengeluarkan ponsel.
"Mags, ini …," aku mencoba mencari kata yang tepat untuk merepresentasikan masakan Mags, "ini benar-benar enak. Terima kasih banyak."Sebenarnya aku kurang puas dengan ucapanku, tapi memang tidak ada kata lain yang bisa kulontarkan lagi. Setidaknya itu lebih baik dibanding dengan hanya diam saja seperti Vince, padahal ia juga telah menyapu bersih makanan yang ada di atas piring. Namun, tidak ada niatan untuk merespons berupa pujian atau semacamnya. Lelaki ini benar-benar kaku seperti robot. Walau begitu, sepertinya Mags sudah terbiasa."Senang melihat Anda makan dengan lahap," ujar Mags yang sudah ikut duduk di dekatku. "Setidaknya dengan adanya Anda di sini, saya jadi tahu jika masakan saya cukup baik."Aku dan Mags saling melempar senyum. Sekilas melirik pada Vince yang sedang menyesap secangkir kopi&
Tidak tahu harus melakukan apa di kamar Louton, aku memutuskan turun ke lantai bawah.Rumah ini benar-benar sepi. Besar dan sepi. Mungkin juga efek dari lokasi rumah yang berada di daerah terpencil yang jarang dilalui orang banyak. Mengintip area luar melalui kaca besar yang hampir mengelilingi setiap sisi rumahnya, membuatku jadi ingin pergi keluar rumah. Hanya saja, sudah pasti Vince tidak akan membiarkanku keluar. Ia pasti akan langsung melaporkanku pada Louton jika aku berniat menginjakkan kaki selangkah saja keluar dari pintu."Mags?"Mataku mengedar ke sekeliling rumah seraya memanggil dan mencari Mags. Aku ingat jika sebelumnya ia mengatakan jika dirinya akan menyiapkan makan siang, jadi aku mencarinya ke dapur dengan niatan ingin membantunya, tapi rupanya ia tidak ada.
Aliran darah di wajah Mags seakan terserap habis hingga membuatnya tampak pucat. Matanya yang keriput tampak melotot. Mulutnya terbuka sedikit yang tak lama setelahnya ditutupi oleh telapak tangannya."Ya Tuhan. Apa yang sudah saya lakukan?" tanyanya panik memegangi dada. Terkejut atas ketidaksengajaannya sendiri."Mags ….""Seharusnya saya tidak boleh mengatakan itu. Apa yang nantinya akan dilakukan Mr. Vague pada saya? Saya benar-benar lancang." Mags terus meracau. Menyumpahi kesalahannya yang bagaikan tidak sengaja membongkar rahasia negara."Mags. Hei …."Aku mencoba mengambil alih perhatian Mags yang mungkin sedang mati-matian berjibaku dengan rasa bersalah.
Sebuah garis keras terbentuk di bibir Louton. Matanya terlihat berkedut. Siap menerkamku kalau saja ponsel miliknya tidak berdering. Louton pun melihat ponselnya. Ekspresinya tidak terbaca.Belum ingin mengangkat teleponnya, ia justru melempar tatapannya padaku."Tunggu aku," ujarnya menuntut. Memaksaku untuk tidak menolak, meskipun aku memang tidak akan menolak.Aku menarik napas."Tentu. Aku akan tunggu kau di kamar—eh, seperti yang kau perintahkan," ujarku melengkapi seraya menurunkan pandangan dan mengulum bibir.Sosoknya yang dalam balutan pakaian formal yang mengagumkan itu pun akhirnya menghilang di balik pintu. Aroma maskulin dari tubuhnya yang sekilas tercium seperti campuran