Begitu cepat waktu berlalu. Dan begitu retoris pernyataan seperti itu. Tanpa sadar minggu memasuki penghujung. Menyapa kedua mata yang sempat terlelap sembari mendekap erat benda kesayangannya. Sebuah figura sesosok anak kecil yang Bianka panggil "Awan" selama ini.
Bianka selalu menantikan Awan hadir kembali dalam mimpinya sama seperti saat sosok itu mengulurkan tangannya dan menyelematkan nyawa Bianka saat dia dalam keadaan kritis dua tahun yang lalu. Namun mimpi itulah satu-satunya kenangan yang mengingatkannya tentang Awan.
Dan setiap kali Bianka mengingatnya, hatinya merasa begitu terikat kuat pada sosok itu. Bianka tidak mampu menjelaskan dan selama ini dia tidak pernah merasakan hal serupa dengan siapapun. Dia hanya mengingat Awan sebagai penyelamat hidupnya.
“Bianka, bangun, sayang! Bunda sudah siapkan sarapan untukmu.” Belaian itu membangunkan Bianka dari tidur lelapnya.
“Bunda, jam berapa sekarang? Aku kesiangan lagi ya? Ahh..sial...” gerutunya sambil mengusap-usap matanya dengan kondisi yang masih setangah sadar.
Perempuan yang tidak pantas memiliki predikat paruh baya itu lantas tersenyum. Memandang dalam kedua kolam mata gadis kecilnya; gadis kecil dalam masa pencariannya. Ningsih begitu bersyukur Bianka selamat dari kecelakaan yang menimpanya. Meskipun Bianka harus kehilangan sebagian memori masa lalunya.
“Sekarang hari minggu, sayang, Bunda membangunkanmu untuk sarapan, lagi pula gadis kecil bunda nampaknya sedang memikirkan sesuatu.” Bianka tidak memberikan tanggapan atas dugaan Ningsih, dia hanya tersipu dan tersenyum kecil.
Naluri ibu benar, aku sedang memikirkan sesuatu. Sesuatu yang sangat mengusikku selama ini.
Gadis bermata kelereng itu lantas berlalu menuju meja makan. Dan begitulah cara seorang ibu memahami dengan nalurinya, tidak perlu kata untuk meng-iya-kan setiap pertanyaan. Ningsih sudah mampu membaca dari raut wajah Bianka.
Ningsih merapikan kamar Bianka sebelum menyusul menuju meja makan. Dan sedikit terkejut saat melihat sosok dalam pigura. Di benaknya sejumlah pertanyaan menggelayuti. Terlalu tidak mungkin apabila lelaki yang lebih pantas disebut ‘adik’ adalah sosok idaman gadisnya. Dan pada akhirnya memutuskan untuk tidak mempertanyakan sembari menata benda itu ketempatnya.
Dari belakang sosok paruh baya itu memandangi gadis kesayangannya. Terlihat pandangannya yang kosong, seperti ada hal yang telah lama dia simpan namun enggan untuk mengungkapkannya. Dan pikirnya kembali menyusur kebelakang, tentang sosok dalam pigura. Mungkinkah sosok itu yang membuat semata wayangnya seperti berhutang cerita kepadanya,
Sampai dipijakan anak tangga terakhir Ningsih melangkah perlahan mendekati Bianka. Begitu perlahannya hingga nyaris menyatu dengan kesunyian kecuali suara gemerutuk sendok yang beradu dengan garpu kala itu. Dibelainya Bianka dari belakang; sebagai bentuk sapaan kepada sosok tersayang.
“Bunda...” Belaian itu tidak mengusik Bianka sama sekali dan disambut hangat oleh Bianka yang menoleh kearah Ningsih. Senyum tipis terukir diwajahnya. Senyum yang tulus dengan tatapan kosong.
“Sepertinya ada yang sedang mengganggu pikiran gadis bunda? Kamu tidak bisa berbohong, Bianka, sekalipun kamu diam dan berlaku seolah semuanya baik-baik saja, tapi selalu ada kata ‘tidak begitu baik’ dibalik semuanya, bukan begitu? Bianka sedang jatuh cinta? Hmmm..?” Ningsih menatap mata Bianka dalam seolah memberikan kenyamanan.
Maaf, Bunda, Bianka belum bisa menceritakannya kepada siapapun untuk saat ini. Dan belum tentu Bunda akan mengerti jika Bianka menceritakan semuanya.
Kalimat panjang itu nyatanya memang sebuah pembenaran. Pembenaran sekaligus pembuktian kebenaran naluri seorang ibu. Objek yang dibicarakan hanya mampu melakukan diam. Kediaman yang sudah terjawab oleh pembenaran. Hanya saja untuk alasan yang belum sempat tersampaikan oleh Bianka.
"Mungkin, nanti Bianka akan menceritakannya ke bunda." Bianka lantas tersenyum. Kali ini sebagai tanda persetujuan. Tidak banyak kata bisa disampaikan, karena memang begitulah dia adanya. Saat kata-kata tertambat untuk mewakilkan isi hatinya, Bianka hanya mampu mengutas senyum.
Pun piring itu hanya menyisakan sendok dan garpu. Bianka tidak berlama-lama dan berbasa-basi. Dia sudah punya rencana untuk hari ini. Seperti biasanya, Bianka bergegas pergi taman belakang untuk melihat gumulan awal seolah hendak pergi menemui orang kesayangannya.
“Bunda, Bianka ijin pergi, tidak lama mungkin sampai sore.”
Hanya begitu saja dan Bianka berlalu. Meninggalkan sosok perempuan paruh baya itu dalam pemikiran; yang baru akan memulai beradu dengan sendok dan garpunya. Kediaman Bianka itu yang menjadi pemikiran Ningsih. Pemikiran akan alasan dari kegelisahan putrinya.
Dan hari itu Bianka begitu antusias dan segera bergegas menuju tempat yang akan segera dia jelang. Dia mengayunkan langkah dengan derap yang begitu tergesa. Ditemani sahabat tanpa katanya, ia menyusuri jalanan yang sudah terasa begitu familiar.
Tidak penting mempertanyakan kemana langkah itu akan membawanya. Tempat yang dituju oleh Bianka selalu sama. Tempat yang hanya tepat di deskripsikan sebagai tempat persembunyian. Begitu rindang dengan gundukan yang menyerupai miniatur bukit.
Tapi lebih dari itu, tempat ini memiliki ceritanya sendiri. Bagaimana alurnya dan siapa tokoh yang membentuk ceritanya, semuanya ada pada ingatan Bianka. Ingatan gadis dengan sajak tentang Awan-nya.
Bianka meletakkan tasnya dan mengeluarkan sahabatnya dari sesak. Sembari menyandarkan tubuhnya pada pohon yang kekar. Bianka sejenak menghela nafas panjang. Dengan mata terpejam ingatan tentang suatu cerita merefleksi di dalam otaknya. Dalam putaran cerita itu, bertokoh pemuda mungil sebagai sosok kesayangannya. Berada di tempat ini dan melakukan hal sama persis dengan gambaran dirinya saat ini.
Seperti jam-jam yang telah terlalui sebelumnya. Bianka seperti tidak mengenal kata bosan berlama-lama di tempat ini. Gadis berperawakan melanosoid dengan rambut tergerai panjang itu bersila sembari membuka perlahan sahabat tanpa katanya. Dan kembali jemari lentik itu bergumul dan saling beradu menuliskan sajak ke 189-nya.
31 Januari 2011Kusapa pagi ini dengan senyum raguJelas karena ada pikir sebelum lelapkuTentang punggung itu, tentang rasa yang raguAwanku,Ingatan yang sama masih berputar tanpa celaBagian itu jua rinci aku ingatYang kupandang sebelum kujelangwaktu senjaMasih rasa untuk sosok yang samaAwanku,Selalu seperti ini pada akhirnyaDengan begini caraku untuk tahuMengenalmu, untuk tidak melupakanmuSajakku masih bercerita untuk objek yang samaKamu.Bianka gagal menyadari bahwa seseorang tengah seksama mengawasinya sedari tadi. Tepat di belakangnya. Mematung. Perlahan Pandu memperkecil jaraknya dari objek pandang. Hingga berada tepat disampingnya.Fokus Bianka pun pecah. Oleh bau yang sudah tidak asing. Tepat disampingnya,
25 Januari 2009... Meskipun Bianka tidak sepenuhnya sadar, namun batinnya cukup kuat merasakan dan mendengar. Langkah kaki, airmata, dan suara parau. Kekhawatiran. Dia mendengar orang-orang itu diliputi kekhawatiran dalam alam bawah sadarnya. Dan suara itu kini tidak hanya satu, tapi berlipat. “Mong... Mong...” Saat itu seperti terakhir kalinya Bianka mendengarkan suaranya. Suara itu tidak seperti biasanya. Suara yang biasanya terdengar merdu saat itu terdengar parau. Dan Bianka merasakan kelu dihatinya, seolah apa yang dia rasakan saat ini begitu nyata. “Kenapa dengan suara mereka? Kenapa begitu banyak isakan? Dan apakah semua itu untukku? Aku kenapa, Tuhan?” Ya, Bianka tidak tertidur di alam bawah sadarnya dia meracaukan berbagai kekhawatirannya, dia yakin saat ini dirinya tidak sedang bermimpi. Yang dia rasakan begitu nyata. Jelas dia tidak sedang bermimpi. Tapi semuanya tampak gelap, Bianka tidak begitu mengenali lagi sekelilingnya
Dua tahun kemudian..25 Januari 2011Ada apa dengan Awanku?Sepertinya dia ingin menangisSungguh terlihat dari visualnya yang suramAda apa gerangan, Awanku?Kita memang berbeda. Ya aku tahuTapi tidak lantas menghalangiku untukmendengarkan bimbangmuAku pun barangkali tidak membuat ringan pundakmuYa akupun pahamTapi aku mendengarkanmu dengan hatikuJika memang kesedihan itu terasa begitu pedihDan jika memang kebimbangan membutakan arahmuAku disini. Masih di titik yang sama dan seksamaMenunggumu, melihatmu,Dan berharap yang merisaukan hatimu cepat berlaluLihatlah aku, Awanku!Dan seharusnya tidak lagi ada alasan atas sedih dan bimbangmuSaat anak manusia meya
26 Januari 2011‘Dapat melihat cahayamu sebelum kamu kembali kerumahHanya itu yang membuatku merasa lebih baikMungkin kelak mataku tak mampu lagi menatapmuSedalam aku melakukannya saat iniPerasaan ini tak semestinya adaDan tak seharusnya terlalu lamaTapi hanya dengan seperti iniAku dapat merasakanmu, dekat dan hangatAwanku,Aku tepat 90 derajat diatasmuDan hingga detik iniJantungku masih berdetak untuk alasan yang samaAwanku,Sajak ke-187 ini masih untukmu’“Awanku, kamu pasti akan sedih juga bukan melihat pandangan nyinyir mereka kepadaku? Manusia selalu menghakimi apa yang mereka lihat, apa yang dilihat oleh mata telanjang tidak selalu dapat menjelaskan segalanya.” Gadis berwajah sendu itu lant
31 Januari 2011Kusapa pagi ini dengan senyum raguJelas karena ada pikir sebelum lelapkuTentang punggung itu, tentang rasa yang raguAwanku,Ingatan yang sama masih berputar tanpa celaBagian itu jua rinci aku ingatYang kupandang sebelum kujelangwaktu senjaMasih rasa untuk sosok yang samaAwanku,Selalu seperti ini pada akhirnyaDengan begini caraku untuk tahuMengenalmu, untuk tidak melupakanmuSajakku masih bercerita untuk objek yang samaKamu.Bianka gagal menyadari bahwa seseorang tengah seksama mengawasinya sedari tadi. Tepat di belakangnya. Mematung. Perlahan Pandu memperkecil jaraknya dari objek pandang. Hingga berada tepat disampingnya.Fokus Bianka pun pecah. Oleh bau yang sudah tidak asing. Tepat disampingnya,
Begitu cepat waktu berlalu. Dan begitu retoris pernyataan seperti itu. Tanpa sadar minggu memasuki penghujung. Menyapa kedua mata yang sempat terlelap sembari mendekap erat benda kesayangannya. Sebuah figura sesosok anak kecil yang Bianka panggil "Awan" selama ini.Bianka selalu menantikan Awan hadir kembali dalam mimpinya sama seperti saat sosok itu mengulurkan tangannya dan menyelematkan nyawa Bianka saat dia dalam keadaan kritis dua tahun yang lalu. Namun mimpi itulah satu-satunya kenangan yang mengingatkannya tentang Awan.Dan setiap kali Bianka mengingatnya, hatinya merasa begitu terikat kuat pada sosok itu. Bianka tidak mampu menjelaskan dan selama ini dia tidak pernah merasakan hal serupa dengan siapapun. Dia hanya mengingat Awan sebagai penyelamat hidupnya.“Bianka, bangun, sayang! Bunda sudah siapkan sarapan untukmu.” Belaian itu membangunkan Bianka dari tidur lelapnya.“Bunda, jam berapa sekarang? Aku kesiangan lagi ya? Ahh..si
26 Januari 2011‘Dapat melihat cahayamu sebelum kamu kembali kerumahHanya itu yang membuatku merasa lebih baikMungkin kelak mataku tak mampu lagi menatapmuSedalam aku melakukannya saat iniPerasaan ini tak semestinya adaDan tak seharusnya terlalu lamaTapi hanya dengan seperti iniAku dapat merasakanmu, dekat dan hangatAwanku,Aku tepat 90 derajat diatasmuDan hingga detik iniJantungku masih berdetak untuk alasan yang samaAwanku,Sajak ke-187 ini masih untukmu’“Awanku, kamu pasti akan sedih juga bukan melihat pandangan nyinyir mereka kepadaku? Manusia selalu menghakimi apa yang mereka lihat, apa yang dilihat oleh mata telanjang tidak selalu dapat menjelaskan segalanya.” Gadis berwajah sendu itu lant
Dua tahun kemudian..25 Januari 2011Ada apa dengan Awanku?Sepertinya dia ingin menangisSungguh terlihat dari visualnya yang suramAda apa gerangan, Awanku?Kita memang berbeda. Ya aku tahuTapi tidak lantas menghalangiku untukmendengarkan bimbangmuAku pun barangkali tidak membuat ringan pundakmuYa akupun pahamTapi aku mendengarkanmu dengan hatikuJika memang kesedihan itu terasa begitu pedihDan jika memang kebimbangan membutakan arahmuAku disini. Masih di titik yang sama dan seksamaMenunggumu, melihatmu,Dan berharap yang merisaukan hatimu cepat berlaluLihatlah aku, Awanku!Dan seharusnya tidak lagi ada alasan atas sedih dan bimbangmuSaat anak manusia meya
25 Januari 2009... Meskipun Bianka tidak sepenuhnya sadar, namun batinnya cukup kuat merasakan dan mendengar. Langkah kaki, airmata, dan suara parau. Kekhawatiran. Dia mendengar orang-orang itu diliputi kekhawatiran dalam alam bawah sadarnya. Dan suara itu kini tidak hanya satu, tapi berlipat. “Mong... Mong...” Saat itu seperti terakhir kalinya Bianka mendengarkan suaranya. Suara itu tidak seperti biasanya. Suara yang biasanya terdengar merdu saat itu terdengar parau. Dan Bianka merasakan kelu dihatinya, seolah apa yang dia rasakan saat ini begitu nyata. “Kenapa dengan suara mereka? Kenapa begitu banyak isakan? Dan apakah semua itu untukku? Aku kenapa, Tuhan?” Ya, Bianka tidak tertidur di alam bawah sadarnya dia meracaukan berbagai kekhawatirannya, dia yakin saat ini dirinya tidak sedang bermimpi. Yang dia rasakan begitu nyata. Jelas dia tidak sedang bermimpi. Tapi semuanya tampak gelap, Bianka tidak begitu mengenali lagi sekelilingnya