25 Januari 2009...
Meskipun Bianka tidak sepenuhnya sadar, namun batinnya cukup kuat merasakan dan mendengar. Langkah kaki, airmata, dan suara parau. Kekhawatiran. Dia mendengar orang-orang itu diliputi kekhawatiran dalam alam bawah sadarnya. Dan suara itu kini tidak hanya satu, tapi berlipat.
“Mong... Mong...” Saat itu seperti terakhir kalinya Bianka mendengarkan suaranya. Suara itu tidak seperti biasanya. Suara yang biasanya terdengar merdu saat itu terdengar parau. Dan Bianka merasakan kelu dihatinya, seolah apa yang dia rasakan saat ini begitu nyata.
“Kenapa dengan suara mereka? Kenapa begitu banyak isakan? Dan apakah semua itu untukku? Aku kenapa, Tuhan?” Ya, Bianka tidak tertidur di alam bawah sadarnya dia meracaukan berbagai kekhawatirannya, dia yakin saat ini dirinya tidak sedang bermimpi. Yang dia rasakan begitu nyata. Jelas dia tidak sedang bermimpi.
Tapi semuanya tampak gelap, Bianka tidak begitu mengenali lagi sekelilingnya dan kepalanya seperti tertusuk duri, terasa begitu sakit. Bukan seperti sakit kepala biasa, seperti ada yang menusuk-nusuk bagian kepalanya. Dia teringat satu puisi dari Emily Dickinson, “I felt a funeral in brain”, itu menggambarkan apa yang dia rasakan saat ini.
“Tolong, selamatkan anak kami, Dok!” Suara perempuan paruh baya itu terdengar serak karena tengah terisak. Memohon atas keselamatan putrinya. Kekhawatiran itu sangat jelas terlihat dari guratan wajahnya. Airmata dan doa tak henti digumamkan untuk kesempatan bagi putrinya. Kesempatan merasakan hidup lebih lama.
Doa dan airmata itu berlipat. Ayah Bianka dan seorang pemuda di usia ujung kepala satunya. Ayah Bianka tampak diam dengan kepala menunduk dan ekspresi wajah memendam duka bersandar pada dinding, berkebalikan dengan istrinya. Namun dalam diam itu, hati seorang lelaki menangis dan mengemis doa untuk kesempatan yang sama bagi putri semata wayangnya.
Tersisa seorang pemuda yang tengah mendekap harapan dengan kekhawatiran yang begitu kentara dari raut wajahnya. Hatinya penuh doa dan pengharapan untuk terkasihnya. Kekhawatiran pemuda itu begitu besar karena begitu besar pula perasaanya pada sang wanita.
“Jika memang pada akhirnya takdir yang mengakhiri, percayalah perasaan ini terlalu besar untuk diakhiri dan digantikan oleh siapapun.” Untuk pertama kalinya hati pemuda itu begitu rapuh dan sakit karena perasaannya yang terlalu kuat kepada wanita yang kini tengah berbaring berjuang melawan maut.
Ada banyak hal yang ingin dia lakukan dan katakan kepada Bianka yang selama sudah dia anggap seperti adik kandung. Meskipun diam-diam, Pandu merasakan lebih dari sekedar itu. Namun perasaan itu berusaha dia tutupi dan dia berjanji saat Bianka tersadar, dia akan mengatakan yang sesungguhnya. “Berjuanglah, Bianka. Aku yakin kamu mampu melaluinya.
Sejak siang hingga menginjak dini hari tanda-tanda akan doa tiga manusia itu tidak kunjung ada. Pengharapan atas kesempatan untuk orang yang sama. Lelah berperan minor disini karena kekhawatiran itu begitu dominan. Terlebih selama itu pula mereka tidak diperbolehkan melihat keadaan Bianka.
Entah sedang diapakan dia di dalam sana. Yang pasti, Bianka sedang berjuang untuk doa mereka. Dia tidak diam meski raganya tanpa aktivitas. Kardiograf[1] itu secara ilmiah menunjukkan perjuangannya, gelombang itu kian stabil dan energi itu kian kuat. Selang setengah jam kemudian, para medis berlarian ke arah ruang tempat Bianka berada. Entah kenapa mereka berlari bisa jadi itu kabar baik atau justru sebaliknya.
Sontak ketiga orang yang sejak awal mengharap cemas akan tanda-tanda kehidupan menjadi gusar melihat pemandangan itu. Enam pasang mata itu kian membelalak dan pikiran mereka semakin sadar. Doa atas kesempatan untuknya semakin gencar diserukan. Mereka saling berpandangan, merapal doa untuk keajaiban.
***
Sedangkan di alam bawah sadarnya, Bianka melihat sosok pemuda yang tidak terasa asing penglihatan netranya. Perlahan berjalan kearahnya sembari mengulurkan kedua tangannya dan memanggil namanya lirih. Wajah orang itu terlalu samar untuk Bianka kenali.
“Hi, Bianka, aku Awan.” Pemuda itu memberikan senyum hangat kepadanya sembari mengulurkan tangannya. Bianka menyambut uluran tangan itu. Entah kenapa dia merasa seolah dia telah mengenalnya. Dan seketika semuanya berubah menjadi gelap.
Lima belas menit kemudian para medis keluar. Salah seorangnya menghampiri ketiga orang yang saat itu memiliki ekspresi tegang dan penuh kepasrahan. Dokter itu menunjukkan raut muka yang sama tegangnya dengan mereka.
“Boleh saya berbicara dengan orang tua Bianka?” Nada lelaki paruh baya itu terdengar tidak mantab dan sedikit parau, seperti ada keengganan untuk berkata atau tidak. Orangtua Bianka lantas mengikuti isyarat lelaki tersebut menuju ke sebuah ruangan.
“Putri Anda hanya mengalami trauma ringan, mungkin kedepannya dia akan sering pusing atau sakit kepala, tapi tidak perlu khawatir hal tersebut wajar.” Pria itu menghentikan pembicaraannya sebentar sembari menghela nafas, melihat keempat pasang mata di depannya yang begitu kentara tengah diliputi kekhawatiran.
“Terima kasih, Dok! Terima kasih telah menyelamatkan nyawa putri kami.” Ayah Bianka meraih dan menggenggam kedua tangan dokter itu dengan ekspresi wajah bahagia dan air mata yang berlinang.
Mendengar kalimat itu kedua orangtua Bianka merasa lega. Mengetahui doa mereka didengar. Kesempatan saat itu masih berpihak pada Bianka. Dan pemuda bernama Pandu yang sedari menunjukkan air muka gelisah kini dapat menghembuskan nafas lega. Seolah-olah beban berat terhempaskan dari pundaknya, sangat ingin sekali dia melihat senyum perempuan yang diam-diam dia kasihi selama ini.
***
Mobil tanggung berwarna hitam itu tergeletak di tengah trotoar dengan kondisi parah. Dan seorang pemuda terkapar meregang nyawa di dalamnya. Beberapa bagian reyot dan berubah dari bentuk semula. Tampak bagian depan dari mobil itu membentuk cekungan yang cukup dalam, menandakan kuatnya benturan yang terjadi.
Pemuda itu terlihat enggan menyerang kepada malaikat maut dan berusaha dengan terseok untuk keluar dari mobilnya. Dia merasakan ngilu luar biasa pada kepalanya dan memegangnya sedangnya tangan kirinya tanpa dia sadari tengan berlumuran darah. Dia melihat wajah perempuan yang sangat ingin dia lihat kembali, Bianka. Dan seketika semuanya mengabur.
“Anak Anda menderita cedera otak kanan yang sangat fatal. Benturan dari kecelakaan itu telah menyebabkan terputusnya saluran dari Amygdala[2] menuju sistem limbik yang kemungkinan besar akan mempengaruhi respon emosi putra Anda pada hal-hal tertentu.Saya harap Anda mempersiapkan segala kemungkinan terburuknya.” Dokter muda berkacamata itu menunjukkan raut muka berduka, tangan kekarnya menepuk bahu orangtua Ega dengan ringan.
Wanita paruh baya itu tak kuasa menahan airmatanya. Dia merasa sangat terpukul mendengar kata-kata yang terlontar dari dokter yang menangani anaknya. Kata-katanya tertambat untuk menimpali. Tak kuasa membayangkan penderitaan yang harus dialami Ega setelah ini.
Catatan:
[1] Alat diagnosis pencitraan medis yang berfungsi untuk memberikan gambaran visual kerja jantung
[2] Amygdala bagian dari otak yang berkenaan dengan pengaturan emosi.
TBC....
Dua tahun kemudian..25 Januari 2011Ada apa dengan Awanku?Sepertinya dia ingin menangisSungguh terlihat dari visualnya yang suramAda apa gerangan, Awanku?Kita memang berbeda. Ya aku tahuTapi tidak lantas menghalangiku untukmendengarkan bimbangmuAku pun barangkali tidak membuat ringan pundakmuYa akupun pahamTapi aku mendengarkanmu dengan hatikuJika memang kesedihan itu terasa begitu pedihDan jika memang kebimbangan membutakan arahmuAku disini. Masih di titik yang sama dan seksamaMenunggumu, melihatmu,Dan berharap yang merisaukan hatimu cepat berlaluLihatlah aku, Awanku!Dan seharusnya tidak lagi ada alasan atas sedih dan bimbangmuSaat anak manusia meya
26 Januari 2011‘Dapat melihat cahayamu sebelum kamu kembali kerumahHanya itu yang membuatku merasa lebih baikMungkin kelak mataku tak mampu lagi menatapmuSedalam aku melakukannya saat iniPerasaan ini tak semestinya adaDan tak seharusnya terlalu lamaTapi hanya dengan seperti iniAku dapat merasakanmu, dekat dan hangatAwanku,Aku tepat 90 derajat diatasmuDan hingga detik iniJantungku masih berdetak untuk alasan yang samaAwanku,Sajak ke-187 ini masih untukmu’“Awanku, kamu pasti akan sedih juga bukan melihat pandangan nyinyir mereka kepadaku? Manusia selalu menghakimi apa yang mereka lihat, apa yang dilihat oleh mata telanjang tidak selalu dapat menjelaskan segalanya.” Gadis berwajah sendu itu lant
Begitu cepat waktu berlalu. Dan begitu retoris pernyataan seperti itu. Tanpa sadar minggu memasuki penghujung. Menyapa kedua mata yang sempat terlelap sembari mendekap erat benda kesayangannya. Sebuah figura sesosok anak kecil yang Bianka panggil "Awan" selama ini.Bianka selalu menantikan Awan hadir kembali dalam mimpinya sama seperti saat sosok itu mengulurkan tangannya dan menyelematkan nyawa Bianka saat dia dalam keadaan kritis dua tahun yang lalu. Namun mimpi itulah satu-satunya kenangan yang mengingatkannya tentang Awan.Dan setiap kali Bianka mengingatnya, hatinya merasa begitu terikat kuat pada sosok itu. Bianka tidak mampu menjelaskan dan selama ini dia tidak pernah merasakan hal serupa dengan siapapun. Dia hanya mengingat Awan sebagai penyelamat hidupnya.“Bianka, bangun, sayang! Bunda sudah siapkan sarapan untukmu.” Belaian itu membangunkan Bianka dari tidur lelapnya.“Bunda, jam berapa sekarang? Aku kesiangan lagi ya? Ahh..si
31 Januari 2011Kusapa pagi ini dengan senyum raguJelas karena ada pikir sebelum lelapkuTentang punggung itu, tentang rasa yang raguAwanku,Ingatan yang sama masih berputar tanpa celaBagian itu jua rinci aku ingatYang kupandang sebelum kujelangwaktu senjaMasih rasa untuk sosok yang samaAwanku,Selalu seperti ini pada akhirnyaDengan begini caraku untuk tahuMengenalmu, untuk tidak melupakanmuSajakku masih bercerita untuk objek yang samaKamu.Bianka gagal menyadari bahwa seseorang tengah seksama mengawasinya sedari tadi. Tepat di belakangnya. Mematung. Perlahan Pandu memperkecil jaraknya dari objek pandang. Hingga berada tepat disampingnya.Fokus Bianka pun pecah. Oleh bau yang sudah tidak asing. Tepat disampingnya,
31 Januari 2011Kusapa pagi ini dengan senyum raguJelas karena ada pikir sebelum lelapkuTentang punggung itu, tentang rasa yang raguAwanku,Ingatan yang sama masih berputar tanpa celaBagian itu jua rinci aku ingatYang kupandang sebelum kujelangwaktu senjaMasih rasa untuk sosok yang samaAwanku,Selalu seperti ini pada akhirnyaDengan begini caraku untuk tahuMengenalmu, untuk tidak melupakanmuSajakku masih bercerita untuk objek yang samaKamu.Bianka gagal menyadari bahwa seseorang tengah seksama mengawasinya sedari tadi. Tepat di belakangnya. Mematung. Perlahan Pandu memperkecil jaraknya dari objek pandang. Hingga berada tepat disampingnya.Fokus Bianka pun pecah. Oleh bau yang sudah tidak asing. Tepat disampingnya,
Begitu cepat waktu berlalu. Dan begitu retoris pernyataan seperti itu. Tanpa sadar minggu memasuki penghujung. Menyapa kedua mata yang sempat terlelap sembari mendekap erat benda kesayangannya. Sebuah figura sesosok anak kecil yang Bianka panggil "Awan" selama ini.Bianka selalu menantikan Awan hadir kembali dalam mimpinya sama seperti saat sosok itu mengulurkan tangannya dan menyelematkan nyawa Bianka saat dia dalam keadaan kritis dua tahun yang lalu. Namun mimpi itulah satu-satunya kenangan yang mengingatkannya tentang Awan.Dan setiap kali Bianka mengingatnya, hatinya merasa begitu terikat kuat pada sosok itu. Bianka tidak mampu menjelaskan dan selama ini dia tidak pernah merasakan hal serupa dengan siapapun. Dia hanya mengingat Awan sebagai penyelamat hidupnya.“Bianka, bangun, sayang! Bunda sudah siapkan sarapan untukmu.” Belaian itu membangunkan Bianka dari tidur lelapnya.“Bunda, jam berapa sekarang? Aku kesiangan lagi ya? Ahh..si
26 Januari 2011‘Dapat melihat cahayamu sebelum kamu kembali kerumahHanya itu yang membuatku merasa lebih baikMungkin kelak mataku tak mampu lagi menatapmuSedalam aku melakukannya saat iniPerasaan ini tak semestinya adaDan tak seharusnya terlalu lamaTapi hanya dengan seperti iniAku dapat merasakanmu, dekat dan hangatAwanku,Aku tepat 90 derajat diatasmuDan hingga detik iniJantungku masih berdetak untuk alasan yang samaAwanku,Sajak ke-187 ini masih untukmu’“Awanku, kamu pasti akan sedih juga bukan melihat pandangan nyinyir mereka kepadaku? Manusia selalu menghakimi apa yang mereka lihat, apa yang dilihat oleh mata telanjang tidak selalu dapat menjelaskan segalanya.” Gadis berwajah sendu itu lant
Dua tahun kemudian..25 Januari 2011Ada apa dengan Awanku?Sepertinya dia ingin menangisSungguh terlihat dari visualnya yang suramAda apa gerangan, Awanku?Kita memang berbeda. Ya aku tahuTapi tidak lantas menghalangiku untukmendengarkan bimbangmuAku pun barangkali tidak membuat ringan pundakmuYa akupun pahamTapi aku mendengarkanmu dengan hatikuJika memang kesedihan itu terasa begitu pedihDan jika memang kebimbangan membutakan arahmuAku disini. Masih di titik yang sama dan seksamaMenunggumu, melihatmu,Dan berharap yang merisaukan hatimu cepat berlaluLihatlah aku, Awanku!Dan seharusnya tidak lagi ada alasan atas sedih dan bimbangmuSaat anak manusia meya
25 Januari 2009... Meskipun Bianka tidak sepenuhnya sadar, namun batinnya cukup kuat merasakan dan mendengar. Langkah kaki, airmata, dan suara parau. Kekhawatiran. Dia mendengar orang-orang itu diliputi kekhawatiran dalam alam bawah sadarnya. Dan suara itu kini tidak hanya satu, tapi berlipat. “Mong... Mong...” Saat itu seperti terakhir kalinya Bianka mendengarkan suaranya. Suara itu tidak seperti biasanya. Suara yang biasanya terdengar merdu saat itu terdengar parau. Dan Bianka merasakan kelu dihatinya, seolah apa yang dia rasakan saat ini begitu nyata. “Kenapa dengan suara mereka? Kenapa begitu banyak isakan? Dan apakah semua itu untukku? Aku kenapa, Tuhan?” Ya, Bianka tidak tertidur di alam bawah sadarnya dia meracaukan berbagai kekhawatirannya, dia yakin saat ini dirinya tidak sedang bermimpi. Yang dia rasakan begitu nyata. Jelas dia tidak sedang bermimpi. Tapi semuanya tampak gelap, Bianka tidak begitu mengenali lagi sekelilingnya