"Mbak, ada yang nyari Mbak di depan," ujar Nuning yang baru saja melongokkan kepala ke sela pintu ruang kerja Rhea."Siapa?" Seingat Rhea ia tidak memiliki janji dengan seseorang."Bapak-bapak, pake jas rapi."Dari jauh, Rhea melihat calon mertuanya duduk sambil membaca (entah apa) di tab-nya."Om?"Adityo mendongak dan mendapati Rhea yang mendekat ke arahnya. "Om nggak ganggu kamu kan?""Nggak kok, Om. Harusnya aku yang nanya, kok Om punya waktu buat ke sini?""Om mulai ketagihan buat kabur-kabur dari kerjaan nih, mungkin udah saatnya Om pensiun.""Belum lah, Om. Masih muda gini. Mungkin butuh liburan aja, Om. Oh iya, mau minum apa, Om? Kopi susu lagi?""Om pengen kopi kekinian dong, suruh pegawaimu aja yang bikinin. Om pengen ngomong sesuatu sama kamu."Rhea memanggil Nuning dan memintanya membuat 2dua ice coffee latte palm sugar untuk menemani mereka berbincang. Setelahnya, baru Rhea bergabung dengan Adityo yang kali ini lagi-lagi memilih duduk di pojok."Rame, Rhe?""Lumayan, Om.
Zanna mendengkus pelan saat melihat Naren datang bersama Rhea. Padahal ia sedang menahan sakit di kakinya, tapi tetap saja keberadaan Rhea membuatnya lebih terusik dibanding rasa sakitnya."Mana yang sakit, Na? Gimana kata dokter?" tanya Naren yang kini berdiri di samping ranjangnya.Karena masih menunggu hasil pemeriksaan, Zanna masih berada di ruang UGD bergabung dengan pasien-pasien lain yang juga sedang menunggu pemeriksaan dokter."Nggak tau, Kak. Masih nunggu hasil tes. Kakiku sakit, kayak kram, kaku, tapi ... nggak ngerti deh, pokoknya sakit banget kalo digerakin.""Udah nelepon mamamu?"Zanna menggeleng.Naren menarik satu kursi plastik yang ada di dekat ranjang dan memaksa Rhea untuk mendudukinya, sementara ia bertahan berdiri dengan kedua tangannya bertumpu pada pundak Rhea.Zanna yang tak tahan melihatnya memilih memejamkan mata. Lagipula rasa sakit di kakinya benar-benar tak tertahankan lagi.Sekitar setengah jam kemudian, barulah seorang dokter menghampiri mereka dan menj
"Ayo, kubantuin." Rhea mengulurkan tangannya kepada Zanna yang sebelumnya sempat berkata ingin ke kamar mandi."Emang kamu kuat?" tanyanya menantang.Rhea menghela napas, mencoba meningkatkan level kesabarannya beberapa kali lebih tinggi daripada biasanya. "Tadi siang kamu dibantu Niar bisa kan. Badanku nggak lebih kurus dari Niar. Ayolah, Na, jangan kayak anak kecil.""Bi Sri ke mana sih?""Lagi ke minimarket kan." Ini bukan pertama kalinya Rhea menjaga orang di rumah sakit, tapi harus diakuinya, Zanna adalah yang paling merepotkan dibanding yang lain, bahkan dibanding Ranu yang masih bocah.Zanna berusaha turun dari ranjangnya, memang kakinya sudah bisa digerakkan dan tidak sesakit hari sebelumnya, tapi dia tetap perlu dibantu untuk berjalan ke kamar mandi."Ayo." Rhea lagi-lagi berniat memegangi, tapi tangannya ditepis Zanna."Ok, silakan jalan sendiri." Pada akhirnya Rhea harus mengakui kalau ia gagal menaikkan batas kesabarannya."Kenapa?" tanya Naren begitu melihat pertengkaran
"Baru pulang, Sayang?" tanya Naren yang melihat Rhea turun dari mobilnya dan membuka pintu pagar. Naren memang sejak tadi menunggu Rhea dari teras depan rumahnya, ada sesuatu yang harus disampaikannya.Sudah seminggu ini Rhea berkutat dengan renovasi ruko milik kakek Naren yang berlokasi di Bintaro. Ia benar-benar berniat mempercepat prosesnya agar cabang Amigos yang pertama segera running, dan tentu saja akan menambah kesibukannya.Sudah seminggu pula, Rhea berusaha menghindari Naren, semata hanya untuk mengurangi frekuensi bertengkar mereka."Iya. Dari Bintaro tadi."Naren kini berdiri di teras rumah Rhea setelah perempuan itu memarkirkan mobilnya di garasi."Kamu udah makan malem?" tanya Rhea sambil membuka pintu rumahnya. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, biasanya Naren sudah makan malam sejak jam tujuh, tapi tidak ada salahnya untuk bertanya."Udah."Rhea tidak perlu bertanya Naren menghabiskan waktu makan malamnya dengan siapa. Ia tidak ingin menambah beban pikirannya
Rhea terbangun karena tenggorokannya yang terasa kering. Jam dinding di kamarnya telah menunjuk angka tiga. Entah sejak kapan ia tertidur, yang jelas ia hanya memejamkan mata, tidak ingin membukanya, dan mencoba mengosongkan pikiran.Derit pintu kamar Rhea yang terbuka membuat Naren terbangun seketika. Ia sebenarnya tidak benar-benar tidur. Karena itu ia masih awas akan segala suara yang ada di sekitarnya."Sayang, kamu kok bangun jam segini?"Rhea sempat terhenyak sesaat melihat Naren berada di ruang tengah rumahnya, sepertinya pria itu tadi tidur di sofa ruang tengah.Mengabaikan teguran Naren, Rhea memilih melanjutkan langkahnya ke dapur untuk mengambil segelas besar air dari dispenser."Haus?"Naren ternyata mengekorinya sampai dapur. Setelah meneguk setengah isi gelasnya dan kembali mengisi gelasnya hingga penuh, tanpa menjawab apa pun, Rhea beranjak menuju kamarnya sambil membawa gelas yang baru diisinya."Sayang." Naren berusaha menahan pintu kamar Rhea yang hendak ditutup. "Ak
Karena menyesali ucapan jahatnya itu, sekarang Rhea berada di salah satu kursi yang berada di selasar rumah sakit, menunggu Naren yang sedang mengurus administrasi untuk rawat inap Zanna."Kamu mau pulang atau di sini aja?" Naren memastikan kembali jam di ponselnya yang menunjukkan pukul delapan malam. "Kalo mau di sini juga nggak apa-apa, nanti kan di kamarnya ada sofa. Aku khawatir kalo kamu pulang jam segini.""Zanna nggak keberatan kalo aku ikut nunggu di kamar rawatnya?""Dia keberatan pun, nggak bakal bisa ngapa-ngapain, Rhe. Bahkan buat ngusir kamu mungkin dia udah nggak punya tenaga."Naren tidak sedang menyindirnya, tapi ucapan Naren itu membuat Rhea termangu. Sejak kapan ia berubah menjadi orang sejahat itu yang meminta Naren berada di sisinya padahal Zanna sedang membutuhkannya."Ya udah, aku nunggu di sini. Besok pagi aku balik ke rumah, mungkin besok aku stay di Amigos aja."Naren mengulurkan tangannya. "Ayo, kita cari makan dulu sebentar, biar bisa dimakan pas di kamar n
"Kamu lagi di mana?"Naren mengangkat panggilan telepon dari kakeknya saat ia tengah menghabiskan waktu makan siang di salah satu restoran yang ada di dekat kantornya dengan Zanna.Siang itu Zanna tiba-tiba memberi kabar kalau ia sedang berada di dekat kantor Naren. Ini hari keduanya Zanna kembali bekerja setelah beberapa hari sebelumnya istirahat total di apartemen. Karena ia harus menemui klien, kesempatan itu ia gunakan untuk sekalian mengajak Naren makan siang."Lagi makan siang, Kek," jawab Naren.Aditama masih bisa mendengar samar-samar sisa suara Zanna yang tertawa. Ia menghela napas berat, membayangkan Rhea yang sendirian di rumah sakit. "Rhea kecelakaan di ruko—"Naren terdiam, meresapi semua informasi dari kakeknya. Setelah menutup telepon dari kakeknya yang berlangsung tidak lebih dari satu menit itu, Naren langsung berdiri dan meraih jasnya. "Na, aku tinggal ya, Rhea masuk rumah sakit."Tanpa menunggu jawaban dari Zanna, Naren meninggalkan restoran dan melajukan mobilnya m
Naren membuka pintu kamar rawat Rhea. Hatinya bergemuruh saat melihat Ega duduk di dekat Rhea. Keduanya sedang terbahak sambil menatap televisi.Tapi, kenapa ada Ega?"Hai, Ga," sapa Naren."Eh, Ren. Dari mana aja?"Naren tidak menjawab dan langsung beringsut mendekati Rhea. "Gimana, Sayang? Udah enakan atau masih pusing kayak kemaren?"Rhea menatap Naren sesaat. "Udah enakan kok." Kemudian perhatiannya kembali ke layar televisi yang menampilkan drama Korea. Ia kembali tertawa sambil sesekali membahas adegan yang ditontonnya dengan Ega.Naren duduk di pinggir ranjang Rhea, ikut menonton apa yang ditonton Rhea, tapi pikirannya sama sekali tidak terpusat di situ.Setelah satu episode selesai, Ega meminta Rhea untuk istirahat kembali. "Udahan ah nontonnya. Istirahat. Kalo bosen tidur, baru nonton lagi," perintah Ega.Saat ini, barulah Naren memiliki kesempatan untuk bertanya. "Kok kamu di sini, Ga? Tau dari mana Rhea masuk rumah sakit?""Oh ... penasaran banget kayaknya," ledek Ega. "Aku
“Dek.” Rhea menatap anak bungsunya yang terlihat pucat. “Kenapa, Dek?”Yara menunjuk ke dadanya, ditambah dengan suara napasnya yang tersendat.Dengan panik, Rhea menghubungi Ega untuk mendapatkan pertolongan pertama untuk Yara.Syukurnya, dalam beberapa dering, Ega langung mengangkat sambungan telepon dari Rhea.“Ga. Yara, Ga.”“Kenapa, Rhe? Yara kenapa? Ceritain kondisinya.”“Dia lagi main di deket kolam renang, kucingnya dia kepleset masuk ke kolam renang, Yara ketakutan, trus nangis, sekarang dia pucet banget, napasnya mengi. Aku mesti gimana?”“Bikin Yara duduk tegak, arahin Yara buat narik napas panjang, berulang-ulang sampai normal lagi. Abis itu, kalo udah mulai normal, kasih air anget ya. Aku on the way ke sana.”Rhea memutus sambungan telepon, kemudian melakukan apa yang disarankan Ega. “Dek, ikutin Mama ya. Tarik napas ….”***Mobil Naren memasuki pelataran rumahnya bertepatan dengan sebuah mobil sedan hitam keluar. Dengan penasaran, Naren bertanya kepada security rumahnya.
Aileen dan Ervin masuk ke dalam rumah sambil terbahak membicarakan uang jajan Ervin yang habis karena harus menyuap semua teman sekelasnya demi melindungi ia yang bolos setengah jam pelajaran olahraga.“Lagian pake cabut.” Aileen puas tertawa.Sedari kecil mereka sadar kalau kondisi keluarga mereka jauh di atas rata-rata. Mereka hidup berkecukupan. Apa yang mereka mau sebenarnya bisa dituruti orang tua mereka, tapi orang tua mereka memilih untuk tidak melakukannya.Sejak kelas 1 SMP mereka masing-masing diberikan uang saku per minggu. Hal itu sudah berlangsung sejak era Aileen, sekarang Ervin, dan mungkin nanti hingga Yara.Dan saat itu masih hari selasa, ketika Ervin menghabiskan jatah seminggunya.“Gantiin kek, Kak. Aku kan bantuin Kakak.”“Enak aja. Nggak ada yang minta bantuan kok,” sahut Aileen cuek, walau tentu saja Aileen tidak akan membiarkan Ervin gigit jari di sekolah karena kehabisan uang jajan.“Ck! Uang tabunganku buat beli PS, Kak.”“Pilih game apa pilih makan di kantin?
“Vin, kakak lo dipepet sama kakak kelas di deket gudang buat nyimpen alat olahraga.”Saat itu Ervin masih duduk di kelas 1 SMP ketika mendapat laporan dari temannya. Usianya yang hanya berbeda lima belas bulan dengan kakaknya membuat mereka bersekolah di tempat yang sama, beda satu tingkat.Aileen duduk di kelas 3 SMP dan … memiliki musuh bertebaran. Ervin tidak kaget lagi untuk satu hal ini. Ucapan kakaknya yang sepedas cabe dan kegalakan kakaknya yang mengalahkan satpam komplek, tentu saja membuatnya memiliki banyak musuh, baik dari makhluk berjenis kelamin perempuan, maupun lawan jenis.“Cewek apa cowok yang mepet kakak gue?” Karen Ervin yakin kakaknya itu mampu kalau hanya mengatasi sekumpulan gadis puber yang biasa melabraknya karena gebetan mereka naksir berat dengan Aileen dan segala keangkuhannya.“Cowok, dua orang.”Ervin langsung melemparkan bola basket yang sedang ia mainkan. Kelasnya memang sedang ada jam perlajaran olahraga, karena itu ia bingung kenapa kakaknya bisa dipe
"Ibu ... Neng Aileen, Bu."Ucapan dari ujung sambungan telepon itu membuat Rhea langsung tersadar bahwa ada yang tidak beres dengan anaknya."Aileen kenapa, Mbak?" tanya Rhea kepada baby sitter yang biasa menjemput anak-anaknya saat ia tidak bisa menjemput. Seperti kali ini Rhea terpaksa meminta baby sitter untuk menjemput Aileen dan Ervin karena Yara sedang sakit."Neng Aileen nggak ada di sekolahannya."Jantung Rhea serasa mencelos saat mendengarnya. "Mbak udah nanya ke temen-temennya? Ke gurunya?""Sudah, Bu. Ini sekolahan udah hampir sepi, tapi nggak ada yang tau Neng Aileen di mana.""Ervin gimana?" tanya Rhea berusaha menutupi paniknya."Mas Ervin sudah di mobil, Bu.""Kamu minta supir pulang nganter Ervin ya. Kamu di situ dulu, cari di sekitaran sekolah, tanya sama temen-temennya, saya langsung jalan ke sana.""Iya, Bu."Rhea menghela napas, mencoba menenangkan diri walau rasanya sulit. Setelah menitipkan Yara yang sedang demam pada baby sitter, Rhea segera berlari, mengambil k
"Ya ampun Nareeen, kamu tu nggak bisa nahan apa gimana sih? Kasihan kan Aileen masih nyusu, terus sekarang Rhea isi lagi. Mana kemaren pas Aileen kan operasi. Cek ke dokter, pastiin ini bahaya apa nggak."Pukulan bertubi-tubi dan ocehan panjang lebar didapatkan Naren dari tantenya yang langsung terbang ke Jakarta saat mendengar kabar Rhea hamil (lagi).Sementara Naren yang menjadi bulan-bulanan tantenya hanya tersenyum bangga, bukannya merasa bersalah. "Udah ke dokter kok, Mi. Biar rumahnya rame."Adila menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan kesal. Kemudian ia mendekat ke sisi Rhea yang sedang menyusui Aileen di atas kasur, yang kadang terkikik mendengar perdebatan unfaedah suami dan tantenya."Rhea lagi pengen sesuatu nggak?""Pengen gelato, Mi.""Naren, tuh denger, Rhea pengen gelato.""Di mana, Sayang? Biar Mas cariin."Rhea menggeleng. "Nggak tau aku."Adila mencebik kesal melihat Naren hanya garuk-garuk kepala. "Udah sana, cari aja di google di mana gelato terenak se-Jakar
"Sayang ...." Naren terdiam sesaat. Sebenarnya ia masih ragu untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya."Kenapa?" Rhea menjawab sambil lalu karena dia juga sedang berkutat memakaikan baju Aileen yang baru saja dimandikan.Sudah seminggu mereka tinggal di kediaman Candra. Rumah itu memang tidak ada yang menempati setelah Aditama pindah ke Dieng dan Adityo memilih tinggal sendiri di rumahnya. Aditama sendiri belum tega menjual atau menyewakan rumah itu. Karenanya, Aditama benar-benar memohon kepada cucu dan cucu menantunya itu agar menempati kediaman keluarga mereka, tidak perlu lagi mencari rumah.Naren mendekat, sambil menowel pipi Aileen dengan gemasnya, mencoba berbicara dengan istrinya. Biasanya mood Rhea lebih bagus kalau Aileen sedang tidak rewel. "Aku nggak tau terlalu cepet atau nggak aku ngomong gini. Tapi kayaknya mulai kita perlu pikirin. Kamu ... setelah ini mau berhenti ngurus Amigos atau gimana?"Rhea melirik suaminya sekilas, tapi kemudian perhatiannya kembali
“Mau kubantuin?” tanya Naren saat melihat istrinya berjalan tertatih menuju kamar mandi.Hari itu Rhea baru saja keluar dari rumah sakit. Dia sudah bisa berjalan tanpa bantuan, tapi memang harus pelan-pelan karena jahitannya masih terasa sakit. Naren mengambil cuti dadakan setelah kelahiran Aileen dan setia menemani Rhea dalam masa pemulihan sambil mencoba mengurus Aileen, walaupun masih terlihat sangat canggung.“Bisa sendiri kok, jagain Aileen aja. Nanti kalo nangis dan kamu nggak bisa nenangin, panggil Mama aja, Mas. Aku agak lama kayaknya di kamar mandi.”Naren mengangguk. “Nggak usah dikunci pintunya, kalo butuh bantuan, teriak aja.”“Iya.”Mereka memang tinggal di rumah orang tua Rhea untuk sementara. Seperti umumnya seorang wanita yang baru melahirkan, Rhea juga ingin berada di dekat mamanya untuk mendapatkan perhatian dan bimbingan dari mamanya. Bukan berarti ART di kediaman Candra tidak ada yang mengerti bagaimana mengurus anak, tapi tetap saja menurut Rhea rasanya berbeda de
Tubuh Rhea melemas dan jantungnya mulai berdebar kencang saat menyadari apa yang terjadi padanya.Ia mencoba untuk tenang, walaupun rasanya sangat sulit. Sekarang baru ia tahu bagaimana rasanya mengkhawatirkan orang lain melebihi dirinya sendiri. Ya, dia jauh lebih khawatir pada keadaan janinnya dibanding dirinya sendiri.Rhea lantas meraih ponsel yang ada di atas meja, mencoba menghubungi dokter kandungannya. Untungnya dokter itu mengangkat panggilannya setelah dering ketiga. Rhea menceritakan semuanya, dan setelah sambungan itu berakhir, ia langsung beralih menekan nomor ponsel suaminya.Naren tidak langsung menjawab teleponnya. Memang saat itu belum masuk jam makan siang, jadi mungkin saja suaminya sedang meeting.Di saat Rhea mengatur napasnya untuk menenangkan diri dan agar tidak terdengar panik, Naren pun mengangkat teleponnya."Iya, Sayang?""Mas lagi apa?""Kerja lah. Masa jalan-jalan ke mall?" jawab Naren terkekeh. "Kenapa?""Mas kira-kira kalo ke sini butuh berapa lama?""Hm
"Sayang, dua minggu lagi perusahaan ngadain dinner party. Perayaan tiga proyek baru kita."Intro pembicaraan yang membuat Rhea bertanya-tanya, apa yang selanjutnya akan diucapkan suaminya."Aku mau ngajak kamu tapi ... udah deket HPL-mu.""HPL-ku kan masih sebulan lagi, Mas.""Iya tapi kan itu riskan banget, tinggal dua minggu sebelum HPL kan.""Jadi aku nggak diajak?" Bukannya Rhea suka datang ke pesta-pesta. Tapi belakangan ini dia suka resah kalau ditinggal Naren, apalagi saat malam hari."Kamu mau ikut? Beneran nggak apa-apa? Nggak bakal kecapekan?""Mau ikut. Anggep aja terakhir sebelum lahiran. Boleh? Atau kamu malu?"Naren mengusapi puncak kepala istrinya. "Ngomong apa sih? Baper banget sejak hamil. Nggak mungkin aku malu ngajak kamu. Aku cuma beneran takut kamu capek."Rhea tidak menjawab lagi. Ia memberi waktu dan membiarkan suaminya mengambil keputusan."Ya udah, kita booking satu kamar aja buat istirahat kalau kamu kecapekan. Tapi kamu tetep nggak boleh pake heels ya. Aku n