"Ren, kedip," goda Adila saat melihat keponakannya menatap sang istri tanpa berkedip."Mami ngerusak suasana banget," balas Naren kesal."Dari tatapanmu, Mami yakin kalian tadi bener-bener istirahat," ledek Adila lagi sambil berlalu dan terbahak.Naren menatap kepergian tantenya dengan perasaan kesal. Bagaimana tidak? Apa yang dikatakan tantenya memang benar. Ia dan Rhea hanya beristirahat, benar-benar beristirahat karena Rhea tidak ingin terlihat ‘berjalan dengan aneh’, yang Naren sendiri sebenarnya tidak mengerti dari mana Rhea bisa mengira jalannya akan aneh setelah melakukan hubungan suami istri."Sabar ya, Ren. Bentar lagi selesai kok," ucap Nisya yang masih sibuk mendandani Rhea."Mas jalan-jalan aja dulu kalo bosen," imbuh Rhea."Pake baju penganten gini? Yang bener aja. Lagian mendingan aku ngelihatin kamu di sini daripada keluar."Ucapan Naren itu sukses membuat Nisya terkekeh, sementara dua asistennya yang membantu merias Rhea manahan senyumnya.Sialnya, Rhea sedang dalam pr
"Parah banget sih lo, Bri! Bisa-bisanya manggil gue ke lobby.” Naren hampir mengumpati Brian yang benar-benar tidak tahu waktu.Brian hanya terkekeh melihat Naren bersungut. "Lah gimana, kan buat naik ke lantai kamar lo, gue butuh kartu akses. Sementara gue nggak nginep di sini. Jadi kan mendingan gue minta lo ke lobby.""Leny mana?""Di mobil sama Amee. Udah nih, titipan Leny buat Rhea." Brian mengangsurkan sebuah paper bag yang berisi kotak di dalamnya. "Kata Leny, wajib dipake malem ini.""Apaan sih?" tanya Naren penasaran."Nggak tau, urusan cewek, biarin lah. Lingerie kali. Atau itu loh, parfum yang buat menarik lawan jenis.""Hah? Emang ada parfum begitu?""Ada tau. Gue juga bingung, itu parfum apa pelet. Ya meskipun tanpa parfum itu juga lo udah kayak orang kepelet sih."Bukannya membantah ucapan Brian, Naren kembali terkekeh, kemudian balik badan meninggalkan Brian dengan cueknya. "Gue balik ke atas ya."***"Sayang. Ini titipan Leny buat kamu. Katanya mesti dipake," teriak Na
"Kok manyun sih, Sayang?" tanya Naren.Rhea mengedikkan bahu, masih mempertahankan wajahnya yang cemberut menahan kekesalan."Duuuuh masih pengantin baru kok berantem? Performa Mas Naren kurang memuaskan ya? Tapi ... ngelihat bekas yang ditinggalin Mas Naren kayaknya aman terkendali," ledek Endra yang ternyata masih ada di restoran.Padahal Naren dan Rhea sengaja turun lebih siang agar tidak berpapasan dengan keluarga mereka yang menginap di hotel, sayangnya harapan mereka pupus saat melihat Endra yang mulutnya tidak ada remnya."Apaan sih, Ndra? Udah sana naik ke kamarmu lagi!" usir Naren."Iya deh iya. Ini sarapan yang ke berapa?" tanya Endra dengan tampang serius."Pertama lah," jawab Naren kesal."Bukan yang kedua? Nggak ada sarapan pertama di kamar?" tanya Endra sambil mengerlingkan matanya, memberikan kode kalau yang ia maksud 'sarapan pertama di kamar' adalah 'sarapan' sebagai suami istri."Endra! Kulaporin mami ya!" bentak Naren."Ampun ampun." Endra kemudian pergi dari hadapa
"Sama anak-anak. Tanya aja Pras, Brian, Rama. Nggak pernah ya aku ngajak cewek ke sini, ntar dipikir mau ngapa-ngapain."Naren lantas menghubungi anak buahnya yang menyiapkan motor di pelabuhan Toya Pakeh. Tak berselang lama, seorang lelaki yang tampak lebih muda dari mereka datang menghampiri dan menyerahkan kunci motor selagi ia membawa barang bawaan Naren dan Rhea ke dalam mobil."Kamu mau ke mana dulu, Sayang?""Loh kita nggak ke villa dulu?""Biarin bawang baraan kita dibawain Made ke villa. Kita langsung jalan aja. Kecuali ... kamu mau kita ke villa, tapi aku nggak jamin bakal mau keluar dari villa." Naren mengerling jahil pada Rhea dan hal itu membuat Rhea menghela napas."Ya udah, aku ikut aja kamu maunya ke mana. Kan kamu yang sering ke sini.""Ke villa?"Rhea mencubit perut Naren karena kesal dengan omongannya sekarang yang tidak jauh-jauh dari kamar dan ngamar. Ia mencoba mengerti kalau mereka sedang dalam rangka honeymoon, tapi kalau hanya di villa, untuk apa mereka jauh-j
"Capek, ya?" tanya Naren yang melihat istrinya langsung meluruskan kaki di kursi teras begitu mereka tiba di villa.Sudah tiga hari mereka berada di Nusa Penida. Dari timur sampai ke barat sudah mereka datangi semua.Naren paham kalau saat ini istrinya merasa kelelahan. Pasalnya ada beberapa tempat wisata yang mengharuskan mereka untuk turun kalau mau menikmati pantai.Inilah salah satu alasan dulu Naren dan teman-temannya suka berkunjung ke Nusa Penida. Selain view dari atas tebing yang menakjubkan, mereka juga bisa bermain di pantai yang masih belum banyak pegunjung seperti di Pulau Bali."Lumayan, dua hari ini udah naik turun tangga sebanyak itu, Mas. Tapi kalo nggak turun rugi, karena bagus banget juga pantainya.""Kamu paling suka yang mana?" Naren kini ikut duduk di kursi yang ada di samping istrinya sambil meluruskan kaki."Kalo view dari atas sih ... Kelingking Beach, lucu, beneran bentuk kepala dinosairus. Tapi Diamond Beach sih keren parah view-nya, naik turun tangganya terb
"Kita mau ke mana, Mas? Nggak mampir ke Nusa Lembongan ya?"Pagi itu mereka kembali ke Pulau Bali setelah menghabiskan empat hari di Nusa Penida.Naren menepuk keningnya dengan cukup keras. "Astaga! Aku lupa, harusnya kita bisa mampir ke Nusa Lembongan dulu ya."Rhea mengerucutkan bibir. "Kebanyakan di kamar nih, makanya sampe lupa."Naren terkekeh karena apa yang dikatakan Rhea ada benarnya. "Next time ya, kita ke Nusa Lembongan. Kita atur waktu dulu. Soalnya habis ini kita masih mesti mampir ke suatu tempat.""Ke mana?" tanya Rhea antusias."Nanti kamu juga tau."Rhea mengalah, menghentikan segala pertanyaan yang berputar di otaknya. Cukup ia serahkan perjalanan ini pada suaminya. Toh sejauh ini selalu menyenangkan.Tiba di Sanur, sebuah mobil sudah menunggu mereka. Keduanya membersihkan diri di toilet umum yang ada di kawasan Sanur akibat kaki mereka yang terpaksa masuk ke air laut saat turun dari kapal dan berjalan ke pantai."Kamu nggak risih Mas make toilet umum?" tanya Rhea pen
Rhea menatap suaminya yang sedang terlelap. Entah sudah berapa lama ia mengamati suaminya itu.Entah mengapa hatinya terasa resah. Harusnya tidak seperti ini. Rhea masih berusaha mengarahkan pikirannya menjadi lebih positif. 'Mas nggak akan melakukannya lagi.' Itu yang diulangnya berkali-kali di otaknya.Dan kalau benar-benar Naren melakukannya lagi?Hancur, Rhea pasti hancur kali ini.Tiba-tiba saja Naren mengerjapkan mata. Mungkin ia terbangun karena merasa Rhea memperhatinnya. Atau mungkin karena helaan napas Rhea yang lebih berat. “Kok kamu bangun? Kenapa?”Rhea menggeleng, mencoba menunjukkan senyumannya. “Nggak bisa tidur,” jawabnya.“Mau dibikinin chamomile tea?”Rhea menggeleng lagi. “Mau dipeluk aja.”Naren mendekat, merengkuh Rhea ke dalam pelukannya. Walaupun ia merasa aneh dengan permintaan istrinya di tengah malam itu, tapi toh ia senang melakukannya. “Ada yang kamu pikirin sampe nggak bisa tidur?”Rhea terdiam. Ya, memang ada yang sedang mengganggu pikirannya, tapi ia ti
Jarak Naren kini hanya beberapa inchi di depan Rhea. Rhea masih menunduk sambil kedua tangannya mencengkeram sisi samping jas suaminya."Kamu kenapa?" tanya Naren bingung. Ia sudah tahu bagaimana istrinya saat menangis. Memang istrinya itu tidak akan tersedu, tapi air matanya sulit dihentikan. Kadang dikiranya Rhea sudah selesai menangis, mereka melakukan aktivitas lain, tapi tiba-tiba air matanya luruh lagi.Di tengah kebingungannya karena Rhea yang masih juga tidak menjawabnya, Naren mengedarkan pandangan sambil berpikir. Apakah ia dan istrinya itu masih bisa makan malam romantis dengan kondisi seperti itu?Akhirnya Naren mengarahkan Rhea menuju sofa yang ada di lobby hotel. Ia berjongkok di depan istrinya kemudian berkata, "Kamu tunggu di sini bentar ya, aku booking kamar dulu."Rhea menggeleng cepat."Mau ikut ke resepsionis? Tapi nanti aku dikira nyulik anak orang kalo kamu masih nangis gini."Tangan Naren mengusap lembut jejak-jejak air mata yang tertinggal di sudut mata dan di