Usai menjemput keluarga Rhea di bandara, Naren masih sempat mampir ke rumah Rhea. Keluarganya juga akan datang untuk bersilaturahmi.Malam itu, kedua keluarga itu memilih makan malam di luar demi kepraktisan.Saat itu lah, mereka berdua mulai diberikan arahan-arahan untuk menghadapi masa pingitan selama dua minggu."Kalian berdua jangan curi-curi waktu buat ketemu ya!" titah Adila tegas.Naren dan Rhea saling tatap, berharap waktu berputar lebih cepat."Rhea udah nggak ke Amigos kan mulai besok?" tanya Aditama."Nggak, Kek. Amigos Menteng dipegang Amee, Amigos Bintaro dipegang Yoga."Mereka semua mengangguk sepakat atas keputusan Rhea. Sementara Adityo menatap Naren lekat-lekat. "Papa belum terinfo izin cutimu, Ren?"Naren yang ditembak pertanyaan di tengah-tengah menyuap banana split seketika tersedak.Rhea terkekeh sambil mengangsurkan segelas air putih ke depan Naren. Ia tahu kalau Naren berniat menunda cutinya hingga minggu depan."Memang harus mulai besok, Pa? Aku baru mau cuti m
Jantung Naren yang sejak tadi berdebar lebih cepat, kini mulai kembali ke ritme yang semula setelah mendengar sahutan suara "Sah" di dalam grand ballroom yang dijadikan venue akad nikahnya.Ia melirik wanita yang kini ada di sebelahnya dan berlabel 'istrinya', yang sedang terisak karena haru."Kamu terpaksa ya nikah sama aku?" bisik Naren."Ih kok ngomong gitu?""Ya habisnya nangis terus dari tadi," jawab Naren sambil terkekeh tapi tangannya dengan sigap menghapus air mata Rhea dengan tisu."Terharu, Maaas. Astaga, masih aja diajak bercanda," ucap Rhea bersungut.Ada rasa lega yang benar-benar merajai hati Naren saat Rhea mencium punggung tangannya, sebagai tanda bakti seorang istri pada suami.Usai acara inti, keduanya duduk di antara para keluarga dan kerabat dekat mereka untuk menikmati brunch."Habis ini mau ngapain, Mas?" tanya Endra dengan keisengan level dewanya.Naren yang sedang menyesap kopi tiba-tiba tersedak mendengar pertanyaan Endra. Waktu jeda mereka untuk beristirahat
"Ren, kedip," goda Adila saat melihat keponakannya menatap sang istri tanpa berkedip."Mami ngerusak suasana banget," balas Naren kesal."Dari tatapanmu, Mami yakin kalian tadi bener-bener istirahat," ledek Adila lagi sambil berlalu dan terbahak.Naren menatap kepergian tantenya dengan perasaan kesal. Bagaimana tidak? Apa yang dikatakan tantenya memang benar. Ia dan Rhea hanya beristirahat, benar-benar beristirahat karena Rhea tidak ingin terlihat ‘berjalan dengan aneh’, yang Naren sendiri sebenarnya tidak mengerti dari mana Rhea bisa mengira jalannya akan aneh setelah melakukan hubungan suami istri."Sabar ya, Ren. Bentar lagi selesai kok," ucap Nisya yang masih sibuk mendandani Rhea."Mas jalan-jalan aja dulu kalo bosen," imbuh Rhea."Pake baju penganten gini? Yang bener aja. Lagian mendingan aku ngelihatin kamu di sini daripada keluar."Ucapan Naren itu sukses membuat Nisya terkekeh, sementara dua asistennya yang membantu merias Rhea manahan senyumnya.Sialnya, Rhea sedang dalam pr
"Parah banget sih lo, Bri! Bisa-bisanya manggil gue ke lobby.” Naren hampir mengumpati Brian yang benar-benar tidak tahu waktu.Brian hanya terkekeh melihat Naren bersungut. "Lah gimana, kan buat naik ke lantai kamar lo, gue butuh kartu akses. Sementara gue nggak nginep di sini. Jadi kan mendingan gue minta lo ke lobby.""Leny mana?""Di mobil sama Amee. Udah nih, titipan Leny buat Rhea." Brian mengangsurkan sebuah paper bag yang berisi kotak di dalamnya. "Kata Leny, wajib dipake malem ini.""Apaan sih?" tanya Naren penasaran."Nggak tau, urusan cewek, biarin lah. Lingerie kali. Atau itu loh, parfum yang buat menarik lawan jenis.""Hah? Emang ada parfum begitu?""Ada tau. Gue juga bingung, itu parfum apa pelet. Ya meskipun tanpa parfum itu juga lo udah kayak orang kepelet sih."Bukannya membantah ucapan Brian, Naren kembali terkekeh, kemudian balik badan meninggalkan Brian dengan cueknya. "Gue balik ke atas ya."***"Sayang. Ini titipan Leny buat kamu. Katanya mesti dipake," teriak Na
"Kok manyun sih, Sayang?" tanya Naren.Rhea mengedikkan bahu, masih mempertahankan wajahnya yang cemberut menahan kekesalan."Duuuuh masih pengantin baru kok berantem? Performa Mas Naren kurang memuaskan ya? Tapi ... ngelihat bekas yang ditinggalin Mas Naren kayaknya aman terkendali," ledek Endra yang ternyata masih ada di restoran.Padahal Naren dan Rhea sengaja turun lebih siang agar tidak berpapasan dengan keluarga mereka yang menginap di hotel, sayangnya harapan mereka pupus saat melihat Endra yang mulutnya tidak ada remnya."Apaan sih, Ndra? Udah sana naik ke kamarmu lagi!" usir Naren."Iya deh iya. Ini sarapan yang ke berapa?" tanya Endra dengan tampang serius."Pertama lah," jawab Naren kesal."Bukan yang kedua? Nggak ada sarapan pertama di kamar?" tanya Endra sambil mengerlingkan matanya, memberikan kode kalau yang ia maksud 'sarapan pertama di kamar' adalah 'sarapan' sebagai suami istri."Endra! Kulaporin mami ya!" bentak Naren."Ampun ampun." Endra kemudian pergi dari hadapa
"Sama anak-anak. Tanya aja Pras, Brian, Rama. Nggak pernah ya aku ngajak cewek ke sini, ntar dipikir mau ngapa-ngapain."Naren lantas menghubungi anak buahnya yang menyiapkan motor di pelabuhan Toya Pakeh. Tak berselang lama, seorang lelaki yang tampak lebih muda dari mereka datang menghampiri dan menyerahkan kunci motor selagi ia membawa barang bawaan Naren dan Rhea ke dalam mobil."Kamu mau ke mana dulu, Sayang?""Loh kita nggak ke villa dulu?""Biarin bawang baraan kita dibawain Made ke villa. Kita langsung jalan aja. Kecuali ... kamu mau kita ke villa, tapi aku nggak jamin bakal mau keluar dari villa." Naren mengerling jahil pada Rhea dan hal itu membuat Rhea menghela napas."Ya udah, aku ikut aja kamu maunya ke mana. Kan kamu yang sering ke sini.""Ke villa?"Rhea mencubit perut Naren karena kesal dengan omongannya sekarang yang tidak jauh-jauh dari kamar dan ngamar. Ia mencoba mengerti kalau mereka sedang dalam rangka honeymoon, tapi kalau hanya di villa, untuk apa mereka jauh-j
"Capek, ya?" tanya Naren yang melihat istrinya langsung meluruskan kaki di kursi teras begitu mereka tiba di villa.Sudah tiga hari mereka berada di Nusa Penida. Dari timur sampai ke barat sudah mereka datangi semua.Naren paham kalau saat ini istrinya merasa kelelahan. Pasalnya ada beberapa tempat wisata yang mengharuskan mereka untuk turun kalau mau menikmati pantai.Inilah salah satu alasan dulu Naren dan teman-temannya suka berkunjung ke Nusa Penida. Selain view dari atas tebing yang menakjubkan, mereka juga bisa bermain di pantai yang masih belum banyak pegunjung seperti di Pulau Bali."Lumayan, dua hari ini udah naik turun tangga sebanyak itu, Mas. Tapi kalo nggak turun rugi, karena bagus banget juga pantainya.""Kamu paling suka yang mana?" Naren kini ikut duduk di kursi yang ada di samping istrinya sambil meluruskan kaki."Kalo view dari atas sih ... Kelingking Beach, lucu, beneran bentuk kepala dinosairus. Tapi Diamond Beach sih keren parah view-nya, naik turun tangganya terb
"Kita mau ke mana, Mas? Nggak mampir ke Nusa Lembongan ya?"Pagi itu mereka kembali ke Pulau Bali setelah menghabiskan empat hari di Nusa Penida.Naren menepuk keningnya dengan cukup keras. "Astaga! Aku lupa, harusnya kita bisa mampir ke Nusa Lembongan dulu ya."Rhea mengerucutkan bibir. "Kebanyakan di kamar nih, makanya sampe lupa."Naren terkekeh karena apa yang dikatakan Rhea ada benarnya. "Next time ya, kita ke Nusa Lembongan. Kita atur waktu dulu. Soalnya habis ini kita masih mesti mampir ke suatu tempat.""Ke mana?" tanya Rhea antusias."Nanti kamu juga tau."Rhea mengalah, menghentikan segala pertanyaan yang berputar di otaknya. Cukup ia serahkan perjalanan ini pada suaminya. Toh sejauh ini selalu menyenangkan.Tiba di Sanur, sebuah mobil sudah menunggu mereka. Keduanya membersihkan diri di toilet umum yang ada di kawasan Sanur akibat kaki mereka yang terpaksa masuk ke air laut saat turun dari kapal dan berjalan ke pantai."Kamu nggak risih Mas make toilet umum?" tanya Rhea pen
“Dek.” Rhea menatap anak bungsunya yang terlihat pucat. “Kenapa, Dek?”Yara menunjuk ke dadanya, ditambah dengan suara napasnya yang tersendat.Dengan panik, Rhea menghubungi Ega untuk mendapatkan pertolongan pertama untuk Yara.Syukurnya, dalam beberapa dering, Ega langung mengangkat sambungan telepon dari Rhea.“Ga. Yara, Ga.”“Kenapa, Rhe? Yara kenapa? Ceritain kondisinya.”“Dia lagi main di deket kolam renang, kucingnya dia kepleset masuk ke kolam renang, Yara ketakutan, trus nangis, sekarang dia pucet banget, napasnya mengi. Aku mesti gimana?”“Bikin Yara duduk tegak, arahin Yara buat narik napas panjang, berulang-ulang sampai normal lagi. Abis itu, kalo udah mulai normal, kasih air anget ya. Aku on the way ke sana.”Rhea memutus sambungan telepon, kemudian melakukan apa yang disarankan Ega. “Dek, ikutin Mama ya. Tarik napas ….”***Mobil Naren memasuki pelataran rumahnya bertepatan dengan sebuah mobil sedan hitam keluar. Dengan penasaran, Naren bertanya kepada security rumahnya.
Aileen dan Ervin masuk ke dalam rumah sambil terbahak membicarakan uang jajan Ervin yang habis karena harus menyuap semua teman sekelasnya demi melindungi ia yang bolos setengah jam pelajaran olahraga.“Lagian pake cabut.” Aileen puas tertawa.Sedari kecil mereka sadar kalau kondisi keluarga mereka jauh di atas rata-rata. Mereka hidup berkecukupan. Apa yang mereka mau sebenarnya bisa dituruti orang tua mereka, tapi orang tua mereka memilih untuk tidak melakukannya.Sejak kelas 1 SMP mereka masing-masing diberikan uang saku per minggu. Hal itu sudah berlangsung sejak era Aileen, sekarang Ervin, dan mungkin nanti hingga Yara.Dan saat itu masih hari selasa, ketika Ervin menghabiskan jatah seminggunya.“Gantiin kek, Kak. Aku kan bantuin Kakak.”“Enak aja. Nggak ada yang minta bantuan kok,” sahut Aileen cuek, walau tentu saja Aileen tidak akan membiarkan Ervin gigit jari di sekolah karena kehabisan uang jajan.“Ck! Uang tabunganku buat beli PS, Kak.”“Pilih game apa pilih makan di kantin?
“Vin, kakak lo dipepet sama kakak kelas di deket gudang buat nyimpen alat olahraga.”Saat itu Ervin masih duduk di kelas 1 SMP ketika mendapat laporan dari temannya. Usianya yang hanya berbeda lima belas bulan dengan kakaknya membuat mereka bersekolah di tempat yang sama, beda satu tingkat.Aileen duduk di kelas 3 SMP dan … memiliki musuh bertebaran. Ervin tidak kaget lagi untuk satu hal ini. Ucapan kakaknya yang sepedas cabe dan kegalakan kakaknya yang mengalahkan satpam komplek, tentu saja membuatnya memiliki banyak musuh, baik dari makhluk berjenis kelamin perempuan, maupun lawan jenis.“Cewek apa cowok yang mepet kakak gue?” Karen Ervin yakin kakaknya itu mampu kalau hanya mengatasi sekumpulan gadis puber yang biasa melabraknya karena gebetan mereka naksir berat dengan Aileen dan segala keangkuhannya.“Cowok, dua orang.”Ervin langsung melemparkan bola basket yang sedang ia mainkan. Kelasnya memang sedang ada jam perlajaran olahraga, karena itu ia bingung kenapa kakaknya bisa dipe
"Ibu ... Neng Aileen, Bu."Ucapan dari ujung sambungan telepon itu membuat Rhea langsung tersadar bahwa ada yang tidak beres dengan anaknya."Aileen kenapa, Mbak?" tanya Rhea kepada baby sitter yang biasa menjemput anak-anaknya saat ia tidak bisa menjemput. Seperti kali ini Rhea terpaksa meminta baby sitter untuk menjemput Aileen dan Ervin karena Yara sedang sakit."Neng Aileen nggak ada di sekolahannya."Jantung Rhea serasa mencelos saat mendengarnya. "Mbak udah nanya ke temen-temennya? Ke gurunya?""Sudah, Bu. Ini sekolahan udah hampir sepi, tapi nggak ada yang tau Neng Aileen di mana.""Ervin gimana?" tanya Rhea berusaha menutupi paniknya."Mas Ervin sudah di mobil, Bu.""Kamu minta supir pulang nganter Ervin ya. Kamu di situ dulu, cari di sekitaran sekolah, tanya sama temen-temennya, saya langsung jalan ke sana.""Iya, Bu."Rhea menghela napas, mencoba menenangkan diri walau rasanya sulit. Setelah menitipkan Yara yang sedang demam pada baby sitter, Rhea segera berlari, mengambil k
"Ya ampun Nareeen, kamu tu nggak bisa nahan apa gimana sih? Kasihan kan Aileen masih nyusu, terus sekarang Rhea isi lagi. Mana kemaren pas Aileen kan operasi. Cek ke dokter, pastiin ini bahaya apa nggak."Pukulan bertubi-tubi dan ocehan panjang lebar didapatkan Naren dari tantenya yang langsung terbang ke Jakarta saat mendengar kabar Rhea hamil (lagi).Sementara Naren yang menjadi bulan-bulanan tantenya hanya tersenyum bangga, bukannya merasa bersalah. "Udah ke dokter kok, Mi. Biar rumahnya rame."Adila menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan kesal. Kemudian ia mendekat ke sisi Rhea yang sedang menyusui Aileen di atas kasur, yang kadang terkikik mendengar perdebatan unfaedah suami dan tantenya."Rhea lagi pengen sesuatu nggak?""Pengen gelato, Mi.""Naren, tuh denger, Rhea pengen gelato.""Di mana, Sayang? Biar Mas cariin."Rhea menggeleng. "Nggak tau aku."Adila mencebik kesal melihat Naren hanya garuk-garuk kepala. "Udah sana, cari aja di google di mana gelato terenak se-Jakar
"Sayang ...." Naren terdiam sesaat. Sebenarnya ia masih ragu untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya."Kenapa?" Rhea menjawab sambil lalu karena dia juga sedang berkutat memakaikan baju Aileen yang baru saja dimandikan.Sudah seminggu mereka tinggal di kediaman Candra. Rumah itu memang tidak ada yang menempati setelah Aditama pindah ke Dieng dan Adityo memilih tinggal sendiri di rumahnya. Aditama sendiri belum tega menjual atau menyewakan rumah itu. Karenanya, Aditama benar-benar memohon kepada cucu dan cucu menantunya itu agar menempati kediaman keluarga mereka, tidak perlu lagi mencari rumah.Naren mendekat, sambil menowel pipi Aileen dengan gemasnya, mencoba berbicara dengan istrinya. Biasanya mood Rhea lebih bagus kalau Aileen sedang tidak rewel. "Aku nggak tau terlalu cepet atau nggak aku ngomong gini. Tapi kayaknya mulai kita perlu pikirin. Kamu ... setelah ini mau berhenti ngurus Amigos atau gimana?"Rhea melirik suaminya sekilas, tapi kemudian perhatiannya kembali
“Mau kubantuin?” tanya Naren saat melihat istrinya berjalan tertatih menuju kamar mandi.Hari itu Rhea baru saja keluar dari rumah sakit. Dia sudah bisa berjalan tanpa bantuan, tapi memang harus pelan-pelan karena jahitannya masih terasa sakit. Naren mengambil cuti dadakan setelah kelahiran Aileen dan setia menemani Rhea dalam masa pemulihan sambil mencoba mengurus Aileen, walaupun masih terlihat sangat canggung.“Bisa sendiri kok, jagain Aileen aja. Nanti kalo nangis dan kamu nggak bisa nenangin, panggil Mama aja, Mas. Aku agak lama kayaknya di kamar mandi.”Naren mengangguk. “Nggak usah dikunci pintunya, kalo butuh bantuan, teriak aja.”“Iya.”Mereka memang tinggal di rumah orang tua Rhea untuk sementara. Seperti umumnya seorang wanita yang baru melahirkan, Rhea juga ingin berada di dekat mamanya untuk mendapatkan perhatian dan bimbingan dari mamanya. Bukan berarti ART di kediaman Candra tidak ada yang mengerti bagaimana mengurus anak, tapi tetap saja menurut Rhea rasanya berbeda de
Tubuh Rhea melemas dan jantungnya mulai berdebar kencang saat menyadari apa yang terjadi padanya.Ia mencoba untuk tenang, walaupun rasanya sangat sulit. Sekarang baru ia tahu bagaimana rasanya mengkhawatirkan orang lain melebihi dirinya sendiri. Ya, dia jauh lebih khawatir pada keadaan janinnya dibanding dirinya sendiri.Rhea lantas meraih ponsel yang ada di atas meja, mencoba menghubungi dokter kandungannya. Untungnya dokter itu mengangkat panggilannya setelah dering ketiga. Rhea menceritakan semuanya, dan setelah sambungan itu berakhir, ia langsung beralih menekan nomor ponsel suaminya.Naren tidak langsung menjawab teleponnya. Memang saat itu belum masuk jam makan siang, jadi mungkin saja suaminya sedang meeting.Di saat Rhea mengatur napasnya untuk menenangkan diri dan agar tidak terdengar panik, Naren pun mengangkat teleponnya."Iya, Sayang?""Mas lagi apa?""Kerja lah. Masa jalan-jalan ke mall?" jawab Naren terkekeh. "Kenapa?""Mas kira-kira kalo ke sini butuh berapa lama?""Hm
"Sayang, dua minggu lagi perusahaan ngadain dinner party. Perayaan tiga proyek baru kita."Intro pembicaraan yang membuat Rhea bertanya-tanya, apa yang selanjutnya akan diucapkan suaminya."Aku mau ngajak kamu tapi ... udah deket HPL-mu.""HPL-ku kan masih sebulan lagi, Mas.""Iya tapi kan itu riskan banget, tinggal dua minggu sebelum HPL kan.""Jadi aku nggak diajak?" Bukannya Rhea suka datang ke pesta-pesta. Tapi belakangan ini dia suka resah kalau ditinggal Naren, apalagi saat malam hari."Kamu mau ikut? Beneran nggak apa-apa? Nggak bakal kecapekan?""Mau ikut. Anggep aja terakhir sebelum lahiran. Boleh? Atau kamu malu?"Naren mengusapi puncak kepala istrinya. "Ngomong apa sih? Baper banget sejak hamil. Nggak mungkin aku malu ngajak kamu. Aku cuma beneran takut kamu capek."Rhea tidak menjawab lagi. Ia memberi waktu dan membiarkan suaminya mengambil keputusan."Ya udah, kita booking satu kamar aja buat istirahat kalau kamu kecapekan. Tapi kamu tetep nggak boleh pake heels ya. Aku n