Home / Romansa / 200 Sajak Tentang Awan / Ukiran Sajak Untuk Awan

Share

Ukiran Sajak Untuk Awan

Author: Redikars
last update Last Updated: 2021-10-31 02:08:49

Dua tahun kemudian..

25 Januari 2011

Ada apa dengan Awanku?

Sepertinya dia ingin menangis

Sungguh terlihat dari visualnya yang suram

Ada apa gerangan, Awanku?

Kita memang berbeda. Ya aku tahu

Tapi tidak lantas menghalangiku untuk

mendengarkan bimbangmu

Aku pun barangkali tidak membuat ringan pundakmu

Ya akupun paham

Tapi aku mendengarkanmu dengan hatiku

Jika memang kesedihan itu terasa begitu pedih

Dan jika memang kebimbangan membutakan arahmu

Aku disini. Masih di titik yang sama dan seksama

Menunggumu, melihatmu,

Dan berharap yang merisaukan hatimu cepat berlalu

Lihatlah aku, Awanku!

Dan seharusnya tidak lagi ada alasan atas sedih dan bimbangmu

Saat anak manusia meyakini cinta sejati itu nyata. Ya, nyata berdenotasi ada dengan fisik yang dapat dijamah. Sajak manis nan ritmis, mimpi yang terasa nyata teruntai bersama seseorang   yang diyakini sebagai cinta sejati bergulir dalam rentetan mental image yang begitu melenakan khayalan.

Sekalipun frase ‘cinta sejati’ itu terdengar menggelikan bagi sebagian lain yang sudah terlalu sering disakiti dan dikecewakan oleh frase itu. Tapi toh masih lebih banyak yang mempertanyakan, mencari, dan meyakini keberadaannya. Tak terkecuali Bianka.

 “Siapapun mereka yang mengatakan jatuh cinta itu indah pasti sudah kehilangan akal sehatnya.” Sosok tegap dengan suara lantang serta raut datar menepuk pundak Bianka dari belakang.

"Cinta itu merusak akal sehat. Sebaiknya hindari saja." Pandu melanjutkan perkataanya.

Pandu seolah memberikan tamparan cukup keras di pikiran Bianka bahwa menjadi realistis itu perlu, bukan hanya perlu; tapi penting. Dari sebagian banyak orang, Pandu termasuk yang mengangkap frase ‘cinta sejati’ hanya bualan. Hanya untuk orang-orang kurang kerjaan; termasuk dirinya.

Bukan tanpa alasan, hal itu karena dia tengah mengalaminya saat ini. Mencintai seseorang yang pada akhirnya membuatnya bertindak bodoh seperti saat ini. Menguntit Bianka dari belakang dan hal lain yang mungkin akan dilakukannya.

“Kak Bong! Tidak bisa ya sekali saja tidak muncul tiba-tiba dan berhenti mengatakan komentar sumbang dan tidak enak di dengar seperti tadi.” Bianka mengernyitkan dahinya, tanda keterusikan dan ketidakamanan atas keberadaan sosok itu.

Ya, pemuda yang dipanggil ‘Kak Bong’ selalu bisa membuat Bianka kembali ke alam sadar. Terjun bebas dari dunia yang dibentuknya sendiri. Dari dunia yang begitu indah dia diami di dalam kepalanya. Setidaknya Pandu memberikan kesadaran kepadanya, berapa banyak detik dan oksigen tersita dan terhirup sia-sia untuk melamun dan menulis sajak indah yang menggelikan menurut Pandu.

Sementara Pandu hanya tertawa sinis meskipun dari tatapan matanya memancarkan perasaan kasih yang coba dia sembunyikan. Diam-diam dia merasa cemburu dengan hal membuat perhatian Bianka begitu tersita. Terlebih saat melihat dia menyunggingkan senyum karena hal itu.

Apa baiknya menulis puisi-puisi untuk orang tidak jelas, Bianka. Bodoh sekali. Tapi berusaha menyimpan perasaan juga sama bodohnya.

“Lebih baik kamu terbitkan saja puisi-puisi kamu itu, Mong, setidaknya kamu bisa dapat untung dari kebiasaan tololmu itu.” Canda Pandu pada Bianka dan berlalu begitu saja dari taman belakang yang tidak jauh dari rumah mereka; yang kini tampak lengang. Meninggalkan geram dan nyinyir dibenak Bianka yang dia simpan sendiri.

“Kamu itu batu dan batu tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Karena batu tidak menggunakan perasaannya untuk merasakan atau bahkan mungkin tidak punya.” Dengan nada sinis Bianka membalas kalimat itu yang entah didengarkannya atau tidak. Bukannya batu memang tidak berhati karena tidak bernyawa.

‘Mong’ dan begitulah Pandu memanggil Bianka. Ya, Mong dan Bong dua diksi yang secara tidak sengaja terdengar begitu serasi jika disandingkan. Mereka bukan saudara, sama sekali tidak ada ikatan darah di antara mereka berdua. Lalu kenapa mereka saling bertukar nama panggilan dengan satu sama lain? Waktu adalah jawaban paling rasional. Waktu yang menciptakan kedekatan diantara keduanya.

Masih ditempat yang sama. Bianka sedikitpun tak bergeser dari tempat yang lebih mirip miniatur bukit dibanding taman. Setidaknya dirinya tidak sendiri, dia bersama notebook mungil –sahabat tanpa katanya yang selalu menemani menggerakkan jemari diatasnya, merangkai sajak-sajak Bianka. Lagi, tidak perlu bertanya untuk siapa sajak itu dibuat.

 Aku tahu persis bagaimana rasanya, Mong. Satuhal yang kamu lupa, batu pun akan rapuh karena tetesan air hujan yang keras kepala.

Pandu mendengarkan ucapan lirih yang dilontarkan Bianka untuknya. Bianka yang menyebutnya batu. Memang benar adanya, batu pun perlahan akan rapuh dan menyerah pada air. Karena air selalu menetesi batu dan tidak kenal menyerah, hingga pada akhirnya memberikan reaksi padanya. Apalagi hati manusia yang tidak sekeras batu.

Air yang lembut dan batu yang keras. Dua hal yang saling polar, saling bertolak belakang; jelas tidak bisa dianalogikan satu sama lain. Namun pada akhirnya batu memberikan celah bagi air, bahkan airpun sebenarnya bisa jauh lebih keras daripada batu. Kekerasan tekadnya untuk melunakkan batu. Hingga batupun pada akhirnya dapat merasakan air yang ingin menjadi bagian dari dirinya; setidaknya sedikit melunakkannya.

Terlepas dari analogi tidak sinergi antara air dan batu. Waktu masih terus berjalan. Dan selama itu pula Bianka tetap di tempat yang sama. Empat jam bisa jadi begitu berarti untuk melakukan hal produktif bagi orang lain, tapi tidak bagi Bianka. Di tempat ini dirinya merasa aman dan nyaman. Dan sudah pasti bukan tanpa alasan.

Menulis puisi untuk Awan adalah arti produktif lain bagiku. Semoga dengan begitu dia akan muncul kembali dalam mimpiku.

“Hanya di tempat ini aku leluasa berada di duniaku. Dunia yang membuatku merasa bebas, tidak perlu mengkhawatirkan apa kata mereka. Mungkin hanya kata satu orang yang sedikit mengusikku, tapi aku sudah cukup tahan uji dengan keberadaannya. Dan sebelum aku lupa, aku ingin terus mengingatmu.” Seuntai senyum terukir dari bibir gadis berambut panjang dan ikal itu.

Bukan perihal yang melodramatis mengenai waktu yang tidak banyak itu. Memang terdengar dramatis. Tapi belum mendekati melodramatis. Bianka memilih diksi itu karena saat ini, persisnya apa yang dilakukan olehnya sekarang mungkin tidak lagi akan ia lakukan, saat alam sadarnya menjadi dominan kelak.

Siapapun yang melihat dirinya saat ini, pasti akan mempertanyakan. Gerangan apakah yang ada di pikiran gadis berwajah sendu di bawah pohon beringin. Dengan tatapan kosong menatap dalam pada awan, jeda beberapa menit kemudian jemarinya lincah bergumul dengan notebook-nya.

Related chapters

  • 200 Sajak Tentang Awan   Dunia Kecil Bianka

    26 Januari 2011‘Dapat melihat cahayamu sebelum kamu kembali kerumahHanya itu yang membuatku merasa lebih baikMungkin kelak mataku tak mampu lagi menatapmuSedalam aku melakukannya saat iniPerasaan ini tak semestinya adaDan tak seharusnya terlalu lamaTapi hanya dengan seperti iniAku dapat merasakanmu, dekat dan hangatAwanku,Aku tepat 90 derajat diatasmuDan hingga detik iniJantungku masih berdetak untuk alasan yang samaAwanku,Sajak ke-187 ini masih untukmu’“Awanku, kamu pasti akan sedih juga bukan melihat pandangan nyinyir mereka kepadaku? Manusia selalu menghakimi apa yang mereka lihat, apa yang dilihat oleh mata telanjang tidak selalu dapat menjelaskan segalanya.” Gadis berwajah sendu itu lant

    Last Updated : 2021-10-31
  • 200 Sajak Tentang Awan   Naluri

    Begitu cepat waktu berlalu. Dan begitu retoris pernyataan seperti itu. Tanpa sadar minggu memasuki penghujung. Menyapa kedua mata yang sempat terlelap sembari mendekap erat benda kesayangannya. Sebuah figura sesosok anak kecil yang Bianka panggil "Awan" selama ini.Bianka selalu menantikan Awan hadir kembali dalam mimpinya sama seperti saat sosok itu mengulurkan tangannya dan menyelematkan nyawa Bianka saat dia dalam keadaan kritis dua tahun yang lalu. Namun mimpi itulah satu-satunya kenangan yang mengingatkannya tentang Awan.Dan setiap kali Bianka mengingatnya, hatinya merasa begitu terikat kuat pada sosok itu. Bianka tidak mampu menjelaskan dan selama ini dia tidak pernah merasakan hal serupa dengan siapapun. Dia hanya mengingat Awan sebagai penyelamat hidupnya.“Bianka, bangun, sayang! Bunda sudah siapkan sarapan untukmu.” Belaian itu membangunkan Bianka dari tidur lelapnya.“Bunda, jam berapa sekarang? Aku kesiangan lagi ya? Ahh..si

    Last Updated : 2021-10-31
  • 200 Sajak Tentang Awan   Sosok Awan Dalam Mimpi

    31 Januari 2011Kusapa pagi ini dengan senyum raguJelas karena ada pikir sebelum lelapkuTentang punggung itu, tentang rasa yang raguAwanku,Ingatan yang sama masih berputar tanpa celaBagian itu jua rinci aku ingatYang kupandang sebelum kujelangwaktu senjaMasih rasa untuk sosok yang samaAwanku,Selalu seperti ini pada akhirnyaDengan begini caraku untuk tahuMengenalmu, untuk tidak melupakanmuSajakku masih bercerita untuk objek yang samaKamu.Bianka gagal menyadari bahwa seseorang tengah seksama mengawasinya sedari tadi. Tepat di belakangnya. Mematung. Perlahan Pandu memperkecil jaraknya dari objek pandang. Hingga berada tepat disampingnya.Fokus Bianka pun pecah. Oleh bau yang sudah tidak asing. Tepat disampingnya,

    Last Updated : 2021-10-31
  • 200 Sajak Tentang Awan   Kesempatan Kedua

    25 Januari 2009... Meskipun Bianka tidak sepenuhnya sadar, namun batinnya cukup kuat merasakan dan mendengar. Langkah kaki, airmata, dan suara parau. Kekhawatiran. Dia mendengar orang-orang itu diliputi kekhawatiran dalam alam bawah sadarnya. Dan suara itu kini tidak hanya satu, tapi berlipat. “Mong... Mong...” Saat itu seperti terakhir kalinya Bianka mendengarkan suaranya. Suara itu tidak seperti biasanya. Suara yang biasanya terdengar merdu saat itu terdengar parau. Dan Bianka merasakan kelu dihatinya, seolah apa yang dia rasakan saat ini begitu nyata. “Kenapa dengan suara mereka? Kenapa begitu banyak isakan? Dan apakah semua itu untukku? Aku kenapa, Tuhan?” Ya, Bianka tidak tertidur di alam bawah sadarnya dia meracaukan berbagai kekhawatirannya, dia yakin saat ini dirinya tidak sedang bermimpi. Yang dia rasakan begitu nyata. Jelas dia tidak sedang bermimpi. Tapi semuanya tampak gelap, Bianka tidak begitu mengenali lagi sekelilingnya

    Last Updated : 2021-10-31

Latest chapter

  • 200 Sajak Tentang Awan   Sosok Awan Dalam Mimpi

    31 Januari 2011Kusapa pagi ini dengan senyum raguJelas karena ada pikir sebelum lelapkuTentang punggung itu, tentang rasa yang raguAwanku,Ingatan yang sama masih berputar tanpa celaBagian itu jua rinci aku ingatYang kupandang sebelum kujelangwaktu senjaMasih rasa untuk sosok yang samaAwanku,Selalu seperti ini pada akhirnyaDengan begini caraku untuk tahuMengenalmu, untuk tidak melupakanmuSajakku masih bercerita untuk objek yang samaKamu.Bianka gagal menyadari bahwa seseorang tengah seksama mengawasinya sedari tadi. Tepat di belakangnya. Mematung. Perlahan Pandu memperkecil jaraknya dari objek pandang. Hingga berada tepat disampingnya.Fokus Bianka pun pecah. Oleh bau yang sudah tidak asing. Tepat disampingnya,

  • 200 Sajak Tentang Awan   Naluri

    Begitu cepat waktu berlalu. Dan begitu retoris pernyataan seperti itu. Tanpa sadar minggu memasuki penghujung. Menyapa kedua mata yang sempat terlelap sembari mendekap erat benda kesayangannya. Sebuah figura sesosok anak kecil yang Bianka panggil "Awan" selama ini.Bianka selalu menantikan Awan hadir kembali dalam mimpinya sama seperti saat sosok itu mengulurkan tangannya dan menyelematkan nyawa Bianka saat dia dalam keadaan kritis dua tahun yang lalu. Namun mimpi itulah satu-satunya kenangan yang mengingatkannya tentang Awan.Dan setiap kali Bianka mengingatnya, hatinya merasa begitu terikat kuat pada sosok itu. Bianka tidak mampu menjelaskan dan selama ini dia tidak pernah merasakan hal serupa dengan siapapun. Dia hanya mengingat Awan sebagai penyelamat hidupnya.“Bianka, bangun, sayang! Bunda sudah siapkan sarapan untukmu.” Belaian itu membangunkan Bianka dari tidur lelapnya.“Bunda, jam berapa sekarang? Aku kesiangan lagi ya? Ahh..si

  • 200 Sajak Tentang Awan   Dunia Kecil Bianka

    26 Januari 2011‘Dapat melihat cahayamu sebelum kamu kembali kerumahHanya itu yang membuatku merasa lebih baikMungkin kelak mataku tak mampu lagi menatapmuSedalam aku melakukannya saat iniPerasaan ini tak semestinya adaDan tak seharusnya terlalu lamaTapi hanya dengan seperti iniAku dapat merasakanmu, dekat dan hangatAwanku,Aku tepat 90 derajat diatasmuDan hingga detik iniJantungku masih berdetak untuk alasan yang samaAwanku,Sajak ke-187 ini masih untukmu’“Awanku, kamu pasti akan sedih juga bukan melihat pandangan nyinyir mereka kepadaku? Manusia selalu menghakimi apa yang mereka lihat, apa yang dilihat oleh mata telanjang tidak selalu dapat menjelaskan segalanya.” Gadis berwajah sendu itu lant

  • 200 Sajak Tentang Awan   Ukiran Sajak Untuk Awan

    Dua tahun kemudian..25 Januari 2011Ada apa dengan Awanku?Sepertinya dia ingin menangisSungguh terlihat dari visualnya yang suramAda apa gerangan, Awanku?Kita memang berbeda. Ya aku tahuTapi tidak lantas menghalangiku untukmendengarkan bimbangmuAku pun barangkali tidak membuat ringan pundakmuYa akupun pahamTapi aku mendengarkanmu dengan hatikuJika memang kesedihan itu terasa begitu pedihDan jika memang kebimbangan membutakan arahmuAku disini. Masih di titik yang sama dan seksamaMenunggumu, melihatmu,Dan berharap yang merisaukan hatimu cepat berlaluLihatlah aku, Awanku!Dan seharusnya tidak lagi ada alasan atas sedih dan bimbangmuSaat anak manusia meya

  • 200 Sajak Tentang Awan   Kesempatan Kedua

    25 Januari 2009... Meskipun Bianka tidak sepenuhnya sadar, namun batinnya cukup kuat merasakan dan mendengar. Langkah kaki, airmata, dan suara parau. Kekhawatiran. Dia mendengar orang-orang itu diliputi kekhawatiran dalam alam bawah sadarnya. Dan suara itu kini tidak hanya satu, tapi berlipat. “Mong... Mong...” Saat itu seperti terakhir kalinya Bianka mendengarkan suaranya. Suara itu tidak seperti biasanya. Suara yang biasanya terdengar merdu saat itu terdengar parau. Dan Bianka merasakan kelu dihatinya, seolah apa yang dia rasakan saat ini begitu nyata. “Kenapa dengan suara mereka? Kenapa begitu banyak isakan? Dan apakah semua itu untukku? Aku kenapa, Tuhan?” Ya, Bianka tidak tertidur di alam bawah sadarnya dia meracaukan berbagai kekhawatirannya, dia yakin saat ini dirinya tidak sedang bermimpi. Yang dia rasakan begitu nyata. Jelas dia tidak sedang bermimpi. Tapi semuanya tampak gelap, Bianka tidak begitu mengenali lagi sekelilingnya

DMCA.com Protection Status