Di bawah pancuran air hangat, kegelisahanku berangsur mereda. Emosi di dalam diriku seakan ikut menguap, bercampur dengan uap hangat yang beterbangan di sekitarku. Rasanya tidak ingin berhenti. Kalau bisa, terus dalam keadaan seperti ini saja. Tidak perlu keluar dari kamar mandi. Tidak perlu kembali ke ruangan penyiksaan itu lagi. Dan tentunya, tidak perlu berhadapan dengan Louton lagi.
"Menghukummu."
Suara Louton tiba-tiba saja menggema di rongga telingaku. Merusak kedamaian yang tengah aku rasakan.
Louton bilang bahwa ia melakukan hal gila ini untuk menghukumku? Dan ia akan membebaskanku di saat ia merasa jika hukuman darinya telah cukup? Omong kosong.
Baiklah. Aku tahu ia punya banyak uang—entah itu uang dari perusahaannya atau uang yang datang dari bisnis bar dan lounge miliknya—tapi bukan berarti ia bisa seenaknya menghukum seseorang dengan alasan yang tidak jelas. Terlebih aku merasa tidak pernah melakukan kesalahan apa pun. Selalu kutegaskan itu.
Sialan nasibku. Memang sudah seharusnya malam itu aku tidak datang ke bar yang ada di Shattuck Ave—dan jika aku tidak salah, bar itu adalah salah satu dari sekian banyak bar milik Louton. Memang sudah seharusnya aku berdiam diri di dalam asrama saja. Tidak perlu ikut merayakan hari terakhir ujian akhir di semester musim gugur ini. Sialan juga teman-temanku yang memaksaku untuk meminum sampanye. Memang tidak banyak, sebab aku juga tidak pernah meminum minuman semacam itu selama hidupku. Malam itulah pertama kalinya. Alasannya hanya satu: aku takut mabuk. Ibuku juga tidak suka jika aku pergi ke bar di malam hari, terlebih apabila aku berakhir dengan mabuk.
"Ya ampun, Ibu."
Aku mengusap wajahku untuk terakhir kali di bawah shower.
Ibuku. Seperti apa paniknya ia ketika tahu aku menghilang? Seperti apa pula kecewanya ia ketika tahu bahwa aku menghilang di malam hari sewaktu berada di bar? Mengingat penculikan ini sudah berjalan tiga hari, sepertinya nama beserta wajahku kini telah terpampang di berbagai media sosial dengan tajuk berita: PROSERPINA, MAHASISWI UC BERKELEY MENGHILANG USAI BERPESTA DENGAN TEMAN-TEMAN DI BAR. Menyedihkan.
Shower kumatikan. Kuambil handuk dan melingkarkannya pada tubuhku. Miris melihat luka lebam yang menghiasi area bahu. Bagaikan semacam cendera mata dari seorang Louton Vague.
Sambil menghela napas aku berjalan keluar dari shower box.
"What the f—" Sontak aku terlonjak saat kutemukan Louton sudah duduk di atas tempat tidur. "Kau tidak bisa tiba-tiba ada di sini sewaktu aku sedang mandi," tegurku semakin mengeratkan handuk.
"Ruangan ini milikku. Aku berhak keluar masuk ruangan ini sesuka hati tanpa izin siapa pun."
Darahku memanas, tapi aku mencoba menahan diri untuk tidak terlalu marah.
"Tapi aku sedang mandi dan bagaimana kalau aku sedang berpakaian tepat di saat kau masuk?"
"Lanjutkan saja berpakaian. Lekuk tubuhmu itu tidak akan memberi pengaruh apa pun padaku."
“Kau—” Kalimatku berhenti dengan sendirinya. Berganti dengan helaan napas. “Terserah apa katamu,” lanjutku menahan kesal.
Sial. Orang ini sungguh meremehkan. Beruntung shower box yang disediakan didesain dengan kaca buram, sehingga Louton tidak benar-benar bisa melihat tubuhku yang tanpa pakaian.
Meski kesal, tetap saja aku canggung jika harus bertemu dengannya hanya dengan bermodalkan handuk, sebab pakaian gantiku masih ada di dalam paper bag dan itu tergeletak di sebelah Louton. Mau tak mau aku harus mengambilnya. Lagi pula, untuk apa sih ia datang ke sini lagi? Apa ia belum puas melemparku?
Aku melangkahkan kakiku yang masih agak basah. Louton masih duduk membelakangiku dimana kedua sikunya bertumpu pada tiap paha. Jemarinya terjalin. Wajahnya menatap ke depan yang hanya berupa tembok kosong berwarna abu-abu silver.
"Aku ingin mengambil pakaianku," kataku ketika melintas di depannya. Dengan cekatan menyambar paper bag, lalu kembali ke dalam shower box. Sayangnya di dalam sini tidak ada kunci, jadi aku memakai pakaian dengan perasaan waswas.
Setelah selesai berpakaian, kutemukan Louton masih setia pada posisinya.
"Kelihatannya orang-orang begitu peduli padamu," ujarnya tiba-tiba. Nada suaranya lebih dingin dari suhu di dalam ruangan.
Aku masih sibuk mengeringkan rambut dengan handuk.
"Kenapa kau bilang begitu?" tanyaku masih menjaga jarak dengannya.
"Mereka mencarimu di mana-mana."
Rupanya ia sedang membicarakan teman-teman, ibu, atau mungkin para polisi yang tengah mencariku di luar sana.
"Sudah pasti mereka akan mencariku, karena aku hilang," ujarku seraya meletakkan handuk di atas tempat tidur. "Yang teman-temanku tahu, malam itu aku pergi keluar bar sebentar hanya untuk menerima telepon, tapi nyatanya aku tidak kembali ke dalam. Dan tentunya mereka juga tahu kalau ternyata aku juga belum kembali ke asrama. Beruntung ujian akhir sudah selesai, jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan masalah absen perkuliahanku selama tiga hari ini. Dan Ibuku … tentu ia akan mendapat kabar dari teman-temanku dan ia akan melakukan apa pun untuk menemukanku. Dengan bantuan Berkeley PD, lebih tepatnya."
Awalnya aku bangga dengan suaraku yang terdengar tegas—terutama ketika aku menyebut 'Berkeley Police Department', berharap itu membuatnya takut—tapi sewaktu Louton beranjak, aku kembali menciut.
"Sekeras apa pun usaha mereka, mereka tidak akan menemukanmu," katanya lebih terdengar tegas seraya berdiri. Sama sekali tidak tersirat ketakutan.
"Kenapa kau begitu yakin?"
Yang ada di pikiranku saat ini adalah segera masuk ke dalam shower box begitu Louton menerjang untuk mencekikku. Namun, kedua tangannya justru dijejalkan ke dalam saku celana ketika ia berbalik. Aku pun mencoba memfokuskan arah mataku untuk tidak mengarah pada hal lain yang ada di dirinya.
"Karena setiap tindakan penting yang akan dilakukan harus direncanakan dengan baik, Rose, dan aku telah menyiapkan semua ini dengan matang.”
Mata birunya benar-benar menangkapku.
“Kau sudah mempersiapkan segala sesuatunya hanya untuk menculikku?”
“Tidak. Bukan kau yang kupersiapkan, tapi ruangan ini.”
“Oh,” balasku memalingkan wajah. "Memangnya aku ada di mana?" tanyaku tetap waspada. "Kalaupun kau memberitahuku, aku juga tidak bisa memberi tahu siapa pun. Jadi ruangan rahasiamu ini akan tetap aman."
Louton menatapku dengan jenis tatapan yang seolah-olah tidak ada apa pun lagi di sini yang bisa ia lihat. Kutebak ia tengah menimbang-nimbang apakah ia akan menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang sebenarnya atau tidak.
"Kau ada di rumahku," jawabnya.
Aku ada di rumahnya? Luar biasa. Tanpa perlu repot-repot mencari tahu di mana rumah sang ahli waris Vogue Holding Group, aku yang merupakan orang biasa ini bisa dengan mudah ada di dalam rumahnya. Meskipun dengan cara yang tidak wajar.
"Oke, tapi bukan berarti tidak ada kemungkinan mereka akan menemukanku di sini," balasku yang sebenarnya tersirat sekali rasa keputusasaan.
Louton menarik satu sudut bibirnya. Membentuk senyuman miring yang terlihat jauh lebih baik dibanding dengan raut wajah yang ia munculkan tatkala ia menyerangku. Walau aku tahu senyumnya itu bermaksud ingin meledekku yang berusaha terlihat percaya diri.
"Rasa percaya dirimu sangat menakjubkan, Rose," pujinya. Jujur saja itu cukup membuatku tersipu. Namun, dengan segera aku menepis pikiran itu. "Tapi percayalah, kau tidak akan keluar dari tempat ini kecuali atas izinku," ujarnya bangga sembari melangkah pelan.
Aku merasa jika gesturnya kali ini terlihat lebih santai. Ia seperti dirinya yang biasa tampil di depan media. Seorang Louton Vague yang aku tahu.
Tangan kiriku memegangi lengan kanan. Baru terasa pegal akibat serangan sebelumnya.
"Kapan itu tepatnya?"
"Sudah kubilang ketika aku merasa cukup untuk menghukummu."
Aku menghela napas. Emosiku terpancar melalui sorot mataku padanya.
"Kau sungguh jahat, Mr. Vague," kataku seraya membuang muka. Tidak peduli ia akan merespons seperti apa. Ia harus tahu bahwa ia memang jahat. Mungkin ia tidak sadar itu. Hingga harus orang lain yang mengatakannya.
"Oh kau tidak tahu bahwa apa yang kulakukan ini tidak ada apa-apanya."
"Kau telah menipu banyak orang dengan sikap baik yang selalu kau tunjukkan."
"Akan selalu ada sisi jahat di dalam diri setiap orang, Rose," balasnya yang untuk kali ini tidak mudah terpancing seperti yang sebelum-sebelumnya. "Hanya saja sebagian orang memilih untuk tidak menunjukkannya."
"Seperti kau."
"Tidak," tampiknya menggeleng. "Aku menunjukkannya. Padamu."
Sorot matanya seolah mengikat dan menarik mataku untuk tidak berpaling.
"Lalu aku harus apa? Berterima kasih karena telah menjadi orang yang kau pilih?" tanyaku bernada sarkastis seraya duduk di salah satu sisi tempat tidur terdekat. "Bahkan sampai sekarang aku masih tidak mengerti."
Louton mendekat. Dari sekian banyak anggota tubuhku, hanya bola mataku yang bergerak untuk melihat pergerakannya. Sisanya mendadak kaku. Terlebih sewaktu kusadari tangan Louton menghampiri wajahku dan menyentuh pipiku. Saat itu juga aku menahan napas. Rasa-rasanya belum siap untuk dilukai lagi olehnya.
"Kau tidak perlu mengerti, Rose," ujarnya bernada dalam. Mengusap pipiku dengan lembut. Menghadirkan rasa merinding yang lebih parah. "Kau hanya perlu menikmati."
Tenggorokanku tercekat. Tidak bisa melontarkan kalimat balasan apa pun. Louton seperti menguasai dan mengambil alih diriku hingga membuatku tidak bisa mengelak sentuhannya.
Dan, tak lama kemudian wajahnya kembali mengeras. Dengan cepat menarik tangannya dari pipiku. Bersikap seolah ada yang salah dengan apa yang baru saja ia lakukan. Kemudian pergi tanpa berkata apa pun lagi.
Sungguh aku tidak paham dengan kepribadiannya. Beberapa menit lalu Louton bersikap begitu jahat, lalu beberapa menit kemudian sikapnya berubah begitu lembut. Meski di akhirnya ia terkesan seperti baru saja tersadar dari hipnotis, tapi tetap saja aku merasa ada perubahan yang signifikan di dirinya. Dan bodohnya, sikap lembutnya itu dengan mudahnya membuatku terpaku. Benar-benar terpaku pada matanya yang memancarkan warna biru terang yang memukau.“Tidak bisa,” cetusku bangkit dari tempat tidur. “Aku tidak bisa seperti ini. Ia telah menculikku. Aku harus melawannya,” tegasku pada diri sendiri sambil mondar-mandir tanpa arah.Aku harus pergi dari tempat ini.Aku tidak boleh justru menikmati penculikan ini hanya karena orang yang menculikku adalah Louton Vague. Meskipun sosoknya begitu menawan, i
Aku sadar kalau tubuhku berayun. Samar-samar aku melihat cahaya terang, kemudian perlahan meredup. Kelopak mataku mengerut ketika menghadapi transisi yang begitu mencolok. Meski begitu, aku masih terlampau lemas untuk menggerakkan tubuhku sendiri."Aku minta kau bermalam di sini. Perempuan yang satu ini sungguh liar. Jangan biarkan dia kabur lagi. Aku tidak tahu harus kuapakan ia jika kembali kabur.""Baik, Mr. Vague. Apa ada yang perlu saya lakukan lagi untuk Anda?"Pertanyaan itu tertangkap oleh telingaku sesaat setelah tubuhku diletakkan. Berdasarkan hasil dari indra perabaku, aku merasakan permukaan yang lembut, empuk, dan dingin. Sepertinya aku telah kembali ke dalam ruang penyekapan. Kembali berbaring di atas tempat tidur usai mengalami kejadian yang amat buruk.
Usai mengalami insiden melarikan diri yang gagal, entah kenapa aku justru merasa tidurku nyenyak—meski ketika bangun sekujur tubuh makin terasa ngilu dan kepalaku terasa pusing. Mungkin karena saking lelahnya, hingga seluruh sistem di tubuhku memilih untuk langsung mengnonaktifkan diri dan kembali aktif di hari berikutnya."Panas … kenapa terasa panas?"Tidak tahu apakah suhu ruangan ini memang sengaja dibuat lebih panas oleh Louton, tapi aku merasa demikian. Panas yang kurasakan berbeda dengan biasanya. Aku merasakan suhu tubuhku meningkat, tapi aku pun juga merasa kedinginan. Aku menggigil. Bahkan selimut yang disediakan tidak cukup menghalau rasa dingin yang ada."Sialan perutku …."Belum lagi perutku yang sudah meronta-ronta. Suara yan
“Perempuan mana yang justru menikmati—” Aku mengerang dalam hati. Tidak ingin terlalu memperlihatkan emosiku. Suasana hati Louton tampaknya sedang baik hari ini. Jangan sampai aku menyia-nyiakannya. Terlebih dahulu aku menarik napas sebelum melanjutkan kalimat. “Oke. Aku suka kau yang berperilaku baik dan mungkin bisa dikatakan aku menikmatinya, tapi kalau kau sudah ….” Aku menangkap kilau biru mata Louton menyala. Detik itu juga aku menelan ludah. “Tapi kalau kemarahanmu sudah mulai tidak terkontrol, aku tidak bisa, Mr. Vague. Aku tidak bisa menikmati itu. Lagi pula, apa yang harus kunikmati kalau kau justru membuatku sakit?” “Aku tidak bermaksud membuatmu sakit.” Refleks alisku terangkat sebagai isyarat rasa bingung atas kalimat balasannya. “Aku hanya ingin memberikanmu pelajaran.” Wajahku berpaling seray
Mataku berkedip cepat. "Apa aku harus menandatangani itu?" tanyaku meladeni. Lanjut mengunyah pancake. "Aku bersikeras agar kau melakukannya." "Apa kau akan menyakitiku kalau aku tetap tidak mau?" Bola mataku bergulir ke arahnya dengan hati-hati. Kulihat mata Louton menyipit. Tampak tidak senang dengan pertanyaanku. Rahangnya mulai mengencang. Tangannya mulai bersiap mengepal dengan gelisah. Sesaat aku sadar kalau sesi ramah-tamah Louton untuk hari ini telah selesai. "Iya. Aku akan menyakitimu. Lebih dari apa yang pernah kulakukan," jawabnya mampu menggetarkan segala sesuatu yang ada di diriku. Bahkan sayup-sayup aku seperti mendengar ada yang memohon agar aku tidak m
Lagi-lagi terbangun seperti ini. Rasa ngilu yang sebelumnya belum seratus persen hilang, tapi sudah kembali ditimpa oleh rasa ngilu yang lain. Punggung, dahi, bahkan kaki. Nyaris semua anggota tubuhku telah menjadi korban kekejaman Louton. Dan nahasnya, aku masih di sini. Di rumahnya. Di dalam ruangan penyiksaannya di bawah tanah. Entah hal buruk apa lagi yang akan datang padaku. Rasa-rasanya aku sudah tidak sanggup menerimanya. Harusnya aku bisa mendapatkan hal yang jauh lebih baik dari ini. Ibuku yang mengatakan itu. Ibuku mengatakan jika suatu saat nanti aku akan bertemu dengan seorang pria baik yang akan menempatkanku—Rose—di taman terindahnya. Oh, tidak. Ibu. Mungkin Louton benar. Aku bukan anak yang patuh. Aku tidak mengindahkan nasihat, pesannya, hingga akhirnya aku berakhir seperti ini. Anggap saja Louton adalah seseorang yang datang mewak
Louton. Berdiri di sana. Di ambang pintu kaca—yang tadinya kupikir adalah jendela, yang tadinya ditatap oleh Mags dengan begitu gelisah—hanya dengan sehelai handuk putih melilit dari pinggang ke bawah. Sementara bagian atasnya? Dibiarkan saja terekspos tanpa sehelai benang pun. Tidak perlu susah payah mengintip apa yang ada di balik kemejanya, kini Louton telah memperlihatkan tubuh indahnya secara cuma-cuma.Dan, inilah aku. Seorang wanita biasa yang rasa-rasanya tak mungkin dihadapi dengan pemandangan gratis Louton Vague semacam ini, jadi mau tak mau hanya bisa terpaku padanya hingga bola mataku bergerak mengikuti ke mana pun arah ia pergi. Benar-benar memalukan. Malu pada diriku sendiri yang seolah memiliki dua sisi yang saling bertentangan, yaitu membencinya dan mengaguminya. Hatiku mungkin mengatakan jika aku membencinya, tapi mataku? Mataku sungguh-sungguh sialan.
Cahaya di sekitarku berganti menjadi terang tak lama setelah suara gesekan halus terdengar. Mataku mengerut sebelum akhirnya terbuka perlahan. "Selamat Pagi, Miss Johnson," sapa Mags dengan ceria. Tidak lagi tegang seperti saat terakhir ia meninggalkanku. "Anda ingin mandi atau sarapan lebih dulu? Biar saya siapkan." Rahangku masih terasa berat, tapi sudah jauh lebih baik dari semalam. "Aku … aku ingin sarapan," jawabku parau. "Baik kalau begitu. Akan saya bawakan sarapannya," ujar Mags tersenyum, kemudian berlalu dengan langkah tegas. Aku mencoba bangun. Astaga. Ini seperti bukan tubuhku. Aku tidak pernah merasakan sakit yang separah ini. Seumur hidu
“Aku tidak memintamu untuk ke sini,” ujar Louton dengan suara serak dan dingin. “Aku memintamu untuk menungguku di dalam kamar,” lanjutnya tanpa berniat bertatapan denganku sebagai satu-satunya lawan bicaranya.Sayangnya, apa yang dikatakannya itu tidak mampu membuatku berhenti mendekat."Aku tahu dan aku sudah menunggumu, tapi kau tidak kunjung datang.""Apa kau tidak paham dengan maksud dari kata menunggu?"Louton mengangkat wajahnya. Entah memang wajahnya yang memerah atau cahaya remang-remang lampu ruang anggur yang tanpa sengaja terserap ke dalam wajahnya, yang pasti wajahnya itu terlihat seperti bara api akibat pembakaran kayu, batu bara, atau bahan karbon lainnya. Menjadikannya tampak panas.Lou
Aku memikirkan ibuku. Tidak mungkin tidak. Aku juga tidak yakin ibu memutuskan untuk diam saja. Bahkan mungkin sekarang ia sedang berada di kantor Berkeley Police Department untuk melaporkan bahwa aku akhirnya memberi kabar setelah tujuh hari menghilang.Tujuh hari. Aku sendiri pun tidak sadar sudah selama itu aku berada di sini.Di tengah lamunanku, seseorang mengetuk pelan pintu kamar Louton. Aku segera bangun dari posisi merebahkan tubuh di atas tempat tidur."Miss Johnson?" panggil Mags."Aku di dalam, Mags."Pintu terbuka. Sosok Mags yang tersenyum kembali tampak usai selama beberapa jam ini sibuk menjamu tamu, yaitu seorang Mia Evans."Anda pasti sudah lapar," uj
Lagi-lagi ibu berhasil menebaknya. Apa memang sekuat itu insting yang dimiliki seorang ibu?Tanpa sadar aku berputar dan mataku menangkap sosok Louton berdiri di pintu kaca yang terbuka. Apa ia sudah sejak tadi ada di sana? Mendengarku menelepon? Ketika sekalinya telingaku menemukan kembali suara ibu, aku langsung lupa akan apa yang terjadi sebelumnya di sini. Termasuk Louton. Aku tidak ingat jika ia akan datang ke kamarnya untuk berganti pakaian dan setelahnya akan menemui Mia Evans di bawah sana."Rose?" tanya ibu menagih jawaban.Sial. Abaikan dulu Louton, aku harus segera memberi jawaban yang aman pada ibu."Seseorang? Umm, yah, kurang lebih bisa dikatakan seperti itu. Terkadang aku bersama seseorang dan terkadang juga
Aku tidak tenang. Sungguh tidak tenang. Sedari tadi yang kulakukan hanyalah mondar-mandir di kamar Louton sembari menggigiti kuku ibu jari. Hati ini begitu gelisah. Rasanya ingin segera keluar kamar, turun ke lantai bawah, dan melihat langsung apa yang sedang terjadi. Terlebih jam sudah menunjukkan pukul tiga lewat. Memberi pertanda bahwa Louton akan segera datang.Mags juga tampaknya tidak ada niatan naik ke atas untuk mengunjungiku. Sekadar mengecek keadaanku—mungkin—sekaligus mengatakan bahwa ia tetap mempercayaiku dan tetap menaruh harapan padaku untuk memperbaiki Louton.Memikirkan kemungkinan jika Mags langsung berubah pikiran setelah bertemu dengan Mia Evans, benar-benar membuat hatiku semakin tidak tenang."Oke, Rose," kataku menarik napas, kemudian mengembuskan perlahan. "Mungkin kau bisa
"Ke-kenapa?" tanyaku mendongak melihat Vince yang berdiri menjulang."Mags, tolong bawa pergi Miss Johnson," perintah Vince sambil meletakkan ponselnya di telinga. Wajahnya tegang, tapi gerak-geriknya terlihat tenang. Kelihatannya Vince sudah berpengalaman menghadapi sesuatu yang membuatnya terkejut."Kau tidak mau memberi tahu terlebih dahulu ada apa sebenarnya?" tanya Mags sama bingungnya denganku."Selamat siang, Mr. Vague," ujar Vince tiba-tiba. Aku menoleh pada Mags yang juga kedapatan sedang membalas tatapanku. "Maaf telah mengganggu waktu Anda. Ada sebuah mobil yang menunggu di depan pintu gerbang rumah Anda. Dikendarai oleh seorang wanita. Akan segera saya kirimkan pada Anda detailnya."Vince merogoh saku bagian dalam jasnya dan mengeluarkan ponsel.
"Mags, ini …," aku mencoba mencari kata yang tepat untuk merepresentasikan masakan Mags, "ini benar-benar enak. Terima kasih banyak."Sebenarnya aku kurang puas dengan ucapanku, tapi memang tidak ada kata lain yang bisa kulontarkan lagi. Setidaknya itu lebih baik dibanding dengan hanya diam saja seperti Vince, padahal ia juga telah menyapu bersih makanan yang ada di atas piring. Namun, tidak ada niatan untuk merespons berupa pujian atau semacamnya. Lelaki ini benar-benar kaku seperti robot. Walau begitu, sepertinya Mags sudah terbiasa."Senang melihat Anda makan dengan lahap," ujar Mags yang sudah ikut duduk di dekatku. "Setidaknya dengan adanya Anda di sini, saya jadi tahu jika masakan saya cukup baik."Aku dan Mags saling melempar senyum. Sekilas melirik pada Vince yang sedang menyesap secangkir kopi&
Tidak tahu harus melakukan apa di kamar Louton, aku memutuskan turun ke lantai bawah.Rumah ini benar-benar sepi. Besar dan sepi. Mungkin juga efek dari lokasi rumah yang berada di daerah terpencil yang jarang dilalui orang banyak. Mengintip area luar melalui kaca besar yang hampir mengelilingi setiap sisi rumahnya, membuatku jadi ingin pergi keluar rumah. Hanya saja, sudah pasti Vince tidak akan membiarkanku keluar. Ia pasti akan langsung melaporkanku pada Louton jika aku berniat menginjakkan kaki selangkah saja keluar dari pintu."Mags?"Mataku mengedar ke sekeliling rumah seraya memanggil dan mencari Mags. Aku ingat jika sebelumnya ia mengatakan jika dirinya akan menyiapkan makan siang, jadi aku mencarinya ke dapur dengan niatan ingin membantunya, tapi rupanya ia tidak ada.
Aliran darah di wajah Mags seakan terserap habis hingga membuatnya tampak pucat. Matanya yang keriput tampak melotot. Mulutnya terbuka sedikit yang tak lama setelahnya ditutupi oleh telapak tangannya."Ya Tuhan. Apa yang sudah saya lakukan?" tanyanya panik memegangi dada. Terkejut atas ketidaksengajaannya sendiri."Mags ….""Seharusnya saya tidak boleh mengatakan itu. Apa yang nantinya akan dilakukan Mr. Vague pada saya? Saya benar-benar lancang." Mags terus meracau. Menyumpahi kesalahannya yang bagaikan tidak sengaja membongkar rahasia negara."Mags. Hei …."Aku mencoba mengambil alih perhatian Mags yang mungkin sedang mati-matian berjibaku dengan rasa bersalah.
Sebuah garis keras terbentuk di bibir Louton. Matanya terlihat berkedut. Siap menerkamku kalau saja ponsel miliknya tidak berdering. Louton pun melihat ponselnya. Ekspresinya tidak terbaca.Belum ingin mengangkat teleponnya, ia justru melempar tatapannya padaku."Tunggu aku," ujarnya menuntut. Memaksaku untuk tidak menolak, meskipun aku memang tidak akan menolak.Aku menarik napas."Tentu. Aku akan tunggu kau di kamar—eh, seperti yang kau perintahkan," ujarku melengkapi seraya menurunkan pandangan dan mengulum bibir.Sosoknya yang dalam balutan pakaian formal yang mengagumkan itu pun akhirnya menghilang di balik pintu. Aroma maskulin dari tubuhnya yang sekilas tercium seperti campuran